Share

8. Little white lie

"Dav, bentar deh." Putri memanggil Davin yang hendak keluar kamar.

Setelah Davin berhenti, Putri berjalan mendekat dan tak disangka-sangka, dia langsung mengancingkan jas navy yang dikenakan Davin sambil tersenyum manis. Davin menatap Putri sesaat, kemudian balas tersenyum. Di belakang mereka, Kaori mengamati sambil mendelik sebal.

Apaan sih, Putri! Sok-sokan manis gitu ke Davin! Sori ya, bukannya cemburu atau apa. Kaori tidak mau saja kalau Putri dengan bodohnya ikut jatuh pada modusnya Davin, lalu bukan tak mungkin mereka akan berakhir di atas ranjang. Sebenarnya, tidak masalah Davin mau kencan dengan siapa saja, asalkan itu bukan sahabatnya.

"Okey, udah," kata Putri kemudian.

"Thanks," balas Davin sekenanya dan berlalu.

"Oi!" Kaori langsung mencolek pundak sahabatnya itu. "Ngapain lo ngurusin dia?"

"Kenapa, sih?" Putri mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Biar dia kelihatan rapih aja. Eh, Ri, Davin tuh beneran ganteng banget ya? Mukanya itu loh, bersih banget. Untung aja tadi gue nggak khilaf buat elus-elus."

"Gila ya lo! Jangan coba-coba deh, Put. Davin itu bisa aja manfaatin kebucinan lo."

"Gue lihat-lihat, Davin nggak seburuk itu. Dia itu perfect husband banget tau, Ri," ujar Putri dengan wajah berbinar-binar.

Kaori menggeleng tak percaya. "Perfect apaan sih? Orang tengil kayak gitu juga."

"Hahaha, bodo amat sih. Gue rela jadi pelakor kalo lakinya kayak Davin."

Sejenak, Kaori termangu, mencoba memahami apa yang dikatakan Putri barusan. Ketika Putri mulai melangkah, Kaori menahan pergelangan tangannya.

"Nggak apa-apa, Put. Kalo lo mau, lo bisa ambil Davin dari gue. Seenggaknya, itu bisa jadi alasan gue besok buat ninggalin Davin kalo ditanya."

Putri tersenyum. "Satu tahun, Ri. Lo nggak akan bisa menebak apa yang akan terjadi selama itu di dalam pernikahan kontrak kalian. Cinta, bisa datang kapan aja. Dan kalo saat itu tiba, gue yakin, lo nggak akan lepasin Davin buat gue."

Kaori tergelak. "Enggak, enggak. Gue bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta, apalagi sama cowok kayak Davin."

"Okey, terserah lo. Kita lihat aja nanti. Seiring berjalannya waktu, lo akan tahu seperti apa Davin sebenarnya. Mungkin aja, dia nggak seburuk yang selama ini lo pikirkan."

"Terserah deh. Lo puji aja terus dia." Kaori lantas beranjak, meninggalkan Putri yang kemudian mengulum senyum penuh arti.

***

Malam harinya, pada saat menjelang tidur, baik Davin dan Kaori masih saja adu bacot mengenai siapa yang berhak tidur di atas ranjang malam ini.

"Kemarin kan lo udah. Sekarang gantian dong gue yang tidur di sini!" Davin tidur terlentang di atas kasur. Tak dipedulikannya air muka Kaori yang siap menerkamnya.

"Bukannya lo kemarin curang, ya? Bangun-bangun aja lo udah di samping gue. Itu artinya, kemarin lo juga udah tidur di situ!"

"Kemarin gue kedinginan, makanya gue pindah ke sini."

"Nggak mau tau, pokoknya, lo tidur di sofa sekarang juga! Pindah nggak?!" Kaori menarik-narik kaki Davin, namun cowok itu justru berpegangan di kepala ranjang, sehingga usaha Kaori untuk menjatuhkan Davin sia-sia.

Capek berdebat dengan cowok nggak punya hati seperti Davin, akhirnya Kaori mengalah. Dia lantas mengambil selimut, satu buah bantal, lalu berjalan menuju sofa. Davin melihatnya, dan memutuskan untuk bersikap bodo amat. Dia lalu membelakangi Kaori dan mencoba untuk tidur.

Di sisi lain, Kaori naik ke sofa, merebahkan tubuhnya di sana dengan kesal.

Dasar cowok nggak punya hati! Teganya dia membiarkan cewek secantik Kaori tidur di sofa sekecil ini. Benar-benar minta disedot tuh ubun-ubun.

