Menghabiskan akhir pekan bersama Tami membuat Satria tak bisa melesapkan senyumnya walau sejenak. Pagi ini, dia berjalan melewati lobi dengan pandangan semua orang yang tertuju padanya dengan raut wajah bingung.Pria itu merasa tubuhnya sangat bugar dan penuh semangat. Seperti ponsel dengan baterai penuh. ‘Menghabiskan waktu berdua hanya dengan melakukan hal sederhana ternyata bisa menghasilkan efek bahagia sebesar ini.’ Pikir Satria yang lagi-lagi tersenyum sendiri karena di kepalanya terputar penggalan semua hal yang mereka lakukan selama dua hari kemarin.Kepalanya menoleh saat mendengar suara ketukan dan pintu yang perlahan membuka. Raut wajahnya sontak berubah keruh dan masam, kala melihat Irwan melenggang dengan santai dan bibir yang menyeringai.“Mau apa kamu kesini?! Pergilah, aku sibuk.” Ketus Satria.“Tenang dulu Kakakku sayang. Aku punya sesuatu yang akan membuat kamu sadar sesadar-sadarnya,” ujarnya dengan senyum miring kala menarik kursi dan mendudukkan diri santai di sana
“Bagaimana ini bisa terjadi,” hardik Satria pada Bagus orang kepercayaannya yang selama ini dimintanya mengawasi Tami.Satria tidak bisa berpikir tenang, semua rasa campur aduk dalam hati dan pikirannya. Dia memejamkan mata sesaat dan memijit pelipisnya dengan sebelah tangannya di pinggang. Pria itu benar-benar tak tenang.“Ma-maaf, Pak. Tadi saya lalai. Sungguh, kejadiannya begitu cepat hingga kami semua tak menyadari bahwa ada mobil bak terbuka yang melaju kencang dan menabrak Bu Tami. Kami sempat ingin mengejar, tapi melihat keadaan Bu Tami kami memilih membawanya ke rumah sakit terlebih dahulu,” sahut Bagus dengan suara yang gemetar menahan takut.“Ta-tadi kami bahkan lupa mengabari Bapak, sampai pihak rumah sakit perlu tanda tangan wali untuk operasi. Saat itu kami baru ingat dan memberikan nomor telepon Bapak,” ujarnya takut-takut.Satria mendengkus keras mendengar itu, sungguh emosinya kini seolah dipermainkan. Hari ini jantungnya bagai melakukan akrobat di dalam sana. Dia bahk
"Cari sampai ketemu! Rekaman CCTV, pelaku dan siapa di balik ini. Semua itu, sore ini sudah harus di tangan saya.” Suara Satria penuh dengan kemarahan.Tak tahan lagi melihat Tami yang sedang ditangani dokter, dia memilih bangkit dan berjalan keluar. Amarah seketika naik kala mengingat kembali setiap perkataan Irwan semalam.Satria tak pernah pulang ke rumah sejak Tami mengalami kecelakaan. Semua keperluannya dibawakan oleh mamanya setiap pagi, mereka akan bergantian jaga. Sedangkan Mama Widya dan Sissy tidak pernah diizinkan menjenguk kecuali ada Satria di sana. Namun, semalam -hampir tengah malam- Irwan datang. Wajahnya penuh kepuasan kala melihat Tami terbaring tak berdaya dan menampakkan raut mengejek pada Satria. “Pergi! Ini bukan jam untuk membesuk.” Usir Satria.“Tenang, Kak. Aku hanya ingin melihat keadaan kalian. Melihat keadaanmu lebih tepatnya.” Irwan memutari ranjang pasien agar bisa bertatapan langsung dengan Satria.Satria berusaha menjaga emosi dan menjaga raut wajahn
“Sial ... sial ... sial.” Sissy memekik tertahan kala memasuki apartemen Irwan. Dia bahkan membuat pintu berdentum saking kerasnya menutup.Tubuhnya masih tegang karena bentakan Satria di rumah sakit. Gadis itu tidak pernah menyangka kalau kakak iparnya sangat mengerikan saat marah. Dirinya kesal sekaligus merasa ketakutan. Ternyata selama ini dirinya salah menilai pria itu. Sikap pendiamnya telah di salah artikan oleh Sissy dan dia menyesal sudah termakan omongan Irwan, bahkan sudah menyerahkan seluruh dirinya untuk pria pengangguran itu.“Jelek banget nasib aku. Astaga, sekarang apa yang harus aku lakukan,” desahnya frustrasi. “Gimana kalau uang kuliah aku dihentikan atau uang bulanan yang di tarik. Ya ampun, tolong aku mama.” Sissy mulai menangis.Sissy menangis meratap. Dirinya stres, kesal dan marah pada dirinya dan terutama pada Irwan. Seharusnya saat pertemuan yang tidak disengaja sore itu, dirinya langsung pergi saja dan pulang. Bukan malah ikut Irwan ke apartemen ini dan ber
