Share

Bab 6

"Astaghfirullah, Raya. Ada apa? Kenapa ponselnya di lempar?" Mas Raffi yang baru saja masuk, terheran karena aku melemparkan benda pipih itu tepat di kakinya.

Aku memalingkan wajah. Enggan terlihat sedang emosi oleh matanya. Kutarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan.

Mas Raffi mengambil ponselku. Ia menekan tombol yang berada di samping, lalu layar pun menyala.

"Sini, Mas. Jangan dilihat!" kataku berusaha merebut benda itu darinya.

Mas Raffi mengangkat ponselku ke atas. "Sebentar, aku mau lihat apa yang membuatmu marah," ucapnya.

"Tidak ada, aku hanya iseng saja."

Namun, usahaku untuk mencegahnya gagal. Ia mengerutkan kening, matanya fokus pada layar ponsel yang menyala.

Di sampingnya, aku berdiri dengan menggigit jari telunjuk. Aku merasa was-was, takut jika dia sakit hati dengan postingan yang baru saja membuatku naik darah.

"Ini yang membuatmu marah?" tanyanya seraya memberikan ponsel yang masih menyala.

Aku tertegun dalam kebingungan.

Sikapnya di luar dugaan. Aku kira, dia akan marah, sakit hati, atau bahkan langsung diam dan tidak ingin bicara lagi. Tapi, dia tidak seperti itu.

Saat memberikan ponsel padaku, bahkan bibirnya masih menyuguhkan senyum yang begitu manis.

"Mas, gak marah?" Aku balik bertanya.

"Untuk apa? Apa ada yang salah dengan postingan itu?"

Aku menggaruk kepala. Daleman jilbab yang bersanggul, aku lepas dan aku lempar sekenanya.

"Mereka ngehina kamu, lho. Dan kamu gak marah?" ujarku lagi seraya menatapnya lekat.

"Sini, akan aku jelaskan." Mas Raffi membimbingku untuk duduk. Sekarang, kami duduk saling berhadapan.

"Aku, tidak marah. Aku, tidak sakit hati," ucapnya.

Tangannya mengambil kapas, menuangkan air mawar hingga kapas menjadi basah. Lalu, mengusapkannya perlahan ke keningku.

"Stok amarahku sudah habis jika untuk soal itu. Aku sudah tidak peduli dengan omongan di luaran sana, yang mengomentari wajah ini. Aku sudah kebal," ujarnya.

Aku terus menatap wajahnya. Memang tidak begitu buruk, tapi sedikit membuatku geli. Seperti ... dua wajah dalam satu kepala.

"Untuk sakit hati pun, aku rasa tidak perlu. Karena apa? Karena hinaan dan cacian sudah mendarah daging dalam hidupku. Buruk rupa, si belang, jelek, penyakit kutukan, dan lain sebagainya sudah biasa aku dengar. Bahkan, dari dulu. Sejak aku kecil."

Sekarang, sentuhan tangan Mas Raffi beralih pada pipiku. Seperti sebelumnya, dia melakukan itu dengan sangat pelan.

"Selama itu juga, Mas gak marah?" tanyaku.

"Dulu, iya. Waktu kecil. Tidak mau bergaul, tidak mau keluar rumah. Tidak memiliki kepercayaan diri. Akhirnya, Mama dan Papa menyuruhku agar menjadikan hinaan, menjadi sebuah pujian."

"Emang bisa?"

"Awalnya berat, susah. Tapi, lama kelamaan jadi terbiasa."

"Gimana caranya, Mas? Kalau dihina, tetap saja sakit," ujarku.

"Gini." Mas Raffi menarik tangannya, dan duduk dengan tegak.

"Raffi, kamu itu kayak monyet. Aku jawab aja, makasih Tante, makasih Kakak, aku emang tampan. Aku manusia langka dan istimewa."

"Hihihi!" Aku menutup mulutku, tertawa cekikikan melihat tingkah Mas Raffi yang menelengkan kepalanya ke kanan dan kiri.

"Loh, kok ketawa?" tanyanya.

"Habisnya kamu lucu, masa iya jawabnya gitu?"

"Itu kan, waktu masih kecil. Aku jawabnya kayak gitu. Lagipula, aku itu selalu dikawal. Keempat kakakku selalu jadi perisai. Mereka selalu setia dan ada di mana pun aku berada."

Ternyata, Mas Raffi laki-laki yang menyenangkan. Dia tidak sekaku dan sedingin waktu kita pertama bertemu.

