Share

Bab 6

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2022-12-12 18:06:43

"Astaghfirullah, Raya. Ada apa? Kenapa ponselnya di lempar?" Mas Raffi yang baru saja masuk, terheran karena aku melemparkan benda pipih itu tepat di kakinya.

Aku memalingkan wajah. Enggan terlihat sedang emosi oleh matanya. Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

Mas Raffi mengambil ponselku. Ia menekan tombol yang berada di samping, lalu layar pun menyala.

"Sini, Mas. Jangan dilihat!" kataku berusaha merebut benda itu darinya.

Mas Raffi mengangkat ponselku ke atas. "Sebentar, aku mau lihat apa yang membuatmu marah," ucapnya.

"Tidak ada, aku hanya iseng saja."

Namun, usahaku untuk mencegahnya gagal. Ia mengerutkan kening, matanya fokus pada layar ponsel yang menyala.

Di sampingnya, aku berdiri dengan menggigit jari telunjuk. Aku merasa was-was, takut jika dia sakit hati dengan postingan yang baru saja membuatku naik darah.

"Ini yang membuatmu marah?" tanyanya seraya memberikan ponsel yang masih menyala.

Aku tertegun dalam kebingungan.

Sikapnya di luar dugaan. Aku kira, dia akan marah, sakit hati, atau bahkan langsung diam dan tidak ingin bicara lagi. Tapi, dia tidak seperti itu.

Saat memberikan ponsel padaku, bahkan bibirnya masih menyuguhkan senyum yang begitu manis.

"Mas, gak marah?" Aku balik bertanya.

"Untuk apa? Apa ada yang salah dengan postingan itu?"

Aku menggaruk kepala. Daleman jilbab yang bersanggul, aku lepas dan aku lempar sekenanya.

"Mereka ngehina kamu, lho. Dan kamu gak marah?" ujarku lagi seraya menatapnya lekat.

"Sini, akan aku jelaskan." Mas Raffi membimbingku untuk duduk. Sekarang, kami duduk saling berhadapan.

"Aku, tidak marah. Aku, tidak sakit hati," ucapnya.

Tangannya mengambil kapas, menuangkan air mawar hingga kapas menjadi basah. Lalu, mengusapkannya perlahan ke keningku.

"Stok amarahku sudah habis jika untuk soal itu. Aku sudah tidak peduli dengan omongan di luaran sana, yang mengomentari wajah ini. Aku sudah kebal," ujarnya.

Aku terus menatap wajahnya. Memang tidak begitu buruk, tapi sedikit membuatku geli. Seperti ... dua wajah dalam satu kepala.

"Untuk sakit hati pun, aku rasa tidak perlu. Karena apa? Karena hinaan dan cacian sudah mendarah daging dalam hidupku. Buruk rupa, si belang, jelek, penyakit kutukan, dan lain sebagainya sudah biasa aku dengar. Bahkan, dari dulu. Sejak aku kecil."

Sekarang, sentuhan tangan Mas Raffi beralih pada pipiku. Seperti sebelumnya, dia melakukan itu dengan sangat pelan.

"Selama itu juga, Mas gak marah?" tanyaku.

"Dulu, iya. Waktu kecil. Tidak mau bergaul, tidak mau keluar rumah. Tidak memiliki kepercayaan diri. Akhirnya, Mama dan Papa menyuruhku agar menjadikan hinaan, menjadi sebuah pujian."

"Emang bisa?"

"Awalnya berat, susah. Tapi, lama kelamaan jadi terbiasa."

"Gimana caranya, Mas? Kalau dihina, tetap saja sakit," ujarku.

"Gini." Mas Raffi menarik tangannya, dan duduk dengan tegak.

"Raffi, kamu itu kayak monyet. Aku jawab aja, makasih Tante, makasih Kakak, aku emang tampan. Aku manusia langka dan istimewa."

"Hihihi!" Aku menutup mulutku, tertawa cekikikan melihat tingkah Mas Raffi yang menelengkan kepalanya ke kanan dan kiri.

"Loh, kok ketawa?" tanyanya.

"Habisnya kamu lucu, masa iya jawabnya gitu?"

"Itu kan, waktu masih kecil. Aku jawabnya kayak gitu. Lagipula, aku itu selalu dikawal. Keempat kakakku selalu jadi perisai. Mereka selalu setia dan ada di mana pun aku berada."

Ternyata, Mas Raffi laki-laki yang menyenangkan. Dia tidak sekaku dan sedingin waktu kita pertama bertemu.

