Share

Chapter 8 Bermuka Dua

Klinik praktik Dokter Afandi memang sangat luas, terdapat kolam ikan di tengah-tengah ruang tunggu pasien, percikan air dan ikan-ikan emas koi yang terus saling mengejar satu sama lain cukup menghibur hati pasien di sela-sela menunggu antrean periksa.

Zee masih duduk termenung mengamati ikan-ikan dalam kolam tersebut. Air terjun di tengah kolam menambah keindahan dan kesejukan bagi siapa pun yang melihatnya. Pandangannya menerobos menerawang jauh, menerka-nerka apa yang telah terjadi. Merangkum kembali semua memori dan membungkusnya dalam ingatan secara sangat rapi. Namun semakin Zee merangkum memori-memori tersebut terlebih saat mengingat kenangan-kenangannya bersama Alvendra sebelum menikah, hal itu justru semakin membuat Zee merasa sakit hati. Ia hanya tertegun saat mendengar kata-kata Alvendra tadi di depan Dokter Afandi.

Perasaannya seolah hanyut bersama percikan air yang mengalir di dalam kolam ikan. Terlebih saat angin sepoi-sepoi turut menghampiri dedaunan, karena kolam ikan tersebut di design sangat indah. Meski sedang berada di klinik namun setiap pasien seolah sedang berada di tengah taman. Belum lagi design interior di setiap sudut ruangan yang sangat indah dan menggambarkan suasana yang berbeda. Jika duduk di musola maka siapa pun yang duduk di situ seolah sedang duduk di hadapan bukit beradu, lukisan pemandangan alam membuat siapa pun yang berada di musola merasakan kebesaran Allah SWT, dan masih banyak lagi design-design yang dibuat sangat rapi dan indah. Tak heran jika klinik Dokter Afandi selalu dipenuhi dan diburu oleh pasien-pasien dari berbagai penjuru.

“Pasien atas nama Belinda Idelina Zaifa.” Panggilan dari petugas apotek membuyarkan lamunan Zee.

“Ya...” Jawab Zee sambil menuju etalase apotek.

“Ayo mas...” Ujar Zee sambil menarik lengan Alvendra.

“Ini obatnya bu, mohon diminum secara rutin ya. Petunjuk minum dari masing-masing obat sudah saya tuliskan di dalamnya.” Jelas petugas apotek.

“Terima kasih suster. Jadi semuanya berapa?” Tanya Zee sambil melirik Alvendra yang sedang melipatkan tangannya di depan dada.

“Semuanya Rp. 1.345.000,- bu.” Kata petugas sambil memberikan bungkusan obat.

Astaga... semahal ini. Gumam Zee dalam hati sambil memandang Alvendra.

“Kok diem? Ayo cepat bayar terus pulang.” Ujar Alvendra ketus.

“Mas, aku gak punya uang sebanyak itu.” Bisik Zee kepada Alvendra.

“Bohong. Mana ATM mu, sini aku ambilkan uang.” Ujar Alvendra sambil membuka paksa tas Zee.

“Suster, maaf kami tidak membawa uang cash. Saya ke depan dulu ya, sepertinya di depan ada ATM. Nanti saya kembali lagi ke sini.” Jelas Zee kepada suster.

“Baik bu.”

Tanpa pikir panjang Alvendra segera menarik lengan Zee keluar klinik dan segera menyebrang menuju ATM.

“Mas, pelan-pelan dong, peruntuku kan masih sakit.” Jelas Zee sambil mengaduh. Kemudian Alvendra memperlambat langkahnya.

“Mas, kenapa harus pakai ATM ku sih, kamu kan punya ATM. Lagian kan ini untuk calon anak kamu mas.” Tanya Zee sambil menahan kecewa.

“Sudahlah Zee, kenapa kau tiba-tiba jadi perhitungan seperti ini?”

“Perhitungan kau bilang, sebetulnya siapa yang perhitungan? Aku atau kamu mas?!!”

“Sudahlah gak usah banyak tanya, mana ATM mu?” Tanya Alvendra sambil membuka paksa tas Zee dan mengambil ATM di dalam dompet Zee.

