Share

12. Dinner

"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."

Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?

"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut.

"Ini bukannya coffee shop punya lo?"

Davin mengangguk. "Iya."

"Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.

Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai sebagai mesin penyimpanan uang. Meja-meja dan kursinya terbuat dari kayu jati dan dihias sedemikian rupa. Belum lagi di setiap meja ada akuarium mini yang berisi ikan-ikan kecil nan imut dan cantik.

Ini kali pertama Kaori menginjakkan kakinya ke sini. Dia hanya tahu Davin punya usaha coffee shop, tapi tidak tahu di mana lokasinya. Padahal tempat ini sering disebut-sebut sewaktu di kampus dulu. Gengsilah yang membuat Kaori ogah datang ke sini.

"Di sini gratis," tandas Davin acuh tak acuh.

"Bilang aja pelit."

"Terserah." Davin kemudian menggiring Kaori menaiki lantai dua. Tempat itu terlihat lebih privat. Konsepnya masih sama seperti yang di lantai bawah. Hanya saja, ruangan ini lebih terkesan romantis.

Davin berhenti di depan sebuah akuarium besar. Dia melirik Kaori sekilas yang tampak terpukau melihat pemandangan bawah laut yang ada di akuarium berukuran 2 meter tersebut. Bermacam-macam jenis ikan hias ada di dalamnya.

Kaori menyentuh kaca akuarium dan tanpa sadar tersenyum.

"Lo suka?"

Untuk pertama kalinya, Kaori tersenyum tulus padanya. "Hm-mm. Ini keren banget."

Davin balas tersenyum. Ia kemudian beranjak, mengangkat sebuah meja dan menaruhnya tepat di depan akuarium. Setelahnya, dia mengambil dua buah kursi.

"Duduk," ujarnya.

Kaori mengangguk lalu duduk di kursi kayu tersebut. Selagi Kaori sibuk melihat-lihat ikan, Davin menelepon salah seorang karyawannya untuk mengantarkan menu spesial ke meja mereka.

"By the way, gue mau minta maaf sekali lagi soal ucapan gue yang tadi sore." Davin membuka suara.

Kaori meliriknya sekilas. "Oh, okey. Tapi, makasih, gara-gara itu, gue jadi pengen kerja."

"Ha?"

"Iya, gue pengen kerja, cari duit sendiri."

Davin mengerjap. "Apa yang gue kasih ke elo itu nggak cukup? Saldo di ATM itu bisa lo pake buat beli mobil, asal lo tau."

Kaori mendengkus. Lihat siapa yang tersinggung sekarang?

"Gue pengen tau rasanya nyari duit sendiri. Soalnya, selama ini, semua kebutuhan gue ada karena gue minta-minta sama orangtua gue."

Davin menelan ludah. Apa perkataannya tadi benar-benar sudah menyinggung perasaan Kaori?

"Lupain apa yang pernah gue bilang. Lo nggak perlu kerja. Lo nggak akan bisa. Hm, maksud gue, lo nggak tau susahnya—"

"Gue bisa!" potong Kaori sengit.

"Okey, lo mau kerja apa?"

"Belum tau. Gue pengen yang ringan-ringan aja. Kayak makan dibayar, jalan-jalan dibayar, atau jadi penonton bayaran juga nggak apa-apa, yang penting nggak capek."

Davin tertawa mendengus. "Yang benar aja deh. Lo tuh," Davin menghela napas, "lo harus merasakan capek dulu untuk bisa menghargai waktu dan usaha. Karena tanpa adanya rasa lelah, perjuangan untuk menjadi sesuatu itu nggak bakal berarti."

Kaori tersenyum mengejek. "Tempat ini juga nggak bakalan ada tanpa bantuan orangtua lo, kan?"

"Salah! Tempat ini gue rintis dari bawah. Dari nol. Sendirian." Davin tampak serius ketika menjelaskan, "hampir sepuluh kali gue bangkrut karena peminat coffee shop gue sedikit. Gue pindah ke tempat yang lain, mencari peluang, tapi tetap aja, rejeki sudah ada yang atur. Gue tawarin kopi buatan gue ke temen-temen   dan orang-orang secara online, dan alhamdulillah usaha gue lancar. Itu juga nggak lama. Selalu ada aja jalan yang bikin gue terpuruk.

