Share

6

Penulis: Nalika Maurad
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-18 17:06:30

Sejak Bunda menyuruhku pulang cepat malam itu, aku sudah merasa ada yang tidak beres. Begitu masuk rumah, suasana langsung terasa berbeda. Ayah duduk di kursi favoritnya, Bunda menunggu di samping. Aku menaruh tas, cuci tangan, lalu duduk di hadapan mereka. Tak ada basa-basi.

Ayah menatapku, “Alif, duduk. Ada hal penting yang ingin Ayah dan Bunda bicarakan.”

Aku menunggu. Aku sudah terbiasa dengan gaya bicara Ayah-langsung ke inti, tidak suka berputar-putar. Bunda menatapku lekat-lekat. “Kami sudah bicara dengan orang tua Zilla. Kami ingin kamu menikah dengan Zilla, dalam waktu dekat.”

Aku diam beberapa detik, memastikan aku tidak salah dengar. “Kenapa harus sekarang, Bun? Aku masih SMA. Aku belum siap menikah, apalagi dengan Zilla.”

Ayah menatapku, nadanya tetap datar. “Alif, Ayah tidak muda lagi. Perusahaan butuh penerus. Kami percaya kamu sudah cukup dewasa dan bertanggung jawab. Zilla dari keluarga yang baik, kami percaya padanya.”

Aku menahan napas. Aku tahu, menolak frontal hanya akan memperpanjang masalah. Baru sebulan yang lalu Ayah diopname. Aku juga tau kalo perusahaan Ayah, dibangunnya dengan hasil keringat sendiri dari nol. Tapi aku tidak bisa menerima begitu saja.

“Ayah, Bunda, aku paham alasan kalian. Tapi menikah bukan keputusan kecil. Kenapa harus aku dan Zilla? Aku masih ingin fokus sekolah, kuliah dan magang. Aku belum yakin ini waktu yang tepat.”

Bunda menghela napas, lalu bicara pelan, “Kami sudah lama mempertimbangkan ini. Keluarga kita dekat, kami ingin yang terbaik. Kami ingin kamu belajar bertanggung jawab, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga keluarga. Kami tidak ingin kamu terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan. Dunia luar sekarang tidak mudah ditebak. Kami ingin memastikan kamu punya pegangan.”

Aku menatap Ayah, berharap ada ruang kompromi. “Ayah, aku tahu perusahaan butuh penerus. Tapi kenapa harus menikah sekarang? Kenapa tidak setelah aku lulus kuliah atau setidaknya setelah Zilla lulus SMA?”

Ayah menatapku lama. “Hidup tidak selalu menunggu kesiapan, Lif. Tapi kami percaya kamu mampu. Ayah ingin melihat kamu siap sebelum benar-benar pensiun.”

Aku menghela napas. “Ayah, Bunda, aku nggak menolak membantu keluarga. Tapi aku minta, beri aku waktu. Aku belum siap. Setidaknya, tunggu sampai aku lulus SMA.”

Bunda menatapku lembut. “Nak, kami paham kamu takut. Tapi kami juga takut. Kami ingin memastikan kamu tidak salah langkah, tidak kehilangan arah. Kami percaya kamu bisa menjalani ini.”

Aku menggeleng pelan. “Aku nggak siap, Bun. Aku bahkan belum pernah benar-benar ngobrol serius sama Zilla. Aku nggak tahu apa aku bisa jadi suami yang baik. Aku bahkan belum tahu apa aku bisa jadi pemimpin perusahaan.”

Ayah tetap tenang. “Kamu nggak harus jadi sempurna sejak awal, Lif. Tapi kamu harus mulai belajar. Kami percaya kamu mampu.”

Aku menunduk. “Aku minta waktu untuk berpikir. Jangan paksa aku jawab malam ini.”

Bunda akhirnya mengangguk. “Baiklah, Nak. Ambil waktu beberapa hari. Tapi jangan terlalu lama. Kami perlu kepastian.”