“Masukan PIN nya!!!” Paksa Alvendra di dalam ruang ATM.

Dengan rasa kecewa dan menahan amarah Zee menekan tombol demi tombol untuk memasukan PINnya.

Kejam sekali mas Alvendra meminta aku untuk membayarnya sendiri, padahal kan ini untuk anak kandungnya sendiri. Gumam Zee dalam hati sambil berjalan menuju loket pembayaran.

“Maaf tadi jumlahnya berapa sus, obat pasien atas nama Belinda Idelina Zaifa?” Tanya Alvendra di depan loket pembayaran.

“Totalnya Rp. 1.345.000,- pak.” Jawab Suster sambil menyerahkan kwitansi.

“Ini sus.” Ujar Alvendra sambil menyodorkan uang.

“Uangnya 1.350.000,- jadi kembaliannya Rp. 5.000,- ya pak. Ini obatnya. Semoga sehat selalu.” Ujar suster sambil menyerahkan kembalian beserta obat Zee.

“Terima kasih sus.” Jawab Alvendra.

“Yuk pulang.” Ujar Alvendra sambil merangkul Zee.

Selama perjalanan menuju rumah Zee hanya diam membisu, pandangannya menerobos menerawang jauh, sorot matanya begitu redup dan menyebar sekedar untuk melihat pemandangan. Hatinya sakit, teriris pedih. Tega-teganya Alvendra mengambil uang Zee secara paksa, Zee masih tak habis pikir kenapa bukan dia yang membayarnya. Bukan karena Zee tidak rela, toh ini buat anak Zee sendiri. Namun cara Alvendra mengambil uangnya secara paksa, gayanya sudah seperti perampok kelas kakap saja.

“Zee, kamu kenapa, kok diam saja? Masih sakit?” Tanya Alvendra sambil menyetir mobil.

“Gak papa. Hatiku yang sakit.” Jawab Zee ketus.

“Apa?!!!” Alvendra mengerem mendadak.

“Kau masih marah soal pembayaran tadi?” Sambung Alvendra sambil menatap Zee, sementara Zee hanya terdiam sambil menahan pilu. “Jawab Zee?!! Kau tidak rela? Itu kan anakmu... kenapa kau perhitungan sih?!!” Bentak Alvendra.

“Anakku? Hanya anakku? Lalu kau siapa? Kau calon Ayahnya?!! Kenapa sih kamu tega melakukan ini padaku? Kau tau uang itu akan aku gunakan untuk biaya Ibu dan Bapak umroh. Susah payah aku menabung sejak aku belum menikah denganmu. Itu uangku sendiri, hasil jeripayahku sendiri mas. Tega-teganya kau ambil paksa, padahal aku tau kau punya uang banyak. Biaya pengobatan sebanyak tadi ku rasa bukanlah hal yang sulit mas. Tapi apa? Gayamu sudah seperti perampok kelas kakap saja!!”

Plaaakkkkkk

Tiba-tiba tamparan keras melayang di pipi kiri Zee. Sontak Zee kaget hingga badannya menduyung ke sudut pintu mobil.

“Kau tega menamparku mas?” Tanya Zee lirih sambil memegangi pipinya.

“Kenapa tidak? Kau kurang ajar. Tak sepantasnya sebagai seorang isitri kau berkata seperti itu kepadaku!!” Bentak Alvendra sambil mengemudikan mobilnya kembali.

“Kurang ajar kau bilang? Kau yang mulai duluan mas.” Jawab Zee sambil menahan isak tangis.

“Sudahlah. Diam kau Zee. Aku sedang fokus menyetir, jika kau banyak bicara kita bisa celaka!!” Bentak Alvendra.

Tak disangka ternyata Alvendra sekasar itu, tamparannya tadi memang tak begitu sakit, tapi rasa sakit di hati Zee seolah menggunung setinggi gunung fuji.

Sesampainya di halaman rumah, Dika dan Kinasih sudah menunggu di depan teras dengan wajah cemas tentunya.

