Share

Chapter 9 Cinta yang Tertinggal

Angin kencang begitu menusuk tulang. Biasanya pukul tujuh malam Alvendra masih di kantor, karena usai jam kerja Alvendra biasa lembur dengan tim kerjanya. Alvendra memang sosok pekerja keras, dia rela melakukan apapun demi mendapatkan uang. Makanya tak heran jika dia bisa membeli apa saja yang dia mau.

Zee memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri, sekalipun ia sedang hamil. Hingga saat ia terkaparpun Alvendra justru meninggalkan Zee, demi apa? Ya tentu saja demi ibunda tercintanya. Selama ini Alvendra memang selalu mengagung-agungkan jika surga di bawah telapak kaki ibu. Namun apakah ia akan tetap mencium bau surga jika ia selalu menyakiti istrinya?

“Assalamualaikum.” Ujar Alvendra sambil membuka pintu rumah. Sontak Alvendra kaget melihat Keke yang sudah duduk di samping Martini.

“Keke ngapain kamu di sini?” Tanya Alvendra kaget.

“Duduk dulu Alvendra.” Pinta Martini.

“Hai Alvendra, ” Sapa Keke sambil melempar senyum. Semenjak kejadian malam itu, malam hangout bersama Alvendra, entah kenapa Keke tak bisa berhenti memikirkan Alvendra.

“Hai Keke apa kabar?” Sapa Alvendra sambil membalas senyum Keke.

"Aku baik." Ujarnya.

“Alvendra apa kamu sudah makan?” Tanya Martini.

“Belum mah.” Jawab Alvendra sambil menyantap cemilan di atas meja.

“Loh udah lewat waktu Isya kok kamu belum dinner?” Jawab Martini terkejut.

“Gimana mau dinner mah, kan Mamah tau kalo aku habis mengantar Zee ke dokter.” Jawab Alvendra datar.

“Kalo gitu kebetulan dong, Keke ke sini bawa makanan kesukaanmu.” Ujar Martini.

“Hhhhmmmm kalo baunya si kayak nasi bakar, ” Ujar Alvendra sambil mendengus-ndengus.

“Iya Alvendra, tadi aku bikin nasi bakar.” Ujar Keke sambil mengamati Alvendra.

“Kamu kok masih ingat makanan kesukaanku Ke? Padahal udah lama banget loh kita gak dinner bareng.” Tanya Alvendra sambil membuka bungkusan nasi bakar.

“Apa sih yang gak aku ingat dari kamu Alvendra.” Ujar Keke sambil membantu Alvendra membuka bungkus nasi bakar. Alvendra menoleh ke arah Keke, kemudian bola mata mereka saling bertemu dan mengantarkan ingatan masa-masa indah dahulu.

“Alvendra, tolong ambilkan satu buat mamah. Kelihatannya enak mamah jadi lapar lagi.” Pinta Martini membuyarkan lamunan Alvendra dan Keke. Tanpa menjawab sepatah katapun Alvendra segera memberikan sebungkus nasi bakar kepada Martini.

Alunan merdu musik jazz terdengar dari kamar Rio, adik Alvendra. Seolah mengantarkan suasana malam itu menjadi lebih hangat dan akrab. Alvendra seakan lupa bahwa di rumah sudah ada Zee dan calon bayinya yang sedang menunggu kehadiran Alvendra, menunggu kehangatan dan perhatian Alvendra.

“Al, enak ga masakanku?” Tanya Keke saat Alvendra terus memandanginya.

“Eeeenak kok. Enak banget malah.” Jawab Alvendra gugup. “Seandainya setiap hari aku bisa makan makanan seenak ini, pasti aku seneng banget.” Sambung Alvendra sambil terus memandangi Keke.

Uhuk uhuk... Keke tersedak.

“Emangnya Zee ga pernah bikinin kamu makanan Al?” Sambung Martini. Sementara Al hanya terdiam.

“Kalo kamu mau, aku bisa kok masakin kamu setiap hari.” Ujar Keke sambil memegang tangan Alvendra.

Deburan ombak seolah menghiasi relung hati Alvendra dan Keke. Padahal mereka tak sedang berada di pantai. Ya, hanya di ruang tengah, meski terkesan clasic tapi masih terlihat elegan dan megah.

