Gesa bingung hendak berbuat apa. Jika ia bergeser, ia malah takut dirinya akan bersentuhan dengan Evan. Baru aja dijodohkan, masa iya bosnya mau mencium bibirnya? Apa yang harus ia lakukan jika Evan benar-benar melakukannya? Sementara dia belum pernah berpengalaman soal ini.
Evan melepas pengait sabuk itu dan berhasil. Evan kembali menjauhkan wajahnya. Gesa bisa bernapas lega. Ia sempat salah duga. Atau dia terlalu berharap? Tidak, Gesa tahu dirinya tak boleh lemah. Ia tak akan berharap apa pun pada pernikahannya dan Evan karena ini pernikahan perjodohan yang dipaksakan. "Kamu ingin terus di sini bersamaku? Atau kamu sudah sangat menghayati peranmu sebagai istriku? Hingga tak ingin jauh dariku." Evan bicara dengan nada yang sewot. Tatapan yang seolah mengintimidasi itu selalu menjadi ciri khasnya. "Maaf... Aku akan turun secepatnya. Maaf juga, karena sudah malam aku nggak akan menawari kamu untuk mampir ke rumah." Gesa tersenyum tipis, bukan senyum tulus untuk berterima kasih. Evan hanya menatap gadis itu datar. Ia memang belum punya pacar. Namun, meski wanita hanya tinggal Gesa seorang, ia pun akan berpikir ribuan kali untuk menikahi gadis itu. Ini semua demi kedudukan dan nama yang akan terus bertahta di lembaran Kartu Keluarga. Gesa turun dari mobil dan menutup pintu itu agak keras. Ia bahkan tak sedikit pun mengucap terima kasih atau berpamitan. Evan menggeleng. Jika bukan karena dijodohkan, rasanya ia enggan untuk dekat-dekat dengan Gesa. Kadang ia tak mengerti, bagaimana dulu dia pernah tertarik pada gadis itu hanya karena membaca chat-chat panjang yang ia kirimkan. ***** Satu bulan kemudian... "Saya terima nikah dan kawinnya, Gesa Amarasya binti almarhum Haris Maulana dengan mas kawin tersebut tunai." "Sah saudara-saudara?" "Sah..." Alhamdulillah... Satu babak terlewati. Gesa menghembuskan napas lega karena akad berjalan lancar. Meski pernikahan ini bisa dibilang pernikahan politik yang kaya intrik, tapi ada sekelebat rasa haru yang menelusup kala ia melihat wajah Sang Ibu yang bersimbah air mata. Bulir bening pun menetes. Gesa teringat akan semua pengorbanan dan perjuangan Sang Ibu dalam membesarkannya dan adiknya yang masih duduk di bangku universitas. Hubungannya dengan Sang Ibu juga tak selalu berjalan manis. Ada kalanya perdebatan dan ego mewarnai interaksi keduanya. Hari ini, ia resmi menjadi Nyonya Evan dan akan tinggal bersamanya. Evan pun merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia masih saja tak menyangka, sosok yang bersanding di sebelahnya adakah Gesa Amarasya. Seseorang yang tak pernah ia bayangkan dan ingin ia lupakan. Kini ia harus berbagi semuanya dengan wanita itu. Namun, ia pastikan ia tak akan jatuh pada Gesa. ***** Malam ini, Evan dan Gesa langsung bertolak ke hotel untuk menjalani malam pengantin mereka. Andre memberikan hadiah malam pengantin di hotel mewah yang lokasinya tak jauh dari rumah Evan. Atmosfer begitu awkward. Keduanya merasa canggung dan tertekan. Bukan malam seperti ini yang mereka harapkan. Terlebih mereka akan tidur di ranjang yang sama. Semua benar-benar aneh. "Gesa, sepertinya kita harus membuat kesepakatan. Aku nggak ingin arah pernikahan ini tidak jelas. Meski ini pernikahan perjodohan, tapi kita perlu menyepakati beberapa hal." Evan menatap Gesa serius. Wanita itu mengenakan piyama bergambar Mickey Mouse. Tak ada lagi make up yang menempel di wajahnya. Harus Evan akui, tadi siang Gesa tampak menawan dengan kebaya