LOGINEvan menatap Gesa dengan tatapan begitu lekat seolah menelisik setiap inci wajah wanita yang telah resmi menjadi istrinya.
Gesa salah tingkah dibuatnya. Ditatap sedemikian intens oleh seseorang yang menjadi cinta pertamanya ini hadirkan desiran yang pelan-pelan merambat hingga ke puncak. "Apa kamu merasakan sesuatu?" tanya Evan dengan ekspresi yang begitu serius. Gesa mengangguk. "Iya, ada yang aneh dengan tubuhku. Rasanya panas, gerah, dan...." Gesa merasa sulit untuk mengendalikan diri. Bahkan napasnya serasa berkejaran. "Ini sangat aneh...." Evan menjauhkan wajahnya dan duduk di sebelah Gesa dengan degup jantung yang masih memburu. Evan berpikir, tidak seharusnya gairah melesak tajam sementara dia tak menerima rangsangan apa pun. Menuntaskannya bersama Gesa juga bukanlah pilihan. Mereka baru saja membuat kesepakatan. Evan sengaja menghindari Gesa, enggan menatapnya karena ia tak mau sesuatu terjadi. Pernikahan ini hanya untuk formalitas. Dia tak akan mengambil keuntungan apa pun dari pernikahan ini, termasuk menghabiskan malam intim bersama Gesa. Keringat dingin masih terasa. Perasaan gelisah seolah berbisik lirih agar Evan memanfaatkan malam itu untuk benar-benar berinteraksi secara fisik dengan istrinya. Bukankah sudah halal dan boleh menyentuh? Ah, tidak. Evan tidak bisa melakukannya. Tiba-tiba sesuatu mengeras di balik celana Evan. Shit... Evan tak mengerti, kenapa tiba-tiba 'Si Joni' tidak bisa diajak kompromi. Ia bahkan belum menyentuh Gesa sama sekali. Gesa melirik Evan yang masih berselonjor di sebelahnya. Pandangan mata Gesa menurun ke celana Evan. Dia sendiri tak mengerti kenapa tiba-tiba tertarik memperhatikan celana suaminya karena memang ada sesuatu yang mengganggu matanya. Sadar Gesa memperhatikannya dan tatapannya menuju ke bagian sensitif, Evan segera menutupnya dengan bantal. Dua pasang mata itu beradu. Evan seperti maling yang tertangkap basah. Ia tak mau Gesa salah menduga dan merasa diinginkan. "Apa ada sesuatu di balik celanamu? Kenapa kayak ada sesuatu?" tanya Gesa polos. Evan mendelik. Apa Gesa tidak tahu apa yang terjadi padanya? Jangan bilang kalau gadis itu terlalu polos. Evan semakin tersiksa. Ia beranjak dan melangkah ke kamar mandi. Mengguyur dengan air mungkin bisa menetralkan hasrat yang kian membumbung. Ia harus meredakannya sendiri. Gesa cukup khawatir melihat Evan yang tampak tak baik-baik saja. Ia berjalan mendekat ke kamar mandi. "Evan, apa kamu baik-baik saja?" Di dalam kamar mandi, Evan semakin gelisah. Meski sudah mengguyur dengan air dingin, tapi bagian tubuhnya yang satu itu masih saja menegang. Kenapa bisa selama ini, gerutunya. "Evan, kamu lagi apa?" Suara Gesa membuyarkan kepanikan Evan. Evan paham ada yang tak biasa dengan tubuhnya. Ia mengingat-ingat apa yang ia konsumsi. Evan baru ingat. Sebelumnya ia dan Gesa meminum teh hangat. Mungkin saja ada sesuatu dalam teh hangatnya. Evan curiga dengan ayahnya. Bisa jadi ini semua adalah rencana Sang Ayah. Evan keluar dari kamar mandi dengan keringat yang masih bercucuran. Gesa menatapnya tanpa kata. Gesa pun sedang berusaha mengendalikan diri dari sesuatu yang ia sendiri tak mengerti. Jantung berdebar-debar dan tiba-tiba ada dorongan untuk menjalani malam yang lebih intim. Mata Gesa kembali menatap celana Sang Suami. Ada sesuatu yang menonjol. Apa ini yang dinamakan ereksi? "Aku tahu kamu tertarik untuk terus mengamati sesuatu di balik celanaku. Tapi aku sadar, pernikahan ini hanya status di atas kertas. Aku tak akan semurah itu untuk membuka celanaku di depanmu." Evan menatap Gesa dengan tatapan tertajamnya. Gesa menelan ludah. "Apa sebelumnya aku memintamu membuka celana?" Evan tergugu. Dia bertanya-tanya, apa Gesa sama sekali tidak tergoda? "Aku butuh bantuanmu." Evan menatap Gesa sekali lagi. Kali ini tatapannya begitu memohon. "Bantuan apa?" "Tolong browsing sekarang juga. Cari informasi kenapa laki-laki bisa ereksi tanpa rangsangan apa pun? Dan berapa durasi normal