"Gue hampir menyerah, tapi gue tahu gue masih bisa usaha. Karena usaha itu nggak akan mengkhianati hasil. Dan tempat inilah, hasil dari kerja keras dan doa gue. Gue bisa menghidupi diri gue sendiri dan beli apa aja yang gue mau tanpa harus ngebebanin orangtua gue."

"Bukan beban, itu kewajiban mereka." Kaori masih tak mau kalah. Tapi, alih-alih mengajak Davin adu bacot, Kaori berkata, "Tapi, gue salut sih sama lo. Sukses di usia muda. Good job."

Kaori mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Sejenak dia mengenyampingkan rasa bencinya pada lelaki itu. Padahal, dengan uang orangtuanya, Davin bisa memiliki apa pun yang dia mau. Akan tetapi, dia justru memilih berdiri sendiri, menantang dunia.

Kaori bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Seketika, Kaori merasa malu pada dirinya. Dia selalu membanggakan apa yang dia punya dengan semua orang. Semua yang pada kenyataannya adalah pemberian orangtuanya, bukan dari hasil jerih payahnya. Tekadnya pun kian bulat untuk mencari kerja. Kaori ingin keluar dari zona nyamannya, mencoba mandiri.

"Jadi, sekarang, lo akui gue keren, nih?" canda Davin yang segera dibalas Kaori dengan mendengus malas.

"Bukan lo-nya yang keren. Tapi, kerja keras lo."

"Ngeles."

"Terserah deh."

"Permisi, selamat malam." Seorang wanita muda datang seraya membawa pesanan Davin tadi di telepon.

"Thanks, Dewi. Oh, ya, tadi ada nyariin saya nggak?" ucap Davin ramah.

Dewi mengangguk. "Ada, Mas. Mbak Maya." Sesaat diliriknya Kaori yang juga meliriknya, sebelum akhirnya mundur dan beranjak dari sana.

"Maya siapa? Pacar lo yang mana?" Kaori langsung melontarkan pertanyaannya dengan nada sinis.

Davin menatap Kaori, kemudian menjawab, "Maya Inggrid. Temen SMA dulu."

Dahi Kaori mengernyit, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. Sebuah visualisasi instan seorang perempuan berkepang dua dengan gigi kelinci tahu-tahu terbayang olehnya.

"Maya temen sebangku gue?"

"Iya. Masih ingat?"

"Bukannya dia selama ini di Thailand, ya?"

"Udah lama balik, sekitar setahun yang lalu. Sekarang kerja di perusahaan apa gitu, nggak ngerti."

"Kok dia nggak bilang-bilang gue kalo mau balik?"

"Mana gue tau."

"Terus, dia ngapain nyariin lo?"

"Mana gue tau."

Kaori mendecih. Davin ini apaan, sih? Kok nggak jelas gini. Dan itu si Maya kenapa coba, balik Indonesia nggak kasih kabar. Padahal, mereka kan teman dekat waktu SMA dulu. Pernah berbagi rasa bersama, suka dan duka. Bahkan, Kaori menjadikan Maya sebagai orang yang paling tahu segala hal tentangnya, termasuk rahasianya. Kaori juga sempat menangis ketika Maya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Karena pada saat itu, cuma Maya temannya yang benar-benar tulus. Dan betapa merasa kehilangannya Kaori ketika Maya pergi. 

Sejak itu, mereka memang tidak pernah bertemu, bertukar kabar pun jarang. Dan Davin bilang dia sudah setahun pulang ke sini? Yang benar saja.  Masa iya dia nggak ingat Kaori sama sekali, sih?

"Kalian, lagi deket?" Akhirnya, Kaori tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Davin berhenti mengaduk cappucino-nya, menatap sepasang mata yang berpendar itu. Dia terlihat sangat menawan ketika terkena cahaya lampu dari akuarium di depannya.

"Dia salah satu pacar gue, sebenarnya. Tapi, dulu, sebelum gue nikah sama lo."

"Ha?"

Bukannya dulu waktu SMA, Maya paling benci dengan Davin? Bahkan, pada saat Maya tahu Kaori pernah naksir cowok itu, Maya langsung menghalang-halangi. Karena menurutnya, Davin itu nggak banget. Tapi, sekarang...?

Lima tahun tidak bertemu, sepertinya ada banyak cerita tentang Maya yang tidak Kaori tahu.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status