Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benar
Tiga minggu kemudian....
"Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"
Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja.
"Wah, romantis banget sih kalian?"
"Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori.
"Terus, gimana?" tanya Bella.
"Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya.
"Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.
Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?"
"Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucapannya.
"Ya ampun, Ma, yang benar aja deh. Masa iya langsung jadi. Baru juga berapa minggu," jawab Kaori tak habis pikir.
Bisa nggak sih mereka jangan tanya-tanya soal itu dulu? Kaori dan Davin belum menyiapkan alasan untuk yang satu itu.
Kedua wanita itu pun tampak kecewa mendengar ucapan Kaori.
"Kurang ya honeymoon-nya? Gimana kalau Mami beliin tiket lagi ke negara mana gitu?"
Davin dan Kaori saling pandang, sebelum keduanya menjawab secara bersamaan, "Enggak!"
"Oh, enggak? Yakin?"
"Yakin!"
"Oh, okey. Ya udah kalo gitu. Pokoknya, kami tunggu kabar baik dari kalian, ya?"
"Iya, Mi."
"Pokoknya, gercep!"
"Iya, Ma." Lagi-lagi keduanya menjawab dengan kompak.
***
"Nih, baca! Terus tanda tangan." Kaori menaruh selembar kertas ke atas meja di depan Davin.
"Apaan, nih?"
"Kontrak yang harus kita tanda tangani."
"Harus apa pake beginian?" Davin mengambilnya dan mulai membacanya.
"Ini apaan lagi isinya? Nggak boleh merokok selama di rumah? Nggak boleh mencampuri urusan satu sama lain? Nggak boleh pulang malam dan wajib jaga jarak," eja Davin, begitu melihat isi kertas tersebut.
Kaori mengangguk mantap. "Iya, kenapa?"
"Ini maksudnya apaan?"
"Masa nggak ngerti juga, sih? Ya intinya, selama kita menikah, lo nggak boleh melanggar peraturan yang udah di situ."
"Nggak bisa. Lo nggak bisa ngelarang gue merokok. Ini kan rumah gue."
"Iya, gue tau. Tapi, gue nggak suka ngelihat ada orang yang ngerokok, apalagi di dalam rumah."
"Ini nggak adil sih buat gue. Kenapa peraturan ini kesannya ngeberatin gue? Nggak boleh pulang malem? Lo sendiri tau gue punya coffe shop yang buka selama dua puluh empat jam dan gue bakal pulang kapan pun gue mau pulang."
"Ya udah tidur aja di sana, ngapain harus pulang. Gitu aja repot."
Davin mendecih. "Lo tuh egois banget ya ternyata jadi cewek."
"Kenapa? Nggak suka?"
Davin memajukan wajahnya dan reaksi Kaori di luar dugaannya, cewek itu justru mendongak, menatapnya dengan pandangan menantang.
"Tiga hal yang bikin gue nggak suka dari cewek kayak lo. Pertama, lo itu kasar. Kedua, lo egois. Ketiga, lo sombong," tukas Davin sehingga Kaori membuka mulutnya, tidak percaya dengan ucapan Davin yang jelas-jelas menyentil hatinya.
"Mungkin, karena selama ini lo selalu dimanja sama orangtua lo, makanya lo merasa kalau semua orang harus mengikuti kemauan lo. Lo egois, nggak pernah mikirin perasaan orang lain. Lo sombong, merasa punya segalanya dan bisa mengatur semua orang," tutur Davin dingin dan tajam. "Lo harus buka mata lo lebar-lebar, nggak semua keinginan lo harus terpenuhi dan nggak semua orang bisa lo atur!"
Kaori membeku. Untuk kali pertama ada seseorang yang berani mengatakan hal seburuk itu padanya. Dan entah mengapa meski terdengar menyakitkan, Kaori merasa itu... benar.
Apa iya dirinya seburuk itu? Kasar? Egois? Dan... sombong?
