Bunga masih terpaku, duduk di kursi kerjanya. Leo sesekali menatapnya. Perasaannya kasihan pada perempuan itu.Leo tahu persis bagaimana Alvaro ketika dia bekerja. Dia juga tahu kalau Alvaro dingin dan kelihatan angkuh di mata para bawahan, juga karyawannya. Leo mengerti kalau Bunga pasti tak menyangka akan menemui semua itu.Di setengah hari pertama bekerja di kantor baru saja, Bunga sudah berulang kali mendapatkan perintah bernada tinggi. Entah berapa kali dia panik dari tadi pagi.“Hey, ini sudah jam makan siang. Apa kau tidak mau makan siang?” tanya Leo. Dia melihat Bunga yang masih saja sibuk dengan komputer di hadapannya.Bunga mengangkat wajahnya. Mata coklat terangnya yang bulat menatap Leo. “Aku masih mempelajari sistem file yang kau berikan tadi, mencoba memahaminya,” jawab Bunga.“Kau bisa mengerjakan itu nanti, pergilah makan siang lebih dulu,” ulang Leo sekali lagi.Bunga menatap nanar memandang pintu ruang CEO. Suaminya itu masih saja di dalam ruang kerjanya. Sebenarnya
Leo bercerita banyak mengenai Alvaro. Mulai dari awal pertemanan mereka, sampai dia bisa bekerja dengan Alvaro. Leo juga menceritakan pada Alvaro mengenai kehidupan Alvaro sebelum kehadiran Bunga.“Dia selalu sibuk dengan pekerjaan, dia sangat mandiri karena harus mengurus dirinya sendiri. Sejak kecil, dia sudah tinggal dengan kakeknya,” ujar Leo. Bunga mengangguk, kalau tentang itu, Bunga tentu sudah mengetahui.Leo menceritakan kalau Alvaro dulu pernah mengatakan pada Leo, betapa dia sebenarnya ingin merasakan kasih sayang orangtua yang lengkap.Hati Bunga terasa iba mendengarnya. Dia teringat Alvaro yang kemarin datang ke rumah orangtuanya untuk sekedar berbicara santai di sore hari sepulang kerja. Sekarang Bunga paham, Alvaro membutuhkan kasih sayang keluarga.Mendadak Bunga langsung mengeluarkan telepon genggamnya. Dia membuka aplikasi pesan. Bunga langsung mengetikkan kata-kata di telepon genggamnya itu.[Hai, kau pasti belum m
Pagar mansion otomatis terbuka ketika mobil Bunga sampai di depannya. Bunga memang membukanya menggunakan remote pagar yang diberikan Alvaro padanya pagi tadi. Di kaca spion, Bunga masih saja tidak melihat mobil Alvaro yang dari kantor tadi berada belakang mobil Bunga.Sedikit perasaan khawatir menyergap Bunga. Dia menarik nafas panjang. “Kemana dia? Setidaknya dia bisa mengatakan padaku kalau dia memang ingin mampir di suatu tempat,” gerutu Bunga.Bunga kemudian mengemudikan mobilnya masuk ke halaman dan parkir di garasi. Dia sekali lagi menatap pintu gerbang yang masih terbuka. Masih belum ada tanda-tanda kalau mobil Alvaro datang.‘Lebih baik aku masuk saja terlebih dulu,’ batin Bunga. Bunga kemudian membuka kunci pintu mansion dan masuk ke dalam. Rumah itu terasa terlalu besar untuknya kalau dia sedang seorang diri seperti itu.“Semoga saja Al tidak berlama-lama,” gumam Bunga. Bunga langsung masuk ke dalam kamar. Dia melepaskan semua pakaian kerjanya dan langsung mandi. Seharian b
Bunga menatap boneka Teddy bear yang duduk manis di tempat tidur. “Untukku?” tanyanya pada Alvaro. Sekejap setelah itu Bunga sadar pertanyaannya sangat konyol tentu saja untuk dia, tidak ada orang lain yang tinggal di mansion itu kecuali mereka berdua, apalagi di kamar itu. Terlebih, ada ucapan bertuliskan ‘Nyonya Al’. Sudah mungkin tak ada orang lain yang menikah dengan Alvaro selain dirinya.Pertanyaan yang terlanjur keluar dari mulut Bunga itu membuat Al tertawa kecil. Pada siapa lagi dia akan memberikan ucapan itu kalau bulan Bunga. “Tentu saja untukmu. Aku tidak pernah menjadi wanita lain sebagai nyonya di dunia ini kecuali dirimu, Bunga,” bisik Alvaro.“Ya, ya, aku tahu itu terdengar bodoh. Tapi, terimakasih, Al,” ujar Bunga. Bunga sedikit malu, tapi dia memajukan badannya, mendekat pada Alvaro dan memeluk lelaki itu. Jantung Alvaro terasa berdebar kencang ketika Bunga ada di dalam pelukannya.‘Damn, ternyata berpelukan dengan seorang perempuan