Di rumah sakit, Widya tidak langsung beranjak setelah diberi peringatan oleh Satria. Dirinya masih mencoba peruntungan. Berharap hati menantunya akan luluh setelah melihat kegigihannya.“Tolong, Nak Satria. Mama mau melihat Tami. Biar bagaimana pun, Tami ‘kan anak kandung mama.” Bujuk Widya.“Tapi saya suaminya dan memiliki hak lebih besar atasnya. Jadi, Mama lebih baik pulang dan menjauh dari Tami.” Tegas Satria.“Tapi, Nak –“ “Lebih baik Mama pulang dan turuti kemauan saya, sebelum saya berubah pikiran.” Potong Satria tanpa menoleh ke Widya.Widya sontak menahan marah dan berbalik untuk segera beranjak dari sana. “Dari pada semua fasilitas di cabut, lebih baik tak perlu pedulikan anak itu,” gumam Widya.Tadinya dia berpikir, jika memberikan sedikit perhatian pada Tami maka Satria akan luluh dan memberikannya tambahan uang untuknya sebagai biaya merawat Tami selama di rumah sakit. Rupanya dirinya salah mengira. Maka dari itu, saat ini dia memilih duduk di kantin rumah sakit untuk m
Bersyukur, hari ini Tami sudah boleh pulang ke rumah. Jahitan pada kakinya sudah mengering dan kondisi organ vital pun semua baik. Tapi memang belum diperbolehkan untuk terlalu banyak beraktivitas dan berjanji akan mengonsumsi makanan sehat juga obatnya dihabiskan.“Jangan telat saat meminum obatnya ya, Bu.” Pesan dokter saat visit terakhir.“Tentu, Dok. Saya yang akan selalu mengingatkan, jjka perlu akan saya siapkan selalu.” Bukan Tami yang menjawab, tapi Satria dengan penuh semangat bagai sedang berlomba.Dokter tersebut hanya terkekeh sembari mengangguk dan menepuk lengan Satria dua kali dan melirik Tami sesaat tersenyum tipis lalu melangkah pergi hingga akhirnya tak terlihat lagi kala pintu menutup.Tami cemberut ketika Satria menoleh dan bertatap muka dengannya. Tak lama tawa geli terdengar dan dagu Tami di coleknya.“Aku cuma bantu jawab, Sayang.”Mendengar Satria menjawab dengan penuh kelembutan, malah membuat mata Tami mendelik. Merasa sedikit aneh karena Satria mendadak keli
Obrolan sore tadi rasanya membuat energi Tami terkuras habis. Begitu matahari tak lagi terlihat dan langit mulai menghitam, Tami berusaha menggerakkan roda di kursi rodanya.Melihat itu, gegas Satria bangun dan mengambil alih kursi roda Tami. Dia perlahan bertanya, “Kenapa enggak bilang dan minta bantuan aku?”“Aku takut ketergantungan sama kamu, Mas,” cicit Tami. Setelah itu tak ada yang bersuara, hingga kini mereka sudah di kasur. Sama-sama merebahkan diri. Tami telentang dan memandangi langit-langit kamar yang polos, sedangkan Satria berbaring miring memperhatikan wajah istrinya yang sejak tadi mengunci rapat bibirnya.“Sayang ... aku benar-benar mencintaimu.”Mendengar itu, Tami tersenyum. Tapi tetap tak memberikan respons apa pun.“Maafin aku,” Satria kembali mencoba membuka percakapan.Kembali Tami menjawab hanya dengan anggukan. Sepertinya pikirannya masih berkecamuk liar, hingga dia tak ingin memberikan respons apa pun karena takut terpecut emosi.Satria akhirnya bungkam.Mal
“Sial, semua laporannya bersih dan tak ada cela,” gerutu Irwan. “Tak mungkin dia tak punya kelemahan, pasti ada sesuatu yang bisa menjatuhkan kepemimpinannya.”Irwan berulang kali mengecek semua laporan dengan perlahan dan teliti, tapi hasilnya tetap saja nihil. Semua dalam kondisi yang baik.“Kalau semua memang tidak ada cela, maka aku yang akan membuat noda itu di dalam perusahaan.” Irwan menyeringai membayangkan keributan yang akan terjadi di beberapa hari ke depan.Tak bisa dipungkiri, kinerja Satria dalam mengurus perusahaan memang sangat hebat. Dia mampu memprediksi risiko dan tepat dalam mengambil keputusan.Hal itulah yang membuat Irwan begitu kesal, karena dirinya selalu dianggap tidak mampu oleh kedua orang tuanya hingga hanya diberikan jabatan manajer, itu pun lebih banyak berhubungan dengan lapangan.Sejak kecil mereka selalu dibandingkan satu sama lain. Irwan yang memang tak terlalu pintar di bidang pelajaran formal, sering kali tersisih dan kehilangan perhatian kedua ora