ereksi. Aku akan telepon ayahku, karena sepertinya ini adalah hasil kerjanya." Gesa kini mengerti. Evan tengah menghadapi kesulitan. Ia menuruti permintaan Evan untuk browsing internet. Sementara itu, Evan menelepon ayahnya. "Ayah, tolong jujur. Apa gift makanan dan minuman untuk honeymoon, Ayah yang memesan? Ayah yang mengatur?" Gesa mendengarkan percakapan Evan dan ayahnya. Ia bisa melihat gelagat tubuh Evan yang gelisah tak menentu dan wajah Evan terlihat begitu kesal. Evan menghembuskan napas dan mendekat ke arah Gesa. "Benar dugaanku. Ayah yang mengatur semuanya. Minuman kita diberi obat perangsang oleh Ayah." Evan meninggikan suaranya. Ada nada kesal dan kecewa teramat dalam. Gesa terperanjat mendengarnya. Pantas saja ada reaksi yang berbeda dari tubuhnya. "Dan kamu lihat sendiri. Aku tersiksa seperti ini. Seharusnya sudah selesai, tapi sampai sekarang masih menegang. Kalau sampai lebih dari empat jam tidak juga kelar, maka ini jadi masalah besar dan aku harus ke rumah sakit." Gesa ikut panik. Ia tak tahu bagaimana caranya meredakan kesulitan Evan. "Kamu pernah dengar priapisme?" Evan bertanya pada Gesa dengan mimik wajah yang masih didominasi kecemasan. Gesa menggeleng. "Aku nggak pernah dengar." Evan mengerang frustrasi. Ia usap keringat yang membanjir. "Priapisme itu adakah kondisi darurat di mana ereksi berlangsung lebih dari empat jam tanpa ada rangsangan seksual. Dan risikonya adalah dapat merusak jaringan organ vitalku." Gesa menganga dan menutup mulutnya dengan tangannya. "Ini belum empat jam Evan, mungkin baru satu jam. Atau kita ke rumah sakit saja?" "Kamu mau bikin aku malu?" Evan membulatkan matanya. Gesa memutar otak untuk mencari cara yang tepat. "Tenang Evan. Semua akan reda sebelum empat jam." Gesa menghembuskan napas pelan. "Aku bisa membantumu," jawab Gesa mantap. Evan mengernyitkan alis. "Apa yang akan kamu lakukan?"Gesa masih saja kesal. Sekuat apa pun usahanya untuk bersikap netral dan tak peduli, nyatanya ia tak bisa membohongi hati kecilnya. Kecemburuan itu ada. Ia tak bisa bersikap seolah-olah dia bukan siapa-siapanya Evan. Pernikahan itu real terlepas dari apa pun latar belakang yang menyebabkan pernikahan itu terjadi.Ia bertambah kesal kala melihat Rivana keluar dari ruangan Evan dan tersenyum miring ketika melintas di hadapannya. Tampak benar gadis itu menyukai kegelisahannya. Gesa tak mau menunjukkan kelemahan maupun rasa cemburunya. Ia akan berpura-pura jika sikap Evan tak berpengaruh apa-apa terhadapnya.Ketika tiba saatnya pulang, Evan mendatanginya dan menatapnya datar. Gesa menatapnya sekilas, tapi buru-buru ia alihkan pada layar laptop yang baru saja ia matikan."Kita pulang bareng, setelah itu mampir makan malam," tukas Evan datar.Gesa tahu, Evan menatap ke arahnya. Namun, Gesa enggan menatap balik. "Tadi pagi aku berangkat sendiri, naik motor. Pulangnya juga naik motor. Masa i
"Halo Gesa, senang bertemu denganmu. Sudah sekian lama kita tidak bertemu, kamu masih seperti yang dulu." Rivana menatap Gesa di luar ruangan rapat setelah rapat selesai. Tatapannya begitu menelisik dari ujung kepala hingga kaki."Masih seperti yang dulu?" Gesa memicingkan matanya. Ia tak suka berbasa-basi."Ya, masih seperti yang dulu. Yang nggak bisa make up, kurang pinter milih outfit, dan tidak terlihat upgrade di penampilan." Rivana bicara tanpa tedeng aling-aling. Gesa sudah sangat paham akan karakter seniornya yang suka meremehkan orang lain. Sebenarnya, tak jauh dari Evan.Gesa menatap Rivana, sama dengan cara Rivana menatapnya. Ia seakan tengah mengabsen inci demi inci penampilan Rivana. "Apa kamu merasa cukup upgrade? Kamu lebih menarik saat masih kuliah. Maaf, ini jujur dari hati." Gesa mengamati Rivana yang tampak jauh lebih berisi dibanding dulu. Hanya saja Gesa tak ingin berkomentar negatif yang menyinggung fisik orang lain, meski Rivana lebih dulu meremehkannya.Rivana
