Pukul enam. Separuh matanya terbuka sembari melongok jam dinding. Ia tersentak saat melihat Ara berada dengan jarak sangat dekat di sampingnya. Mata wanita itu masih terpejam, lalu bergerak pelan membuat Gavin reflek menutup matanya lagi.
"Sudah jam berapa ini, aku terlalu nyenyak." Ara bergumam sambil mengucek matanya yang malas untuk terjaga.
"Hm?" Sontak dia menjengkit kaget melihat Gavin tidur dengan posisi tangannya sebagai bantal untuk kepalanya.
"Oh Tuhan," dia berkata sangat teramat pelan mengangkat kepalanya dari tangan Gavin. "Kau pasti pegal," tambahnya merasa keterlaluan. "Bodoh!" Masih sangat pelan. Padahal Gavin mendengar, sebab dia sudah bangun lebih dulu.
Ara beranjak langsung ke kamar mandi. Saat itulah Gavin bangun, lalu tersenyum.
****
"Kau mau ke mana?"
"Aku harus
"Vin. Akhirnya kau mau menemui ku. Aku benar-benar merasa bahagia."Benar, dia adalah Luna. Luna berulang kali meminta waktu untuk bisa bertemu dan berbicara dengan Gavin berdua. Padahal, Gavin sudah memberitahu Luna, bahwa kini dia sudah menikah."Katakan apa yang ingin kau sampaikan, kita tidak untuk berbincang santai."Gavin tetap dingin. Sorot matanya tajam mengarah pada Luna, sedetikpun Gavin tidak meloloskan tatapan mengintimidasi yang dia tujukan pada mantan kekasihnya yang telah membersamainya kurang lebih lima tahun itu."Vin. Kau ingat kapan terakhir kali kita berkencan?"Gavin berdecih sembari menggaruk alisnya. "Untuk apa kau menanyakan hal yang tidak berguna.""Vin, aku rindu saat-saat itu. Tidak mungkin semudah itu kau lupakan kenangan kita selama lima tahun, kan?""Tidak. Aku sudah melupakannya.""Bohong. Kau berkata begitu
Aku mengidap Philophobia. Sejak kapan? Setahun lalu, dan aku baru menyadarinya setelah konsultasi. Kau tahu, kan, apa itu Philophobia? Ya, aku tahu, sedikit. Kukira tidak akan bertemu dengan orang yang mengalami hal seperti itu. Tapi, dari yang kau alami, sepertinya memang begitu, ya. Ya, aku juga tidak tahu, kenapa aku sampai mengalami hal ini. Bukannya ada sebabnya? Mungkin kau mengalami hal yang sulit sebelumnya, itu bisa menjadi penyebab penyakit phobia yang kau alami. Hm, kurasa ini karena aku terlalu percaya pada cinta diawal. Lalu, akhirnya aku malah dikecewakan. Yang aneh, kenapa aku kambuh padahal aku tidak sedang jatuh cinta. Apa kau yakin? Mungkin saja kau masih mencintai Luna. Kenapa kau membicarakan Luna?
Gavin baru saja sampai di kantornya. Dia masih kepikiran tentang penyebab traumanya muncul kembali, kenapa hal itu bisa terjadi? Padahal jelas-jelas itu terjadi bukan karena Luna, lalu sebenarnya itu karena siapa?Semua karena pekerjaan yang baru saja dia mulai. Setelah menikah, orang tuanya menyerahkan sepenuhnya perusahaan padanya. Marcellino dan Adelina sudah berjanji jika Gavin menikah maka perusahaan akan menjadi tanggung jawabnya. Meski dia tidak terlalu tertarik dengan bisnis, tapi dia cukup mahir dalam bidang itu."Selamat pagi, Tuan Gavin." Karina adalah sekertarisnya di kantor, dia terlihat agak panik saat Gavin datang, seperti menunggu Gavin sejak tadi karena ada sesuatu yang terjadi di kantor."Pagi, ada apa, Karina?""Tuan di dalam ada nona Luna."Gavin melotot dengan rahang yang mengeras. "Dia mau apa sih?""Nona Luna bilang dia harus bertemu Tuan. Padahal sa
Ara membeku di dalam taksi. Masih teringat kata-kata Luna. Wanita itu sebenarnya baik, hanya saja dia melakukan kesalahan yang fatal, dan tidak semua orang bisa dengan mudah memaafkan, terlebih untuk melupakan dan bersikap layaknya biasa seperti semula."Luna itu cantik, manis, dan dia baik." Ara mengusap lengannya sambil menarik napas dalam."Lalu, sebenarnya apa kebohongan yang dia lakukan sampai tidak dimaafkan? Aku masih penasaran apakah itu karena Gavin?""Maaf Nona, kita sudah sampai," sela supir taksi berhenti tepat di depan rumah Gavin. Ara tersentak karena dia sibuk melamun, tidak terasa bahwa dia sudah sampai."Maaf, Pak. Baik, terima kasih, ya." Ara menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar."Kembaliannya tunggu sebentar, Nona.""Ambil saja, Pak," kata Ara dengan senyuman ringan."Benar Nona? Terima kasih banyak, Non."