Tiga hari aku menghindari topik pernikahan. Aku pergi pagi, pulang larut, pura-pura sibuk dengan tugas sekolah. Tapi setiap malam, Bunda selalu menunggu di ruang tamu, menatapku dengan tatapan lembut tapi tegas.

“Lif, Bunda tahu kamu berat menerima ini. Tapi Bunda percaya kamu bisa. Kami nggak akan lepas tangan. Kalau kamu mau bicara, Bunda siap mendengarkan.”

Aku hanya mengangguk, tidak ingin memperpanjang diskusi. Tapi malam-malam berikutnya, Ayah dan Bunda terus membujuk, memberi pengertian, kadang dengan cerita masa muda mereka, kadang dengan logika, kadang dengan rayuan halus. Aku tidak suka didesak, tapi aku juga tidak suka membuat orang tua kecewa.

Setiap malam aku merenung. Aku menimbang ulang semua risiko dan kemungkinan. Aku bahkan sempat berpikir, kalau aku menolak lebih keras, mungkin mereka akan menyerah. Tapi aku tahu, keluarga sudah bulat. Aku tidak akan bisa mengubah keputusan ini. Aku hanya bisa mengatur syarat agar hidupku tetap terkontrol.

Pada malam kelima, aku akhirnya bicara lagi di ruang keluarga. “Ayah, Bunda, aku sudah pikirkan semuanya. Aku masih belum yakin, tapi aku tahu kalian nggak akan mengubah keputusan. Aku minta satu hal-aku ingin mengenal Zilla lebih dalam sebelum menikah. Aku nggak mau menikah dengan orang yang cuma aku kenal sekilas. Aku juga ingin syarat-syaratku dipenuhi.”

Ayah menatapku, kali ini lebih lembut. “Kamu bertemu dulu dengan Zilla. Kami akan atur supaya kalian bisa saling mengenal lebih baik. Tapi keputusan tetap harus segera diambil.”

Bunda menimpali, “Bunda akan bicara ke orang tua Zilla untuk lamaran. Tapi jangan lupa, waktu kita nggak banyak. Kami ingin semua berjalan lancar.”

Aku mengangguk. “Aku akan usahakan. Tapi aku ingin semuanya jelas, tidak ada yang disembunyikan.”

Beberapa hari berikutnya, aku mulai memperhatikan Zilla lebih dalam. Aku bertanya dengan orang-orang disekitar tentang bagaimana kepribadian dan kesehariannya, yah mengumpulkan informasi tapi aku menghindari bertanya kepada sahabatnya. Zilla banyak bicara, kadang terlalu cepat, kadang terlalu jujur. Aku mendengarkan, menilai, dan mencatat dalam hati. Aku tahu, dia juga tidak siap menikah dan menjadi istri. Tapi setidaknya, aku tahu dia bukan orang asing sepenuhnya.

Setelah hampir seminggu, aku kembali bicara dengan Ayah dan Bunda.

“Ayah, Bunda, aku sudah pikirkan semuanya. Aku masih belum yakin, tapi aku akan jalani. Tapi semua syarat yang aku ajukan harus disepakati.”

Ayah mengangguk. “Sebutkan syaratmu, Lif.”

Aku menatap mereka, memastikan mereka benar-benar mendengarkan.

“Pertama, akad nikah hanya sederhana, cukup keluarga inti. Tidak perlu pesta besar. Syukuran kecil saja. Pesta pernikahan baru setelah Zilla lulus SMA. Aku tidak mau ada yang tahu di sekolah, supaya tidak merepotkan atau jadi bahan omongan.”

“Yang kedua, kami hidup mandiri. Aku yang cari apartemen, tidak tinggal di rumah keluarga mana pun. Aku ingin belajar mengatur rumah tangga sendiri, tanpa intervensi.”

“Ketiga, aku ingin magang di cabang perusahaan Ayah yang paling kecil, mulai dari bawah, tanpa perlakuan istimewa. Aku ingin tahu perusahaan Ayah sampai ke dalam-dalamnya. Kalau yang kecil saja tidak bisa aku tangani, apalagi yang besar.”

