*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.
Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya.
"Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya.
"Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.
Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya akan mempersulit keadaan mereka yang sebenarnya menikah kontrak. Jadilah Kaori mau tak mau harus menerima kenyataan kalau dia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah ini sendirian.
"Gue nggak nyuruh lo beresin kamar gue, kan? So, nggak usah ngeluh," ujar Davin, cuek.
"Gue kan lagi belajar jadi istri yang baik," balas Kaori dengan nada menyindir.
"Ya udah nggak usah banyak ngeluh. Bisa jadi suami lo besok jauh lebih berantakan daripada gue." Davin kemudian membuka lemari dan jatuhlah tumpukan bajunya dari dalam sana, bahkan selembar baju menggantung di kepalanya.
Kaori nyaris saja menyemburkan tawa, tapi berusaha ditahannya. "Gue sengaja masukin ke situ, habis gue lihat di situ berantakan, ya udah sekalian aja gue tumpuk jadi satu."
Davin menganga. "Ini tuh baju-baju yang udah di-laundry. Berantakan dari mananya?"
"Berantakan pokoknya." Seperti biasa, Kaori tidak akan mau mengalah.
Davin hanya bisa mendengus. Akhirnya dia sadar kalau versi berantakannya dan Kaori jelas jauh berbeda. Jadi ya sudahlah.
Sejenak, Davin berdiam diri, memandangi Kaori yang masih sibuk merapikan tempat tidurnya.
"Perasaan, selama sebulan ini lo di rumah terus. Nggak bosen?" tanya Davin.
Kaori menatapnya. "Gue lagi males keluar aja."
"Mau gue temenin?"
"Hah?"
"Gue nggak mau lo depresi ataupun gila karena kelamaan di rumah, jadi gue mau ngajak lo jalan-jalan. Ke mana kek. Makan atau nonton. Kalo lo mau."
Kaori tampak menimbang-nimbang. Sudah sebulan memang Kaori tidak keluar rumah, seperti ke mall, salon, ataupun ke rumah Putri, teman gibah terbaiknya. Waktunya dia habiskan untuk membereskan rumah, memasak, menonton sinetron pelakor, dan hal-hal yang ibu rumah tangga banget. Meskipun terkadang suntuk melanda sukma, rasanya Kaori tidak ingin bertemu orang-orang saat ini. Entah mengapa. Mungkin, dia hanya sedang ingin merenungi nasibnya yang malang saja.
Lagipula, Kaori sedang tidak punya uang ataupun saldo di ATM-nya. Semuanya sudah habis untuk membeli barang branded sebelum dia memutuskan untuk menikah dengan Davin. Dan Kaori juga tidak bekerja setelah lulus kuliah kemarin. Buat apa bekerja kalau semua kebutuhannya akan terpenuhi hanya dengan cara meminta kepada orangtuanya? Mereka akan memberikan apa pun yang Kaori inginkan. Itulah sebabnya, selama ini Kaori berleha-leha, menikmati hidupnya yang terasa sempurna, sebelum akhirnya berubah sejak dia menjadi seorang istri.
Kehidupan bak Putri Raja berubah dalam beberapa waktu menjadi si Upik abu. Benar-benar miris.
"Oh, iya." Davin tahu-tahu mengeluarkan sebuah kartu ATM padanya. "Kalo perlu apa-apa, lo bisa pake duit di sini. Itu punya lo."
Kaori mengangkat alis. "Apa nih maksudnya? Lo mau ngeledek gue? Mentang-mentang gue pengangguran dan nggak pernah dikasih duit jajan lagi sama orangtua gue. Gitu? Dan mentang-mentang lo punya usaha sendiri, jadi lo bisa ngerendahin gue kayak gini?"
Davin menggertakkan giginya. Kapan sih cewek ini bisa berubah? Kenapa dia selalu saja berpikiran buruk tentang apa yang dilakukan Davin? Benar-benar menyebalkan.
"Gimana pun juga, lo itu sekarang tanggung jawab gue. Apa pun kebutuhan lo, harus gue penuhi. Mulai sekarang, uang gue, uang lo juga."
Kaori tampak berpikir. Sebelum cewek itu nge-gas lagi, Davin mendahului. "Gue sama sekali nggak pernah berniat buat ngerendahin lo. Sumpah."
Kaori menatap kartu yang masih mengantung di udara itu dengan ragu. "Gue boleh beli apa aja?"
"Terserah lo. Tapi, jangan boros. Nyari duit itu nggak gampang. Oh, iya, lo nggak tau rasanya, sih." Davin tersenyum mengejek. "By the way, gue mau mandi."
Kaori mengambil kartu tersebut dengan jengkel lalu beranjak keluar kamar. Setelah menutup pintu, Kaori mendecih.
