Bunga dan Alvaro berpisah di depan pintu garasi. Bunga harus berangkat sendiri dengan mobilnya, sementara Alvaro juga berangkat sendiri dengan mengemudikan mobilnya sendiri. Alvaro memang harus menyetujui itu, sesuai dengan permintaan Bunga.Di jalan, mereka tentu saja beriring-iringan seperti kemarin. Bunga melihat mobil Alvaro selalu ada di belakangnya dari kaca spion. Itu juga terus membuat senyum kecil mengulas di bibirnya.Memikirkan Alvaro dan mimpi yang diceritakannya pada Bunga membuat perempuan itu sedikit penasaran. Siapa dan bagaimana Alvaro kehilangan orang tuanya. Rasanya Bunga tidak tega untuk terus bertanya pada Alvaro. Suaminya itu jelas sudah menghadapi mimpi buruk meski hanya bercerita sedikit. Bunga tidak mau mengulanginya lagi malam ini.“Sebaiknya aku tanya pada Papa saja, bukankah kakekku dulu adalah teman Kakek Bram?” gumam Bunga. Rasa penasaran membuat Bunga tidak bisa menanti. Dia langsung memasang headset nirkabel di telingan
“Leo ... Oh, kamu sudah disini rupanya,” ujar Alvaro, wajahnya langsung beralih pada Bunga. Bunga mendadak meringis. Dia sudah mendapat bocoran kalau Alvaro akan meminta pengaturan jadwal ulang hari ini.“Ya, Pak,” jawab Bunga. Alvaro ingin sekali tersenyum. Wajah cantik Bunga itu tampak sangat menggemaskan untuk Alvaro. Tapi, Alvaro tetap menjaga wajah dinginnya selama di kantor, itu atas permintaan Bunga sendiri.“Tolong atur ulang jadwalku. Tadi agensi model itu meminta pertemuan mendadak, apa mau mereka sebenarnya, baru juga menjalin kontrak,” gerutu Alvaro. Sebenarnya, tentu ada banyak perusahaan agensi model yang bisa menangani permintaan ambasador oleh perusahaan Alvaro, tapi mereka terlanjur membuat perjanjian.Alvaro hanya tidak suka diributkan dengan urusan-urusan tidak penting seperti itu. “Lain kali, kalau mereka membutuhkan sesuatu lagi, suruh mereka langsung ke manajer pemasaran saja,” pinta Alvaro pada Leo. Leo langsung mengangguk, dia memang tahu kalau Alvaro tidak beg
Alvaro memang sedikit terkejut menyaksikan Bunga masuk seperti orang ketakutan. “Ada apa? Kamu terlihat seperti sedang dikejar harimau.” Alvaro berdiri dari kursi kerjanya.“Mereka datang, tapi tidak bersedia diantar ke ruang meeting, Pak,” ungkap Bunga. Bunga tahu kalau informasi yang dibawanya mungkin akan berisiko dimarahi Alvaro. Bunga tahu dari Leo kalau Alvaro tidak suka ada orang lain mengacaukan jadwalnya.‘Mereka menolak? Sombong sekali,’ batin Alvaro. Saat itu juga sebenarnya Alvaro ingin membatalkan kerjasama dengan agensi model yang sudah membuat perjanjian dengannya kemarin. Tapi rasanya itu akan merugikan perusahaan. Di perjanjian kemarin jelas tertulis kalau ada pembatalan, maka tidak akan ada pengembalian pembayaran, dan Alvaro kemarin sudah setuju.“Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” tanya Alvaro.“Jadi, apakah aku harus membujuk mereka ke ruang meeting atau membiarkan mereka masuk, Pak?” tanya Bunga.“Panggil mereka,
Alvaro merasa tidak tenang. Banyak hal terlintas di dalam kepalanya. Bagaimana mungkin dia merasa begitu mengenal wanita paruh baya yang tadi datang ke kantornya. “Sarah, Sarah, Sarah, rasanya aku tidak mengenal nama itu. Tapi, mengapa wajahnya, suaranya, semuanya terasa akrab,” gumam Alvaro.Tujuan satu-satunya Alvaro adalah ke rumah kakeknya. Dia harus bertanya tentang semua itu. Selain pertanyaan mengenai wanita bernama Sarah, Alvaro juga ingin tahu lebih lanjut mengenai mimpi-mimpi yang mengganggunya, mimpi buruk yang datang padanya malam tadi.Memasuki gerbang pagar rumah besar milik kakeknya, Alvaro tersenyum kecil. Rumah itu adalah tempat Alvaro menghabiskan masa kecilnya. Alvaro langsung parkir di depan pintu utama. Dia kemudian masuk ke dalam rumah.“Mungkin kakek sedang berada di ruang baca,” ujar Alvaro. Dia tahu persis dimana sang kakek menghabiskan waktu setiap hari.Dugaan Alvaro benar, ketika memasuki ruang baca, Bram memang sedang duduk disana. “Kakek,” sapa Alvaro.Or