“Zee,” Panggil Kinasih dengan wajah yang berbinar dan mendekati mobil Alvendra.

“Pelan-pelan sayang... habis ini kau istirahat ya... jangan terlalu capek. Sini biar aku gendong ke kamar.” Ujar Alvendra sambil menuntun Zee.

“Gak usah. Aku bisa sendiri.” Jawab Zee datar.

“Zee, biar Ibu bantu nak.” Ucap Kinasih sambil menuntun Zee.

“Alvendra, kenapa daritadi kau tidak menelpon ibu? Apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Kinasih sambil menuntun Zee sementara Alvendra berjalan di belakang mereka sambil membawa tas Zee.

“Astaghfirullohaladzim maaf bu, aku lupa sangkin fokusnya nungguin Zee tadi.”

Fokus apaan, orang dari tadi di klinik dia ngegame kok. Gumam Zee sambil mendengus kesal. Sayang tak ada yang mendengar gerutu Zee.

“Terus bagaimana kondisimu Zee, apa kata dokter?” Tanya Kinasih sambil menaiki tangga menuju lantai 2.

“Tadi kata dokter...”

“Tidak apa-apa bu, Zee hanya butuh istirahat.” Jelas Alvendra memotong ucapan Zee.

“Iya kan sayang?” Tanya Alvendra sambil melempar senyum. Sementara Zee hanya terdiam menahan amarah.

Sesampai di kamar Zee hanya bisa terbaring lemah, tidak hanya perutnya yang merasakan kram hebat, namun batinnya juga terkoyak.

“Zee, Ibu buatkan puding kesukaanmu dulu ya.” Ujar Kinasih sambil mengelus kepala Zee, sementara Alvendra masih sibuk megeluarkan obat-obat dari tas Zee.

“Zee, kamu mau makan apa? Biar setelah ini kau minum obat.” Tanya Alvendra sambil memainkan ponselnya.

“Apa aja yang penting gak pedes.” Jawab Zee sambil melihat foto hasil USG tadi.

“Tongseng mau?”

“Boleh.” Jawab Zee datar. Sementara Alvendra segera melihat-lihat list makanan di ponselnya karena berniat untuk Delivery Order.

Kring...

“Hallo mah” Jawab Alvendra saat menerima telpon dari Martini.

“Alvendra kamu di mana?” Tanya Martini di seberang telpon.

“Di rumah mah, ada apa?”

“Loh kamu gak ke kantor?”

“Enggak mah, aku udah menugaskan ke Rina sekretarisku untuk menghandle semua pekerjaan ku hari ini.”

“Kok tumben gitu? Biasanya kamu semangat kalo ke kantor.”

“Zee tadi pendarahan mah. Jadi langsung aku bawa ke dokter.”

“Oh terus gimana keadaannya?”

“Gak papa mah ini udah di rumah kok.”

Hah, bisa-bisanya mas Alvendra gak panik sama sekali dan bilang gak papa sama mamah. Padahal kondisiku begitu lemah. Gumam Zee sambil mengepalkan tangan saat mendengar Alvendra berbincang-bincang dengan Martini di telpon. Kebetulan telponnya dilaudspeaker jadi Zee bisa mendengar semua percakapannya.

“Alvendra bisa ke sini sekarang?” Pinta Martini.

“Bisa mah. Aku ke sana sekarang.” Jawab Alvendra sebelum menutup telponnya.

Benar-benar suami tak punya hati, istri nyaris keguguran tapi kok malah santai-santai saja. Bahkan mamah sama sekali tak menghiraukan keadaanku. Gumam Zee sambil memejamkan mata.

“Zee, Aku ke rumah mamah dulu.” Ujar Alvendra sambil mengenakan jaket, karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sementara belum sempat Zee menjawab, Alvendra langsung menghambur keluar kamar dan meninggalkan Zee.

Ya Allah, berilah aku kekuatan, di saat seperti ini mas Alvendra masih belum berubah. Dia manis jika di hadapan semua orang. Aku harus kuat melewati ini semua demi calon anakku. Gumam Zee sambil memeluk foto hasil USG.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status