Beranda / Rumah Tangga / Menikahi Ayah Temanku / 006. Lidah Setajam Pedang

Share

006. Lidah Setajam Pedang

Penulis: Juni Rev
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-13 17:15:37

Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.

“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.

“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.

Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”

Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.

“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”

Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”

“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”

“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda dari suaminya itu.

“Kalau Abang nggak pergi, nanti urusan administrasi sama pemasok bibit bisa kacau, Sofia.”

Sofia tergelak. “Memang harus malam-malam, ya?”

Wira mengangguk. “Karena bibit-bibit itu akan disebar besok pagi sebelum matahari naik. Ilmunya begitu, Sayang, agar hasil panen berkualitas tinggi.”

Sofia mengangguk-angguk. “Bahkan waktu penanaman bibit pun ada aturannya, ya.”

“Tentu! Semua itu Abang pelajari di Belanda. Begitulah cara mereka menghasilkan produk-produk berkualitas. Nah, cita-cita Abang, selain sektor pertanian, Abang juga ingin kampung ini maju di bidang peternakan. Abang sudah berencana membuat peternakan sapi dan ayam. Mungkin Abang juga akan minta Brian kuliah jurusan peternakan, tahun ini.”

Sofia terdiam. Perguruan tinggi adalah impiannya.

“Bagus,” katanya serak. Wira menangkap ekspresi sedih di wajah Sofia.

“Kenapa, Sofia? Kok tiba-tiba murung begitu?”

“Um … nggak apa-apa,” jawab Sofia berbohong.

Wira menggenggam tangan Sofia, dan menciumnya lembut.

“Sayang, kalau ada yang kamu inginkan, katakan saja. Abang pasti kasih.”

Sofia menatap Wira takut-takut.

“Y-yang benar?”

Wira mengangguk mantap. “Benar! Asal jangan minta cerai.”

Sofia ikut nyengir saat suaminya itu tertawa.

“Sebenarnya, aku sangat ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi,” ucap Sofia muram.

Wira membuang napas. Ia tahu keluarga Sofia tidak akan mampu membiayai anak gadis mereka hingga ke perguruan tinggi, sekalipun Wira tidak menikahi Sofia.

“Kamu boleh kuliah. Abang akan daftarkan kamu di kampus yang sama dengan Brian. Biar nanti kamu dan Brian membantu Abang mengurus soal peternakan di kampung ini.”

Sofia membeliak. “Yang benar?”

“Benar!” Wira mengangguk sambil tersenyum.

“Aaa … terima kasih banyak, Bang! Sofia sayang Abang!” Saking gembira karena bisa meneruskan pendidikannya, tanpa sadar Sofia mengecup pipi Wira yang terkejut.

“Lagi, dong! Masa cuma pipi?” goda Wira bermanja.

Sofia menutup wajah malu. Ia tidak percaya telah berani melakukan hal demikian pada juragan tanah paling ditakuti di kampungnya.

“Aduh, sial!” Wira mengecek ponselnya dan bangkit berdiri. “Abang harus pergi sekarang. Kamu jaga diri di rumah, ya.”

Sofia mengangguk, dan mengantar kepergian Wira hingga mobil yang ditumpangi sang suami menghilang di ujung jalan kampung.

Sofia hendak kembali ke dalam rumah ketika dilihatnya gerombolan warga berjalan cepat melewatinya. Roman-roman panik di wajah warga membuat Sofia penasaran.

“Permisi, Kang, ada apa, ya?” tanya Sofia, menghentikan langkah salah seorang warga.

“Eh, Neng Juragan, ini, Neng, kami mau mengantar Mang Somad ke rumah sakit kota.”

“Kenapa Mang Somad?” tanya Sofia ingin tahu. Baru saja siang tadi ia membicarakan Mang Somad dengan Wira yang hendak menyita tanahnya.

“Tadi siang dia mendadak pingsan, lalu dibawa ke Puskesmas. Kata petugas di sana, gula darah Mang Somad tinggi dan harus segera dibawa ke rumah sakit umum.”

Sofia menangkup tangan di mulut.

“Ya ampun ….”