Usai mandi pagi, Bunga masih menguap. Namun, dia memaksakan diri untuk turun ke bawah dan memasak untuk sarapan pagi. Alvaro masih ada di kamar tidur mereka, baru saja akan mandi, bergantian dengan Bunga.Semalam, setelah Alvaro terbangun karena mimpi buruknya, Bunga tak lepas-lepas memandang wajah suaminya itu. Walaupun semalam Alvaro sudah kembali tertidur, namun Bunga masih saja tidak bisa. Memandang wajah tampan Alvaro membuat Bunga menjadi sedih. Bunga merasa dia yang membangkitkan ingatan Alvaro pada ibu dan ayahnya.Bunga tahu persis tidak banyak bahan makanan di rumah itu. Dia hanya akan memasak omelet lagi dan beberapa buah sosis panggang. Mungkin sudah cukup sekedar mengganjal perut di pagi hari. “Sepertinya, setelah pulang kerja nanti, aku harus ke supermarket untuk berbelanja,” gumam Bunga.Bunga tahu, seluruh bahan persediaan makanan di dalam kulkas di mansion itu hanyalah makanan beku yang tidak terlalu sehat. Dia harus bisa membuat maka
Bunga dan Alvaro berpisah di depan pintu garasi. Bunga harus berangkat sendiri dengan mobilnya, sementara Alvaro juga berangkat sendiri dengan mengemudikan mobilnya sendiri. Alvaro memang harus menyetujui itu, sesuai dengan permintaan Bunga.Di jalan, mereka tentu saja beriring-iringan seperti kemarin. Bunga melihat mobil Alvaro selalu ada di belakangnya dari kaca spion. Itu juga terus membuat senyum kecil mengulas di bibirnya.Memikirkan Alvaro dan mimpi yang diceritakannya pada Bunga membuat perempuan itu sedikit penasaran. Siapa dan bagaimana Alvaro kehilangan orang tuanya. Rasanya Bunga tidak tega untuk terus bertanya pada Alvaro. Suaminya itu jelas sudah menghadapi mimpi buruk meski hanya bercerita sedikit. Bunga tidak mau mengulanginya lagi malam ini.“Sebaiknya aku tanya pada Papa saja, bukankah kakekku dulu adalah teman Kakek Bram?” gumam Bunga. Rasa penasaran membuat Bunga tidak bisa menanti. Dia langsung memasang headset nirkabel di telingan
“Leo ... Oh, kamu sudah disini rupanya,” ujar Alvaro, wajahnya langsung beralih pada Bunga. Bunga mendadak meringis. Dia sudah mendapat bocoran kalau Alvaro akan meminta pengaturan jadwal ulang hari ini.“Ya, Pak,” jawab Bunga. Alvaro ingin sekali tersenyum. Wajah cantik Bunga itu tampak sangat menggemaskan untuk Alvaro. Tapi, Alvaro tetap menjaga wajah dinginnya selama di kantor, itu atas permintaan Bunga sendiri.“Tolong atur ulang jadwalku. Tadi agensi model itu meminta pertemuan mendadak, apa mau mereka sebenarnya, baru juga menjalin kontrak,” gerutu Alvaro. Sebenarnya, tentu ada banyak perusahaan agensi model yang bisa menangani permintaan ambasador oleh perusahaan Alvaro, tapi mereka terlanjur membuat perjanjian.Alvaro hanya tidak suka diributkan dengan urusan-urusan tidak penting seperti itu. “Lain kali, kalau mereka membutuhkan sesuatu lagi, suruh mereka langsung ke manajer pemasaran saja,” pinta Alvaro pada Leo. Leo langsung mengangguk, dia memang tahu kalau Alvaro tidak beg
Alvaro memang sedikit terkejut menyaksikan Bunga masuk seperti orang ketakutan. “Ada apa? Kamu terlihat seperti sedang dikejar harimau.” Alvaro berdiri dari kursi kerjanya.“Mereka datang, tapi tidak bersedia diantar ke ruang meeting, Pak,” ungkap Bunga. Bunga tahu kalau informasi yang dibawanya mungkin akan berisiko dimarahi Alvaro. Bunga tahu dari Leo kalau Alvaro tidak suka ada orang lain mengacaukan jadwalnya.‘Mereka menolak? Sombong sekali,’ batin Alvaro. Saat itu juga sebenarnya Alvaro ingin membatalkan kerjasama dengan agensi model yang sudah membuat perjanjian dengannya kemarin. Tapi rasanya itu akan merugikan perusahaan. Di perjanjian kemarin jelas tertulis kalau ada pembatalan, maka tidak akan ada pengembalian pembayaran, dan Alvaro kemarin sudah setuju.“Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” tanya Alvaro.“Jadi, apakah aku harus membujuk mereka ke ruang meeting atau membiarkan mereka masuk, Pak?” tanya Bunga.“Panggil mereka,