Share

10. Menyakitkan tapi terasa benar

Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benar

Tiga minggu kemudian....

"Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"

Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja.

"Wah, romantis banget sih kalian?"

"Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori.

"Terus, gimana?" tanya Bella.

"Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya.

"Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.

Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?"

"Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucapannya.

"Ya ampun, Ma, yang benar aja deh. Masa iya langsung jadi. Baru juga berapa minggu," jawab Kaori tak habis pikir.

Bisa nggak sih mereka jangan tanya-tanya soal itu dulu? Kaori dan Davin belum menyiapkan alasan untuk yang satu itu.

Kedua wanita itu pun tampak kecewa mendengar ucapan Kaori.

"Kurang ya honeymoon-nya? Gimana kalau Mami beliin tiket lagi ke negara mana gitu?"

Davin dan Kaori saling pandang, sebelum keduanya menjawab secara bersamaan, "Enggak!"

"Oh, enggak? Yakin?"

"Yakin!"

"Oh, okey. Ya udah kalo gitu. Pokoknya, kami tunggu kabar baik dari kalian, ya?"

"Iya, Mi."

"Pokoknya, gercep!"

"Iya, Ma." Lagi-lagi keduanya menjawab dengan kompak.

***

"Nih, baca! Terus tanda tangan." Kaori menaruh selembar kertas ke atas meja di depan Davin.

"Apaan, nih?"

"Kontrak yang harus kita tanda tangani."

"Harus apa pake beginian?" Davin mengambilnya dan mulai membacanya.

"Ini apaan lagi isinya? Nggak boleh merokok selama di rumah? Nggak boleh mencampuri urusan satu sama lain? Nggak boleh pulang malam dan wajib jaga jarak," eja Davin, begitu melihat isi kertas tersebut.

Kaori mengangguk mantap. "Iya, kenapa?"

"Ini maksudnya apaan?"

"Masa nggak ngerti juga, sih? Ya intinya, selama kita menikah, lo nggak boleh melanggar peraturan yang udah di situ."

"Nggak bisa. Lo nggak bisa ngelarang gue merokok. Ini kan rumah gue."

"Iya, gue tau. Tapi, gue nggak suka ngelihat ada orang yang ngerokok, apalagi di dalam rumah."

"Ini nggak adil sih buat gue. Kenapa peraturan ini kesannya ngeberatin gue? Nggak boleh pulang malem? Lo sendiri tau gue punya coffe shop yang buka selama dua puluh empat jam dan gue bakal pulang kapan pun gue mau pulang."

"Ya udah tidur aja di sana, ngapain harus pulang. Gitu aja repot."

Davin mendecih. "Lo tuh egois banget ya ternyata jadi cewek."

"Kenapa? Nggak suka?"

Davin memajukan wajahnya dan reaksi Kaori di luar dugaannya, cewek itu justru mendongak, menatapnya dengan pandangan menantang.

"Tiga hal yang bikin gue nggak suka dari cewek kayak lo. Pertama, lo itu kasar. Kedua, lo egois. Ketiga, lo sombong," tukas Davin sehingga Kaori membuka mulutnya, tidak percaya dengan ucapan Davin yang jelas-jelas menyentil hatinya.

"Mungkin, karena selama ini lo selalu dimanja sama orangtua lo, makanya lo merasa kalau semua orang harus mengikuti kemauan lo. Lo egois, nggak pernah mikirin perasaan orang lain. Lo sombong, merasa punya segalanya dan bisa mengatur semua orang," tutur Davin dingin dan tajam. "Lo harus buka mata lo lebar-lebar, nggak semua keinginan lo harus terpenuhi dan nggak semua orang bisa lo atur!"

Kaori membeku. Untuk kali pertama ada seseorang yang berani mengatakan hal seburuk itu padanya. Dan entah mengapa meski terdengar menyakitkan, Kaori merasa itu... benar.

Apa iya dirinya seburuk itu? Kasar? Egois? Dan... sombong?

