"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.
Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.
Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya.
"Okey, udah," kata Putri kemudian.
"Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu.
"Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?"
"Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan rapih aja. Eh, Ri, Davin tuh beneran ganteng banget ya? Mukanya itu loh, bersih banget. Untung aja tadi gue nggak khilaf buat elus-elus."
"Gila ya lo! Jangan coba-coba deh, Put. Davin itu bisa aja manfaatin kebucinan lo."
"Gue lihat-lihat, Davin nggak seburuk itu. Dia itu perfect husband banget tau, Ri," ujar Putri dengan wajah berbinar-binar.
Kaori menggeleng tak percaya. "Perfect apaan sih? Orang tengil kayak gitu juga."
"Hahaha, bodo amat sih. Gue rela jadi pelakor kalo lakinya kayak Davin."
Sejenak, Kaori termangu, mencoba memahami apa yang dikatakan Putri barusan. Ketika Putri mulai melangkah, Kaori menahan pergelangan tangannya.
"Nggak apa-apa, Put. Kalo lo mau, lo bisa ambil Davin dari gue. Seenggaknya, itu bisa jadi alasan gue besok buat ninggalin Davin kalo ditanya."
Putri tersenyum. "Satu tahun, Ri. Lo nggak akan bisa menebak apa yang akan terjadi selama itu di dalam pernikahan kontrak kalian. Cinta, bisa datang kapan aja. Dan kalo saat itu tiba, gue yakin, lo nggak akan lepasin Davin buat gue."
Kaori tergelak. "Enggak, enggak. Gue bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta, apalagi sama cowok kayak Davin."
"Okey, terserah lo. Kita lihat aja nanti. Seiring berjalannya waktu, lo akan tahu seperti apa Davin sebenarnya. Mungkin aja, dia nggak seburuk yang selama ini lo pikirkan."
"Terserah deh. Lo puji aja terus dia." Kaori lantas beranjak, meninggalkan Putri yang kemudian mengulum senyum penuh arti.
***
Malam harinya, pada saat menjelang tidur, baik Davin dan Kaori masih saja adu bacot mengenai siapa yang berhak tidur di atas ranjang malam ini.
"Kemarin kan lo udah. Sekarang gantian dong gue yang tidur di sini!" Davin tidur terlentang di atas kasur. Tak dipedulikannya air muka Kaori yang siap menerkamnya.
"Bukannya lo kemarin curang, ya? Bangun-bangun aja lo udah di samping gue. Itu artinya, kemarin lo juga udah tidur di situ!"
"Kemarin gue kedinginan, makanya gue pindah ke sini."
"Nggak mau tau, pokoknya, lo tidur di sofa sekarang juga! Pindah nggak?!" Kaori menarik-narik kaki Davin, namun cowok itu justru berpegangan di kepala ranjang, sehingga usaha Kaori untuk menjatuhkan Davin sia-sia.
Capek berdebat dengan cowok nggak punya hati seperti Davin, akhirnya Kaori mengalah. Dia lantas mengambil selimut, satu buah bantal, lalu berjalan menuju sofa. Davin melihatnya, dan memutuskan untuk bersikap bodo amat. Dia lalu membelakangi Kaori dan mencoba untuk tidur.
Di sisi lain, Kaori naik ke sofa, merebahkan tubuhnya di sana dengan kesal.
Dasar cowok nggak punya hati! Teganya dia membiarkan cewek secantik Kaori tidur di sofa sekecil ini. Benar-benar minta disedot tuh ubun-ubun.
Davin nyebelin, nyebelin, nyebeliiiiin! Kaori tak henti-hentinya menghujat Davin dalam hati.
*
Satu jam kemudian, Davin mulai merasa kedinginan lantaran tak ada selimut yang bisa dipakainya. Dia lantas bangkit mendekati Kaori yang sudah tertidur pulas. Dipandanginya wajah Kaori dengan perhatian penuh.
"Nyebelin sih, tapi kasihan juga." Perlahan-lahan, Davin mengangkat Kaori, menggendongnya menuju ranjang. "Berat banget sih nih cewek! Kebanyakan ngemil batu kali, ya?"