Davin nyebelin, nyebelin, nyebeliiiiin! Kaori tak henti-hentinya menghujat Davin dalam hati.

*

Satu jam kemudian, Davin mulai merasa kedinginan lantaran tak ada selimut yang bisa dipakainya. Dia lantas bangkit mendekati Kaori yang sudah tertidur pulas. Dipandanginya wajah Kaori dengan perhatian penuh.

"Nyebelin sih, tapi kasihan juga." Perlahan-lahan, Davin mengangkat Kaori, menggendongnya menuju ranjang. "Berat banget sih nih cewek! Kebanyakan ngemil batu kali, ya?"

Sialnya, pada saat Davin membaringkan tubuh Kaori ke atas spring bed, keseimbangannya kacau dan tak sengaja ia justru mencium Kaori, nyaris di bibirnya.

Selama beberapa detik, Davin tidak bergerak, was-was dengan reaksi Kaori. Bagaimana kalau Kaori bangun dan melihat posisi mereka saat ini? Davin tidak mau kalau dirinya dituduh yang bukan-bukan lagi. Tapi, untungnya saja, Kaori tidak terbangun. Davin lantas bangkit dengan perasaan lega. Namun, godaan lagi-lagi datang. Matanya menangkap sepasang gundukan yang agak menyembul dari balik piyama yang dikenakan Kaori.

Kaori itu, sebenarnya cantik. Berkulit kuning langsat dengan bentuk tubuh yang sintal. Rambutnya panjang bergelombang melewati punggung. Di kampus dulu, Kaori termasuk gadis yang sering diperbincangkan. Banyak teman sekelas mereka yang ingin mendekatinya, namun sayang, kala itu Kaori sudah menjadi pacar Kafka.

Dan pada malam hari ini, Davin merasa, ia melihat sisi Kaori yang berbeda. Ia terlihat sangat polos, lembut, dan seksi...

Davin merasakan ada sesuatu di dalam dirinya yang tengah hidup. Ketika Davin menoleh ke bawah, ah, sial, sesuatu itu lagi-lagi bangun. Namun kali ini terjadi secara alami, bukan karena obat kuat yang diberikan maminya kemarin.

Sebenarnya, menyentuh Kaori tidaklah dosa. Dia istrinya. Tapi...

Davin menggelengkan kepalanya. Dia lalu menyelimuti Kaori. Setelah itu, Davin beranjak mendekati sofa, lalu tidur di sana, memeluk guling. Dingin tak lagi dihiraukannya. Yang terpenting, dia berjauhan dengan Kaori yang tak disangka-sangka mampu membangkitkan hasratnya.

Jika terus seperti ini, Davin ragu apakah selama satu tahun pernikahan nanti, dia bisa melewatinya dengan aman. Davin khawatir tak bisa menahan dirinya untuk tidak menyentuh Kaori. Bagaimana pun juga, dia adalah pria normal dan Kaori adalah istrinya. Bisa saja, dia khilaf suatu hari nanti.

***

Keesokan paginya, ketika Kaori bangun dari tidurnya, dia terkejut mendapati dirinya berada di atas kasur, sementara Davin ada di sofa. Padahal, kemarin malam, Kaori yang tidur di sana. Apa Davin yang memindahkannya ke ranjang? Kok bisa? Kenapa?

Kaori turun dari ranjang, membuka jendela kamar sehingga cahaya matahari masuk sepenuhnya sehingga Davin terbangun.

"Tadi malem lo ya yang mindahin gue?" tanya Kaori.

"Lo pikir siapa? Nggak mungkin setan, kan? Ya guelah."

"Mungkin aja sih, kalo setannya masuk ke tubuh lo."

"Sekali-kali bilang makasih."

"Makasih ya udah sadar diri. Emang seharusnya gue yang tidur di sana."

Davin mendecih. Tiba-tiba merasa menyesal karena sudah bersikap baik. Toh, Kaori tak peduli sama sekali.

"Tapi, lo tadi malem nggak ngapa-ngapain gue, kan?" Kaori mengangkat alisnya, curiga.

Davin mengerjapkan matanya. "Ya enggaklah!"

Kaori mengangkat bahu. "Okey."

Untungnya, Kaori percaya begitu saja. Kalau saja dia tahu Davin tak sengaja menciumnya tadi malam, mungkin Davin sudah dikebiri sama dia.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status