Share

Bab 8

Author: Pena_yuni
last update Huling Na-update: 2023-01-17 21:47:25

"Mas, nanti di Jakarta, kita tinggal bersama orang tua Mas, atau kita ngontrak?" tanyaku.

Saat ini, kami sudah berada di kamar. Kami sama-sama merebahkan diri di ranjang pengantin. Aku tidur berbantalkan lengan kekar Mas Raffi, dengan menghadap ke arahnya. Sedang dia, tidur terlentang dengan mata melihat langit-langit kamar yang terbuat dari anyaman bambu.

"Kita tinggal di rumah Papa dan Mama. Kamu tidak keberatan, 'kan?"

Aku meneguk ludah dengan kasar.

Jika boleh meminta, aku ingin hidup mengontrak saja. Karena aku takut jika nanti tidak bisa jadi menantu yang baik. Apalagi, katanya orang tua yang hidup di kota, selalu ikut campur sama urusan rumah tangga anaknya. Menurut cerita yang aku baca.

Mudah-mudahan tidak dengan orang tua Mas Raffi.

"Kenapa diam? Keberatan?" tanya Mas Raffi lagi.

"Tidak. Aku hanya sedang membayangkan Kota Jakarta. Aku belum pernah ke sana." Aku menatap Mas Raffi yang juga tengah melihatku.

Kini, ia menggeser tubuhnya hingga berhadapan denganku. Tangannya terulur mengelus rambutku yang tergerai. Napas hangatnya begitu terasa lembut mengenai keningku.

"Besok, akan berangkat jam berapa?" tanyaku lagi.

"Pagi saja, biar santai di jalannya."

Aku mengangguk. Tangan Mas Raffi yang tadi mengelus rambutku, kini beralih ke pinggang. Memelukku dengan sayang, setelah sebelumnya mengecup pucuk kepalaku.

Sekarang, hanya ada helaan napas dan dengkuran halus yang terdengar dari suamiku itu. Ia sudah tertidur, sedangkan aku masih terjaga.

"Tidur yang nyenyak, Mas," ucapku seraya mengusap pipinya. Pipi hitam, yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Seandainya saja aku punya ilmu seperti Jini Oh Jini, mungkin besok dia akan mendapati wajah mulus tanpa cela. Tapi, kalau dia tidak memiliki tanda lahir seperti ini, mungkinkah dia masih mau dengan wanita kampung sepertiku?

"Tidak, tidak. Lebih baik seperti ini saja, daripada tampan dan sempurna. Nanti malah aku yang menderita."

Seperti orang gila. Aku terus bergumam dan membayangkan yang tidak-tidak.

Sebelah tangan Mas Raffi yang melingkar di pinggangku, aku singkirkan. Dengan pelan, aku turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Niat hati ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil, tapi langkahku terhenti saat melihat pintu kamar Ibu yang terbuka sedikit.

Aku mengintip dan melihat sedang apa wanita hebatku itu. Keningku mengkerut saat melihat pundak Ibu bergetar sembari duduk membelakangi pintu.

"Pak, anak kita sudah menemukan jodohnya. Dia pria baik, insya Allah sholeh, dan bisa menjaga putri kita. Dia memang tidak seperti pria lainnya, ada tanda lahir yang menutupi ketampanan wajahnya. Tapi, bapak jangan khawatir, dia pria yang bertanggung jawab."

Aku menutup mulut, saat melihat Ibu, tengah berbicara pada foto Bapak yang sudah usang. Ia sedang mengadu pada Bapak, lewat sebuah foto yang warnanya sudah memudar.

"Ibu," ucapku mengusap pundaknya.

Ibu menoleh, mata sayunya memerah dan berair.

"Kenapa belum tidur, Ra?" tanyanya.

Aku berjalan beberapa langkah, hingga kini aku berdiri di depan Ibu. Aku merendahkan tubuhku, kemudian duduk dengan memeluk kaki Ibu. Menyimpan kepala ini di pangkuan wanita yang telah melahirkanku itu.

"Aku tidak bisa tidur, Bu. Bagaimana dengan Ibu, kalau aku pergi ikut Mas Raffi?"

Tangan Ibu menyentuh kepalaku, membelainya hingga aku terpejam menikmati sentuhan jari-jari yang sudah mulai keriput itu.

"Jangan pikirkan Ibu, Ibu akan baik-baik saja di sini. Dengar, Nak." Ibu mengangkat kepalaku, menangkup kedua pipi ini hingga aku bersitatap dengannya. "Jadilah pakaian untuk suamimu. Jadilah istri yang baik, nurut pada suami. Dia adalah jalanmu menuju surganya Allah. Ridho Allah, ada pada suamimu," ujar Ibu menjiwil hidungku.

Aku mengangguk seraya menahan air mata yang sudah menggenang. Pertahankanku jebol, saat Ibu menciumi wajahku.

Rasanya aku belum puas membahagiakan Ibu. Bahkan belum bisa memberikan yang terbaik untuknya. Namun, besok aku harus pergi untuk mengabdikan diri pada keluarga suamiku. Meninggalkan Ibu, dalam kesendirian.

"Sudah, jangan menangis. Pergi ke kamarmu sekarang. Suamimu pasti sedang menunggumu," suruh Ibu seraya mengusap air mata yang membasahi pipiku.

"Boleh, aku tidur bersama Ibu, malam ini?"

"Tidak boleh, kamu sudah punya suami. Maka, tidurlah dengannya. Jangan manja," ucapnya lagi.

Aku mengerucutkan bibir. Ibu memang wanita hebat. Di belakangku, ia menangis hingga matanya memerah. Tapi, di depanku, tidak satu tetes air mata pun yang jatuh dari matanya.

Aku semakin kagum dan sayang pada wanitaku ini. Wanita paling tangguh yang aku punya.

"Sebentar." Ibu berdiri dan mengambil sesuatu dari laci meja.

"Ini, bawalah bersamamu."

"Tapi, Bu ...."

"Bawa, Rin. Untuk jaga-jaga sekiranya nanti suamimu sakit dan tidak bisa bekerja, ini akan membantumu."

Sebuah cincin dengan ukiran pita di bagian atasnya itu, Ibu berikan padaku.

"Bu ...."

Ibu mengangguk, sebagai kode agar aku tidak menolak keinginannya.

Meski berat, aku pun mengambil cincin itu dan memakainya. Kebesaran di jariku, tapi nanti akan aku simpan jika sudah sampai di kamar.

*

"Ingat-ingat, sekiranya apa yang ketinggalan," ujar Ibu pada suamiku yang tengah membereskan barang ke dalam mobil, yang akan kami bawa ke Jakarta.

Sedangkan aku, berdiri dengan memeluk tubuh Ibu. Meskipun menyakitkan, tapi perpisahan ini tidak bisa dibatalkan. Aku akan pergi, meninggalkan Ibu seorang diri.

"Sudah, semuanya sudah beres," ucap Mas Raffi.

"Yasudah, berangkat sana. Jangan nangis." Ibu melepaskan tubuhku yang sedari tadi menempel padanya.

Aku dan Mas Raffi menyalami tangan Ibu bergantian. Bukan hanya Ibu, tapi semua saudaraku ikut menyaksikan perpisahan ini. Kecuali, Naima saudara si pahit lidah.

Berbagai nasihat mereka berikan padaku yang intinya harus menjadi istri yang baik. Bagaimanapun kondisi suamiku, sehat atau sakit, aku harus tetap mendampingi.

"Assalamualaikum!" ucapku dan Mas Raffi bersamaan.

Mobil yang dikemudikan Mas Raffi semakin menjauh dari halaman rumah. Dadaku semakin sesak melihat Ibu yang berhenti melambaikan tangan, lalu mengusap wajahnya. Aku tahu, jika Ibu pun sedih berpisah dariku, tapi dia tidak mau menangis di depanku.

"Jangan khawatir, nanti kita akan sering tengok Ibu. Doakan, agar nanti, kita dikasih rejeki banyak, biar Ibu bisa ikut dan tinggal bersama kita," ujar Mas Raffi memberikan selembar tisu.

"Mana bisa, Ibu tidak akan mau meninggalkan rumah peninggalan Bapak."

"Begitukah? Kenapa?"

"Karena Ibu, sangat mencintai Bapak. Bahkan, ia tidak mau menikah lagi dengan alasan ingin bersatu kembali bersama Bapak, di surga nanti." Meski terisak, tapi aku tetep menjelaskan pada Mas Raffi.

"Oh ... cinta sejati. Mudah-mudahan kesetiaan Ibu, menular pada putrinya."

"Emangnya wajahku ada tampang tukang selingkuh?" tanyaku kesal.

"Tidak, tapi tukang palak."

"Palak?"

"Palakor!"

Bugh!

Aku memukul lengan Raffi. Dia justru tertawa mendapatkan serangan dariku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (19)
goodnovel comment avatar
Walida Rahman Idha
cerita bgus
goodnovel comment avatar
Anita
cerita x menarik dan bagus sekali untuk dibaca
goodnovel comment avatar
Mamatz Nazzo
gimna kelanjutannya kok gak bisa
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   EXTRA PART SEASON 2

    "Raihanum." Aku menyebut nama dari bayi perempuan yang sedang menggeliat di tempat tidurnya. Bibirku tersenyum manis menatap sepasang mata yang mulai melihat dunia. "Selamat pagi, Sayang ...." Aku mengusap pelan pipinya dengan jari telunjukku. Dia menggoyangkan kepalanya seolah merasa terganggu dengan sentuhan lembutku. Bibirnya bergerak seperti mengemut sesuatu. Dan aku semakin gemas melihat itu. "Hey, princess Papa sudah bangun ternyata?" Aku menoleh pada Mas Raffi yang baru saja datang, dan langsung menghampiriku. Bukan. Bukan aku yang dia datangi, melainkan putri kecilnya. "Sepertinya dia haus, Sayang," ujarnya lagi. "Iya. Dia cari sesuatu.""Kasihlah. Kasihan dia."Aku pun mengambil bayi perempuan berusia empat puluh hari itu. Kini, dia menggeliat dalam gendongan, lalu kepalanya ke kanan dan kiri mencari sarapan paginya. Aku membuka kancing piyamaku, kemudian memberikan asupan gizi untuk putriku tercinta. "Persiapan di bawah gimana, Mas?" Aku melihat pada Mas Raffi. "

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 273 Ending Season 2 Kebahagiaan yang Sempurna

    "Sayang ... udah belum?" "Belum!" Aku berteriak menjawab pertanyaan Mas Raffi. Saat ini aku tengah mondar-mandir di kamar mandi seraya memegang testpack. Sudah lima belas menit aku di dalam sini, tapi benda kecil itu belum menyentuh urinku. Rasanya campur aduk antara takut tidak sesuai dengan ekspektasi, juga penasaran yang luar biasa. "Sayang, ayo, dong! Masa dari tadi belum terus!" Mas Raffi kembali berujar. "Iya, bentar, Mas!"Dengan tangan yang bergetar, aku memasukkan testpack ke dalam urin yang sudah aku tampung dalam wadah. Setelah beberapa detik menunggu, aku mengangkatnya dengan mata terpejam. Sebelah mata aku buka sedikit, mencari garis yang menjadi penentu aku hamil atau tidaknya. Samar-samar aku melihat garis itu, hingga akhirnya mata kubuka lebar-lebar untuk memastikan penglihatanku tidaklah salah. "Dua?" gumamku, kemudian bibir tersenyum. Aku menutup mulut dengan mata yang berkaca-kaca. Ini memang bukan kehamilan pertama, tapi rasanya masih sama seperti waktu tah

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 272 Telat

    "Pagi, Sayang ...."Sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan kecupan kecil di pipi. Aku yang tengah berkutat dengan alat masak, membalas sapaan Mas Raffi dengan usapan pelan di lengannya. Hal seperti ini bukan terjadi sekarang, tapi setiap pagi datang. Sikap Mas Raffi selalu hangat dan tambah romantis sejak kami tinggal di rumah ini. Itu mengapa, aku memperkejakan asisten rumah tangga yang pulang pergi. Aku tidak ingin melewatkan keromantisan ini karena ada orang lain di istana kami. "Sudah aku siapkan teh di atas meja. Mas duduk, sebentar lagi gorengan yang aku buat akan matang," ujarku. "Emh ... enggak mau. Aku mau tetap meluk kamu sampai gorengan itu pindah ke meja makan." Mas Raffi berucap manja. "Nanti kamu kecipratan minyak, Mas.""Biarin. Jangankan minyak, percikan api asmara dari luar pun bisa aku padamkan demi kamu.""Hah, gimana-gimana?" Aku menoleh, mencari wajah Mas Raffi yang menyusup di tengkuk leherku. Dia tidak berani mengangkat kepala. Malah semaki

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 271 Dipanggil Teteh

    "Gini aja, deh, Fi. Daripada kamu jual perhiasan Raya, mendingan kamu pinjem uang aja dari Mama." Aku yang tadi sudah berpikiran buruk, merasa lebih tenang saat mendengar suara Mama. Ternyata yang masuk tadi bukan Reyhan, melainkan Mama dan Mas Raffi yang membahas perhiasan. Oh, ya ampun. Mas Raffi ketahuan Mama akan menjual perhiasan? Aku berjalan mendekati mereka yang berada di ruang tamu. Pandanganku mengarah pada Mas Raffi yang memberikan isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Aku mengangguk kecil, lalu meraih tangan Mama dan menciumnya. "Rayyan mana, Ra?" tanya Mama tanpa melepaskan tanganku. "Lagi main di ruang tengah, Mah.""Kalau gitu, kamu duduk di sini, Mama mau bicara dengan kalian."Aku dan Mas Raffi saling pandang, lalu aku pun duduk di samping Mama. Begitu pun Mas Raffi. Kami mengapit Mama yang berada di tengah-tengah. "Fi, Ra, kalian ini masih punya orang tua. Ada Mama dan Papa, yang masih bisa bantu kalian. Bukan Mama mau sombong, soal uang, insya

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 270 Menjual Perhiasan

    "Semalam aku kaget banget, loh saat Mas Bayu membekap mulutku. Aku kira itu Reyhan."Aku menyeruput jus alpukat seraya memperhatikan Rayyan yang bermain. "Tadi malam, saat aku menyuruh kamu tidur, emang sudah merasakan ketidakberesan di rumah kita. Yang kata aku melihat kucing di kosan, itu sebenarnya yang aku lihat emang manusia.""Kok, gak bilang ke aku?" tanyaku. Saat ini, aku dan Mas Raffi masih membahas kejadian semalam yang membuat tubuh ini bergetar ketakutan. Kami duduk lesehan di teras depan seraya mengasuh Rayyan yang bermain di halaman. "Aku tidak mau kamu takut, Ra. Makanya aku menyuruh kamu tidur cepat. Dan setelah kami tidur, aku langsung menelepon polisi untuk datang secara diam-diam. Dan Bayu juga.""Terus, saat aku bangun dan ke lantai bawah, kamu kan tidak ada. Itu ke mana?" Aku masih bertanya karena penasaran. "Aku di luar. Secara tidak langsung, aku menggiring Reyhan masuk ke kamar tamu lewat jendela. Dan Bayu, saat itu sudah ada di dalam rumah ini. Dia aku su

  • Menikah dengan Pria Buruk Rupa, Ternyata Dia ....   Bab 269 Penangkapan Reyhan

    "Mas Bayu ngapain di sini?" tanyaku, saat dia melepaskan tangannya dari bibirku. "Aku diminta Raffi datang ke sini. Dan kamu tahu, yang ada di kamar itu siapa? Si Reyhan. Dia nyusup masuk ke rumahmu lewat jendela kamar yang tidak dikunci.""Apa?" Rasa terkejutku bertambah berkali lipat. Jika saja tadi aku masuk ke sana, habislah riwayatku. Reyhan pasti akan dengan mudah melakukan perbuatan jahatnya padaku. Suara gagang pintu yang diputar dari dalam kamar tamu, membuatku dan Bayu menoleh. Semakin lama, suara di sana semakin keras. Karena mungkin Reyhan sudah menyadari jika dia masuk perangkap. "Mas Raffi, mana?" tanyaku, karena tak kulihat keberadaan suamiku. "Dia di luar.""Sendirian?" tanyaku lagi. "Temenin, Mas. Aku takut Reyhan menyerang Mas Raffi. Dia belum pulih." Aku panik. Bayu hendak melangkah menjauh dariku, tapi dia urungkan saat ada bayangan yang berjalan mendekat ke arah kami. Tidak lama kemudian, lampu pun menyala membuat ruangan yang gelap menjadi terang. Aku lan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status