putih dan make up yang pas di wajahnya. Gesa mendengar Evan dengan saksama. "Okay, aku setuju. Apa saja kesepakatannya?" Evan menghela napas panjang. "Dengarkan baik-baik. Kesepakatan pertama, tidak ada seks dan kontak fisik termasuk ciuman dan pelukan. Kesepakatan kedua, kita harus berpura-pura baik-baik saja di depan umum, dan ketiga, kita tetap bisa menjalani hidup masing-masing dan tanpa mencampuri urusan masing-masing." Gesa menyimak baik-baik kesepakatan itu dan ia rasa, ia sependapat dengan semua yang disampaikan Evan. "Baik, aku setuju," balas Gesa mantap. Perbincangan mereka terhenti ketika salah seorang staf hotel mengirimkan satu paket minuman dan makanan yang merupakan free gift paket honeymoon. Gesa dan Evan melirik dua cangkir teh hangat di atas nampan, lengkap dengan sepiring makaron, dan dua potong cake. Keduanya menyesap hangatnya teh yang aromanya begitu khas. Mereka pikir malam ini, mereka bisa langsung tertidur pulas karena acara tadi siang begitu melelahkan. Namun, mereka salah. Keduanya justru tak bisa tidur dan merasakan sesuatu yang aneh. Evan tak tahu apa yang terjadi padanya. Namun tenggorokannya serasa kering dan ada rasa panas yang seakan membakar. Jantungnya berdegup lebih kencang, keringat membasahi dahi, dan yang sangat aneh adalah tiba-tiba ia merasakan gairah seksual yang begitu kuat. Gesa pun merasakan hal yang sama. Tiba-tiba ada hawa panas yang seakan merambat di setiap titik. Bukan panas seperti api, tapi panas yang berbeda, seperti letupan hasrat untuk menghabiskan malam yang lebih intim. Keduanya kelimpungan berusaha mengendalikan diri. Debaran di dada Gesa semakin bertalu kala Evan menatapnya dengan kabut gairah yang sudah merajai bola matanya. Gesa deg-degan bukan kepalang. Apalgi ketika Evan bergeser memangkas jarak dan mendekatkan wajahnya. Demi Tuhan, Gesa tak ingih kesepakatan yang baru saja disepakati bersama dilanggar di malam pertama!Gesa bingung hendak berbuat apa. Jika ia bergeser, ia malah takut dirinya akan bersentuhan dengan Evan. Baru aja dijodohkan, masa iya bosnya mau mencium bibirnya? Apa yang harus ia lakukan jika Evan benar-benar melakukannya? Sementara dia belum pernah berpengalaman soal ini. Evan melepas pengait sabuk itu dan berhasil. Evan kembali menjauhkan wajahnya. Gesa bisa bernapas lega. Ia sempat salah duga. Atau dia terlalu berharap? Tidak, Gesa tahu dirinya tak boleh lemah. Ia tak akan berharap apa pun pada pernikahannya dan Evan karena ini pernikahan perjodohan yang dipaksakan. "Kamu ingin terus di sini bersamaku? Atau kamu sudah sangat menghayati peranmu sebagai istriku? Hingga tak ingin jauh dariku." Evan bicara dengan nada yang sewot. Tatapan yang seolah mengintimidasi itu selalu menjadi ciri khasnya. "Maaf... Aku akan turun secepatnya. Maaf juga, karena sudah malam aku nggak akan menawari kamu untuk mampir ke rumah." Gesa tersenyum tipis, bukan senyum tulus untuk berterima kasih. Evan
Gesa merasa terjebak dalam satu mobil bersama Evan. Andai saja Pak Andre tidak memaksa Evan untuk mengantar Gesa pulang, tentu gadis itu lebih memilih pulang sendiri. Berada dalam mobil mewah bersama seseorang yang tidak tahu cara menghargai orang lain dan sangat menyebalkan itu tidak ada artinya. Ia tak mengerti kenapa Evan belum jua melajukan mobilnya sementara area parkir sudah tampak sepi. Evan menoleh pada Gesa yang membisu seribu bahasa. "Dengar Gesa, aku terpaksa menerima perjodohan kita karena aku berpikir realistis. Aku tak ingin kehilangan kedudukanku dan aku masih ingin menjadi bagian dari keluargaku." Evan menegaskan kata-katanya dan menatap Gesa dengan sorot tertajamnya. Gesa menghela napas. Ia melirik Evan sepintas. "Tanpa kamu bicara seperti ini, aku sudah paham, Evan. Posisi kita sama, aku pun terpaksa." "Wow, baru sehari aku jadi bosmu, kamu sudah berani memanggilku dengan nama." Evan tersenyum miring. Baru saja dijodohkan dan belum resmi, gadis itu merasa berada