"Siapa bilang nyari duit itu susah? Gue bisa kok nyari duit. Lihat aja nanti!"
***
Kaori tahu Davin itu tampan. Tapi, untuk kali pertama, dia melihat Davin tampil berbeda dari sebelum-sebelumnya, bahkan ketika mereka duduk di pelaminan. Kaori melihat sebuah bentuk kesempurnaan di diri Davin, khususnya malam ini. Auranya, bahasa tubuhnya, membuat Davin terlihat lebih apa, ya? Manly? Ah, pokoknya cowok itu sudah mampu membuatnya tidak berkedip lebih dari tiga detik. Pakaian kasual yang Davin kenakan merupakan kesukaan Kaori, mungkin di situ letak masalahnya.
Davin tersenyum singkat ketika melihat kedatangan Kaori yang mengenakan dress berwarna hitam sebatas lutut. Rambutnya dibiarkan tergerai. Seperti biasanya, Kaori akan tampak bersinar dengan apa pun yang dikenakannya. Anting-anting mutiara yang dipakainya pun semakin menambah kesan manis di wajahnya. Mata Davin tahu-tahu berpindah pada bibir berwarna merah muda itu, dan jantungnya seketika berdebar.
Oh, sial! Davin ingat bagaimana rasanya bibir itu. Lembut dan manis. Meskipun ciuman itu dia lakukan dengan terpaksa, namun Davin masih mengingat jelas rasanya sampai detik ini.
"Kita mau ke mana?" Suara Kaori membuyarkan lamunannya.
"Ehem. Gue laper. Makan dulu aja gimana?"
"Okey."
***
"Gimana lo sama Kafka?" tanya Davin di tengah perjalanan.
"Nggak gimana-gimana," jawab Kaori sekenanya. "Gue kan juga harus jaga nama baik gue dan keluarga. Selama gue masih jadi istri lo, gue nggak mungkin macem-macem sama cowok lain."
"Bagus kalo lo bisa mikir."
"Ternyata otak gue berguna juga."
Terdengar sarkastik, namun Davin hanya menanggapinya dengan tawa kecil.
"Gue cuma mau bilang, kalo Kafka itu bukan cowok baik-baik."
Kaori mengerling. "Lo ngerasa lebih baik dari dia?"
"Enggak juga. Gue cuma ngerasa lebih ganteng dari dia."
"Nggak usah nge-judge seseorang yang bahkan lo nggak kenal."
"Nggak harus kenal, sekedar tahu aja udah cukup buat gue. Gue punya banyak temen yang kenal dan tahu siapa dia."
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja mereka sudah saling menatap satu sama lain.
Davin tersenyum samar, dan berkata, "Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."
"...."
***
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
🌺Kaori mendelik begitu melihat Davin berjalan bersisian dengan Maya, sementara dirinya berjalan di belakang keduanya. Cara Davin berinteraksi dengan Maya pun membuat Kaori sedikit agak gimanaaa gitu. Dibilang mesra sih enggak, tapi apa ya...? Kayak ada manis-manisnya gitu."Kita makan di sana aja, yuk!" Maya menunjuk salah satu tempat makan yang ada di dalam Mall.Davin mengangguk setuju. "Gimana, Ri? Mau nggak makan di sana?" tanya Davin pada Kaori."Gue sih ngikut aja."Davin tersenyum kecil. "Okey."Setelah tiba di tempat makan tersebut, Maya mengambil kursi lebih dulu, tepat di sebelah Davin. Kaori yang melihatnya hanya mendengus, dan duduk di kursi seberang mereka.Tiba-tiba, Kaori merasa menyesal dengan keputusannya untuk ikut dengan mereka. Mendingan dia di rumah, rebahan di kamar sambil nonton Drakor sampai larut
****"May, biar aku aja. Mendingan sekarang kamu pulang." Davin meraih piring kotor yang akan dibawa Maya ke tempat pencucian piring."Nggak pa-pa, biar aku aja. Kamu siap-siap aja dulu. Mau ke cafe, kan?" tolak Maya sambil tersenyum manis."Iya, tapi aku nggak enak aja. Lain kali, kalau mau ke sini, kamu bilang dulu, ya. Entar ada yang baper."Maya mengangguk. "Okey.""Sip. Aku siap-siap sebentar." Davin lantas beranjak menuju kamarnya.Pada saat Davin menanggalkan pakaiannya, Maya tahu-tahu membuka pintu kamar."May? Ngapain ke sini?" tanya Davin. Ia mengambil kemeja dan memakainya.Maya mendekat, tatapannya dalam, membuat perasaan Davin tak nyaman."Dav, kamu tau kan, aku nggak bisa kehilangan kamu?"Davin mengulum bibir, lalu berkata, "May, kita udah bicarakan ini baik-baik, kan?"