Share

9. Tiket bulan madu

Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.

“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.

“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.

Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.

“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”

Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.

“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.

“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.

“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun ketiga di SMA yang berkomentar.

“Iya, Rel, ikut aja, yuk!” kata Disha pada Karel.

“Gue sih, ayok aja,” ucap Karel.

“Hei, hei, kalian ngomong apa, sih? Ini tuh kado spesial dari Mami buat Kak Kaori dan Mas Davin. Kalian nggak usah ikut-ikutan deh.”

“Yah, Mami.... Sesekali doang, Mi. Lagian itu banyak banget sih sampe sepuluh negara. Itu namanya mubazir tau, Mi,” tukas Disha tak terima.

“Nanti kalau kamu udah nikah, Mami juga pasti kasih tiket bulan madu juga ke sepuluh negara.”

“Idih, apaan, sih? Aku kan masih sekolah, masa Mami ngomongnya gitu.” Disha memasang wajah cemberut yang langsung ditertawai oleh Davin.

“Maaf, Mi, tapi Disha bener deh. Kayaknya kalo sepuluh negara itu, kebanyakan. Capek kan harus terbang sana, terbang sini,” sambung Kaori.

Kalau saja bulan madunya bukan dengan Davin, Kaori tidak akan menolak hadiah itu, sumpah. Bayangin deh, honeymoon ke sepuluh negara? Gratis pula! Siapa yang nggak mau? Uuuuh, Kaori pengen deeeeh. Tapi, kalau sama Davin? Idiih, ogaaaah! Sekian dan terima kasih.

“Iya, Mi, kebanyakan. Lagian aku juga banyak kerjaan besok.”

“Ya ampun kalian ini gimana, sih? Ini kan momen spesial di pernikahan kalian. Harusnya, kalian meluangkan waktu untuk jalan-jalan bareng, quality time gitu loh. Lagian, urusan kerjaan udahlah entar-entar aja. Yang penting, kalian honeymoon dulu. Okey?”

“Tapi, Mi—“

Ucapan Kaori dan Davin langsung dipotong begitu saja oleh Kintan dengan tegas. “Nggak ada tapi-tapian, ya. Mami udah beli semua tiketnya, tinggal kalian atur aja waktu kapan mau perginya. Mami rasa sebulan cukup deh buat keliling sepuluh negara.”

Kaori dan Davin saling melempar pandang. Bingung bagaimana harus menolaknya. Tapi, sepertinya keputusan itu sudah bulat, dan mau tak mau mereka memang harus menerimanya.

“Jangan ditolak dong, Kaori, Davin… itu kan hadiah dari Mami Kintan. Dia udah siapin itu dari jauh-jauh hari loh.” Bella buka suara.

Kaori memaksakan seulas senyum. “Ya udah, Kaori mau kok. Iya, kan, Dav? Kamu juga mau, kan?” tanya Kaori pada Davin yang tampak kaget dengan pertanyaan Kaori tersebut.

“Oh?” Davin terbata. “Oke, oke, aku mau. Makasih, ya, Mi, Pi….”

Kintan tersenyum puas. “Kami harap, pulang dari honeymoon, kalian bawa kabar baik buat kami semua, hehehe.”

Davin dan Kaori kembali berpandangan dan sama-sama tersenyum. Tapi, baik Kaori dan Davin sama-sama tahu apa maksud senyuman mereka itu.

*

“Gimana dong, nih? Gue nggak mau pergi,” ujar Kaori, setelah mereka berada di dalam kamar.

“Gue juga. Lo aja sana yang pergi, ajak siapa kek.”

“Ya nggak bisa dong, Dav. Gimana sih lo!"

“Terus, maunya gimana? Lo mau honeymoon sama gue? Enggak, kan? Pasti lo mendingan jadi monyet ketimbang pergi bulan madu sama gue. Pasti.”

“Ya nggak jadi monyet jugalah!” ujar Kaori sengit.

“Ya udah, gini deh. Kita refund aja tiketnya."

Kaori menganga. "HA? Entar kalo mereka tau gimana? Habislah kita."

"Ya jangan sampe taulah. Pokoknya, biar masalah ini gue yang urus."

"Yakin lo?"

"Yakin," tandas Davin.

Kaori bernapas lega. Baiklah, mungkin tidak ada salahnya dia mempercayai Davin. Toh, ini demi kebaikan mereka berdua. Kaori memang sedih kehilangan kesempatan untuk berlibur ke luar negeri, akan tetapi, rasanya tak nyaman jika harus pergi bersama Davin yang super menyebalkan itu. Bukan tidak mungkin jika Davin melakukan yang tidak-tidak padanya jika mereka berada dalam satu kamar terus-menerus. Buktinya saja, kemarin dia nekat mencium Kaori. Bisa saja kan besok-besok, dia melakukan hal yang lebih lagi?

***

Satu minggu kemudian...