Seharian Gesa mengerjakan revisi rancangannya. Gesa hanya beristirahat saat jam istirahat. Hingga petang berlalu, Gesa masih berkutat dengan pekerjaannya.Satu per satu rekan kerja Gesa telah pulang lebih dulu. Sementara, Gesa masih terpaku pada layar laptop. Evan masih ada di ruangannya. Gesa berpikir apakah Evan sedang menunggunya menyetor rancangan yang sudah ia revisi? Gesa berencana menyerahkan hasil revisi meski belum sempat mem-print. Biar Evan melihat langsung dari laptopnya. Evan memberinya waktu hingga hari ini saja.Gesa membawa laptopnya menuju ruangan Evan. Gesa mengetuk pintu. Terdengar jawaban dari dalam."Silakan masuk."Gesa membuka pintu dan melangkah masuk dengan sedikit ragu. Ia terperanjat melihat Pak Andre, CEO perusahaan sekaligus ayah dari Evan ada di ruangan itu juga."Kebetulan kamu datang, Gesa. Ada hal penting yang akan saya bicarakan." Andre tersenyum menatap Gesa.Gesa membeku sekian detik. Dadanya tiba-tiba berdebar. Ia takut Pak Andre akan mempermasal
Gesa mencoba menstabilkan napas, menenangkan diri, dan menguatkan hati. Ia membawa map berisi rancangan rebranding perusahaan. Jari tangannya gemetar. Dia kesulitan mengendalikan degup jantung yang terus berloncatan. Rasanya seperti akan menghadapi monster.Ketika Gesa masuk ke ruangan Evan, laki-laki itu menatapnya dingin. Tak ada ekspresi berarti. Ia mempersilakan Gesa duduk dengan bahasa yang begitu formal, seolah mereka tak pernah saling mengenal.Gesa menyerahkan map coklat pada Evan dengan debaran yang masih merajai. Bahkan Gesa tak sanggup menatapnya."Kamu yang bertanggung jawab membuat rancangan branding perusahaan, 'kan? Saya akan mengeceknya," ucap Evan datar.Gesa hanya mengangguk pelan. Suasana begitu menegangkan. Ingatan Gesa melayang ke masa kuliah ketika dirinya menyerahkan hasil desain logo ekstrakurikuler art design. Evan merobek rancangannya dan mencemooh karyanya seperti karya anak SD. Kini Gesa dihadapkan pada situasi yang sama. Sesaat Gesa merasa semesta seolah
Seperti biasa Gesa terburu-buru menuju kantor. Kota besar ini tidak lagi memberikan ruang yang cukup untuk bernapas. Setiap hari harus bergelut dengan lalu lintas yang padat, kendaraan yang berlalu lalang, dan orang-orang yang berjalan dengan tergesa-gesa.Hari ini perusahaan akan mengenalkan Chief Creative Officer yang baru. Gesa berharap bosnya kali ini bisa lebih memahami karyawan dan tidak asal memberikan tugas tanpa tahu batas kelelahan seorang karyawan.Tiba di kantor dengan napas tersengal-sengal adalah hal yang biasa. Gesa ingin memberikan kesan yang baik di depan bosnya yang baru.Gesa meletakkan tasnya di meja. Dia menghirup napas sejenak untuk menetralkan deru napas yang masih terdengar memburu. Suara Amy, rekan kerjanya memecah keheningan."Bersiaplah teman-teman untuk rapat. Hari ini kita akan dikenalkan dengan CCO kita yang baru."Semua staf bersiap memasuki ruangan untuk menghadiri rapat internal divisi kreatif. Atmosfer ruangan terasa lebih dingin dari biasanya. Rasan