“Al, mamah udah selese makan nih, tolong antarkan mamah ke kamar ya, mamah mau istirahat.” Pinta Martini sambil menggeser kursi rodanya. Sementara Al mengikuti perintah ibunya. “Al, kamu temani Keke ya, kasihan dia sudah menunggu kamu dari tadi. Mamah ngantuk.” Ujarnya sambil menarik selimut.

“Tapi mah, Zee pasti udah nungguin aku.” Bantah Alvendra sambil merapikan slimut Martini.

“Halah, perempuan kayak gitu masih kamu pikirin.” Jawab Martini singkat.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Namun Alvendra dan Keke masih duduk termangu di taman teras depan. Sambil menikmati gemercik air mancur di tengah kolam ikan. Sementara bintang bertaburan kian menambah keindahan malam itu.

“Al, kamu ingat gak dulu waktu kita masih pacaran, kamu selalu ajak aku ke taman?” Tanya Keke sambil bersandar di bahu Alvendra.

“Tentu ingat lah, mana mungkin aku bisa melupakan masa-masa indah itu.” Jawab Alvendra sambil mengelus rambut panjang Keke.

Anneke (29 tahun) biasa dipanggil Keke. Wajahnya cantik sesuai dengan namanya. Bibir dan tubuhnya dangat sexy, kulitnya putih, matanya sipit, hidungnya mancung, kulit putih dan tinggi semampai. Tak sedikit pria yang jatuh hati saat melihat keke. Baru mendengar desahan suaranya saja sejumlah pria langsung klepek-klepek. Gaya bicara keke memang manja terlebih jika dekat dengan pria, ia seolah menebarkan bunga-bunga di hadapan pria. Jari jemarinya begitu lentik dan ia sering kali mengenakan rok di atas lutut. Siapa pria yang tak deg deg ser melihat penampilan gadis ini.

So far, aku juga gak bisa nglupain kenangan-kenangan kita Al.” Ujar Keke sambil menatap Alvendra. “Kamu tahu? Selama aku tinggal di Aussie tak henti-hentinya aku memikirkan kamu.” Kata Keke sambil memeluk Alvendra.

“Tapi kenapa waktu itu kau meninggalkanku di hari pertunangan kita.” Tanya Alvendra sambil melepaskan pelukan Keke.

“Saat itu...” Keke beranjak dari tempat duduknya. Berdiri tepat di depan Alvendra sambil membalikkan punggungnya. Matanya tak henti-hentinya memandangi bintang. Sambil melipatkan kedua tangannya di dada. Seolah mengisyaratkan dingin yang sangat luar biasa. Padahal malam itu sama sekali tidak dingin. Angin sepoi-sepoi memang kerap kali menghampiri dua insan ini. Bahkan sesekali merasuk ke pori-pori, menambah nuansa romantis dan kesejukan dari semesta. “Aku berada di pilihan yang sangat sulit kala itu. Mendadak oma telpon dan memberi kabar jika opa jatuh sakit. Sontak aku kaget, pikiranku kalang kabut. Bingung apa yang harus aku lakukan, sementara oma dan opa belum mengetahui rencana pertunangan kita.” Jelas Keke.

“Lalu kenapa saat itu kau tidak mengatakan yang sebenarnya Keke? Mengapa kau membuat hatiku hancur?” Tanya Alvendra dengan suara yang cukup keras.

“Al, kamu tahu bahwa ayahku anak tunggal. Semenjak bunda meninggal, aku hidup dan dibesarkan oleh oma dan opa di Aussie karena Ayah harus banting tulang merintis usahanya dari 0. Kalaulah bukan karena oma dan opa, belum tentu aku bisa merasakan hidup berkecukupan seperti ini. Terlebih saat Ayah terjerat kasus korupsi yang menyeretnya ke jeruji besi? Siapa yang menopang hidupku Al?” Jelas Keke dengan nada sendu. Tentu dia menahan pekik yang begitu dalam. “Oma dan Opa yang selalu ada untukku Al. Hingga saat aku berusia 17 tahun aku diberi pilihan oleh mereka, mau tetap tinggal di Aussie atau kembali ke Indonesia meneruskan bisnis Ayah. Karena kabarnya Ayah akan dibebaskan di tahun itu.” Sambung Keke sambil membalikkan punggungnya dan menatap Alvendra.

