"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."
Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?
"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut.
"Ini bukannya coffee shop punya lo?"
Davin mengangguk. "Iya."
"Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.
Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai sebagai mesin penyimpanan uang. Meja-meja dan kursinya terbuat dari kayu jati dan dihias sedemikian rupa. Belum lagi di setiap meja ada akuarium mini yang berisi ikan-ikan kecil nan imut dan cantik.
Ini kali pertama Kaori menginjakkan kakinya ke sini. Dia hanya tahu Davin punya usaha coffee shop, tapi tidak tahu di mana lokasinya. Padahal tempat ini sering disebut-sebut sewaktu di kampus dulu. Gengsilah yang membuat Kaori ogah datang ke sini.
"Di sini gratis," tandas Davin acuh tak acuh.
"Bilang aja pelit."
"Terserah." Davin kemudian menggiring Kaori menaiki lantai dua. Tempat itu terlihat lebih privat. Konsepnya masih sama seperti yang di lantai bawah. Hanya saja, ruangan ini lebih terkesan romantis.
Davin berhenti di depan sebuah akuarium besar. Dia melirik Kaori sekilas yang tampak terpukau melihat pemandangan bawah laut yang ada di akuarium berukuran 2 meter tersebut. Bermacam-macam jenis ikan hias ada di dalamnya.
Kaori menyentuh kaca akuarium dan tanpa sadar tersenyum.
"Lo suka?"
Untuk pertama kalinya, Kaori tersenyum tulus padanya. "Hm-mm. Ini keren banget."
Davin balas tersenyum. Ia kemudian beranjak, mengangkat sebuah meja dan menaruhnya tepat di depan akuarium. Setelahnya, dia mengambil dua buah kursi.
"Duduk," ujarnya.
Kaori mengangguk lalu duduk di kursi kayu tersebut. Selagi Kaori sibuk melihat-lihat ikan, Davin menelepon salah seorang karyawannya untuk mengantarkan menu spesial ke meja mereka.
"By the way, gue mau minta maaf sekali lagi soal ucapan gue yang tadi sore." Davin membuka suara.
Kaori meliriknya sekilas. "Oh, okey. Tapi, makasih, gara-gara itu, gue jadi pengen kerja."
"Ha?"
"Iya, gue pengen kerja, cari duit sendiri."
Davin mengerjap. "Apa yang gue kasih ke elo itu nggak cukup? Saldo di ATM itu bisa lo pake buat beli mobil, asal lo tau."
Kaori mendengkus. Lihat siapa yang tersinggung sekarang?
"Gue pengen tau rasanya nyari duit sendiri. Soalnya, selama ini, semua kebutuhan gue ada karena gue minta-minta sama orangtua gue."
Davin menelan ludah. Apa perkataannya tadi benar-benar sudah menyinggung perasaan Kaori?
"Lupain apa yang pernah gue bilang. Lo nggak perlu kerja. Lo nggak akan bisa. Hm, maksud gue, lo nggak tau susahnya—"
"Gue bisa!" potong Kaori sengit.
"Okey, lo mau kerja apa?"
"Belum tau. Gue pengen yang ringan-ringan aja. Kayak makan dibayar, jalan-jalan dibayar, atau jadi penonton bayaran juga nggak apa-apa, yang penting nggak capek."
Davin tertawa mendengus. "Yang benar aja deh. Lo tuh," Davin menghela napas, "lo harus merasakan capek dulu untuk bisa menghargai waktu dan usaha. Karena tanpa adanya rasa lelah, perjuangan untuk menjadi sesuatu itu nggak bakal berarti."
Kaori tersenyum mengejek. "Tempat ini juga nggak bakalan ada tanpa bantuan orangtua lo, kan?"
"Salah! Tempat ini gue rintis dari bawah. Dari nol. Sendirian." Davin tampak serius ketika menjelaskan, "hampir sepuluh kali gue bangkrut karena peminat coffee shop gue sedikit. Gue pindah ke tempat yang lain, mencari peluang, tapi tetap aja, rejeki sudah ada yang atur. Gue tawarin kopi buatan gue ke temen-temen dan orang-orang secara online, dan alhamdulillah usaha gue lancar. Itu juga nggak lama. Selalu ada aja jalan yang bikin gue terpuruk.
