Share

Penggelapan Dana dan Pencucian Uang

"Kamu sedang tidak bercanda kan Noya?" Kellston yang sedang berbicara di sebrang telepon membuat Noya menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Terdengar bahwa gadis blasteran Amerika betawi itu tengah menyantap makan siangnya. 

"Iya, Kells. Dia." jawab Noya malas.

"Dia Ricky Zayyandra yang waktu itu? Pria tampan yang selalu menggoda kamu?"

"Yang mana lagi Kell, dia satu-satunya pria yang aku benci semasa sekolah? Dia juga yang membuat aku tidak bisa berjalan karena hukuman konyolnya, belum lagi semua kejahilannya yang membuat aku di hukum habis-habisan oleh Pak Gilsky. Dan tolong, hilangkan kata tampan yang baru saja kamu ucapkan!" Papar Noya panjang lebar.

"Tapi, Noy. Kak Ricky memang tampan kan? semua orang disekolah mengakuinya." 

"Cih ..." Noya mendesis. "Kamu saja yang tidak bisa melihat dengan mata bersih, Kells." 

"Terus, bagaimana kelanjutannya?" Kellston kembali bertanya penasaran.

"Bagaimana apanya? Tentu saja aku tolak." 

"What Noya? Kamu menolak kak Ricky." 

"Kellston, berhenti memanggil dia dengan panggilan Kakak. Aku mual mendengarnya." 

"Jangan terlalu benci Noya! Nanti kamu bisa jatuh cinta." 

"Tidak mungkin dan tidak akan. Seumur hidup, Noya tidak akan pernah mencintai pria seperti Ricky." 

"Terserah kamu lah, Noy. Kalau kena karma, aku adalah orang pertama yang akan menertawakan kamu!" Kellston terkekeh kecil.

"Tidak akan pernah terjadi, Kells." Noya masih saja keukeuh dengan argumennya. 

Tok tok tok.

Terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya. Noya menoleh. 

"Sudah dulu yah Kells, nanti kita bertemu!" Noya pun mematikan ponselnya.

"Iya?" 

Pintu kamarnya terbuka. "Boleh Mama dan Papa masuk sayang?" Noya mengangguk.

Amanda dan Yusal duduk ditepi ranjang Noya dengan senyum.

"Kamu baik-baik saja?" Tanya Amanda. 

"Aku baik-baik saja, Ma." 

"Mama dan Papa ingin meminta maaf perihal masalah tadi, Noya. Mama tidak tahu kalau kamu memiliki trauma dengan Ricky. Mama tidak menyangka jika orang itu adalah dia." 

"Tidak apa-apa Pa, Ma. Hanya saja jangan paksa aku untuk menikah dengan dia. Aku tidak mau. Aku bisa memilih pasangan yang baik untuk aku." 

"Tapi, apakah kamu tidak mendengar ucapan Ricky terakhir kali? Dia berkata dia sangat mencintai kamu? apa kamu yakin dia masih ingin mengerjai kamu? Kalau Papa pikir, mungkin dia tulus." 

"Masih kemungkinan Pa. Belum pasti. Lagipula aku sudah mengatakan aku tidak akan menikah dengan musuhku sendiri. Aku sudah mengikrarkan diri bahwa Ricky Zayyandra adalah musuh abadi bagi Noya Reyana." 

"Papa dengar dia juga dokter yang melakukan pemeriksaan kepada kamu?" 

"Hah? Papa tahu dari mana?" 

"Ricky sendiri yang bercerita kepada Papa. Dia mengatakan kalau kamu harus melakukan CT scan, dia bilang kamu kabur terakhir kali." Papa tersenyum.

Noya menarik napasnya enggan. Kejadian memalukan itu. Tentu saja Noya kabur, untuk apa dia berada di Rumah Sakit jika dirinya di permalukan.

"Sudahlah, Pa. Itu tidak penting." 

"Ricky bilang itu penting Noya, demi kesehatan kamu." 

"Anak Papa itu Ricky atau Noya? ko Papa mendukung sekali laki-laki itu?" Amanda memenangkan Noya atas pembicaraannya kali ini. 

"Anak Papa itu kamu, Noya. Maka dari itu Papa merasa, kamu perlu melakukan pemeriksaan. Demi kebaikan kamu sendiri. Papa percaya kepada Ricky bukan sebagai seorang Pria, Papa percaya kepadanya karena dia seorang dokter." Noya terlihat mendengarkan. 

"Papa tidak akan memaksa Noya untuk menikah dengan Ricky, tapi Papa harap Noya mau mendatangi Ricky untuk prosedur CT scan yang dia sebutkan. Kamu bisa?" Tawar Yusal kepada Anaknya.

