Astaganaga...semua perempuan begitu memusingkan kepalaku. Mengapa aku harus hidup dengan perempuan? Kuremas rambutku frustasi. “Ada apa, Mas?” tanya Sekar. Kudongakkan kepala. Aku sampai tak sadar kalau dia sudah berdiri di depanku. “Baca ini,” ujarku menunjuk HP yang sudah kuletakkan di ranjang. Aku bangkit dan mengambil baju ganti yang telah kusiapkan di atas kursi. Sejak Sekar tinggal di sini, aku mulai membiasakan lagi membawa baju ganti ke kamar mandi. Aku tak mau Sekar mengikutiku melakukan hal yang sama. Aku mandi singkat saja. Demi membersihkan diri. Aku teringat seafood dan nasi yang tadi dibeli di warung tenda keburu dingin. Aku tak suka makan makanan dingin. Mau dihangatkan juga repot. Meski ada kompor, tapi aku tak punya peralatan masak. Hanya ada satu pan untuk membuat mie instan atau menjerang air untuk minum panas. Saat aku keluar kamar mandi, Sekar bukannya melihat HP yang kutunjukkan, dia malah sibuk membuka bungkusan makanan yang tadi kubeli. Dia s
“Malas. Nggak penting. Kekanak-kanakan,” ujarnya pendek. Aku mengangguk setuju. Tak ingin pula aku membahasnya lebih lanjut. Mungkin, kalau tidak habis selesai makan, aku ingin segera membawanya ke alam mimpi. Tapi, perutku masih penuh dengan nasi. “Jangan lupa krimnya tadi segera dipakai….” Peringatanku ini bukan apa-apa. Ingat jumlah uang yang didebet dari rekening, aku tak ingin sia-sia mubazir. Lagi pula, siapa sih yang tak ingin punya istri yang wajahnya lebih segar dan tidak kusam. Aku tersenyum puas saat melihatnya duduk manis di kursi meja belajarku, menatap cermin kecil yang disandarkan pada tumpukan buku dan mengaplikasikan krim malam ke permukaan wajahnya. Baru sekali di facial saja, kulihat wajahnya sudah berbeda. Mungkin ini hanya sugestiku saja. Beberapa bagian terlihat memerah karena jerawat yang dikeluarkan paksa. “Teman-teman kantor minta tasyakuran,” ucapku seraya masih menatapnya. Dia melirik ke arahku sejenak. “Jadi mereka sudah tahu?” Aku mengangg
Sekar kembali masuk ke mobil itu dengan kesal. Bahkan, saat aku turun dari tangga dan berniat mengejarnya, mobil itu sudah terlanjur jalan menjauh dariku. Aku hanya dapat menatap kepergiannya hingga mobil itu keluar dari pelataran gedung kantor. “Sekar kenapa, Lang? Dia marah padaku?” tanya Sakina tanpa rasa bersalah. Dia masih berdiri di tempatnya semula saat aku menaiki tangga menuju lobi gedung kantorku itu. Kalau dulu, jelas aku tak akan marah pada Sakina. Tapi kini, aku jadi kesal pada perempuan cantik di depanku ini. Bagaimana bisa dia tidak punya rasa sensitif sama sekali terhadap Sekar. Padahal beberapa hari lalu, Sekar sudah memperingatinya, hingga menunjukkan telunjuk ke hidungnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku sudah merasa tak nyaman lagi dengan kehadirannya. Selain dia datang pada waktu yang tidak tepat, aku pun sudah tak mengharapkan kehadirannya lagi, sejak aku menyadari komitmenku dengan Sekar. Aku laki-laki. Dan aku imam bagi rumah tanggaku
“Fajar bisa marah kalau kamu menyakiti calon istrinya.” Daniar tiba-tiba sudah di depan meja kerjaku saat aku hendak pulang. Suasana kantor sudah sepi. Sebenarnya aku sedari tadi ingin pulang awal, tapi sayangnya pekerjaan sangat banyak dan menumpuk. Sekar pasti ngambek lagi karena aku bakal telat menjemputnya. Mana usai kejadian tadi, pesanku tak satupun dibalas. Malah hanya contreng satu. Anak ini sepertinya malah mematikan ponselnya. Dasar, wanita. Begitu sulitnya dipahami. “Apa maksudmu?” “Lihat saja nanti,” ujar Daniar sambil tersenyum mengejek. Ah bodo amat. Aku tidak peduli lagi dengan kehidupan Sakina. Masa bodo dengan apa yang jadi pembicaraan teman-teman satu grup SMA. Toh, Sekar juga cuek. Yang penting hidupku dan Sekar aman. Aku segera memacu motorku ke kantor Sekar. Aku sudah terbiasa lewat jalan tikus di belakang kantor ini untuk menghindari macet. Begitu tiba di belakang gerbang, segera kupinggirkan motor seperti biasa. Helm kulepas agar bisa bernafas lega. Lalu