Ada yang berdebar di dalam dadaku ketika melihat Mas Raffi tersenyum. Aku seperti terhanyut dalam ketulusan dan ketegaran hatinya. Dia laki-laki dewasa yang sangat mengayomi wanita.

Sepertinya, hidupku tidak akan sia-sia mendampingi pria sepertinya. Dan aku yakin, jika dia tidak akan pernah menyakitiku. Mudah-mudahan.

"Bisa selesaikan sendiri?" ucap Mas Raffi mengangkat kapas dan air mawar.

"Oh, tentu."

"Sebenarnya, tadi aku sudah wudhu, tapi batal karena harus memenangkan Tuan Putri yang tengah marah besar," ucapnya melihatku tanpa berkedip.

Aku menunduk, menghindari tatapan darinya yang tiba-tiba membuatku jadi salah tingkah.

Ya Tuhan ... jantungku berasa diguncang!

"Ya, gimana lagi. Aku sakit hati membaca langsung komentar yang menghina kamu, Mas," ucapku seraya memilin ujung piyama.

"Santai saja, aku aja gak sakit hati, kok."

"Kamu enggak, tapi aku sakit hati, karena ...."

"Karena apa?" tanyanya.

"Karena kamu suamiku," jawabku cepat.

"Oh, kirain karena kamu cinta sama aku." Mas Raffi berdiri dan keluar dari kamar.

Aku mengembuskan napas kasar. Mengangkat kaki ke atas ranjang, lalu guling-guling di sana.

Sumpah, baru kali ini aku menemukan pria seperti Raffi. Dia begitu sopan, tuturnya yang halus, membuat setiap kata yang keluar dari bibirnya menjadi sebuah syair yang menenangkan hatiku.

"Kamu ngapain, Ra?"

Brugh!

"Aw!"

Aku memekik saat tubuhku jatuh dari ranjang. Kenapa juga, Mas Raffi harus masuk secara tiba-tiba. Tidak bisakah dia membiarkanku untuk tenang tanpa merasa berdebar terus?

'Tidak berdebar? Mati, dong.'

Aku bingung sendiri mencari jawaban yang tepat untuk kukatakan kepada Raffi.

"Ra, kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Iya, em ... sebenarnya aku sakit perut, Mas. Tapi, gak papa, ini gak parah," ucapku seraya langsung berdiri. Merapikan rambut yang berantakan akibat guling-guling di kasur.

"Mungkin kamu belum makan, jadinya perut kamu sakit." Mas Raffi masih melihatku dengan khawatir.

"Makan dulu, sana. Tadi, Ibu juga nawarin aku makan, tapi aku mau solat ashar dulu," lanjutnya lagi.

"Iya, Mas. Aku ke dapur, ya?" ucapku seraya memegang perut.

Aku berjalan memiringkan tubuh agar tidak bersentuhan dengan Mas Raffi. Maklum, kamarku kecil dan sempit.

"Eh, sejadah ada di rak paling atas," tunjukku pada rak portable berwarna merah muda.

Mas Raffi mengangguk dengan menyunggingkan senyum.

Aku keluar dari kamar dan menghampiri Ibu yang tengah berada di dapur. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tengah membereskan perabotan bekas perasmanan, bersama saudara yang lain.

Kami tidak memakai jasa katering, karena memang acara pun digelar sangat sederhana. Menurut Ibu, orang seperti kami ini tidak perlu mengadakan pesta mewah. Daripada untuk pesta, mending uangnya ditabung untuk bangun rumah.

"Ra, ada tamu di luar. Katanya, mau ketemu sama suamimu," ujar Bibi, adiknya Ibu.

Aku mengangguk dan berjalan ke ruang depan setelah sebelumnya menyambar kerudung yang teronggok di atas meja makan. Entah punya siapa.

"Siapa, ya?" tanyaku.

Pria yang memakai kemeja navy itu, menghampiriku yang berdiri di ambang pintu.

"Permisi, Bu, saya mau mengantarkan mobil, Bapak. Ini kuncinya."

Mobil?

Oh, mungkin mobil yang biasa dipakai Mas Raffi bekerja. Dia kan supir taksi online. Tapi, kok pria itu manggil suamiku, dengan sebutan 'bapak'?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ade Rosi
mulai seru maksudnya
goodnovel comment avatar
Ade Rosi
mulai seri nih
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
orang kaya raffi.. mungkin jg wajahnya cm pura2 buat cr wanita yg tulus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   EXTRA PART SEASON 2

    "Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 273 Ending Season 2 Kebahagiaan yang Sempurna

    "Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 272 Telat

    "Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 271 Dipanggil Teteh

    "Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 270 Menjual Perhiasan

    "Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 269 Penangkapan Reyhan

    "Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status