"Kita nggak tau seburuk apa kita. Tapi, orang lain yang ngerasain hal itu. Kalo lo terus kayak gitu, gue ragu bakal ada cowok yang benar-benar mau terima lo apa adanya."
Kaori masih terdiam. Tiba-tiba dia tak mampu berkata-kata. Rasanya lidahnya kelu dan dia merasa ingin menangis.
Tidak ada orang yang pernah mengatakan hal sebanyak ini kepadanya sebelum ini....
"Pokoknya, gue nggak mau tanda tangan. Percuma. Yang jelas, gue nggak akan ikut campur urusan lo di luar sana." Davin kemudian pergi, setelah menaruh selembar kertas yang diberikan Kaori padanya tadi ke atas meja.
Kaori duduk, mengusap bulir air mata yang turun membasahi pipinya.
"Sakit hati banget gue dengernya... kenapa sih dia...." Kaori terisak-isak.
Apakah benar dia seburuk itu?
Selama ini, Kaori memang selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Kedua orangtuanya pun tak akan mampu menolak permintaannya. Mereka sangat menyayangi Kaori sehingga apa pun yang Kaori minta, berusaha mereka penuhi, kecuali satu, menolak menikah dengan Davin. Untuk yang satu itu, Kaori terpaksa mengalah memang.
Kali ini, dia mencoba mengatur hidup Davin. Tapi, belum apa-apa, cowok itu sudah menolaknya dan bahkan mengatainya egois, sombong dan kasar. Yang membuat Kaori merasa sangat sedih ialah, kenyataan yang diucapkan oleh Davin tadi, benar adanya.
Sementara itu, Davin yang berada di ruangan lain tiba-tiba merasa bersalah. Dia pun lantas berbalik dan kembali ke ruang duduk. Seperti perkiraannya, Kaori sedang menangis tersedu-sedu akibat ucapan pedasnya tadi. Dasar, baperan.
"Sori, gue nggak maksud menyinggung perasaan lo," ucap Davin, tulus.
Kaori mendongak sedikit. "Gue nggak seburuk itu kok," ucapnya. Bagaimana pun juga, dia tetap harus membela dirinya.
Davin menghela napas. "Okey."
"Gue kayak gitu juga sama lo doang," tambah Kaori lagi.
Senyum kecil tersungging di bibir Davin. Ternyata selain yang disebutnya di atas tadi, cewek itu pun punya gengsi setinggi langit. Padahal, nyatanya, dia memang begitu.
"Minta maaf," ucap Kaori kemudian.
"Oke, gue maafin," balas Davin dan tersenyum.
"Bukan gue yang minta maaf, tapi lo. Lo yang harus minta maaf ke gue."
Alis Davin terangkat. "Ha? Gimana, gimana?"
"Lo udah bikin gue sakit hati."
"Tapi, yang gue bilang itu kenyataan, kan? Lo itu... egois, kasar, dan sombong!"
Kaori berdiri dan hendak melayangkan tangannya ke arah Davin, tapi dengan sigap Davin menahannya dan memelintir tangan mulus Kaori itu ke balik punggungnya.
"Lepasin, nggak?" geram Kaori.
Davin tersenyum dan berbisik di telinga Kaori. "Bar-bar banget sih jadi cewek? Tangan selembut ini, sayang kalo dipake buat nampar orang."
Kaori mendengus. "Gue kayak gini juga sama lo doang. Asal lo tau."
"Gitu? Gimana caranya biar lo nggak gini lagi ke gue?"
"Gue benci sama lo. Dan selama perasaan itu masih ada, gue bakalan tetap kayak gini," ujar Kaori, benar-benar menunjukkan keras kepalanya.
"Okey." Davin menganggukkan kepalanya berkali-kali dan melepaskan tangan Kaori. "Gue bakal hilangin perasaan itu, cepat atau lambat," lanjutnya lantas berlalu, meninggalkan Kaori yang segera mendelik.
"Nggak bakal bisa," gumam Kaori penuh percaya diri.
***
"Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba
"Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama
Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"
Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang
****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.
DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag