Share

Bab 7

"Mas, ada tamu di depan," ucapku setelah melihat Mas Raffi menyelesaikan salatnya.

Ia berbalik melihatku.

"Siapa?" tanyanya.

"Gak tahu, nganterin ini." Aku memperlihatkan kunci mobil yang diberikan pria tadi.

Mas Raffi membulatkan mulut dengan kepala yang manggut-manggut.

"Hm ... apa dia bicara sesuatu padamu?" Suamiku kembali bertanya.

"Tidak. Hanya bilang nganterin mobil saja, sekarang masih di depan. Lagi ngobrol sama Ibu." Aku duduk di pinggir ranjang.

Mas Raffi berdiri. Ia mengelus kepalaku sebentar, lalu keluar dengan buru-buru.

Baru juga aku akan bertanya kenapa pria itu memanggilnya 'bapak', tapi Mas Raffi keburu pergi. Padahal, kalau dilihat lebih tua orang tadi di bandingkan suamiku.

Aku keluar dari kamar, ingin ikut nimbrung ngobrol bersama mereka. Namun, aku tidak melihat keduanya di ruang depan. Tidak ada tamu, juga tidak ada suamiku di sana.

Di mana mereka?

Aku melihat ke luar rumah. Mobil yang dibawa orang tadi pun tidak ada. Aku panik, pikiranku langsung buruk. Jangan-jangan mereka kabur. Atau, pria tadi menculik Mas Raffi.

"Bu!"

Aku berteriak seraya masuk ke dapur.

"Apa, Ra?"

"Mas Raffi ke mana?" tanyaku langsung.

"Cieee ... pengantin baru. Baru juga ditinggal bentar, udah nyari-nyari suaminya."

Bukannya menjawab pertanyaanku, Ibu malah menggodaku. Bukan hanya Ibu, tapi saudara-saudaraku yang masih ada di sini, ikut nimbrung menggodaku.

"Bukan gitu, itu ada telepon di hapenya dia. Takut penting," ujarku berbohong.

"Raffi katanya pergi sebentar. Tadi, dia ijin sama Ibu, mau ke bengkel buat benerin mobil."

"Oh," kataku seraya duduk di kursi meja makan.

Aku memutar tutup toples, mengambil kue kering dari dalam sana, lalu memakannya.

"Ra, kamu sudah solat?" Ibu kembali bersuara.

"Aku gak solat, Bu. Aku lagi haid."

"Kapan?" tanya Ibu.

"Tadi, pas waktu dzuhur," jawabku seraya mengunyah kue.

"Ya Allah, kasihan sekali si Raffi, gak bisa nganu, ya dia!" seru Bibi dari arah kamar mandi. Dia yang tengah mencuci piring, langsung menelengkan kepala sembari berseru.

Sedangkan aku, mengerucutkan bibir seraya menggigit kue dengan rakus.

Ini bukan mauku. Bukan juga rencanaku. Padahal, baru tiga minggu yang lalu aku selesai datang bulan. Dan tiba-tiba sekarang tamu itu datang lagi.

"Ya, enggak apa-apa, kali Raya datang bulan. Malah bagus, siapa tahu aja nanti malam dia berubah pikiran dan tiba-tiba minta cerai karena matanya sudah terbuka lebar," celetuk Naima, anaknya Bibi.

"Naima!" Bibi menyebut nama anaknya dengan keras.

"Apa, sih Ma? Benar 'kan, apa yang aku katakan?" ucapnya lagi tanpa rasa bersalah.

Aku mengepalkan kedua tanganku bersiap untuk memberi pelajaran pada wanita satu anak itu. Namun, Ibu memegangnya. Menggelengkan kepala seraya menatapku sendu.

Aku berdiri dan memilih pergi ke kamar. Menjatuhkan tubuhku dan berbaring di atas ranjang pengantin.

Samar-samar, aku mendengar suara Bibi yang tengah menasehati anaknya. Disusul suara Ibu, yang menengahi anak dan ibu yang sedang beradu mulut. Aku mengambil bantal, menutup telingaku agar tidak mendengar suara-suara yang tidak mengenakkan dari bibir Naima.

"Dasar, tukang nyinyir," umpatku.

Dari dulu, dia selalu jadi saudara yang paling banyak komentar. Semua tentangku dia komentari. Bahkan, dia yang paling senang saat aku berpisah dengan Arga. Dia bangga, karena bisa membuktikan omongannya yang bilang kalau aku tidak pantas dengan pria seperti Arga.

Naima tidak mau aku mengalahkan dia yang sudah menikah terlebih dahulu dengan seorang guru sekolah dasar, dan punya anak. Dia selalu beranggapan kalau dia paling baik, paling hebat, dan paling beruntung.

*

"Assalamualaikumwarahmatullah ...."

Aku membuka mata, samar-samar kulihat Mas Raffi sedang duduk di atas sejadah. Aku beringsut duduk dengan menyandarkan punggung pada tembok.

"Sudah bangun?" ucapnya melihatku.

Aku mengangguk, merapikan rambutku.

"Nyenyak sekali tidurnya. Lelah, ya?" tanyanya lagi.

Mas Raffi menyimpan sejadah, lalu dia duduk bersila di depanku.

"Iya. Mas, tadi salat apa?" tanyaku.

Jujur saja, setelah mendengarkan Naima yang bertengkar dengan Bibi, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Sepertinya, aku tidur setengah pingsan.

"Solat maghrib. Tuh." Mas Raffi menunjuk jam bergambar Hello Kitty yang sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit.

Aku hanya membulatkan mulut seraya manggut-manggut.

"Mas, dari mana? Lama sekali perginya," ucapku merapikan bantal yang tadi aku lempar ke sembarang arah.

"Dari bengkel, terus lihat Mama sama Papa di penginapan. Takutnya mereka gak kerasan, tapi alhamdulillah mereka suka dengan tempatnya."

Ah, seandainya aku memiliki rumah yang besar, mungkin mertuaku tidak harus menginap di vila. Apalah daya, rumah peninggalan Bapak ini, hanya memiliki dua kamar dengan satu ruang tamu yang tidak terlalu besar. Ruang makan yang menyatu dengan dapur, dan kamar mandi satu untuk semua.

"Kok, cemberut? Kenapa?" tanya Mas Raffi menatapku dengan lekat.

"Hmm ... enggak apa-apa. Aku lapar. Makan, yuk!"

Mas Raffi mengangguk, kemudian kami keluar dari kamar bersamaan.

"Nak, baru saja Ibu mau panggil kalian untuk makan. Mari, duduk di sini, kita makan bareng-bareng," ucap Ibu menyambut aku dan suamiku.

"Makasih, Bu. Maaf, jadi ngerepotin Ibu." Mas Raffi duduk di kursi yang ditunjuk Ibu.

"Tidak ada yang direpotkan. Ayo, dimakan."

Dapur sudah sepi. Hanya ada Ibu di ruangan ini. Itu artinya, Bibi sudah pulang. Baguslah, telingaku jadi aman, tidak harus mendengar kata-kata menyakitkan yang diucapkan Naima. Bibi itu orangnya baik, sama seperti Ibu. Perhatian dan sayang padaku. Bibi juga sering membelikanku baju lebaran, saat aku belum bekerja dulu. Tapi, sayangnya Naima tidak mewarisi sifat Bibi.

"Jangan celingak-celinguk, Ra." Ibu menasehati.

"Eh, iya Bu."

Selesai makan, aku dan Ibu, serta Mas Raffi, duduk lesehan di ruang tengah. Menonton televisi, seraya membuka amplop dari tamu undangan tadi.

"Alhamdulilah, Ra. Yang sayang sama kamu itu banyak. Ini untuk bekal kalian," ujar Ibu saat membuka amplop yang isinya uang berwarna merah.

Aku dan Mas Raffi hanya tersenyum.

"Lah, Bu. Ini mah dua rebu," kataku memperlihatkan isi amplop itu pada Ibu.

Ibu terbahak sampai matanya berair.

"Ini apa, Ra?" tanya Ibu seraya mengeluarkan isi dari amplop yang ia pegang.

"Kayak tisu, Bu. Tisu basah yang buat perabotan kayaknya," ujar Mas Raffi.

"Lah, dikira kita galon, ya Bu, dikirimin tisu basah!" ujarku.

Ibu terbahak lagi sampai terbatuk-batuk. Sedangkan Mas Raffi, hanya tersenyum simpul seraya mengunyah keripik singkong.

Ada-ada saja mereka. Idenya beda-beda. Perutku jadi sakit karena terus tertawa. Padahal, aku dan Ibu tidak pernah mengharapkan apa pun, selain doa yang baik untuk rumah tangga kita. Jika pun ada yang memberi, itu rezeki buat kita.

"Alhamdulilah, Ra. Ini semua rezeki kalian. Disimpan, ya buat bekal besok," ujar Ibu menggeser tumpukan uang itu ke depanku.

"Ibu, sebaiknya itu buat Ibu saja. Ibu yang simpen." Aku melihat pada pria yang barusan bersuara.

"Ibu? Jangan Nak, Raffi. Ini hak kalian, rezeki kalian."

"Itu rezeki kami, dan kami memberikan itu untuk Ibu. Kami ikhlas, iya 'kan, Ra?"

"Iya," jawabku singkat.

Aku tidak percaya jika Mas Raffi akan sebaik itu. Aku kira, dia akan mengambil sebagian, atau bahkan hanya membagi Ibu sebagian kecil saja.

"Tapi, Nak ...."

"Ibu, aku memang bukan orang kaya, Raffi hanya seorang anak manusia yang memiliki banyak kekurangan. Tapi ... Raffi janji sama Ibu. Raya anak Ibu, tidak akan kekurangan makan selama hidup dengan Raffi. Semua kebutuhan Raya, insya Allah akan Raffi penuhi. Bismillah," ujar Mas Raffi menggenggam tangan Ibu. Matanya begitu yakin dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Aku langsung memeluk tubuh Ibu, yang kini matanya sudah berkaca-kaca. Demi Tuhan, aku tersentuh dengan kata-kata yang Mas Raffi ucapkan.

Semoga ini awal yang baik untuk pernikahan kami.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
marisa mokos
butuh koin
goodnovel comment avatar
yara
menantu yg baik..mau dong 1 suami kyk gt..wkwkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status