Share

Bab 5

"Mi, udah di sini aja," ucapku saat masuk ke dalam rumah.

"Lah, katanya mau pipis?"

"Gak, jadi."

Aku memilih masuk ke dalam kamar. Kamar pengantin yang sudah dihias dan diberi wewangian. Aku mengintip dari kaca, apa yang sedang dilakukan orang itu di pelaminanku.

Kebetulan, pelaminanku memang berada di luar rumah. Jadi, rumah kosong, hanya ada barang-barang dekor serta perabotan tukang hias saja.

"Ngintip apaan?" tanya Mimi. Dia ikut masuk dan mengintip juga.

"Tuh lihat. Dia pasti sedang mencari informasi tentang suamiku," ucapku.

"Kamu ngundang Nenek Lampir, itu?" Mimi bertanya kembali.

"Enggak, Mi. Dia sendiri yang datang. Makanya, aku buru-buru masuk ke sini. Malas harus bertemu dengan dia. Melihat matanya yang suka mendelik, nada bicara yang suka ketus, juga kata-katanya yang selalu menyakitkan," ujarku menggerutu.

Mimi hanya manggut-manggut. Dia tahu betul kenapa aku tidak menyukai mantan calon mertuaku itu. Jangankan aku yang pernah langsung berhubungan dengan dia. Orang-orang sekitar sini pun tidak terlalu menyukai Ibunya Arga.

Aku melihat wanita yang pernah memakiku sedang bicara dengan Raffi. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya Raffi hanya menanggapinya dengan senyum dan mengangguk saja.

"Eh, udah pergi, tuh. Balik, sana." Mimi mencolek pinggangku.

"Mi, kok aku merasa ini terlalu cepat, ya." Aku duduk di pinggir ranjang dengan seprai putih.

"Cepat apanya, Ra?"

"Pernikahanku."

"Kamu menyesal menikah dengan Mas Raffi?"

Aku diam, menggigit bibir yang tiba-tiba bergetar. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba air mataku jatuh tanpa sebab.

"Ya Allah, Ra. Kenapa jadi begini? Kenapa lamarannya kamu terima kalau kamu tidak cinta sama dia, Raya?" Mimi ikut duduk di sampingku.

"Aku tidak tahu, Mi. Aku bingung dengan perasaanku sendiri."

Mimi memberikan tisu untuk menghapus air mata yang berjatuhan.

"Raya, seharusnya kamu itu mikir dulu sebelum mengambil keputusan. Kamu menyesal, menikah sama Raffi yang tidak setampan teman-temannya? Kamu nyesel, karena punya suami yang buruk rup—"

"Mi, aku gak gitu. Aku rasa, aku terlalu terburu-buru," ucapku menundukkan kepala.

Aku kesal pada diriku sendiri. Aku ingin marah dan mencaci. Tapi, aku tidak bisa. Melihat Ibunya Arga, seperti membuka luka lama. Mengingatkanku pada pria yang dulu pernah aku cintai.

"Ra, sekarang aku tanya. Tujuan kamu nikah itu, untuk apa? Untuk membuktikan pada orang-orang kalau kamu bisa mendapatkan pria mapan, meski hanya orang miskin? Bisa bersanding dengan pria berpendidikan, meski hanya lulusan SMA? Iya, seperti itu?" cecar Mimi.

Aku tidak menjawab.

"Kalau tujuan kamu nikah hanya untuk itu, kamu salah, Ra. Kamu tidak akan bahagia. Coba, sekarang kamu lihat suamimu. Apa dia kaya? Bahkan datang ke sini pun, mereka hanya menggunakan bus pariwisata. Bukan kendaraan pribadi seperti kebanyakan orang kaya. Lalu, untuk apa pikiranmu itu? Buang Raihana Kamaya! Buang pikiran ingin menang, balas dendam pada mantan. Itu tidak penting! Sekarang, kamu seorang istri, pernikahan sudah selesai. Ini bukan lelucon," lanjutnya lagi.

Mimi berucap panjang lebar. Aku hanya jadi pendengar setia yang tanpa menyela sedikit pun ucapan Mimi.