“Mana nomor rekening kamu?” ujarku tanpa berminat melihat detail tagihan itu, karena sebenarnya Sekar sudah mengirimkan foto tagihan itu sejak kemarin. Aku saja yang terlalu cuek tak segera menggantinya.Dia menatapku sejenak. Aku jadi merasa bersalah. Apakah aku punya nomor rekeningnya? Sepertinya tidak. “Jangan lupa, uang nafkah untukku juga,” ujarnya kemudian sambil tersenyum malu-malu. Bod*h! Bahkan aku pun lupa memberinya jatah bulanan. “Mana nomormu?” ulangku lagi. HP di tanganku sudah menampilkan aplikasi mobile banking. Aku sudah siap mentransfer sejumlah uang untuknya.“Kan ada di slip transfer tempo hari,” ujarnya datar. Wajah polosnya memang semakin membuatku gemas. Ya Tuhan….benar-benar deh. Aku tidak sensitif. Bahkan, kalau Sekar tidak memberiku tagihan barusan, bisa-bisa aku menganggapnya impas. Tak lama, terdengar notifikasi dari hpnya. Dia segera menyambar hape yang tergeletak di atas meja belajar. Hpnya masih jadul. Aku berniat nanti kalau punya uang, mengganti
Jam empat pagi, alarm di ponsel Sekar yang diletakkan di atas meja belajar Gilang meraung-raung. Buru-buru tangan Sekar menggapai-gapai ponsel itu untuk mematikannya. Tangan Gilang yang melingkar di pinggangnya membuat Sekar susah bergerak. Huff. Terpaksa pelan-pelan harus digeser dulu, sebelum pemiliknya bangun. Sekar segera mengisi ember di kamar mandi dengan air. Dia harus membilas satu persatu baju milik Gilang dan bajunya yang ada di keranjang baju kotor. Gilang hanya memiliki satu ember untuk mencuci. Jadilah ia harus punya trik untuk dapat mencuci dengan nyaman. Sebelumnya, Gilang selalu mengirim bajunya ke laundry. Tentu saja dia tak memerlukan banyak ember. “Hoek!” tiba-tiba perutnya merasa mual saat mencium aroma parfum bercampur keringat dari baju Gilang. ‘Ah, lebay!’ batin Sekar. Selama ini mencium-cium baju kotor nggak pernah ingin muntah. Sekar lalu meneruskan menuang deterjen dalam air sebelum kemudian diaduk untuk melarutkannya. Satu per satu baju yang sudah dibi
“Kalau sakit, nggak usah kerja. Di kosan aja,” ujar Gilang sambil mengancingkan lengan bajunya. Pria itu setiap hari mengenakan setelan baju polos lengan panjang serta celana bahan. Tak lupa ikat pinggang warna hitam menambah kesan elegan. Setiap pagi mereka memang tidak sarapan. Gilang tak terbiasa sarapan pagi. Berbeda dengan Sekar yang tidak bisa berpikir jika perutnya kosong. Tapi, dengan Gilang tak mau sarapan, tandanya Sekar tak perlu repot menyiapkan sarapan untuknya. Sekar sendiri bisa mengisi perut di kantin. “Aku kerja nggak papa. Nanti kalau kira-kira nggak kuat, bisa pulang pakai taksi,” ujar Sekar sambil merapikan pasminanya. Di kamar Gilang hanya ada satu cermin di daun pintu lemarinya. Jadilah Sekar harus antri setelah Gilang kalau mau memasang jilbabnya. Untung dia tak perlu bermake up. Hanya krim siang yang sudah dibeli dari klinik yang kini masih dipakai, dipadu bedak tabur setelah luka bekas facialnya mengering. “Tapi kabari lho, kalau kamu nanti kenapa-kena
“Sori, Ren. Aku sebenarnya sudah menikah dua minggu lalu. Maaf ya, aku nggak bisa ngasih tahu kamu. Soalnya mendadak.” Sekar bicara dengan nada penyesalan. Keduanya duduk berdampingan di bangku tukang siomay.Gilang sudah menyingkir usai dikenalkan dengan Renita karena sudah melihat gelagat, sepertinya sahabat istrinya itu kurang bersahabat dengannya. Lagi pula, selama ini, Gilang juga canggung bercakap-cakap dengan perempuan yang baru dikenalnya. Mungkin, Sakina lah satu-satunya wanita yang bisa akrab dengannya. Sekar saja yang tetangganya habis kena jutek. “Kok bisa mendadak. Kayak orang sudah MBA aja….” Renita melirik Sekar sekilas, lalu tatapannya turun ke sekitar perut Sekar, hingga membuat sahabatnya gelapapan.Bibir Renita mencebik karena kecewa pada sahabatnya itu. Ada rasa tak terima karena sahabatnya sama sekali tak melibatkannya dalam keputusan besar itu. Bercerita pun tidak pernah. Padahal, dulu saja sama-sama penghalu ingin mendapatkan lelaki shalih yang entah bagaiman