Share

12. Dinner

Author: Pandanello
last update Last Updated: 2021-05-11 13:50:50

"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."

Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?

"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut.

"Ini bukannya coffee shop punya lo?"

Davin mengangguk. "Iya."

"Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.

Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai sebagai mesin penyimpanan uang. Meja-meja dan kursinya terbuat dari kayu jati dan dihias sedemikian rupa. Belum lagi di setiap meja ada akuarium mini yang berisi ikan-ikan kecil nan imut dan cantik.

Ini kali pertama Kaori menginjakkan kakinya ke sini. Dia hanya tahu Davin punya usaha coffee shop, tapi tidak tahu di mana lokasinya. Padahal tempat ini sering disebut-sebut sewaktu di kampus dulu. Gengsilah yang membuat Kaori ogah datang ke sini.

"Di sini gratis," tandas Davin acuh tak acuh.

"Bilang aja pelit."

"Terserah." Davin kemudian menggiring Kaori menaiki lantai dua. Tempat itu terlihat lebih privat. Konsepnya masih sama seperti yang di lantai bawah. Hanya saja, ruangan ini lebih terkesan romantis.

Davin berhenti di depan sebuah akuarium besar. Dia melirik Kaori sekilas yang tampak terpukau melihat pemandangan bawah laut yang ada di akuarium berukuran 2 meter tersebut. Bermacam-macam jenis ikan hias ada di dalamnya.

Kaori menyentuh kaca akuarium dan tanpa sadar tersenyum.

"Lo suka?"

Untuk pertama kalinya, Kaori tersenyum tulus padanya. "Hm-mm. Ini keren banget."

Davin balas tersenyum. Ia kemudian beranjak, mengangkat sebuah meja dan menaruhnya tepat di depan akuarium. Setelahnya, dia mengambil dua buah kursi.

"Duduk," ujarnya.

Kaori mengangguk lalu duduk di kursi kayu tersebut. Selagi Kaori sibuk melihat-lihat ikan, Davin menelepon salah seorang karyawannya untuk mengantarkan menu spesial ke meja mereka.

"By the way, gue mau minta maaf sekali lagi soal ucapan gue yang tadi sore." Davin membuka suara.

Kaori meliriknya sekilas. "Oh, okey. Tapi, makasih, gara-gara itu, gue jadi pengen kerja."

"Ha?"

"Iya, gue pengen kerja, cari duit sendiri."

Davin mengerjap. "Apa yang gue kasih ke elo itu nggak cukup? Saldo di ATM itu bisa lo pake buat beli mobil, asal lo tau."

Kaori mendengkus. Lihat siapa yang tersinggung sekarang?

"Gue pengen tau rasanya nyari duit sendiri. Soalnya, selama ini, semua kebutuhan gue ada karena gue minta-minta sama orangtua gue."

Davin menelan ludah. Apa perkataannya tadi benar-benar sudah menyinggung perasaan Kaori?

"Lupain apa yang pernah gue bilang. Lo nggak perlu kerja. Lo nggak akan bisa. Hm, maksud gue, lo nggak tau susahnya—"

"Gue bisa!" potong Kaori sengit.

"Okey, lo mau kerja apa?"

"Belum tau. Gue pengen yang ringan-ringan aja. Kayak makan dibayar, jalan-jalan dibayar, atau jadi penonton bayaran juga nggak apa-apa, yang penting nggak capek."

Davin tertawa mendengus. "Yang benar aja deh. Lo tuh," Davin menghela napas, "lo harus merasakan capek dulu untuk bisa menghargai waktu dan usaha. Karena tanpa adanya rasa lelah, perjuangan untuk menjadi sesuatu itu nggak bakal berarti."

Kaori tersenyum mengejek. "Tempat ini juga nggak bakalan ada tanpa bantuan orangtua lo, kan?"

