Share

11. Sebuah Janji

*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.


Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya.

"Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya.

"Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset,  dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.

Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya akan mempersulit keadaan mereka yang sebenarnya menikah kontrak. Jadilah Kaori mau tak mau harus menerima kenyataan kalau dia harus mengerjakan semua pekerjaan rumah ini sendirian.

"Gue nggak nyuruh lo beresin kamar gue, kan? So, nggak usah ngeluh," ujar Davin, cuek.

"Gue kan lagi belajar jadi istri yang baik," balas Kaori dengan nada menyindir.

"Ya udah nggak usah banyak ngeluh. Bisa jadi suami lo besok jauh lebih berantakan daripada gue." Davin kemudian membuka lemari dan jatuhlah tumpukan bajunya dari dalam sana, bahkan selembar baju menggantung di kepalanya.

Kaori nyaris saja menyemburkan tawa, tapi berusaha ditahannya. "Gue sengaja masukin ke situ, habis gue lihat di situ berantakan, ya udah sekalian aja gue tumpuk jadi satu."

Davin menganga. "Ini tuh baju-baju yang udah di-laundry. Berantakan dari mananya?"

"Berantakan pokoknya." Seperti biasa, Kaori tidak akan mau mengalah.

Davin hanya bisa mendengus. Akhirnya dia sadar kalau versi berantakannya dan Kaori jelas jauh berbeda. Jadi ya sudahlah.

Sejenak, Davin berdiam diri, memandangi Kaori yang masih sibuk merapikan tempat tidurnya.

"Perasaan, selama sebulan ini lo di rumah terus. Nggak bosen?" tanya Davin.

Kaori menatapnya. "Gue lagi males keluar aja."

"Mau gue temenin?"

"Hah?"

"Gue nggak mau lo depresi ataupun gila karena kelamaan di rumah, jadi gue mau ngajak lo jalan-jalan. Ke mana kek. Makan atau nonton. Kalo lo mau."

Kaori tampak menimbang-nimbang. Sudah sebulan memang Kaori tidak keluar rumah, seperti ke mall, salon, ataupun ke rumah Putri, teman gibah terbaiknya. Waktunya dia habiskan untuk membereskan rumah, memasak, menonton sinetron pelakor, dan hal-hal yang ibu rumah tangga banget. Meskipun terkadang suntuk melanda sukma, rasanya Kaori tidak ingin bertemu orang-orang saat ini. Entah mengapa. Mungkin, dia hanya sedang ingin merenungi nasibnya yang malang saja.

Lagipula, Kaori sedang tidak punya uang ataupun saldo di ATM-nya. Semuanya sudah habis untuk membeli barang branded sebelum dia memutuskan untuk menikah dengan Davin. Dan Kaori juga tidak bekerja setelah lulus kuliah kemarin. Buat apa bekerja kalau semua kebutuhannya akan terpenuhi hanya dengan cara meminta kepada orangtuanya? Mereka akan memberikan apa pun yang Kaori inginkan. Itulah sebabnya, selama ini Kaori berleha-leha, menikmati hidupnya yang terasa sempurna, sebelum akhirnya berubah sejak dia menjadi seorang istri.

Kehidupan bak Putri Raja berubah dalam beberapa waktu menjadi si Upik abu. Benar-benar miris.

"Oh, iya." Davin tahu-tahu mengeluarkan sebuah kartu ATM padanya. "Kalo perlu apa-apa, lo bisa pake duit di sini. Itu punya lo."

Kaori mengangkat alis. "Apa nih maksudnya? Lo mau ngeledek gue? Mentang-mentang gue pengangguran dan nggak pernah dikasih duit jajan lagi sama orangtua gue. Gitu? Dan mentang-mentang lo punya usaha sendiri, jadi lo bisa ngerendahin gue kayak gini?"

Davin menggertakkan giginya. Kapan sih cewek ini bisa berubah? Kenapa dia selalu saja berpikiran buruk tentang apa yang dilakukan Davin? Benar-benar menyebalkan.

"Gimana pun juga, lo itu sekarang tanggung jawab gue. Apa pun kebutuhan lo, harus gue penuhi. Mulai sekarang, uang gue, uang lo juga."

Kaori tampak berpikir. Sebelum cewek itu nge-gas lagi, Davin mendahului. "Gue sama sekali nggak pernah berniat buat ngerendahin lo. Sumpah."

Kaori menatap kartu yang masih mengantung di udara itu dengan ragu. "Gue boleh beli apa aja?"

"Terserah lo. Tapi, jangan boros. Nyari duit itu nggak gampang. Oh, iya, lo nggak tau rasanya, sih." Davin tersenyum mengejek. "By the way, gue mau mandi."

Kaori mengambil kartu tersebut dengan jengkel lalu beranjak keluar kamar. Setelah menutup pintu, Kaori mendecih.

"Siapa bilang nyari duit itu susah? Gue bisa kok nyari duit. Lihat aja nanti!"

***

Kaori tahu Davin itu tampan. Tapi, untuk kali pertama, dia melihat Davin tampil berbeda dari sebelum-sebelumnya, bahkan ketika mereka duduk di pelaminan. Kaori melihat sebuah bentuk kesempurnaan di diri Davin, khususnya malam ini. Auranya, bahasa tubuhnya, membuat Davin terlihat lebih apa, ya? Manly? Ah, pokoknya cowok itu sudah mampu membuatnya tidak berkedip lebih dari tiga detik. Pakaian kasual yang  Davin kenakan merupakan kesukaan Kaori, mungkin di situ letak masalahnya.

Davin tersenyum singkat ketika melihat kedatangan Kaori yang mengenakan dress berwarna hitam sebatas lutut. Rambutnya dibiarkan tergerai. Seperti biasanya, Kaori akan tampak bersinar dengan apa pun yang dikenakannya. Anting-anting mutiara yang dipakainya pun semakin menambah kesan manis di wajahnya. Mata Davin tahu-tahu berpindah pada bibir berwarna merah muda itu, dan jantungnya seketika berdebar.

Oh, sial! Davin ingat bagaimana rasanya bibir itu. Lembut dan manis. Meskipun ciuman itu dia lakukan dengan terpaksa, namun Davin masih mengingat jelas rasanya sampai detik ini.

"Kita mau ke mana?" Suara Kaori membuyarkan lamunannya.

"Ehem. Gue laper. Makan dulu aja gimana?"

"Okey."

***

"Gimana lo sama Kafka?" tanya Davin di tengah perjalanan.

"Nggak gimana-gimana," jawab Kaori sekenanya. "Gue kan juga harus jaga nama baik gue dan keluarga. Selama gue masih jadi istri lo, gue nggak mungkin macem-macem sama cowok lain."

"Bagus kalo lo bisa mikir."

"Ternyata otak gue berguna juga."

Terdengar sarkastik, namun Davin hanya menanggapinya dengan tawa kecil.

"Gue cuma mau bilang, kalo Kafka itu bukan cowok baik-baik."

Kaori mengerling. "Lo ngerasa lebih baik dari dia?"

"Enggak juga. Gue cuma ngerasa lebih ganteng dari dia."

"Nggak usah nge-judge seseorang yang bahkan lo nggak kenal."

"Nggak harus kenal, sekedar tahu aja udah cukup buat gue. Gue punya banyak temen yang kenal dan tahu siapa dia."

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja mereka sudah saling menatap satu sama lain.

Davin tersenyum samar, dan berkata, "Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."

"...."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status