Share

Perjanjian Pernikahan

"Kamu serius, Noy? aku tidak salah dengar?" Tanya Ricky dengan netra fokus menatap Noya di depannya.

Gadis itu membalas tatap Ricky. Namun detik selanjutnya, dia menundukkan matanya. Noya melipat bibir ke dalam, dengan napas yang masih tersengal, Noya pun mengangguk.

"Iya." Jawabnya pelan.

Kerut kebingungan tergambar di wajah tampan Ricky. Tentu saja dia merasa gundah. Kenapa pula Noya malah menerima lamarannya disaat yang tidak tepat.

"Kenapa?" Jawabnya lagi. Ricky ingin meyakinkan diri bahwa ucapan Noya bukanlah mimpi di pagi buta.

"Bukankah ini yang kamu mau?" Tantang Noya santai.

"Aku tidak ingin memaksa kamu untuk hal ini, lagipula jangan sampai penerimaan kamu karena rasa sungkan atau terimakasih. Aku mencintai kamu dengan tulus. Jadi, aku juga ingin kamu menerima aku tulus, bukan paksaan."

Noya terkekeh lucu mendengar penuturan Ricky. "Kamu tidak bisa memaksa orang lain untuk menyukai kamu hanya karena kamu tulus, Rick."

Ricky sudah menduga, Noya tidak mungkin dengan suka rela bersedia menikah dengannya dengan alasan menyukai dirinya. Bukankah dia dengan jelas mendengar sendiri bahwa gadis itu membencinya. Belum lagi pertemuan kembali mereka yang sangat salah, Ricky malah menjahili gadis itu karena memang tidak menyangka akan bertemu dengannya di Rumah sakit.

Noya memperhatikan Pria di depannya. "Kalau kamu tidak bersedia, tidak apa. Aku tidak akan memaksa." Jawab Noya acuh. Ia hendak beranjak dari sofa yang menjadi tempat tidurnya semalam.

Ia berjalan melewati Ricky, tanpa basa-basi lagi. Ricky terdengar menghela napas. Apakah egois baginya menerima Noya disaat keadaan gadis itu tengah kesulitan seperti sekarang? Tapi, jika dia melepaskan kesempatan ini, jelas kesempatan lain tidak mungkin akan datang bukan?

"Noy ..." Ricky menahan Noya dengan menarik lengan gadis itu. Membuat Noya mematung dengan segera.

Ricky kembali menghela napas. Biarlah sekali lagi dia akan egois, lagipula menikah dengan Noya adalah mimpi Ricky satu-satunya yang belum bisa dia capai.

"Lepasin tangan aku, Rick!"

"Aku akan membahagiakan kamu setelah kita menikah nanti, aku janji." Ucap Ricky pelan sambil melepaskan genggamannya.

*****

Noya membuka pintu besar dengan tulisan VIP di atasnya. Dia mengelap sudut matanya yang terasa basah, lalu membenarkan letak jaket yang diberikan Ricky semalam.

Dia membasahi bibirnya, kemudian berusaha menyunggingkan senyum sebelum dirinya benar-benar masuk kedalam bangsal itu.

"Ma ..." Genggaman tangan Noya berhasil membuat mata Amanda terbuka.

Amanda mengerjakan matanya pelan,

"Noya ..." Ringkihnya. "Maafkan mama, Nak!" Ucapnya lagi, kini genggaman tangan Noya dibalas oleh Amanda, kuat sekali.

Noya menunduk. Dia tidak tahu bagaimana memahami situasi ini, pikirannya sudah sangat lelah bahkan hanya untuk berbasa-basi menghibur Mamanya.

"Sstt. Maksud mama apa? Aku baik-baik saja. Mama jangan banyak bicara dulu, biar cepat pulih." Bibir Noya terlipat, sekuat tenaga dia menahan tangis yang saat ini berusaha berloncatan keluar dari matanya.

"Papa bagaimana?"

Noya terdiam sejenak. "Ricky bilang sedang dibantu oleh pengacara perusahaan. Semuanya akan baik-baik saja, Ma." Noya berusaha menenangkan Mamanya.

"Kita akan tinggal dimana, sayang? Rumah kita sudah disita." Papar Amanda dengan isak yang mulai terdengar.

"Mama nggak usah pikirkan soal itu, pasti ada jalan keluar untuk semua ini." Noya kembali menenangkan Amanda dengan genggaman tangannya.

Sejenak hening, kemudian Noya kembali bersuara.

"Ma, ... Noya menerima lamaran Ricky." Ucapan Noya sontak membuat Amanda menoleh.

Mata mereka bertatapan, Noya sepertinya perlu menjelaskan, dan tatapan Amanda jelas menunjukan pertanyaan itu.

"Noya merasa berhutang sama dia, Ma. Jadi, Noya merasa perlu membalas semua itu."