“Lalu kenapa kau tidak jujur kepada oma dan opa bahwa kita telah menjalin hubungan Ke? Kenapa?” Tanya Alvendra sambil meremas-remas rambut kepalanya. Sementara Keke masih diam membisu, sekujur tubuhnya seolah kaku. “Jawab Keke, jawab? Kau tahu pasca kau meninggalkanku di hari pertunangan kita, berapa besar rasa sakit dan kecewaku? Terlebih malu yang ditanggung oleh keluargaku?” Ujar Alvendra meneruskan kata-katanya.

“Karena oma dan opa telah menjodohkanku dengan lelaki pilihan mereka.” Jawab Keke sambil menghapus air mata.

“Apah?!” Alvendra nampak begitu terkejut. Seluruh pandangannya tertatap dan tertuju kepada Keke. “Kenapa kau baru bilang sekarang Ke? Lalu kemana laki-laki itu, kenapa sampai sekarang kau belum menikah dengannya?”

“Mas Rendy sudah pergi.” Jawab Keke datar.

“Hhh pergi katamu? Mungkin ini karma karena kau telah meninggalkanku, jadi kau ditinggal pergi juga.” Ujar Alvendra sambil tersenyum pahit.

“Pergi untuk selamanya, karena kecelakaan.” Ujar Keke sambil menahan getir. “Tapi percayalah Al, aku tak pernah mencintai mas Rendy. Sejak dulu dia hanya aku anggap sebagai kakakku, karena selama di Aussie dia selalu mengawalku, kemanapun aku pergi. Bahkan membantu memenuhi kebutuhan dan segala keperluanku.” Terang Keke sambil mengelus pundak Alvendra.

Sementara Alvendra masih terdiam, membisu, bahkan terbelenggu. Lidahnya kelu, pikirannya melayang jauh.

Seandainya kau berkata jujur sejak dulu, mungkin saat ini aku belum menikah dengan Zee. Karena ternyata aku.... Gumam Alvendra dalam hati.

“Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Mana mungkin kita bisa memutar kembali waktu yang sudah berlalu.” Jawab Alvendra sambil mengibaskan tangan.

“Tapi kau masih mencintaiku kan?” Tanya Keke sambil menatap Alvendra. Sementara kedua tangannya terus menggenggam erat tangan Alvendra.

“Aku sudah menikahi Zee.” Tersirat jawaban yang masih penuh misteri. Namun Alvendra tidak bisa menolak genggaman erat Keke. Justru ia membalasnya dengan pelukan yang begitu hangat.

Tangis Keke pecah di pelukan Alvendra. Begitu pula dengan Alvendra yang tak bisa menepis perasaannya, entah perasan apa yang kian menyelubung di hatinya. Sedih? Kecewa? Marah? Atau bahkan bahagia?

Kini mereka hanya bisa meratapi kenyataan. Entah bagaimana kedepannya, yang jelas malam itu Alvendra lupa jika istri dan calon bayinya sangat menunggu kehadirannya. Malam itu seakan milik Alvendra dan Keke. Tak ada kata lagi semenjak penjelasan itu dilontarkan oleh Keke. Mereka sama sekali tak bersua, namun pelukan erat seolah menjadi saksi bahwa ternyata cinta mereka masih saling bersemayam. Namun apakah cinta Alvendra dan Keke akan kembali bersatu seperti sedia kala? Sedangkan kenyataannya kini sudah berbeda. Alvendra sudah menikah dan bahkan sebentar lagi akan memiliki anak. Entahlah... yang jelas pelukan mereka seakan menjadi saksi dan hati mereka kini kian bernyanyi... Seperti lagunya Dadali.

Kenangan indah saat bersamamu

Saat kau ada di sampingku

Kini semua terulang kembali

Masa-masa terindah bersamamu

Aku jatuh cinta lagi

Cinta yang dulu bersemi kembali

Aku jatuh cinta lagi

Cinta pada mantan kekasihku

Cinta yang pernah ada di hatiku

Kini t'lah hadir kembali di jiwaku

Mungkinkah semua terulang kembali

Kuingin engkau seperti dulu

Kurasa ku t'lah jatuh cinta kepada dirimu

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status