“Keempat, setelah menikah, urusan rumah tangga hanya urusan kami. Tidak ada campur tangan siapa pun. Aku yang akan mengatur jalannya rumah tangga. Biarkan aku dan Zilla belajar sendiri.”

Bunda menghela napas. “Kalau kalian tinggal sendiri, Bunda jadi jarang ketemu kalian. Bunda suka sama Zilla, Lif.”

Aku tetap pada pendirian. “Kalau aku tinggal di sini, tidak adil buat Zilla dan keluarganya. Lebih baik kami belajar mandiri.”

Ayah terdiam beberapa detik setelah mendengar semua syarat yang kuajukan. Beliau menatapku lama, ekspresinya sulit terbaca. Lalu tiba-tiba, Ayah tersenyum lebar, sesuatu yang jarang kulihat.

“Hahaha... rupanya anak Ayah sudah dewasa,” ujarnya pelan, tapi terdengar jelas di ruang keluarga yang hening. “Ayah benar-benar bangga padamu, Lif. Syarat-syaratmu masuk akal, tidak egois, dan menunjukkan kamu sudah berpikir jauh ke depan. Tidak banyak anak seusiamu yang bisa berpikir setenang dan setegas ini.”

Bunda ikut tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ayah melanjutkan, “Ayah tahu keputusan ini berat. Tapi kamu tidak lari, kamu memilih untuk bicara dan negosiasi. Itu yang Ayah harapkan dari seorang laki-laki dewasa. Ayah tidak pernah ragu kamu bisa bertanggung jawab, tapi malam ini Ayah makin yakin. Kau sudah membuktikan, kamu bukan anak kecil lagi.”

Ayah menepuk pundakku, nada suaranya lebih hangat dari biasanya. “Mulai lusa, datanglah ke kantor Ayah yang ini. Pahami situasi dan kondisinya. Ayah ingin kamu benar-benar mengerti apa yang akan kamu jalani nanti, baik di rumah tangga maupun di perusahaan. Jangan sungkan bertanya, jangan ragu mengambil keputusan. Ayah dan Bunda akan selalu mendukungmu, tapi mulai sekarang, kamu yang menentukan arah hidupmu.”

Aku hanya mengangguk. Di balik pujian dan rasa bangga Ayah, aku sadar, beban dan ekspektasi di pundakku juga bertambah. Aku tidak merasa sebijak atau sedewasa itu, tapi aku tahu, aku tidak bisa mundur. Setidaknya, aku sudah membuat aturan mainku sendiri. Sisanya, aku harus belajar menjalani.

Setelah keputusan itu, aku mulai survei apartemen. Aku tidak butuh yang mewah, hanya yang strategis, bersih, dan efisien. Aku buat daftar kebutuhan di kertas: ruang kerja, dapur, pencahayaan bagus, akses mudah ke sekolah dan kantor. Setelah beberapa hari, aku temukan satu yang cocok. Minimalis, cukup untuk dua orang.

Aku cek ulang fasilitas, keamanan, dan kontrak. Setelah yakin, aku menghubungi Ayah dan Bunda. Mereka setuju, pembelian diproses.

Bunda ingin ikut mengisi apartemen. “Nanti Bunda temenin cari isi rumahnya, ya?”

Aku menolak halus, “Nanti aku dan Zilla yang atur, Bun. Yang tinggal di sana kami.”

Ayah mendukung, sambil mengawasi si kembar berkeliaran “Betul juga, biar mereka makin deket.”.

Akhirnya, aku hanya membeli kebutuhan dasar untuk kamarku sendiri dan ruang kerja: ranjang, meja kerja, kursi, lemari pakaian, rak buku, lampu baca, bantal guling, TV, komputer, printer scanner, dan karpet. Barang-barang lain seperti peralatan dapur, perabot ruang tamu, dan perlengkapan rumah tangga lainnya sengaja kutunda sampai bisa didiskusikan dan dipilih bersama Zilla. Aku ingin belajar kompromi sejak awal, dan itu dimulai dari hal sederhana-memilih barang-barang rumah bersama calon istri, bukan hanya keputusan sepihak atau campur tangan orang tua.