Tidak ada jawaban dari Amanda, hanya netra nya yang terlihat bergerak turun naik menatap Noya.

"Nak, pernikahan bukanlah sistem balas Budi. Dia janji yang perlu kamu tanggung jawabkan."

Noya terdiam. Hening.

"Kamu yakin akan bahagia dengan dia?" Tanya Amanda lagi.

Noya menunduk. Kemudian mengangguk. Biarlah ini menjadi kebohongan yang Noya lakukan demi kesembuhan Mamanya.

"Halo, tante. Bagaimana keadaanya?"

Amanda menoleh ke sumber suara dan mendapati Ricky yang datang membawa kantung besar. Dibelakangnya disusul oleh Duan, dokter yang menangani Amanda.

Sekilas Ricky mengalihkan iris matanya pada Noya yang tersenyum pada Mamanya sembari menggenggam lengan.

"Bagaimana keadannya Tante?" Ricky meletakkan barang yang dibawanya diatas nakas. Sedangkan Duan segera mengecek kantung infus yang kini sudah mulai menyusut airnya.

"Sudah lebih baik. Terimakasih." Ucapnya pelan.

"Syukurlah." Ricky menganggukkan kepalanya.

"Ini temanku, Duan. Yang melakukan operasi pada Tante."

"Terimakasih, Nak." Ucap Amanda menatap Duan.

"Terimakasih juga karena sudah menolong Noya," lanjutnya pada Ricky.

"Itu sudah seharusnya aku lakukan, Tan."

*****

Pernikahan Noya dan Ricky berlangsung dengan sangat sederhana. Tanpa orangtua yang mendampingi Noya, tanpa sanak saudara dan teman-temannya. Hanya Kellston satu-satunya sahabat yang mendampingi gadis itu. Bahkan Noya meminta kepada Ricky agar pernikahannya di rahasiakan.

Setelah selesai, Ricky mengajak Noya untuk pulang ke rumah, Noya tampak terkejut saat tiba di parkiran. Ia menatap mobil warna merah yang tampak tidak asing baginya.

Ricky yang berada di belakangnya pun terdiam menatap istrinya yang terlihat kebingungan.

"Kenapa, Noy?" Tanyanya.

"Ini mobil kamu?" Yakin Noya. Pria itu mengangguk, lalu tersenyum.

"Kamu mengingat sesuatu?" Selidik Ricky.

"Ini seperti mobil yan-"

"Yang kamu muntahi?" Potong Ricky cepat. Membuat Noya Refleks menoleh.

"Kamu tahu?" Noya menutup mulutnya terkejut.

Ricky mengangguk. "Iya, aku tahu. Aku melihat dengan jelas siapa wanita itu di dashcam mobilku." Kelas Ricky dengan senyum yang terlihat menggoda.

Noya menyunggingkan bibirnya ragu. Merasa tidak nyaman dengan situasi ini.

"Ayo masuk!" Perintah Ricky. Pria itu membukakan pintu depan untuk istrinya, Noya.

"Sorry." Ucap gadis itu begitu mobil melaju meninggalkan halaman parkir.

"Untuk apa?" Goda Ricky tanpa menoleh pada Noya.

"Untuk kejadian itu, juga untuk pembersihan mobilmu karena ulahku." Noya menunduk, merasa malu dengan sikapnya yang terkesan egois.

"It's oke, Noya. Aku tidak menyalahkan kamu. Aku malah bersyukur, setidaknya dengan kejadian itu aku bisa bertemu dengan kamu di rumah sakit 'kan?" Ricky tersenyum, senyum yang sangat manis.

"Thank you." Balasnya pelan.

Setengah jam kemudian mereka tiba di rumah Ricky, rumah yang terlihat sangat besar untuk Noya. Bahkan sangat besar.

"Bukan rumahku, ini rumah Papa." Seolah menjawab kebingungan Noya, Ricky menjelaskan pada Noya tanpa di minta.

Noya duduk di tepi ranjang kamar Ricky, kamar yang di dominasi dengan warna hitam dan abu itu terlihat tampak rapi. Persis seperti nuansa yang dia rasakan di ruangan Ricky di rumah sakit.

Ceklek.

Pintu kamar mandi terbuka, asap halus mengepul keluar dari pintu kamar mandi diikuti Ricky yang muncul dengan mengenakan kaos lengan pendek dan celana tidur panjang. Noya mengelus dadanya yang sudah tidak karuan, khawatir pria itu hanya akan mengenakan handuk saat keluar dari dalam sana.

"Kamu tidak akan mandi, Noy?" Tanya Ricky sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

Noya melipat bibir, dengan ragu ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas nya. Lalu menyerahkannya pada Ricky.

"Apa ini?" Tanya Ricky bingung sembari meraih kertas yang di sodorkan Noya padanya.

"Ini, perjanjian pernikahan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status