Share

Bab 5

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-12 18:05:00

"Mi, udah di sini aja," ucapku saat masuk ke dalam rumah.

"Lah, katanya mau pipis?"

"Gak, jadi."

Aku memilih masuk ke dalam kamar. Kamar pengantin yang sudah dihias dan diberi wewangian. Aku mengintip dari kaca, apa yang sedang dilakukan orang itu di pelaminanku.

Kebetulan, pelaminanku memang berada di luar rumah. Jadi, rumah kosong, hanya ada barang-barang dekor serta perabotan tukang hias saja.

"Ngintip apaan?" tanya Mimi. Dia ikut masuk dan mengintip juga.

"Tuh lihat. Dia pasti sedang mencari informasi tentang suamiku," ucapku.

"Kamu ngundang Nenek Lampir, itu?" Mimi bertanya kembali.

"Enggak, Mi. Dia sendiri yang datang. Makanya, aku buru-buru masuk ke sini. Malas harus bertemu dengan dia. Melihat matanya yang suka mendelik, nada bicara yang suka ketus, juga kata-katanya yang selalu menyakitkan," ujarku menggerutu.

Mimi hanya manggut-manggut. Dia tahu betul kenapa aku tidak menyukai mantan calon mertuaku itu. Jangankan aku yang pernah langsung berhubungan dengan dia. Orang-orang sekitar sini pun tidak terlalu menyukai Ibunya Arga.

Aku melihat wanita yang pernah memakiku sedang bicara dengan Raffi. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi sepertinya Raffi hanya menanggapinya dengan senyum dan mengangguk saja.

"Eh, udah pergi, tuh. Balik, sana." Mimi mencolek pinggangku.

"Mi, kok aku merasa ini terlalu cepat, ya." Aku duduk di pinggir ranjang dengan seprai putih.

"Cepat apanya, Ra?"

"Pernikahanku."

"Kamu menyesal menikah dengan Mas Raffi?"

Aku diam, menggigit bibir yang tiba-tiba bergetar. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba air mataku jatuh tanpa sebab.

"Ya Allah, Ra. Kenapa jadi begini? Kenapa lamarannya kamu terima kalau kamu tidak cinta sama dia, Raya?" Mimi ikut duduk di sampingku.

"Aku tidak tahu, Mi. Aku bingung dengan perasaanku sendiri."

Mimi memberikan tisu untuk menghapus air mata yang berjatuhan.

"Raya, seharusnya kamu itu mikir dulu sebelum mengambil keputusan. Kamu menyesal, menikah sama Raffi yang tidak setampan teman-temannya? Kamu nyesel, karena punya suami yang buruk rup—"

"Mi, aku gak gitu. Aku rasa, aku terlalu terburu-buru," ucapku menundukkan kepala.

Aku kesal pada diriku sendiri. Aku ingin marah dan mencaci. Tapi, aku tidak bisa. Melihat Ibunya Arga, seperti membuka luka lama. Mengingatkanku pada pria yang dulu pernah aku cintai.

"Ra, sekarang aku tanya. Tujuan kamu nikah itu, untuk apa? Untuk membuktikan pada orang-orang kalau kamu bisa mendapatkan pria mapan, meski hanya orang miskin? Bisa bersanding dengan pria berpendidikan, meski hanya lulusan SMA? Iya, seperti itu?" cecar Mimi.

Aku tidak menjawab.

"Kalau tujuan kamu nikah hanya untuk itu, kamu salah, Ra. Kamu tidak akan bahagia. Coba, sekarang kamu lihat suamimu. Apa dia kaya? Bahkan datang ke sini pun, mereka hanya menggunakan bus pariwisata. Bukan kendaraan pribadi seperti kebanyakan orang kaya. Lalu, untuk apa pikiranmu itu? Buang Raihana Kamaya! Buang pikiran ingin menang, balas dendam pada mantan. Itu tidak penting! Sekarang, kamu seorang istri, pernikahan sudah selesai. Ini bukan lelucon," lanjutnya lagi.

Mimi berucap panjang lebar. Aku hanya jadi pendengar setia yang tanpa menyela sedikit pun ucapan Mimi.

Ya, memang itu tujuan awalku. Aku pikir, aku akan merasa puas, setelah aku menikah dengan seorang sarjana. Aku pikir, sakit hatiku akan langsung hilang dengan membuktikan jika aku pantas jadi seorang istri dari laki-laki yang berpendidikan.