"Salah! Tempat ini gue rintis dari bawah. Dari nol. Sendirian." Davin tampak serius ketika menjelaskan, "hampir sepuluh kali gue bangkrut karena peminat coffee shop gue sedikit. Gue pindah ke tempat yang lain, mencari peluang, tapi tetap aja, rejeki sudah ada yang atur. Gue tawarin kopi buatan gue ke temen-temen   dan orang-orang secara online, dan alhamdulillah usaha gue lancar. Itu juga nggak lama. Selalu ada aja jalan yang bikin gue terpuruk.

"Gue hampir menyerah, tapi gue tahu gue masih bisa usaha. Karena usaha itu nggak akan mengkhianati hasil. Dan tempat inilah, hasil dari kerja keras dan doa gue. Gue bisa menghidupi diri gue sendiri dan beli apa aja yang gue mau tanpa harus ngebebanin orangtua gue."

"Bukan beban, itu kewajiban mereka." Kaori masih tak mau kalah. Tapi, alih-alih mengajak Davin adu bacot, Kaori berkata, "Tapi, gue salut sih sama lo. Sukses di usia muda. Good job."

Kaori mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Sejenak dia mengenyampingkan rasa bencinya pada lelaki itu. Padahal, dengan uang orangtuanya, Davin bisa memiliki apa pun yang dia mau. Akan tetapi, dia justru memilih berdiri sendiri, menantang dunia.

Kaori bukan apa-apa dibandingkan dirinya. Seketika, Kaori merasa malu pada dirinya. Dia selalu membanggakan apa yang dia punya dengan semua orang. Semua yang pada kenyataannya adalah pemberian orangtuanya, bukan dari hasil jerih payahnya. Tekadnya pun kian bulat untuk mencari kerja. Kaori ingin keluar dari zona nyamannya, mencoba mandiri.

"Jadi, sekarang, lo akui gue keren, nih?" canda Davin yang segera dibalas Kaori dengan mendengus malas.

"Bukan lo-nya yang keren. Tapi, kerja keras lo."

"Ngeles."

"Terserah deh."

"Permisi, selamat malam." Seorang wanita muda datang seraya membawa pesanan Davin tadi di telepon.

"Thanks, Dewi. Oh, ya, tadi ada nyariin saya nggak?" ucap Davin ramah.

Dewi mengangguk. "Ada, Mas. Mbak Maya." Sesaat diliriknya Kaori yang juga meliriknya, sebelum akhirnya mundur dan beranjak dari sana.

"Maya siapa? Pacar lo yang mana?" Kaori langsung melontarkan pertanyaannya dengan nada sinis.

Davin menatap Kaori, kemudian menjawab, "Maya Inggrid. Temen SMA dulu."

Dahi Kaori mengernyit, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. Sebuah visualisasi instan seorang perempuan berkepang dua dengan gigi kelinci tahu-tahu terbayang olehnya.

"Maya temen sebangku gue?"

"Iya. Masih ingat?"

"Bukannya dia selama ini di Thailand, ya?"

"Udah lama balik, sekitar setahun yang lalu. Sekarang kerja di perusahaan apa gitu, nggak ngerti."

"Kok dia nggak bilang-bilang gue kalo mau balik?"

"Mana gue tau."

"Terus, dia ngapain nyariin lo?"

"Mana gue tau."

Kaori mendecih. Davin ini apaan, sih? Kok nggak jelas gini. Dan itu si Maya kenapa coba, balik Indonesia nggak kasih kabar. Padahal, mereka kan teman dekat waktu SMA dulu. Pernah berbagi rasa bersama, suka dan duka. Bahkan, Kaori menjadikan Maya sebagai orang yang paling tahu segala hal tentangnya, termasuk rahasianya. Kaori juga sempat menangis ketika Maya memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Karena pada saat itu, cuma Maya temannya yang benar-benar tulus. Dan betapa merasa kehilangannya Kaori ketika Maya pergi. 

Sejak itu, mereka memang tidak pernah bertemu, bertukar kabar pun jarang. Dan Davin bilang dia sudah setahun pulang ke sini? Yang benar saja.  Masa iya dia nggak ingat Kaori sama sekali, sih?

