Share

Bab 4

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-12 18:03:12

"Tapi, wajahnya hitam sebelah!"

Deg!

Ada yang berdenyut kala Aisha mengatakan hal itu.

"Hey, jangan bicara seperti itu, Nak. Tidak baik," ujar Teh Arini.

"Tidak apa-apa, Bu. Jangan dimarahi, saya tidak tersinggung. Apa yang dikatakan anak Ibu, memang benar adanya."

Kekagumanku pada pria ber jas putih ini semakin bertambah. Tidak ada raut tidak suka atau marah dari wajah Raffi, saat mengatakan hal tersebut. Ia begitu tenang dan malah tersenyum tulus pada orang tua Aisha.

"Saya minta maaf," ucap A Yusuf.

"Maaf, ya Ra?" Teh Arin melakukan hal yang sama padaku.

"Tidak apa, Teh. Aku baik-baik saja," jawabku.

Melihat kebesaran hati Raffi, membuatku semakin percaya diri. Kini hatiku semakin yakin, jika aku tidak salah memilih pasangan. Meskipun, rupa yang dimiliki dia tidak seperti wajah pria pada umumnya.

Bagian sebelah kiri wajah Raffi, hitam. Seperti tanda lahir, tapi sangat besar. Hingga menutup mata, pipi, sampai ke lehernya.

"Om ini gak jahat, Bu?" tanya Aisha membuka mata dan melihat wajah Raffi.

"Tidak, Neng. Ayo, salaman sama Om dan Kak Raya." Teh Arin mengarahkan anaknya.

Meski masih takut-takut, Aisha menerima uluran tangan Raffi. Kemudian, ia beralih padaku. Aku membungkukkan badan, memeluk gadis berusia enam tahun itu.

"Ra, untuk bekal menempuh hidup baru, tidak banyak, tapi mudah-mudahan bermanfaat." Aku menerima amplop yang diberikan A Yusuf.

Entah dengan apa aku harus mengucapkan terima kasih. Mereka begitu sangat baik padaku. Saat aku mengatakan akan menikah, Teh Arin sudah memberikan sejumlah uang untuk membantuku mempersiapkan pernikahan. Dan sekarang, mereka pun memberikanku amplop yang aku yakini isinya adalah uang juga.

Ya Allah ... panjangkanlah umur mereka. Lebihkanlah rezeki mereka dari yang telah mereka berikan padaku.

"Terima kasih, A. Seharusnya tidak usah repot-repot," ucapku tidak enak.

"Tidak apa-apa, Ra. Hanya sedikit," ujar A Yusuf lagi.

"Itu isinya uang, Kak. Warna merah, sepuluh lembar," celetuk Aisha membuat mata Teh Arin membulat ke arah anak itu.

Aisha menurunkan sepuluh jarinya seraya mendelikkan mata saat melihat ibunya melotot.

Sontak saja, ucapan Aisha membuat kami yang berada di pelaminan tertawa. Anak itu memang ceplas-ceplos. Dia selalu spontan dalam berucap.

Keluarga harmonis yang selalu rame itu bersiap turun dari pelaminan. Namun, kembali kita semua dikejutkan oleh aksi spontan dari Aisha.

Bugh!

"Aisha!!"

"Neng!!"

Aku dan semua orang yang mengenal dia, berteriak kencang saat melihat gadis kecil itu loncat dari pelaminan. Namun, Aisha hanya nyengir memperlihatkan gigi putihnya, tanpa rasa bersalah.

Seperti sedang menonton komedi, aksi Aisha membuat semua orang tertawa terpingkal.

Sedangkan Teh Arin, berjalan sembari menutup sebagian wajahnya dengan sebelah tangan. Mungkin malu dengan tingkah anak perempuannya itu.

"Dia lucu, ya?" ucap Raffi.

"Eh." Aku tersadar ternyata sejak tadi aku memegang tangan Raffi.

Refleks karena kaget melihat Aisha yang loncat, hingga membuatku seperti orang yang hilang ingatan.

"Kenapa dilepas? Halal, 'kan?" ucapnya lagi.

Aku hanya tersenyum tertunduk. Aku malu diperhatikan sedekat ini.

"Yang tadi, itu yang punya restoran tempat kamu kerja, 'kan?"

"Iya," jawabku.

"Aku baru tahu, kalau mereka punya anak."

"Itu, karena waktu Mas, ke sana, Aisha sedang sekolah. Terus, ngaji kalau sore hari."