Sialnya, pada saat Davin membaringkan tubuh Kaori ke atas spring bed, keseimbangannya kacau dan tak sengaja ia justru mencium Kaori, nyaris di bibirnya.
Selama beberapa detik, Davin tidak bergerak, was-was dengan reaksi Kaori. Bagaimana kalau Kaori bangun dan melihat posisi mereka saat ini? Davin tidak mau kalau dirinya dituduh yang bukan-bukan lagi. Tapi, untungnya saja, Kaori tidak terbangun. Davin lantas bangkit dengan perasaan lega. Namun, godaan lagi-lagi datang. Matanya menangkap sepasang gundukan yang agak menyembul dari balik piyama yang dikenakan Kaori.
Kaori itu, sebenarnya cantik. Berkulit kuning langsat dengan bentuk tubuh yang sintal. Rambutnya panjang bergelombang melewati punggung. Di kampus dulu, Kaori termasuk gadis yang sering diperbincangkan. Banyak teman sekelas mereka yang ingin mendekatinya, namun sayang, kala itu Kaori sudah menjadi pacar Kafka.
Dan pada malam hari ini, Davin merasa, ia melihat sisi Kaori yang berbeda. Ia terlihat sangat polos, lembut, dan seksi...
Davin merasakan ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah hidup. Ketika Davin menoleh ke bawah, ah, sial, sesuatu itu lagi-lagi bangun. Namun kali ini terjadi secara alami, bukan karena obat kuat yang diberikan maminya kemarin.
Sebenarnya, menyentuh Kaori tidaklah dosa. Dia istrinya. Tapi...
Davin menggelengkan kepalanya. Dia lalu menyelimuti Kaori. Setelah itu, Davin beranjak mendekati sofa, lalu tidur di sana, memeluk guling. Dingin tak lagi dihiraukannya. Yang terpenting, dia berjauhan dengan Kaori yang tak disangka-sangka mampu membangkitkan hasratnya.
Jika terus seperti ini, Davin ragu apakah selama satu tahun pernikahan nanti, dia bisa melewatinya dengan aman. Davin khawatir tak bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuh Kaori. Bagaimana pun juga, dia adalah pria normal dan Kaori adalah istrinya. Bisa saja, dia khilaf suatu hari nanti.
***
Keesokan paginya, ketika Kaori bangun dari tidurnya, dia terkejut mendapati dirinya berada di atas kasur, sementara Davin ada di sofa. Padahal, kemarin malam, Kaori yang tidur di sana. Apa Davin yang memindahkannya ke ranjang? Kok bisa? Kenapa?
Kaori turun dari ranjang, membuka jendela kamar sehingga cahaya matahari masuk sepenuhnya sehingga Davin terbangun.
"Tadi malem lo ya yang mindahin gue?" tanya Kaori.
"Lo pikir siapa? Nggak mungkin setan, kan? Ya guelah."
"Mungkin aja sih, kalo setannya masuk ke tubuh lo."
"Sekali-kali bilang makasih."
"Makasih ya udah sadar diri. Emang seharusnya gue yang tidur di sana."
Davin mendecih. Tiba-tiba merasa menyesal karena sudah bersikap baik. Toh, Kaori tak peduli sama sekali.
"Tapi, lo tadi malem nggak ngapa-ngapain gue, kan?" Kaori mengangkat alisnya, curiga.
Davin mengerjapkan matanya. "Ya enggaklah!"
Kaori mengangkat bahu. "Okey."
Untungnya, Kaori percaya begitu saja. Kalau saja dia tahu Davin tak sengaja menciumnya tadi malam, mungkin Davin sudah dikebiri sama dia.