"Kalian, lagi deket?" Akhirnya, Kaori tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Davin berhenti mengaduk cappucino-nya, menatap sepasang mata yang berpendar itu. Dia terlihat sangat menawan ketika terkena cahaya lampu dari akuarium di depannya.

"Dia salah satu pacar gue, sebenarnya. Tapi, dulu, sebelum gue nikah sama lo."

"Ha?"

Bukannya dulu waktu SMA, Maya paling benci dengan Davin? Bahkan, pada saat Maya tahu Kaori pernah naksir cowok itu, Maya langsung menghalang-halangi. Karena menurutnya, Davin itu nggak banget. Tapi, sekarang...?

Lima tahun tidak bertemu, sepertinya ada banyak cerita tentang Maya yang tidak Kaori tahu.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah dengan Musuh   40. Rujuk

    "Berapa kali gue bilang, jangan bawa sepatu ke dalam kamar!" Davin yang pagi menjelang siang itu masih berada di atas ranjang, perlahan membuka matanya karena samar-samar mendengar ada suara. Suara milik seseorang yang belakangan ini membuatnya sulit makan dan tidur. Seseorang yang dia rindukan siang dan malam. Dan satu-satunya orang yang mampu memporak-porandakan hatinya. "Itu juga isi lemari berantakan banget! Kalo ngambil apa-apa itu ditarik, jangan diangkat!" Suara itu terdengar semakin nyata. Davin sontak terduduk, kemudian melihat sekitar. Tepat di depan lemari pakaiannya, Kaori berdiri menghadapnya dengan bertolak pinggang. "Rumah berantakan! Sampah-sampah makanan berserakan! Bukannya dibersihin malah dibiarin!" Davin mengerjapkan matanya. Itu.... Kaori? "Habis pake handuk itu, digantung di tempatnya. Masa yang gitu-gitu harus diingetin mulu, sih?" Sesaat Davin terpelongo, mengucek mata berkali-kali lalu dengan tiba-tiba

  • Menikah dengan Musuh   39. Setelah talak

    "Ri.... Kamu kenapa? Mama perhatikan sudah seminggu ini kamu di kamar aja. Nggak mau keluar gitu jalan-jalan? Shopping, yuk, sama Mama?" bujuk Bella.Sudah seminggu Kaori terlihat murung. Dia lebih suka mengurung diri di dalam kamarnya sejak dia dan Davin bercerai. Hal itu tentu saja membuat Bella merasa khawatir, dia takut kalau lama-lama dibiarkan anaknya itu malah jadinya stres lantaran terlalu larut dalam kesedihan. Belum lagi Kaori juga jarang makan. Bagaimana kalau nanti dia sakit?Sampai sekarang pun, setiap ditanya apa alasan sebenarnya yang membuat mereka berpisah, Kaori tidak menjawabnya."Enggak pa-pa, Ma. Lagi males aja."Kaori juga sudah berhenti bekerja dan memutuskan untuk membuka usaha sendiri, yaitu membuat sebuah wedding organizer."Ri, tau nggak? Mama sama Papa dulu juga sempat berpisah, loh. Waktu itu kamu masih berumur dua tahun."Kaori terkesiap mendengarnya. "Mama serius?""Iya, Papamu itu jatuhkan talak ke Mama

  • Menikah dengan Musuh   38.