"Gue hampir menyerah, tapi gue tahu gue masih bisa usaha. Karena usaha itu nggak akan mengkhianati hasil. Dan tempat inilah, hasil dari kerja keras dan doa gue. Gue bisa menghidupi diri gue sendiri dan beli apa aja yang gue mau tanpa harus ngebebanin orangtua gue."
"Bukan beban, itu kewajiban mereka." Kaori masih tak mau kalah. Tapi, alih-alih mengajak Davin adu bacot, Kaori berkata, "Tapi, gue salut sih sama lo. Sukses di usia muda. Good job."
Kaori mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Sejenak dia mengenyampingkan rasa bencinya pada lelaki itu. Padahal, dengan uang orangtuanya, Davin bisa memiliki apa pun yang dia mau. Akan tetapi, dia justru memilih berdiri sendiri, menantang dunia.
Kaori bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Seketika, Kaori merasa malu pada dirinya. Dia selalu membanggakan apa yang dia punya dengan semua orang. Semua yang pada kenyataannya adalah pemberian orangtuanya, bukan dari hasil jerih payahnya. Tekadnya pun kian bulat untuk mencari kerja. Kaori ingin keluar dari zona nyamannya, mencoba mandiri.
"Jadi, sekarang, lo akui gue keren, nih?" canda Davin yang segera dibalas Kaori dengan mendengus malas.
"Bukan lo-nya yang keren. Tapi, kerja keras lo."
"Ngeles."
"Terserah deh."
"Permisi, selamat malam." Seorang wanita muda datang seraya membawa pesanan Davin tadi di telepon.
"Thanks, Dewi. Oh, ya, tadi ada nyariin saya nggak?" ucap Davin ramah.
Dewi mengangguk. "Ada, Mas. Mbak Maya." Sesaat diliriknya Kaori yang juga meliriknya, sebelum akhirnya mundur dan beranjak dari sana.
"Maya siapa? Pacar lo yang mana?" Kaori langsung melontarkan pertanyaannya dengan nada sinis.
Davin menatap Kaori, kemudian menjawab, "Maya Inggrid. Temen SMA dulu."
Dahi Kaori mengernyit, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. Sebuah visualisasi instan seorang perempuan berkepang dua dengan gigi kelinci tahu-tahu terbayang olehnya.
"Maya temen sebangku gue?"
"Iya. Masih ingat?"
"Bukannya dia selama ini di Thailand, ya?"
"Udah lama balik, sekitar setahun yang lalu. Sekarang kerja di perusahaan apa gitu, nggak ngerti."
"Kok dia nggak bilang-bilang gue kalo mau balik?"
"Mana gue tau."
"Terus, dia ngapain nyariin lo?"
"Mana gue tau."
Kaori mendecih. Davin ini apaan, sih? Kok nggak jelas gini. Dan itu si Maya kenapa coba, balik Indonesia nggak kasih kabar. Padahal, mereka kan teman dekat waktu SMA dulu. Pernah berbagi rasa bersama, suka dan duka. Bahkan, Kaori menjadikan Maya sebagai orang yang paling tahu segala hal tentangnya, termasuk rahasianya. Kaori juga sempat menangis ketika Maya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Karena pada saat itu, cuma Maya temannya yang benar-benar tulus. Dan betapa merasa kehilangannya Kaori ketika Maya pergi.
Sejak itu, mereka memang tidak pernah bertemu, bertukar kabar pun jarang. Dan Davin bilang dia sudah setahun pulang ke sini? Yang benar saja. Masa iya dia nggak ingat Kaori sama sekali, sih?
"Kalian, lagi deket?" Akhirnya, Kaori tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Davin berhenti mengaduk cappucino-nya, menatap sepasang mata yang berpendar itu. Dia terlihat sangat menawan ketika terkena cahaya lampu dari akuarium di depannya.
"Dia salah satu pacar gue, sebenarnya. Tapi, dulu, sebelum gue nikah sama lo."
"Ha?"
Bukannya dulu waktu SMA, Maya paling benci dengan Davin? Bahkan, pada saat Maya tahu Kaori pernah naksir cowok itu, Maya langsung menghalang-halangi. Karena menurutnya, Davin itu nggak banget. Tapi, sekarang...?