Raffi mengangguk mengerti.

Pertemuan awal aku dan Raffi adalah saat aku bekerja di restoran. Dia adalah salah satu pengunjung yang singgah di sana.

Waktu itu, dia tengah liburan bersama teman-temannya. Katanya, mereka tengah menyusuri wisata pantai yang ada di Garut. Hingga akhirnya, sampai di daerahku.

Tidak ada yang aneh saat awal bertemu. Sama seperti pelayan dan pelanggan. Namun, bulan-bulan berikutnya dia kembali datang saat sedang patah hati.

Katanya, wanita yang dia sukai, menikah dengan orang lain. Dia juga bercerita kalau dia sudah jadi langganan ditolak banyak wanita karena wajahnya yang buruk rupa.

"Kamu tidak takut atau jijik dengan wajahku?" tanyanya.

"Tidak, Mas. Biasa saja," ucapku kala itu.

Kedekatan kita terus berlanjut hingga sering berkomunikasi lewat sambungan telepon. Awalnya, aku hanya ingin jadi teman dan pendengar yang baik untuknya. Tidak ada niatan untuk menikah dengan Raffi. Karena pada saat itu aku masih jadi kekasih pria lain.

Namun, saat dia tahu aku telah dicampakkan, tiba-tiba dia datang ke rumahku dan memintaku pada Ibu, untuk menjadi istrinya.

"Ibu, terserah kamu, Ra. Kalau kamu bersedia, ya terima. Jika tidak, ya tolak saja dengan halus," ujar Ibu saat itu.

Aku bingung. Hatiku baru saja hancur karena ucapan seorang pria dan ibunya. Aku takut, jika nanti akan merasakan hal yang sama.

Namun, seiring berjalannya waktu, entah kenapa aku semakin yakin pada Raffi. Aku beranggapan, jika orang seperti dia tidak akan pernah mendua. Dia akan setia. Karena dia ... berbeda.

Aku pun akhirnya menerima pinangannya. Dan disambut bahagia oleh keluarga besar Raffi. Berbanding terbalik dari keluarga Raffi, keluarga besarku justru awalnya tidak setuju dengan pernikahan ini.

Alasannya, karena wajah Raffi yang hitam sebelah. Aku dibilang bodoh, buta dan umpatan lainnya.

"Seperti tidak ada laki-laki lain saja."

"Emangnya pria di dunia ini cuma dia?"

"Kalau dia kaya. Kalau miskin? Malah membatin!"

Dan masih ujaran-ujaran yang tidak mengenakkan lainnya dari keluargaku. Namun, karena Ibu setuju, Ibu bilang silahkan, aku semakin yakin dengan pilihanku. Dia ... adalah jodohku.

"Simpan dulu ponselnya, ada yang datang," ujar Raffi.

Aku menyimpan ponselku dan melihat ke arah pintu masuk. Dadaku berdetak kencang melihat dia yang sangat aku kenali.

Seingatku, aku tidak mengundang dia untuk hadir. Tapi, kenapa dia harus datang?

"Mas, aku kebelet. Kamu aja yang di sini, aku ke belakang dulu," ujarku.

Aku sudah bersumpah untuk tidak ingin bertemu dengannya lagi. Aku benci padanya, kata-katanya, yang masih terngiang di telingaku.

"Ya, gak papa. Kamu hati-hati," ucap Raffi.

"Mimi, bantuin!" Aku berteriak pada temanku itu.

Buru-buru Mimi mendekat membantuku yang kesulitan dengan gaun yang lebar berekor panjang. Aku harus segera turun dari pelaminan, sebelum dia datang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Asnidar Ummu Syifa
tetangga kampung juga ada yg seperti itu tapi cewek sebelah wajahnya hitam dan agak berbulu tapi tetap cantik dengan rambut tebal, bulu mata lebat.awal lihat aneh tapi lama kelamaan biasa sj, kami juga gk pernah mengejek atw apapun itu,dia juga nyaman² sj brinteraksi dengan kami
goodnovel comment avatar
Novitra Yanti
menghindar tak menyelesaikan masalah...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   EXTRA PART SEASON 2

    "Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 273 Ending Season 2 Kebahagiaan yang Sempurna

    "Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 272 Telat

    "Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 271 Dipanggil Teteh

    "Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 270 Menjual Perhiasan

    "Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 269 Penangkapan Reyhan

    "Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status