Alvaro masuk ke kamarnya di rumah yang sekarang hanya ditinggali oleh Kakek Bram. Tentu saja bersama beberapa orang pelayan yang menyediakan kebutuhan orang tua itu. Dia orang asisten rumah tangga, seorang tukang kebun, seorang supir, dan dua orang satpam yang menjaga di pintu masuk rumah.Kamar Alvaro yang ada di rumah itu adalah kamar yang dia tinggali sebelum menikah dengan Bunga. Alvaro memang sudah memiliki mansion yang dipersiapkannya untuk tempat tinggal setelah menikah, namun sebelum menikah dia masih tinggal di rumah Kakek Bram.Alvaro masuk ke kamar bujangannya itu. Kamar itu sekarang tampak rapi, bahkan jauh lebih rapi dibandingkan ketika dia tinggal di tempat itu dulu. Tentu saja demikian, kakek Bram yang meminta pembantu membersihkannya secara berkala.Kakek Bram memang tidak pernah mengizinkan siapapun untuk mengganggu semua isi di dalam kamar, kecuali hanya untuk membersihkannya dari debu yang kadang hinggap tak tahu waktu.Alvaro duduk di tempat tidur tersebut. Dia men
Sudah gelap ketika mobil Alvaro memasuki pagar mansion. Alvaro langsung menuju garasi mobil. Mobil Bunga sudah terparkir di dalam garasi itu. “Syukurlah, Bunga sudah sampai di rumah,” gumam Alvaro.Alvaro turun dari mobil, tak lupa mengambil bungkusan berisi makanan yang ditaruhnya di jok samping kemudi. Memasuki rumah, Alvaro mencium bau masakan. Bau itu cukup lezat dan menggugah selera.Alvaro langsung berjalan ke dapur. Dia melihat Bunga sedang mengaduk panci yang bertengger di atas kompor. Langkah Alvaro terhenti, dia memandang pada Bunga. Sesekali gadis itu menatap layar telepon genggamnya dan mencari bumbu yang harus dimasukkannya. Dia kemudian tersenyum setelah memasukkan bumbu tersebut, seolah sudah mencapai prestasi tertentu.“Aku harap kali ini tidak membuatmu terkejut lagi,” sapa Alvaro. Tetap saja, walaupun Alvaro sudah berusaha menyapa dengan suara lembut, namun wajah Bunga tetap menegang seketika.“Apa kau sebenarnya ketakutan setiap kali sendiri disini?” tanya Alvaro. P
Alvaro sebenarnya tidak tahu jawaban apa yang harus dikemukakannya pada Bunga. Bagaimana tidak? Dia sendiri tak tahu pasti siapa perempuan paruh baya yang datang ke kantornya tadi siang. Dia hanya tahu sebatas yang dikatakan oleh perempuan itu.“Dia tidak pernah datang sebelumnya. Tapi entah mengapa, ada perasaan kalau aku mengenal Sarah, suaranya juga terasa akrab di telingaku,” jawab Alvaro.Bunga tentu saja tidak mencurigai apapun. Sarah jauh lebih tua dari mereka. Mungkin justru seusia Joana, ibu Bunga. Satu hal yang mengusik Bunga sebenarnya ekspresi Alvaro yang aneh ketika memperhatikan Sarah.“Lantas, apa yang membuatmu tadi datang ke rumah Kakek?” tanya Bunga lagi.“Ah, aku sampai lupa. Aku membawa barang dari rumah Kakek, tapi masih di garasi. Aku akan menurunkannya nanti,” jawab Alvaro.Bunga hanya mengangguk, dia memang tak tahu apa isi dari kotak yang dimaksud Alvaro. Tapi mungkin barang-barang yang diperlukannya.Ketika melihat Bunga mengantuk Alvaro memintanya untuk pind
Segugup apa Bunga menerima ciuman Alvaro, segugup itu pula yang dirasakan oleh Alvaro. Rasa malu otomatis membuat Bunga agak surut, ketika batinnya mempertanyakan kesiapan diri sendiri.Alvaro merasakan istrinya sedikit mundur. Alvarosendiri tentu tak ingin mundur sama sekali, otaknya terpacu adrenalin. Alvaromengambil alih, dia bangkit dan merebahkan Bunga.“Bolehkah?” desahnya pelan. Pertanyaannya tentu membuat pipi Bunga merona. Setengah rasa di hati Bunga justru sedikit protes pada pertanyaan itu. ‘Kenapa dia harus bertanya?’Bunga hanya bisa mengangguk pelan, khawatir suaranya akan terdengar aneh kalau dia berusaha menjawab. Mungkin Alvarobisa merasakan suara jantung Bunga, saking debarannya bertalu-talu karena gugup.Melihat Bunga memejamkan matanya, Alvaro memulai kembali aksinya. Kali ini ciuman lembut di bibir Bunga berubah ritme menjadi lebih cepat dan menuntut. Bunga berusaha mengikutinya. Dia memagut tubuh Alvaroyang sudah berada di atasnya.Bunga mencengkram punggung Alva