"Akan Noya usahakan." Jawab Noya akhirnya.

*****

Keluarga Noya sedang melaksanakan makan malam di meja makan. Noya menyodorkan amplop coklat yang cukup tebal kearah Yusal.

"Apa ini Nak?" Yusal menghentikan kegiatannya memakai sendok dan garpu. Dia menatap Noya dengan penuh pertanyaan.

"Mungkin saja rentenir itu akan datang sebentar lagi. Ini uang tabungan aku Pa, nominalnya mungkin tidak akan langsung bisa melunasi hutang Papa, tapi setidaknya ini bisa meredakan amarah mereka." Noya tersenyum mengakhiri kalimatnya.

"Sisanya aku akan mencoba mengajukan pinjaman ke kantor, semoga saja ada harapan untuk bisa melunasi seluruh hutang Papa." 

"Noya ..."

"Jangan menangis Pa, Ma! atau aku juga akan ikut menangis." Noya mengelus punggung tangan Kedua orang tuanya.

"YUSAL!" sebuah teriakan menggema dari arah luar. 

Noya menarik napas dalam lalu menghembuskan dengan keras. 

"Itu pasti mereka. Biar aku yang bukakan pintu." Noya beranjak dari meja makan menuju pintu besar diruang depan. Yusal dan Amanda mengikutinya dari belakang.

"Cepat sekali membuka pintunya cantik. Sudah tidak sabar bertemu denganku?" Pria bertubuh tinggi itu sudah berdiri di depan pintu, namun kali ini pakaiannya lebih santai dan nyetrik.

"Ini." Noya menyerahkan amplop coklat yang tadi ia serahkan pada Yusal, Papanya.

"Totalnya lima ratus juta. Aku mohon terima uang ini, sisanya aku akan usahakan untuk melunasinya dalam waktu dekat." 

"Hahaha. Aku suka sikap seperti ini, sayang." Pria itu mencubit dagu Noya dengan tatapan agresif. Noya mengibaskannya dengan jijik.

"Kalau sudah selesai, silahkan anda pergi dari rumah kami." 

"Kamu tidak mengizinkan kami masuk? Padahal aku ingin mencoba teh buatanmu, barangkali." 

"Aku tidak basa-basi dengan orang yang tidak penting." Jawab Noya tegas.

"Sombong sekali kamu. Cih!" Pria itu membuang ludah sembarang arah.

"Cabut!" Pria itu Mengintruksikan pada anak buahnya untuk pergi.

Noya menutup pintu dan menghembuskan napasnya dengan perlahan. Jantungnya hampir saja lepas dari tempatnya.

Namun belum sempat Noya menyesuaikan ritme jantungnya seperti semula, bel rumahnya kembali berbunyi. Ia menoleh seketika, lalu menatap bergantian kepada orangtuanya yang kini berjalan menghampiri Noya. 

"Siapa lagi?" ujar Amanda.

Noya kembali membuka pintu, seorang pria dengan setelan jaket kulit berada dibarisan paling depan dengan memegang sehelai kertas, disampingnya seorang pria dengan pakaian cukup rapi dan sopan, berbeda dari kelima lainnya.

"Siapa?" Tanya Noya pelan.

"Selamat malam. Betul ini kediaman Bapak Yusal Sebastian?" Noya mengangguk.

"Saya Yusal. Ada perlu apa?" 

"Saya dari pihak kepolisian. Mohon maaf Pak, rumah Bapak akan di sita Bank karena tunggakan yang belum bapak bayarkan. Juga, Bapak Yusal akan kami tangkap atas tuduhan penggelapan dana perusahan dan pencucian uang. Silahkan ikut kami!" Ucap Pria yang berdiri paling depan sambil mengacungkan kertas nya kearah Noya.

Dua orang polisi lainnya memborgol tangan Yusal dengan paksa. Noya hanya terdiam, tatapannya kosong mengamati kejadian didepannya. Dunia Noya seakan berhenti hari itu juga, Mamanya meronta menahan Yusal dari cengkraman polisi, namun kemudian tangannya terlepas karena tidak kuasa.

"Papa ..." Noya memanggil Papanya, namun rasanya kaki Noya terlalu sulit untuk digerakkan. Hingga akhirnya, 

Brukk!

Mamanya ambruk ke lantai, Noya mengalihkan tatap nanarnya pada tubuh Amanda yang sudah terkapar. 

"Mama ...!" Pekik Noya cepat. Tangannya dingin dan berkeringat. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status