Namun, aku salah. Hatiku tetap sakit melihat Ibunya Arga. Masa lalu yang ingin aku kubur, nyatanya tidak semudah itu untuk hancur.

"Astaghfirullah ...," lirihku seraya memejamkan mata.

Benar kata Mimi. Aku sudah menjadi seorang istri sekarang ini. Aku harus melupakan sakit hati, dan berjalan ke depan untuk masa depanku.

Bahagia atau menderita, itu ada pada diriku. Aku sudah mengambil langkah, maka aku harus menjalaninya.

"Raya, kenapa di sini? Kamu kenapa, Nak?" tanya Ibu. Ia masuk dan menangkup kedua pipiku.

"Tidak apa-apa, Bu. Tadi, aku sedang bercerita dengan Mimi. Aku sedih, karena besok harus meninggalkan Ibu dan Mimi," ujarku melirik pada Mimi yang matanya juling ke atas. Pasti dia kesal dengan alasanku ini.

"Kita tidak sedih, kok. Kita malah senang, karena kamu sudah menemukan jodohmu. Iya 'kan, Mi?" Ibu melemparkan pertanyaan pada sahabatku itu.

"Iya, betul," ucap Mimi menyenggol lenganku.

Ibu mengusap air mataku dengan tisu. Seorang perias membenarkan makeup agar terlihat lebih segar.

Aku kembali ke luar, menemani suamiku hingga acara selesai.

Rombongan dari keluarga serta saudara Mas Raffi sudah pulang terlebih dahulu. Tinggal orang tua, serta kedua kakak laki-laki Mas Raffi yang masih berada di sini. Rencananya, mereka akan menginap di penginapan dekat restoran tempatku bekerja. Kemudian, akan kembali ke Jakarta esok hari, bersamaku dan Raffi.

"Lelah?" tanya Raffi saat aku duduk selonjoran di atas ranjang.

"Pegal," kataku.

"Aku pijitin, mau?"

"Tidak usah. Mas, istirahat saja. Mas, juga pasti lelah, 'kan?"

"Aku sudah biasa lelah. Sini, berikan kakimu."

"Jangan!" ucapku cepat.

"Kenapa?"

"Kalau kakiku diberikan ke kamu, terus aku jalan pake apa?"

Tak!

Jari putih Raffi mampir di keningku. Dia tersenyum seraya menggeser kakiku dan memijitnya pelan.

Jika dilihat dari samping kanan, Raffi itu tampan. kulitnya putih bersih tanpa jerawat. Ada jambang tipis sebagai penghias rahangnya yang kokoh. Seandainya saja yang kiri pun sama, pasti dia akan terlihat semakin menawan.

Astaghfirullah ... pikiranku selalu saja seperti ini. Buru-buru aku mengalihkan pandangan pada ponsel.

Takdir Allah tidak akan bisa diubah. Begitu juga dengan bentuk fisik manusia. Semua mutlak dari yang Maha Kuasa.

"Ra."

"Hmm." Aku bergumam dengan mata fokus pada ponsel.

"Aku ke air dulu, ya. Tiba-tiba mules," ucapnya.

Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandangan.

Ada yang membuatku terusik. Saat membuka aplikasi biru, aku membaca dan melihat sebuah postingan yang di mana, aku dan Raffi jadi objek pembahasan di sana.

Entah siapa, dan tujuannya apa, seseorang dengan nama akun 'BUNDA RATU', memposting fotoku dan Raffi dengan caption 'Putri Halu dan Pangeran Buruk Rupa'.

Sontak saja, unggahan itu sudah rame dengan bermacam komentar. Ada yang menjunjung, ada juga yang menjatuhkan. Komentar dari salah satu orang yang aku kenal, membuat dadaku memanas.

[Berharap menikah dengan pria tampan, mapan, eh malah menikah sama orang utan.]

Tidak lupa, dia juga memberikan emoticon tertawa diakhir kalimatnya.

Lagi, Ibunya Arga selalu mengusikku. Sudah aku duga, dia hadir di pernikahanku hanya untuk mencari kekurangan pengantinku.

"Arrgghh!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   EXTRA PART SEASON 2

    "Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 273 Ending Season 2 Kebahagiaan yang Sempurna

    "Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 272 Telat

    "Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 271 Dipanggil Teteh

    "Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 270 Menjual Perhiasan

    "Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 269 Penangkapan Reyhan

    "Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status