“Mari, Neng Juragan, saya ke Puskesmas dulu, mau bantu urus administrasinya. Katanya, kalau belum melunasi biaya ambulan dan sewa ruangan di rumah sakit, Mang Somad tidak akan diterima di sana. Kami para warga rereongan (sumbangan) untuk membantu melunasi biaya pendaftaran dan ruangan untuk Mang Somad.”

Sofia menghela napas risau. Ia teringat jatah uang yang diberikan Wira untuknya.

“Kang, tunggu sebentar, soal biaya rumah sakit, biar saya yang bayar.”

“Aduh, jangan, Neng Juragan! Nanti kalau Juragan Wira tahu, bisa gawat!”

“Sudah nggak apa-apa. Lagipula, saya pakai uang sendiri, yah … walaupun dia yang kasih, tetap saja uang itu sudah jadi milik saya.” Sofia menggeleng tidak sabar, “Pokoknya tunggu dulu di sini, saya masuk sebentar.”

Sofia berlari ke dalam rumah, dan mengambil kartu debit di dalam laci nakas. Terdapat secarik kertas bertuliskan ‘kata sandinya hari pernikahan kita, Sayang. With Love, Suamimu.’

Sofia kembali ke muka gerbang, namun betapa terkejutnya ia saat warga yang diminta menunggu, sudah tidak ada.

Sebagai gantinya, Brian menatap Sofia sambil terkekeh di atas sepeda downhillnya.

“Ngapain kamu nyuruh warga diam di sini? Mau kasih mereka sumbangan pakai harta Papa, ya!” tuding Brian menjengkelkan.

Sofia membuang napas kasar, namun karena ucapan Brian memang benar, ia tidak berkata apa-apa.

“Kamu usir warga tadi, ya?” Sofia menatap Brian curiga.

“Iya. Kenapa?” tantang Brian senang. Ia menginjak sadel sepeda, dan berbelok tajam di hadapan Sofia, membuat gadis itu menjerit kaget.

“Cemen! Begitu doang takut!” ejek Brian, tertawa-tawa sambil beratraksi dengan sepedanya.

“Dasar, anak nakal!” keluh Sofia, mengibas ujung roknya yang terkena cipratan lumpur dari ban sepeda Brian.

“Apa? Coba bilang sekali lagi?”

“Anak nakal!” ulang Sofia tanpa rasa takut.

Brian menghentikan gerakan sepedanya, dan memicing ke arah Sofia yang cemberut.

“Menghayati banget peran sebagai ibu tiri, kamu pikir itu keren?” Brian mendengus jijik, “Kamu nggak lebih dari sekedar perempuan murahan, yang menikahi pria karena hartanya!”

“Brian!” pekik Sofia tidak percaya. Ia menatap Brian dengan mata membeliak. “Jaga ucapanmu!”

Brian tertawa lebar. “Kamu yang seharusnya jaga sikap! Sudah untung dipungut Papa, kalau nggak, kamu nggak ada bedanya sama warga tadi! Pengemis!”

Puk!

Sofia melempar kartu debit di tangannya ke wajah Brian.

“Ambil ini! Aku nggak butuh!”

Sofia berlari ke dalam rumah, dan mengunci diri di kamar sampai keesokan pagi.

Karena menangis semalaman, Sofia jadi bangun terlambat. Ia bergegas mandi, dan menunaikan shalat subuh.

Saat Sofia keluar kamar, betapa terkejutnya ia mendapati Wira tengah terlelap di sofa ruang tengah.

“Bang … Abang, bangun!” Sofia mengguncang pelan tubuh Wira yang tegap.

“Eh? Sayang, kamu sudah bangun?” Wira tersentak, dan segera duduk sambil menggosok mata.

“Maaf, aku ketiduran. Abang tidur di sofa semalaman?”

“Nggak, Abang baru pulang satu jam yang lalu. Tapi karena pintu kamar dikunci, Abang rebahan di sini sambil nunggu kamu bangun, eh, ketiduran.” Wira nyengir lebar, tapi kemudian cengiran di wajahnya menghilang cepat.

“Kenapa matamu bengkak begitu? Kamu nggak habis nangis, kan?”

Sofia mengusap matanya yang sembap karena terus menangis sampai menjelang pagi.

“Nggak apa-apa,” ucap Sofia berbohong. “Abang sudah sarapan?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Sofia, Abang tahu kamu habis menangis. Ada apa?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status