***
Setelah resepsi hari ketiga selesai diadakan dengan konsep yang sama dan berkesan mewah, rencananya mereka semua akan kembali ke Jakarta pada hari ini. Namun, sebelum itu, Kintan dan Bella meminta mereka semua untuk berkumpul. Katanya, ada sesuatu hal penting yang ingin mereka sampaikan. Entah apa.“Jadi, Mami mau kasih kejutan buat kalian berdua!” seru Kintan dengan semangat.“Kejutan apa, Mi?” tanya Davin, penasaran.Kintan tersenyum lebar, begitu pun dengan yang lainnya.“Mami sama Papi udah beliin tiket bulan madu ke sepuluh negara untuk kamu dan Kaori!”Kaori terbatuk-batuk, tersedak minuman yang sedang diteguknya ketika ibu mertuanya itu berbicara.“HA? Sepuluh negara?” seru Davin, terkejut.“Waaaah! Enak banget sih jalan-jalan gratis!” timpal Disha, adik perempuan Davin.“Aku juga mau dong!” Giliran Karel, adik laki-laki Kaori yang duduk di bangku tahun
Bab. 9 | Menyakitkan tapi terasa benarTiga minggu kemudian...."Mana nih, foto-foto kalian waktu di luar negeri? Mami mau lihat dong!"Davin mengangsurkan ponselnya yang menampilkan gambar dirinya dan Kaori yang sudah diedit sedemikian rupa dengan latar belakang berbagai macam tempat di sepuluh negara tujuan bulan madu mereka. Untung saja, semua hasil editan Davin terlihat sempurna, sehingga Kintan dan Bella percaya begitu saja."Wah, romantis banget sih kalian?""Iya dong, namanya juga pengantin baru, Mi," jawab Davin yang dibalas dengan tatapan ragu-ragu oleh Kaori."Terus, gimana?" tanya Bella."Eh? Gimana apanya, Ma?" Kaori justru balik nanya."Ya itunya...." Kintan dan Bella menjawab kompak, lalu cekikikan.Davin mengernyit. "Itunya apa, sih?""Itu loh, gimana sih. Cucu... cucu." Kintan memperjelas maksud ucap
*Jangan lupa klmmekoment ya gaks.Davin terkejut bukan main ketika dia masuk ke dalam kamar, sebuah underwear terbang ke wajahnya. Setelah dilihat-lihat, ternyata itu adalah pakaian dalam miliknya."Berapa kali sih gue harus bilang sama lo? Jangan taruh baju kotor sembarangan!" semprot Kaori, sebelum Davin sempat bertanya."Lo pikir nggak capek apa beresin kamar yang setiap hari berantakan gini? Itu juga tuh! Abu rokok di mana-mana!" Kaori terus mengomel sambil membersihkan ranjang dari buku-buku, charger, headset, dan bahkan beberapa sampah bungkus makanan ringan. Davin memang biasa makan camilan pada malam hari menjelang tidur.Sejak pindah ke rumah Davin, keduanya memang tidur terpisah. Kaori tidur di lantai atas, sementara Davin tidur di lantai bawah. Tapi, walaupun begitu, tetap saja yang membersihkan kamarnya Kaori. Menyewa asisten rumah tangga hanya
"Gue harus pastiin, kalau gue ngelepasin lo hanya pada orang yang tepat. Biar lo bahagia nantinya."Kaori tertegun mendengar ucapan Davin tersebut. Itu beneran dia yang ngomong? Kenapa dia jadi sok peduli gitu?"Makasih." Kaori membalas singkat lalu mengalihkan perhatiannya pada kendaraan di jalanan yang hilir mudik.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tempat yang pada malam itu ramai pengunjung. Begitu turun, mata Kaori langsung membaca tulisan yang ada di atas pintu masuk salah satu ruko bertingkat tiga tersebut."Ini bukannya coffee shop punya lo?"Davin mengangguk. "Iya.""Kok, di sini? Enggak ada tempat yang lebih bagusan dikit gitu?" tanya Kaori sinis.Sebenarnya, tempat ini cukup memukau dengan konsep bajak laut dan lukisan-lukisan pemandangan laut yang terpajang di dindingnya. Bahkan di meja kasir, ada sebuah peti antik berukuran sedang yang dipakai