Setelah belanja, aku pulang. Badan pegal, tapi aku puas. Semua sesuai rencana. Aku serahkan kartu kredit ke Ayah, lalu naik ke kamar. Aku peluk si kembar, cium Bunda, dan masuk ke ruanganku. Aku tahu, aku akan rindu rumah ini.

Senin, aku mulai magang di cabang perusahaan Ayah. Aku minta statusku dirahasiakan. Aku ingin belajar dari bawah, tanpa privilege. Aku observasi, catat, analisis. Aku suka tantangan, dan ini kesempatan membuktikan diri. Setiap malam, aku evaluasi apa yang bisa diperbaiki, apa yang kurang efisien.

Sore hari sepulang magang, aku duduk di kamar, membuka kembali daftar tugas harian. Aku coret yang sudah selesai, tambahkan yang baru. Aku cek jadwal kerja, rencana belanja, dan kebutuhan rumah. Agar semuanya rapi.

Soal Zilla, aku tidak banyak pikirkan hal yang tidak perlu. Aku tahu dia bawel, cerewet, dan manja. Aku tidak suka ribut, tidak suka drama. Aku harap dia bisa kompromi, belajar dewasa. Aku tidak butuh istri romantis, aku butuh partner hidup yang bisa diajak kerja sama.

Aku tidak suka kata-kata manis. Aku lebih suka menunjukkan perhatian lewat tindakan: memastikan apartemen rapi, keuangan teratur, semua kebutuhan terpenuhi. Aku harap bisa jadi suami yang bertanggung jawab. Beberapa malam setelah diskusi pertama, aku kembali bicara pada Ayah dan Bunda di ruang keluarga. Kali ini, aku ingin memastikan sekali lagi.

“Ayah, Bunda, aku tetap ingin pernikahan ini ditunda. Aku ingin waktu untuk belajar, untuk siap. Aku belum yakin ini keputusan terbaik.”

Bunda menatapku penuh pengertian. “Nak, kami sudah mempertimbangkan semuanya. Kami tahu ini berat. Tapi kami percaya kamu bisa menjalani ini. Kami akan selalu mendukungmu.”

Ayah menimpali, “Kamu sudah dewasa, Lif. Kadang hidup memang tidak menunggu kesiapan. Kami percaya kamu bisa bertanggung jawab.”

Aku menunduk, akhirnya menerima. “Baik. Aku akan jalani, tapi semua syarat yang aku ajukan harus disepakati.”

Ayah dan Bunda mengangguk. “Kami setuju, Nak.”

Aku mengangguk, menerima keputusan mereka. Aku tahu, kadang hidup memang tidak bisa sepenuhnya kita pilih. Tapi aku bisa mengatur cara menjalani.

Aku masuk kamar, duduk di meja belajar, membuka catatan rencana hidup. Aku tahu, aku harus siap dengan segala kemungkinan. Aku cek ulang anggaran di buku tulis, kebutuhan rumah, jadwal magang, rencana belanja, dan target pribadi. Semua harus rapi.

Kadang, aku berpikir tentang masa depan. Aku tahu, tantangan akan datang. Tapi aku tidak akan mundur. Hidup memang tidak selalu sesuai rencana, tapi aku percaya, dengan disiplin dan logika, semua bisa diatur. Aku tidak tahu apakah Zilla akan mengerti aku, tapi aku yakin, dengan waktu, kami bisa saling belajar.

Aku tidak suka jadi pusat perhatian, jadi semua urusan pernikahan harus sederhana, efisien, dan tidak merepotkan siapa pun. Ini bukan jalan yang aku pilih, tapi aku akan menjalani dengan tanggung jawab. Aku tidak tahu apakah aku akan bahagia, tapi aku tahu, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk keluarga.

Babak baru dimulai. Aku siap.

Nalika Maurad

29 april 2025

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Salmaw Wahyuni
knpaaa gagal memuat yahh buat ke next page
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah Muda   13

    Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip

  • Menikah Muda   12

    Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.

  • Menikah Muda   11

    Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh

  • Menikah Muda   10

    Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang

  • Menikah Muda   9

    Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb

  • Menikah Muda   8

    Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status