Bukan pertemuan pertama yang membuatku jatuh cinta. Tepatnya, aku tidak tahu kapan memulai rasa itu. Tetapi perlahan kuyakini, rasa itu bertempat di dalam sini, di hatiku, untukmu. Imperfect Arabella ~ The Feeling is You ***"Apa?""Katakan, apa yang kau ketahui, bagaimana caranya, dan apa obatnya?"Tatapan mata Ara mendalam tertuju pada lelaki di hadapannya yang masih menggenggam erat kedua bahunya. Menunggu jawaban darinya, tentang sesuatu yang katanya dia ketahui. Jika itu bisa dia lakukan demi Gavin, lelaki yang berjasa baginya, maka Arabella akan melakukannya, demi Gavin Narendra Tama."Arabella." Tatapan Gavin menelusuri wajah termenung di depannya. "Bisakah kau mencoba mencintai...""Hah?" Ara terhenyak, dia sadar dari lamunan.
"Aku suka tubuhmu.""Ahhh!!" Ara mendesah hebat."Sentuhan ini, apa kau merasakannya?""Kumohon, kau menyiksaku!"Ara menggerakkan kepalanya pelan, kemudian matanya menyipit sembari merasakan sesuatu yang agak berat sedang bertumpu di atas lengannya. Matanya terbuka lebar saat menyadari itu adalah tangan kokoh Gavin yang sedang memeluknya."Hmm..." lenguh Gavin sontak Ara berpura-pura terpejam lagi.Gavin tersenyum melihat wanita di dekapannya. Ia menyingkirkan tangannya pelan, lalu mengecup kening Ara lembut.Ara ingin membuka mata, atau mungkin berteriak saking kagetnya. Sikap Gavin kenapa masih sama, dia mengira sikap Gavin akan berubah seperti yang sudah-sudah."Buka matamu."Jantung Ara berdegup saat Gavin mengatakan hal itu. Jadi, pria itu tahu bahwa dia sejak tadi sudah bangun?"Aku tahu kau bangun."Len
Gavin berusaha terbuka kepada Ara. Setelah memilih Ara sebagai teman hidup dan satu-satunya cinta dalam hati pria yang sempat mengalami trauma jatuh cinta itu.Aku akan menemui, Luna. Aku mengatakan ini karena ingin jujur padamu, Arabella. Kau percaya padaku, kan? "Ya, setidaknya dia berusaha jujur padaku. Kau harus percaya padanya, Ra," gumam Ara."Hei, apa yang kau gumamkan barusan?" tanya Gavin yang tiba-tiba saja muncul, barusan dia sedang berganti pakaian, sedang Ara menunggu di halaman rumah."Ti-tidak, itu bukan apa-apa," geleng Ara.Gavin mengusap puncak kepala istrinya kemudian mengecup keningnya. "Jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan.""Hm," angguk Ara. "Baiklah, aku akan mengingatnya."***Ara sudah di ka
Gavin tak habis pikir siapa lelaki yang terlihat begitu mencemaskan Ara tadi. Sekarang Gavin sedang di dalam mobil membawa Ara pulang ke rumah. Luna sejak tadi terus mencoba menghubungi, tapi Gavin bukan lelaki bodoh, dia akan mencari tahu fakta sebenarnya tentang anak yang di klaim sebagai anaknya oleh Luna."Ara kumohon, percayalah padaku."Kenapa di saat Gavin sudah menemukan obat dari traumanya, malah ada kejadian seperti ini? Luna adalah penghancur semua kebahagiaannya."Kau keterlaluan Luna!" geramnya sambil memukul kemudi.Ara mulai membuka matanya, kepalanya terasa sangat pusing dan dia agak mual."Gavin? Turunkan aku!" teriak Ara histeris saat menyadari dia sedang bersama lelaki yang baru saja dia dengar memiliki anak dari wanita lain."Ara, tenanglah, aku akan membawamu pulang. Kita harus memeriksakan keadaanmu, dokter sudah aku suruh datang ke rumah," kata Gavin yang tidak mau membawa Ara ke rum