Share

BAB V

Auteur: Shine
last update Dernière mise à jour: 2025-10-07 18:40:54

Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. 

Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.

“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.

Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri.  Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.

Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.

Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisirnya dengan jari agar tidak menutupi dahi. Untuk sesaat aku berhenti, memperhatikan garis matanya yang tertutup.

“Kalau kamu bisa dengar, tolong jangan marah,” ujarku, pelan sekali. “Aku cuma nggak mau kamu kedinginan.”

Detak di monitor naik dua angka. Aku menatap layar, kemudian wajahnya.

“Lihat? Kamu dengar aku, kan?”

Tentu tidak ada jawaban. Tapi napasnya terasa lebih dalam. 

Aku menunduk sedikit, memperhatikan dadanya yang naik turun perlahan. Bukan perubahan besar, tapi cukup membuatku merasa tak sendiri.

Aku menarik napas panjang, berusaha menekan gejolak yang tidak seharusnya muncul di tengah tugas sederhana seperti ini.

Beberapa menit kemudian aku berdiri di sisi lain ranjang, mengganti handuk dengan yang baru. Kain hangat itu menyentuh kulit lehernya, lalu turun sedikit ke bahu. Aku menahan diri agar gerakanku tetap mekanis, profesional. Tapi setiap kali kain berpindah, rasa hangat di dadaku juga ikut berpindah.

“Harusnya ada perawat yang bantu,” gumamku. “Tapi kamu pasti lebih nyaman kalau aku sendiri yang ngurus, ya?”

Aku tertawa kecil. Suaraku terdengar aneh di antara dengung mesin.

Aku berhenti sejenak, menatap wajahnya dari dekat. Ada bayangan masa lalu di sana—malam ketika ia memelukku sebelum semuanya runtuh. Aku menutup mata, menepis ingatan itu, lalu kembali bekerja.

Namun ketika aku menyeka bagian lengannya, jemariku tak sengaja menyentuh pergelangannya terlalu lama. Hangat. Detak di monitor melonjak pelan.

“Tama?”

Aku tahu reaksi kecil itu bisa berarti banyak hal medis seperti impuls saraf, refleks otot. Tapi bagian dalam diriku menolak logika itu. Rasanya seperti tubuhnya sedang menjawab— tenang Anya.

Aku menelan ludah, menggantungkan kain di sisi ranjang. “Kamu selalu keras kepala, bahkan waktu tidur begini pun masih suka bikin orang panik.”

Aku duduk di kursi di samping ranjang, memandangi wajahnya yang tenang. Lampu redup memantul di kulitnya–bayangannya jatuh di dinding, menyerupai sosok yang hidup. Udara kamar jadi berat, menekan dada seperti tangan tak terlihat.

“Kalau kamu sadar nanti,” kataku lagi, “aku bakal marah besar karena kamu bikin aku begini.”

Aku tidak tahu apa maksud kalimat itu—antara kesal, rindu, atau keduanya.

Monitor kembali berbunyi pelan. Aku menggenggam ujung selimut, menatanya. Saat jemariku hampir menyentuh tangan Tama lagi mengelusnya, menggenggamnya, aku berhenti.

“Cukup untuk malam ini,” bisikku.

Aku berdiri, menatapnya sekali lagi. “Tidurlah, Tama. Aku masih disini.”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB VI

    Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.Aku mulai dari hal kecil.Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”Tama tetap diam.Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.Lebam di tubuhnya sudah menghilang.“Kamu

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB V

    Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri. Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisi

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB IV

    “Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”Aku tahu suara itu. Miranda.Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.“Jangan bilang kau menyentuhnya.”Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”“Aku cuma—”“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”Tangannya menarik tirai. “Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”“Sensor jantungnya melon

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB III

    “Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,” Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami ja

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB II

    Tanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.Tak banyak yang datang. Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.“Ayah, apakah kematian menakutkan?”Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”“Selamat beristirahat, Ayah.”Aku me

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB I

    Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca. Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap. Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.Bahkan s

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status