    Di kedai kopi miliknya, Davin duduk di meja paling pojok dekat jendela bersama Putri. Mereka memang sudah membuat janji untuk bertemu di sana sebelum jam makan siang.Davin memandangi undangan berwarna gold di tangannya lama-lama sambil tersenyum. Huruf inisial P & D jelas terpampang di bagian depannya, didesain sedemikian rupa sehingga tampak elegan.Davin tidak menyangka bahwa sebentar lagi Putri akan menjadi seorang istri, sementara dirinya baru saja menjadi duda. Kadang-kadang, takdir memang selucu itu.Diliriknya Putri yang tiba-tiba melepaskan cincin berlian yang melingkar di jari manisnya."Gue nggak bisa, Dav. Gue benar-benar nggak bisa," kata Putri sambil menggeleng kuat."Kenapa? Jangan dilepas cincinnya!" Davin menarik tangan Putri dan kembali memasukkan cincin tersebut ke jarinya. "Jangan sia-siakan orang yang sayang sama lo."Putri menarik napas dalam, memandangi jarinya yang tersemat cincin permata. "Tapi, gue nggak—"

  • Menikah dengan Musuh   37. Hari terakhir

    Hari ini, adalah hari terakhir pernikahan Kaori dan Davin. Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, persis seperti yang mereka lakukan beberapa bulan yang lalu. Pergi ke pantai, menonton film di bioskop, dan makan di tempat yang romantis.Namun, pada hari itu, Kaori tidak se-happy kemarin. Dia lebih banyak melamun, dan tentu saja hal itu membuat Davin bertanya-tanya. Meskipun kadang-kadang ada tawa yang keluar dari mulut Kaori, Davin bisa merasakan ada sesuatu di sana, tepat di matanya, yang seperti tidak sinkron dengan apa yang dilakukannya.Hingga malam pun tiba. Saat itu hujan lebat ketika mereka sampai di rumah. Keduanya sempat terkena hujan lantaran tadi berlari menuju mobil. Menunggu hujan reda punpasti akan memakan waktu yang lama, itu sebabnya mereka memilih menembus hujan demi tiba di dalam mobil lalu bergegas pulang.Di depan cermin besar di dalam kamarnya, Kaori bisa melihat kemunculan Davin yang

  • Menikah dengan Musuh   36.

    ****Tepat jam sepuluh malam, Davin pulang ke rumah. Biasanya, jam-jam seperti itu Kaori sudah mengunci pintu jika Davin pulang agak telat. Namun tadi, sewaktu Davin memasukkan kunci cadangan, pintu itu justru membuka ketika Davin tak sengaja mendorongnya."Ck! Kebiasaan banget Kaori nggak ngunci pintu. Padahal ini kan udah malam," gerutu Davin lalu melangkah masuk.Disampirkannya kemejanya yang tadi dipakainya ke bahu lalu celingukan, mencari keberadaan Kaori.Sebelum memanggil nama Kaori, Davin sudah lebih dulu mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di atas sofa tepat di depan TV."Tuh, kan! Kebiasaan banget tidur pas pintu nggak dikunci gitu. Kalau ada orang jahat, gimana coba?" ujar Davin lalu mengambil posisi bertimpuh di sisi Kaori dan memandangi wajahnya lama-lama."Semoga setelah semuanya berakhir, lo dipertemukan sama orang yang tepat.

  • Menikah dengan Musuh   35. Sweet

    DAVIN penggemar film action, tetapi pada saat Kaori memintanya untuk menonton film komedi romantis, Davin mengiyakannya. Davin sebenarnya sudah akan menolak, namun tidak mungkin juga merusak suasana hati Kaori yang sedang baik hari ini. Lagipula, sebelum ke sini, Kaori juga sudah bilang kalau dia akan menonton film dengan genre itu. Jadi, ya sudahlah, tujuan liburan kilat ini kan juga buat Kaori….Tapi, masalahnya…. Davin tidak mengira kalau akan ada banyak adegan mantap-mantap di film yang akan mereka tonton itu. Bukan hanya memperlihatkan kedua pasangan yang nyaris telanjang, juga adegan ranjang yang benar-benar membuat darah Davin berdesir dan setika dia merasa suhu di ruang bioskop itu menjadi meningkat. Belum lagi suara desahan yang membuat Davin berkali-kali menahan napasnya.Davin melirik Kaori yang tampak serius menyaksikan adegan ciuman yang sedang berlangsung. Matanya tidak berkedip sama sekali dan dia tampak terkag

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status