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Kaori diganggu oleh pernyataan Davin mengenai Maya yang pernah menjadi pacarnya. Sebenarnya, mau dengan siapa pun Davin menjalin hubungan, itu tak masalah untuk Kaori, dia bahkan tidak peduli. Hanya saja, dia bertanya-tanya tentang Maya, sahabatnya semasa SMA dulu. Kenapa setelah pulang ke Indonesia, dia tidak mengabari Kaori sama sekali? Kenapa, ya? Apa dia lupa? Masa sih lupa. Atau mungkin, sebenarnya memang Maya merasa tidak perlu mengabarinya karena dia tak lagi penting.Setelah tiba di rumah, Kaori buru-buru masuk ke kamar, menyalakan laptop dan membuka email. Pesan-pesannya untuk Maya sejak bertahun-tahun yang lalu pun tak pernah dibalas. Mungkin, Maya sudah tidak memakai email itu lagi. Lalu, Kaori beralih ke media sosial Facebook, di mana dulu sewaktu SMA, baik dia dan Maya kerap kali menulis pesan wall to wall. Kaori mengarahkan kursornya ke profil Maya, demi mencari petunjuk. Dan benar saja, banyak sta
🍁🍁🍁🍁"Eh, Ri, by the way, lo sadar nggak sih, Davin bikin lo jadi mikir gitu buat nggak jadi tim rebahan seumur hidup lo?""Maksud lo?""Ya dia bikin lo jadi lebih dewasa aja gitu. Iya nggak, sih? Gara-gara mulut nutrijelnya Davin yang lemes, lo akhirnya rela ngebanting harga diri lo buat nyari kerja. Padahal, Davin kan udah ngasih lo apapun yang lo butuhin."Kaori mengangguk dengan bibir mencebik. "Gue ngerasa hati gue sakit banget waktu dia bilang gue tuh kebiasaan dimanjain dari kecil, jadi nggak tau rasanya susahnya nyari duit itu gimana."Putri tertawa. "Tapi, bener kan apa yang dia bilang?"Kaori melirik Putri dengan sinis, kemudian mendecih. "Ya bener, tapi nggak harus gitu juga dong. Tau gue baperan, ya nangis-nangislah denger dia ngomong gitu. Akhirnya, gue bulatin tekad gue buat nyari kerja. Pokoknya gue harus kerja!"
☘️🍀☘️ "Jadi, lo kerja di mana?" tanya Davin, ketika Kaori sudah bisa diajak ngobrol setelah makan malam. Davin membantu Kaori membersihkan meja makan dan mencuci piring kotor. "Hmm." Kaori terlihat ragu untuk bicara jujur, tapi pada akhirnya, dia mengatakannya secara gamblang, "Kerja di cafenya Evan." Davin sudah menduganya, tapi dia pura-pura tidak mengenal nama yang disebut Kaori barusan. "Evan?" "Temen SMA kita dulu, yang kerjanya ngintipin daleman anak cewek bareng lo itu!" Davin mengangguk-angguk. "Oh, Evan. Iya, iya, gue pernah dengar kalau dia buka café di jalan Mangga."
****"Mami mau Davin anterin pulangnya?" seru Davin keesokan harinya di meja makan."Loh? Siapa yang mau pulang? Orang Mami masih nginap di sini, kok.""Hah?!" seru Kaori dan Davin serentak.Kintan tersenyum. "Kenapa? Kalian nggak suka, ya, Mami nginap di rumah kalian lama-lama?"Sesaat, keduanya terdiam. Sadar kalau reaksi mereka tersebut akan menimbulkan kecurigaan, akhirnya, Davin buka suara."Enggak gitu, sih, Mi. Cuma kan, kasihan Papi di rumah.""Ya Papimu juga mau nginep di sini nanti malem.""Hah?!""Kenapa sih kalian? Curiga deh. Pasti ada yang disembunyikan, ya?" Kintan menyipitkan mata, memandang Kaori dan Davin secara bergantian."Enggak, enggak ada yang disembunyikan kok. Kaget aja kalau Papi mau ikut nginap di sini. Kenapa nggak ajak Disha aja sekalian? Hehehe," canda Davin.