Ya, memang itu tujuan awalku. Aku pikir, aku akan merasa puas, setelah aku menikah dengan seorang sarjana. Aku pikir, sakit hatiku akan langsung hilang dengan membuktikan jika aku pantas jadi seorang istri dari laki-laki yang berpendidikan.

Namun, aku salah. Hatiku tetap sakit melihat Ibunya Arga. Masa lalu yang ingin aku kubur, nyatanya tidak semudah itu untuk hancur.

"Astaghfirullah ...," lirihku seraya memejamkan mata.

Benar kata Mimi. Aku sudah menjadi seorang istri sekarang ini. Aku harus melupakan sakit hati, dan berjalan ke depan untuk masa depanku.

Bahagia atau menderita, itu ada pada diriku. Aku sudah mengambil langkah, maka aku harus menjalaninya.

"Raya, kenapa di sini? Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu. Ia masuk dan menangkup kedua pipiku.

"Tidak apa-apa, Bu. Tadi, aku sedang bercerita dengan Mimi. Aku sedih, karena besok harus meninggalkan Ibu dan Mimi," ujarku melirik pada Mimi yang matanya juling ke atas. Pasti dia kesal dengan alasanku ini.

"Kita tidak sedih, kok. Kita malah senang, karena kamu sudah menemukan jodohmu. Iya 'kan, Mi?" Ibu melemparkan pertanyaan pada sahabatku itu.

"Iya, betul," ucap Mimi menyenggol lenganku.

Ibu mengusap air mataku dengan tisu. Seorang perias membenarkan makeup agar terlihat lebih segar.

Aku kembali ke luar, menemani suamiku hingga acara selesai.

Rombongan dari keluarga serta saudara Mas Raffi sudah pulang terlebih dahulu. Tinggal orang tua, serta kedua kakak laki-laki Mas Raffi yang masih berada di sini. Rencananya, mereka akan menginap di penginapan dekat restoran tempatku bekerja. Kemudian, akan kembali ke Jakarta esok hari, bersamaku dan Raffi.

"Lelah?" tanya Raffi saat aku duduk selonjoran di atas ranjang.

"Pegal," kataku.

"Aku pijitin, mau?"

"Tidak usah. Mas, istirahat saja. Mas, juga pasti lelah, 'kan?"

"Aku sudah biasa lelah. Sini, berikan kakimu."

"Jangan!" ucapku cepat.

"Kenapa?"

"Kalau kakiku diberikan ke kamu, terus aku jalan pake apa?"

Tak!

Jari putih Raffi mampir di keningku. Dia tersenyum seraya menggeser kakiku dan memijitnya pelan.

Jika dilihat dari samping kanan, Raffi itu tampan. kulitnya putih bersih tanpa jerawat. Ada jambang tipis sebagai penghias rahangnya yang kokoh. Seandainya saja yang kiri pun sama, pasti dia akan terlihat semakin menawan.

Astaghfirullah ... pikiranku selalu saja seperti ini. Buru-buru aku mengalihkan pandangan pada ponsel.

Takdir Allah tidak akan bisa diubah. Begitu juga dengan bentuk fisik manusia. Semua mutlak dari yang Maha Kuasa.

"Ra."

"Hmm." Aku bergumam dengan mata fokus pada ponsel.

"Aku ke air dulu, ya. Tiba-tiba mules," ucapnya.

Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandangan.

Ada yang membuatku terusik. Saat membuka aplikasi biru, aku membaca dan melihat sebuah postingan yang di mana, aku dan Raffi jadi objek pembahasan di sana.

Entah siapa, dan tujuannya apa, seseorang dengan nama akun 'BUNDA RATU', memposting fotoku dan Raffi dengan caption 'Putri Halu dan Pangeran Buruk Rupa'.

Sontak saja, unggahan itu sudah rame dengan bermacam komentar. Ada yang menjunjung, ada juga yang menjatuhkan. Komentar dari salah satu orang yang aku kenal, membuat dadaku memanas.

[Berharap menikah dengan pria tampan, mapan, eh malah menikah sama orang utan.]

Tidak lupa, dia juga memberikan emoticon tertawa diakhir kalimatnya.

Lagi, Ibunya Arga selalu mengusikku. Sudah aku duga, dia hadir di pernikahanku hanya untuk mencari kekurangan pengantinku.

"Arrgghh!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status