Lima tahun tidak bertemu, sepertinya ada banyak cerita tentang Maya yang tidak Kaori tahu.
****
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.
Kaori masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil. Tumben, jam segini Davin sudah di rumah, biasanya juga pulangnya jam enam sore, atau kalau lagi sibuk-sibuknya, dia akan pulang larut malam. Mobilnya masih parkir di halaman, itu sebabnya Kaori bertanya-tanya.Ketika melewati jendela panjang transparan yang menjadi dinding pembatas dengan kolam renang, langkah Kaori berhenti. Dia memutar kepalanya ke arah sama, lantaran melihat Davin sedang berenang dan ditemani oleh seorang wanita berkulit putih yang duduk di pinggir kolam.Kaori mulai bertanya-tanya, siapakah orang itu?Perlahan, Kaori melangkahkan kakinya ke sana, lalu berseru, "Hai."Davin yang berhenti di pinggir kolam menoleh dan melambaikan tangan. "Oi!"Kaori lantas menoleh menatap perempuan yang juga sedang menatapnya itu. Kaori memperhatikannya dengan seksama. Seperti kenal..."Hai, Ri. Apa kabar?"
🌺Kaori mendelik begitu melihat Davin berjalan bersisian dengan Maya, sementara dirinya berjalan di belakang keduanya. Cara Davin berinteraksi dengan Maya pun membuat Kaori sedikit agak gimanaaa gitu. Dibilang mesra sih enggak, tapi apa ya...? Kayak ada manis-manisnya gitu."Kita makan di sana aja, yuk!" Maya menunjuk salah satu tempat makan yang ada di dalam Mall.Davin mengangguk setuju. "Gimana, Ri? Mau nggak makan di sana?" tanya Davin pada Kaori."Gue sih ngikut aja."Davin tersenyum kecil. "Okey."Setelah tiba di tempat makan tersebut, Maya mengambil kursi lebih dulu, tepat di sebelah Davin. Kaori yang melihatnya hanya mendengus, dan duduk di kursi seberang mereka.Tiba-tiba, Kaori merasa menyesal dengan keputusannya untuk ikut dengan mereka. Mendingan dia di rumah, rebahan di kamar sambil nonton Drakor sampai larut
****"May, biar aku aja. Mendingan sekarang kamu pulang." Davin meraih piring kotor yang akan dibawa Maya ke tempat pencucian piring."Nggak pa-pa, biar aku aja. Kamu siap-siap aja dulu. Mau ke cafe, kan?" tolak Maya sambil tersenyum manis."Iya, tapi aku nggak enak aja. Lain kali, kalau mau ke sini, kamu bilang dulu, ya. Entar ada yang baper."Maya mengangguk. "Okey.""Sip. Aku siap-siap sebentar." Davin lantas beranjak menuju kamarnya.Pada saat Davin menanggalkan pakaiannya, Maya tahu-tahu membuka pintu kamar."May? Ngapain ke sini?" tanya Davin. Ia mengambil kemeja dan memakainya.Maya mendekat, tatapannya dalam, membuat perasaan Davin tak nyaman."Dav, kamu tau kan, aku nggak bisa kehilangan kamu?"Davin mengulum bibir, lalu berkata, "May, kita udah bicarakan ini baik-baik, kan?"
Halo, apa kabar? 🤭🤭🤭****"Ri, lo lihat sepatu futsal gue nggak?" Davin bertanya sambil berjalan menuju ruang keluarga, di mana beberapa menit yang lalu dia melihat Kaori sedang menonton di sana."Lah? Malah tidur...." Davin mendekati Kaori yang tengah tertidur pulas di atas sofa. "Tumben jam segini udah tepar? Biasanya juga masih gentayangan tengah malam."Davin melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan malam. Sebenarnya dia ada janji untuk main futsal dengan teman-temannya malam ini. Namun melihat Kaori tidur sekarang, membuatnya enggan meninggalkan Kaori sendirian di rumah."Oi, bangun! Tidur itu di kamar," ucap Davin, berniat membangunkan Kaori untuk menyuruhnya pindah ke kamar dan mengunci pintunya. Dengan begitu, Davin tidak akan begitu khawatir meninggalkannya sendirian.Tapi, tubuh itu tidak bergerak."Ri, gue mau keluar sebentar. Lo