"Kita nggak tau seburuk apa kita. Tapi, orang lain yang ngerasain hal itu. Kalo lo terus kayak gitu, gue ragu bakal ada cowok yang benar-benar mau terima lo apa adanya."

Kaori masih terdiam. Tiba-tiba dia tak mampu berkata-kata. Rasanya lidahnya kelu dan dia merasa ingin menangis.

Tidak ada orang yang pernah mengatakan hal sebanyak ini kepadanya sebelum ini....

"Pokoknya, gue nggak mau tanda tangan. Percuma. Yang jelas, gue nggak akan ikut campur urusan lo di luar sana." Davin kemudian pergi, setelah menaruh selembar kertas yang diberikan Kaori padanya tadi ke atas meja.

Kaori duduk, mengusap bulir air mata yang turun membasahi pipinya.

"Sakit hati banget gue dengernya... kenapa sih dia...." Kaori terisak-isak.

Apakah benar dia seburuk itu?

Selama ini, Kaori memang selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Kedua orangtuanya pun tak akan mampu menolak permintaannya. Mereka sangat menyayangi Kaori sehingga apa pun yang Kaori minta, berusaha mereka penuhi, kecuali satu, menolak menikah dengan Davin. Untuk yang satu itu, Kaori terpaksa mengalah memang.

Kali ini, dia mencoba mengatur hidup Davin. Tapi, belum apa-apa, cowok itu sudah menolaknya dan bahkan mengatainya egois, sombong dan kasar. Yang membuat Kaori merasa sangat sedih ialah, kenyataan yang diucapkan oleh Davin tadi, benar adanya.

Sementara itu, Davin yang berada di ruangan lain tiba-tiba merasa bersalah. Dia pun lantas berbalik dan kembali ke ruang duduk. Seperti perkiraannya, Kaori sedang menangis tersedu-sedu akibat ucapan pedasnya tadi. Dasar, baperan.

"Sori, gue nggak maksud menyinggung perasaan lo," ucap Davin, tulus.

Kaori mendongak sedikit. "Gue nggak seburuk itu kok," ucapnya. Bagaimana pun juga, dia tetap harus membela dirinya.

Davin menghela napas. "Okey."

"Gue kayak gitu juga sama lo doang," tambah Kaori lagi.

Senyum kecil tersungging di bibir Davin. Ternyata selain yang disebutnya di atas tadi, cewek itu pun punya gengsi setinggi langit. Padahal, nyatanya, dia memang begitu.

"Minta maaf," ucap Kaori kemudian.

"Oke, gue maafin," balas Davin dan tersenyum.

"Bukan gue yang minta maaf, tapi lo. Lo yang harus minta maaf ke gue."

Alis Davin terangkat. "Ha? Gimana, gimana?"

"Lo udah bikin gue sakit hati."

"Tapi, yang gue bilang itu kenyataan, kan? Lo itu... egois, kasar, dan sombong!"

Kaori berdiri dan hendak melayangkan tangannya ke arah Davin, tapi dengan sigap Davin menahannya dan memelintir tangan mulus Kaori itu ke balik punggungnya.

"Lepasin, nggak?" geram Kaori.

Davin tersenyum dan berbisik di telinga Kaori. "Bar-bar banget sih jadi cewek? Tangan selembut ini, sayang kalo dipake buat nampar orang."

Kaori mendengus. "Gue kayak gini juga sama lo doang. Asal lo tau."

"Gitu? Gimana caranya biar lo nggak gini lagi ke gue?"

"Gue benci sama lo. Dan selama perasaan itu masih ada, gue bakalan tetap kayak gini," ujar Kaori, benar-benar menunjukkan keras kepalanya.

"Okey." Davin menganggukkan kepalanya berkali-kali dan melepaskan tangan Kaori. "Gue bakal hilangin perasaan itu, cepat atau lambat," lanjutnya lantas berlalu, meninggalkan Kaori yang segera mendelik.

"Nggak bakal bisa," gumam Kaori penuh percaya diri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status