Gesa gugup bukan main. Degup jantungnya terasa berpacu lebih cepat. Jarak antara dirinya dan Evan semakin terpangkas. Gesa tak lagi bisa mundur. Ujung bibir Evan menyentuh ujung bibirnya. Gemuruh rasa itu kian membakar. Dada Gesa berdebar hebat. Ketika Evan memainkan ritme, Gesa terpaku sekian detik. Ini ciuman pertamanya. Ia tak tahu bagaimana membalasnya. Evan belum ingin menyerah. Ia hentikan ciumannya dan beralih dengan bisikan lirih di telinga istrinya. "Balas ciumanku, ikuti ritmenya."Suara lembut Evan terdengar begitu memikat. Nada suaranya seolah seperti sebuah hasrat yang tengah menanjak. Telinga Gesa meremang. Dadanya semakin berdebar. Getaran seakan merayap di setiap sendi.Evan kembali mendaratkan ujung bibirnya di bibir Gesa. Kali ini, Gesa lebih siap dibanding sebelumnya. Ia mengikuti ritme untuk membalas ciuman Evan.Waktu seolah berhenti. Dunia dan seisinya seakan menjadi milik keduanya. Sensasi ciuman pertama ini begitu manis, hangat, dan membekas. Ketika momen itu
Malam ini atmosfer kembali asing. Hanya keheningan yang mendominasi. Bahkan Gesa pun melewatkan makan malam karena ia tak mood untuk makan malam.Sekitar jam sembilan, Gesa keluar kamar. Ia ingin mengambil air. Ketika ia melangkah keluar, matanya bertemu dengan mata Evan yang tengah duduk di ruang tengah dengan laptop di hadapannya. Keduanya terdiam sekian detik seakan tatapan menjadi satu-satunya cara untuk berbicara. Gesa mengalihkan pandangan ke arah lain. Tanpa suara, ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air.Gesa duduk sejenak di ruang makan. Ia meneguk air putih lalu merenungi nasibnya. Gesa menopang dagu dengan tangannya. Ia berpikir ulang, apa keputusan menikahi Evan adalah keputusan terburuk dalam hidupnya? Ia pikir, tak mengapa menjalani pernikahan perjodohan dengan kesepakatan meski tanpa cinta. Nyatanya, jauh di hati kecilnya, ia merindukan pernikahan yang normal.Mendadak hatinya bergerimis. Tiba-tiba ia merindukan kehidupan lamanya. Rumah yang ia tinggali sekarang
Pagi ini terasa lebih sibuk dibanding pagi sebelumnya. Orang tua Evan telah pulang, Evan dan Gesa kembali tidur terpisah. Namun, kesibukan sebelum berangkat kerja masihlah sama.Gesa inisiatif bangun lebih pagi. Ia siapkan menu yang praktis untuk sarapan. Roti panggang dioles selai coklat dan buah pisang menjadi pilihan. Dua cangkir kopi tak ketinggalan. Evan yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya duduk tenang di ruang makan. Ia melirik sepiring roti panggang di hadapannya. Aroma harum kopi juga menyeruak dan menarik minatnya untuk meneguknya.Gesa duduk di hadapannya tak lama kemudian. Netra mereka kembali bertemu. Setiap menatap Sang Suami selalu ada debaran yang merajai. Namun, Gesa berusaha bersikap setenang mungkin."Kamu menyiapkan semua ini? Good... Makasih," ucap Evan seraya menyuapkan sepotong roti panggang."Gimana rasanya?" tanya Gesa dengan satu senyum manis.Evan berhenti mengunyah lalu menatap Gesa datar. "Hmm tidak bisa dibilang enak, tapi juga nggak bisa dibilang ngg
Gesa mengerjap lalu perlahan membuka mata. Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Gesa berpikir, apa dia kesiangan? Evan sedang mandi itu artinya ia kesiangan. Gesa melirik jam dinding. Ternyata masih jam empat pagi. Namun, Evan sudah mandi sepagi ini?Tak lama kemudian, Evan keluar dari kamar mandi. Handuk terlilit di pinggangnya. Tubuh atletis Evan ditambah perut sixpack-nya membuat dada Gesa bergemuruh tak menentu."Kamu mandi pagi sekali," ucap Gesa. Netranya mengamati Evan yang tengah mengambil baju di lemari. "Iya, soalnya Ayah udah pasti ngajakin Subuhan di Masjid depan. Ayah tahunya kan semalam kita habis cocok tanam. Makanya aku mandi untuk lebih meyakinkan." Gesa mengamati rambut Evan yang memang tampak basah. Evan kembali menoleh ke arah Gesa."Kamu menghadap sana ya. Aku mau ganti baju. Jangan berbalik sebelum aku minta." Evan menegaskan kata-katanya. Gesa menuruti kemauan Evan. Ia membalikkan badan. "Udah belum, Van?""Belum, sebentar lagi." "Udah," ucap Ev