Booking tiket sudah dibatalkan. Kaori dan Davin, diam-diam tinggal di Puncak, di villa pribadi milik Davin. Ponsel sengaja mereka matikan selama di sana demi menghindari telepon dari keluarga. Hanya sekali Davin menelepon dan mengatakan kalau mereka baik-baik saja dan sedang menikmati honeymoon. Untungnya saja, Kintan percaya. Davin memang sudah mengatur semuanya dengan sangat baik sehingga pembatalan tiket pesawat pun bisa diatur tanpa sepengetahuan Kintan. Davin sudah mengambil alih semua pengurusannya sebelum mereka meninggalkan Bali.

"Nyet!" Davin tiba-tiba muncul di belakang Kaori yang sedang menonton.

"Apaan?" tanya Kaori malas-malasan.

"Masakin gue mi rebus dong. Laper nih!"

"Enak aja! Lo pikir gue siapa lo suruh-suruh?"

"Istri guelah. Belajar jadi istri yang baik kenapa, sih! Kan, kalo pun entar lo punya jodoh, lo udah tau caranya ngelayani suami dengan baik dan benar."

"Itu mah gampang, nggak usah lo ajarin," ucap Kaori, seolah tak peduli dengan khotbah penting Davin.

Davin mendecih, lantas melompat ke sofa dan langsung merebahkan tubuhnya di sana, dengan kepala berada di atas paha Kaori.

"Ihhh! Ngapain sih lo?!" Kaori terkesiap, sambil menoyor-noyor kepala Davin yang ada di pahanya.

Davin menggeleng. "Nggak. Sebelum lo masakin gue mi rebus."

"Ya elah! Manja banget, sih?!"

"Bodo amat." Davin menyeringai.

"Ya ampun! Iya, iya gue masakin! Minggir dulu sana!" Kaori mendorong Davin sampai-sampai cowok itu jatuh ke karpet bulu yang ada di kaki sofa.

"Brutal banget sih jadi cewek?" ucap Davin seraya bangkit.

Kaori hanya mendelik dan pergi menuju dapur. Setibanya di dapur, dia mulai memasak mi instan untuk Davin. Davin mengamatinya, secara diam-diam tentunya. Seminggu tinggal bersama, pertengkaran pun kerap terjadi. Kaori kesal dengan kebiasaan Davin yang tidak menaruh sepatu ataupun sandal di tempatnya, begitu pun dengan handuk, dan pakaian kotor. Kebiasaannya tersebut tentu saja bertentangan dengan Kaori yang perfeksionis dan higienis.

Kaori mencintai kebersihan dan kerapihan. Itu sebabnya, dia sering mengomeli Davin kalau-kalau cowok itu membuang puntung rokoknya sembarangan, meskipun itu di halaman rumah sekali pun.

"Apa susahnya sih buang ke tong sampah doang?" tegur Kaori suatu pagi ketika dilihatnya Davin melemparkan puntung rokok ke halaman yang baru saja Kaori bersihkan.

"Mager," jawab Davin enteng.

Dan melayanglah satu buah sandal jepit ke kepala Davin. Sejak hari itu, Davin selalu membuang puntung rokoknya ke bawah meja, ataupun sekat-sekat tersembunyi yang tidak mungkin terlihat oleh Kaori jika dia tidak memeriksanya. Tapi, karena Kaori sangat jeli, Kaori selalu menemukannya dan dia akan langsung marah-marah pada Davin dan mengancam akan mengebirinya jika masih melakukan perbuatan jorok itu.

Dan sejak hari itu pula, Davin bertekad untuk memakan habis puntung rokoknya.

"Nih, habisin!" ucap Kaori, meletakkan satu mangkuk mi rebus ke atas meja di depan Davin.

"Makasih, Beb," balas Davin dengan senyum manis yang dibuat-buat.

Kaori merespons dengan mendelik sebal.

Tak disangka-sangka, terdengar suara dering ponsel dari bawah bantal di samping Kaori. Kaori mengambilnya dan betapa terkejutnya dia begitu melihat layar ponselnya.

"Mati, Dav! Mami ngajak video call!"

"HA? Mati." Davin lantas merebut ponsel milik Kaori tersebut dan melihat nama yang tertera di layarnya. "Gimana dong? Lo ngapain sih pake ngaktifin HP segala? Kan gue udah bilang, nggak usah ngidupin Hp selama kita di sini."

"Ya tadi tuh, gue lagi ini...." Kaori tampak bingung bagaimana cara menjelaskannya. Apa reaksi Davin kalau Kaori bilang dia baru saja chatting-an dengan Kafka?

"Okey, matiin aja!" Davin langsung menekan tombol merah dan lekas-lekas menonaktifkan ponsel tersebut.

Beberapa detik kemudian, setelah hening sempat menyergap, Kaori buka suara. "Lo merasa bersalah nggak sih, Dav?"

Davin menoleh menatap Kaori. "Ya jelaslah gue ngerasa bersalah. Tapi, ini juga keinginan lo, kan? Semua ini terjadi gara-gara lo. Lo yang minta gue terima perjodohan ini. Dan semua kebohongan ini, lo yang ciptakan." Davin lantas menyerahkan ponsel milik Kaori dan beranjak dari sana.

Eh? Dia marah? Cuih, baperan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status