Ada yang berdebar di dalam dadaku ketika melihat Mas Raffi tersenyum. Aku seperti terhanyut dalam ketulusan dan ketegaran hatinya. Dia laki-laki dewasa yang sangat mengayomi wanita.

Sepertinya, hidupku tidak akan sia-sia mendampingi pria sepertinya. Dan aku yakin, jika dia tidak akan pernah menyakitiku. Mudah-mudahan.

"Bisa selesaikan sendiri?" ucap Mas Raffi mengangkat kapas dan air mawar.

"Oh, tentu."

"Sebenarnya, tadi aku sudah wudhu, tapi batal karena harus memenangkan Tuan Putri yang tengah marah besar," ucapnya melihatku tanpa berkedip.

Aku menunduk, menghindari tatapan darinya yang tiba-tiba membuatku jadi salah tingkah.

Ya Tuhan ... jantungku berasa diguncang!

"Ya, gimana lagi. Aku sakit hati membaca langsung komentar yang menghina kamu, Mas," ucapku seraya memilin ujung piyama.

"Santai saja, aku aja gak sakit hati, kok."

"Kamu enggak, tapi aku sakit hati, karena ...."

"Karena apa?" tanyanya.

"Karena kamu suamiku," jawabku cepat.

"Oh, kirain karena kamu cinta sama aku." Mas Raffi berdiri dan keluar dari kamar.

Aku mengembuskan napas kasar. Mengangkat kaki ke atas ranjang, lalu guling-guling di sana.

Sumpah, baru kali ini aku menemukan pria seperti Raffi. Dia begitu sopan, tuturnya yang halus, membuat setiap kata yang keluar dari bibirnya menjadi sebuah syair yang menenangkan hatiku.

"Kamu ngapain, Ra?"

Brugh!

"Aw!"

Aku memekik saat tubuhku jatuh dari ranjang. Kenapa juga, Mas Raffi harus masuk secara tiba-tiba. Tidak bisakah dia membiarkanku untuk tenang tanpa merasa berdebar terus?

'Tidak berdebar? Mati, dong.'

Aku bingung sendiri mencari jawaban yang tepat untuk kukatakan kepada Raffi.

"Ra, kamu baik-baik saja, 'kan?"

"Iya, em ... sebenarnya aku sakit perut, Mas. Tapi, gak papa, ini gak parah," ucapku seraya langsung berdiri. Merapikan rambut yang berantakan akibat guling-guling di kasur.

"Mungkin kamu belum makan, jadinya perut kamu sakit." Mas Raffi masih melihatku dengan khawatir.

"Makan dulu, sana. Tadi, Ibu juga nawarin aku makan, tapi aku mau solat ashar dulu," lanjutnya lagi.

"Iya, Mas. Aku ke dapur, ya?" ucapku seraya memegang perut.

Aku berjalan memiringkan tubuh agar tidak bersentuhan dengan Mas Raffi. Maklum, kamarku kecil dan sempit.

"Eh, sejadah ada di rak paling atas," tunjukku pada rak portable berwarna merah muda.

Mas Raffi mengangguk dengan menyunggingkan senyum.

Aku keluar dari kamar dan menghampiri Ibu yang tengah berada di dapur. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu tengah membereskan perabotan bekas perasmanan, bersama saudara yang lain.

Kami tidak memakai jasa katering, karena memang acara pun digelar sangat sederhana. Menurut Ibu, orang seperti kami ini tidak perlu mengadakan pesta mewah. Daripada untuk pesta, mending uangnya ditabung untuk bangun rumah.

"Ra, ada tamu di luar. Katanya, mau ketemu sama suamimu," ujar Bibi, adiknya Ibu.

Aku mengangguk dan berjalan ke ruang depan setelah sebelumnya menyambar kerudung yang teronggok di atas meja makan. Entah punya siapa.

"Siapa, ya?" tanyaku.

Pria yang memakai kemeja navy itu, menghampiriku yang berdiri di ambang pintu.

"Permisi, Bu, saya mau mengantarkan mobil, Bapak. Ini kuncinya."

Mobil?

Oh, mungkin mobil yang biasa dipakai Mas Raffi bekerja. Dia kan supir taksi online. Tapi, kok pria itu manggil suamiku, dengan sebutan 'bapak'?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ade Rosi
mulai seru maksudnya
goodnovel comment avatar
Ade Rosi
mulai seri nih
goodnovel comment avatar
inggrid LARUSITA Nganjuk
orang kaya raffi.. mungkin jg wajahnya cm pura2 buat cr wanita yg tulus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status