Share

BAB VI

Auteur: Shine
last update Dernière mise à jour: 2025-10-23 10:10:52

Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.

Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.

“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.

Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.

Aku mulai dari hal kecil.

Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.

Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.

Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.

Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.

“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”

Tama tetap diam.

Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.

Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.

Lebam di tubuhnya sudah menghilang.

“Kamu tuh, betah banget ya di alam sana? Atau kamu terlalu betah dengar aku ngoceh sendirian?”

Tanganku lalu menyapu debu di meja, sambil berusaha mencari tempat untuk menaruh vas bunga kecil yang baru kuisi.

Di sudut meja, sesuatu menarik perhatianku—kamera hitam yang sudah lama kubawa dari rumah, tapi belum sempat digunakan.

“Kamu tau nggak? Dulu, hobiku ngerekam hal-hal random. Apa aja kurekam.”

Aku terdiam sebentar, berusaha menyalakan kamera. Untunglah, baterainya masih penuh.

Aku memutar ulang salah satu video di dalamnya.

“Kamu mau lihat? Ini bulan lalu, waktu kita hiking ke bukit kecil. Inget gak? Ayah maksa aku ikut, katanya kamu terlalu berlama di goa sampai gak bisa kalau diajak ngomong.”

Aku terkekeh pelan. “Waktu itu aku gak percaya, tapi ternyata bener. Buktinya aku ngomong gak pernah kamu jawab.Tapi anehnya, aku gak pernah bosen juga.”

Aku menatap layar sebentar sebelum melirik Tama. “Ternyata kamu ganteng ya? Dulu aku gak pernah perhatiin.”

“Dan hidung kamu… mancung banget, tau gak? Ih, nyebelin, kenapa aku baru sadar sekarang.”

Aku menghela napas kecil sambil menatap wajahnya dari dekat. “Alis kamu juga rapi banget. Kalau aku yang punya alis begini pasti udah pamer tiap hari.”

“Biar aku cek yang lain. Sekarang mata.”

Tangan kiriku bergerak pelan, membetulkan posisi poni yang mulai menutupi matanya. Begitu ujung jariku menyentuh kulitnya, kulihat jari tangannya bergerak halus.

“Aneh,” gumamku sambil ketawa pelan. “Tiap kita lagi berdua, kamu selalu bergerak.”

“Sampe Ibumu marah sama aku, kamu inget kan?” Aku memegang tangannya.

“Tapi aku penasaran, apa yang bikin kamu bisa gerak refleks? Padahal kamu juga sering kok dipegang dokter dan perawat?"

Aku berpikir sebentar, lalu tersenyum sendiri.

“Mungkin kamu cuma pilih-pilih orang ya? Kuakui, seleramu bagus kalau gitu.”

Tanganku masih di atas tangannya. “Kalo gitu, aku pengen bukti.”

Aku berdiri, lalu menyalakan kamera.

“Sekalian aja, kita eksperimen kecil.”

Kuarahkan lensa ke wajah Tama. Cahaya dari jendela membuat kulit pucatnya terlihat hangat.

“Baiklah, dokumentasi hari ini dimulai,” ucapku, menirukan gaya reporter TV. 

Aku tertawa kecil. “Metode percobaan pertama, memuji kamu.”

Aku mencondongkan wajah sedikit, pura-pura serius.

“Pertama, subjek memiliki struktur wajah sempurna—garis rahang jelas, simetri mendekati ideal. Bisa disimpulkan, waktu Tuhan bikin kamu kayaknya moodnya bagus. Niat banget, soalnya-"

Aku tertawa kecil. “Kedua, mata kamu... bahkan waktu merem aja masih kelihatan galak.”

Aku menggerakkan tangan di depan matanya “Halo Tama? Bisa lihat aku kan?”

“Ketiga, bibir—” aku berhenti sebentar, menimangnya sekilas. "Ini" kataku terjeda seraya menyentuh bibirnya yang kering dengan jemariku. Namun urung aku melakukannya. 

Aku melirik layar kamera, lalu ke Tama lagi.

“Intinya, kamu tuh kayak hasil kombinasi karakter favorit orang-orang. Kalau kamu jadi tokoh di film, rating-nya pasti tinggi. Kalau jadi idol juga pasti kamu visualnya.”

Aku mencoba menahan senyum. “Sayangnya, kamu pilih tidur panjang daripada debut.”

Lalu lebih pelan, hampir seperti gumaman, “Tapi gapapa, aku tunggu kok. Soalnya... kamu tetap kelihatan keren bahkan tanpa ngapa-ngapain.”

Aku mengalihkan pandangan ke kamera. “Oke kita kembali lagi. Karena metode pertama gagal, kita coba metode kedua, kamu disentuh dengan penuh kasih sayang."

“Percobaan pertama, sentuhan lembut di tangan,” kataku sambil menahan tawa.

Kujulurkan tangan kiri, menyentuh jari-jarinya pelan.

Kamera di tangan kanan merekam semua—termasuk degupan halus yang entah kenapa terasa di ujung jariku sendiri.

“Hmm, gak ada respon.” Aku mencondongkan badan, mendekat ke wajahnya.

“Percobaan berikutnya…” ujarku sambil menaruh kamera di meja, “cek struktur wajah.”

Kujulurkan tangan, menyentuh pipinya pelan. Kulitnya dingin, tapi lembut.  “Pipi kamu… halus banget sih. Gak adil.”

Aku mencubitnya sedikit, cuma iseng, lalu cepat-cepat menarik tanganku. “Aduh, maaf! Refleks.”

Tanganku bergerak ke rahangnya, ibu jariku menyentuh kulit dingin di bawahnya. “Tulang rahang kamu tajam banget, beneran cocok jadi aktor film.”

Aku mengangkat dagunya sedikit, pura-pura menilai. “Coba lihat, kalau kamu senyum dikit pasti—”

Kalimatku berhenti. 

Aku ngerasa sesuatu—ada yang bergerak. Sesuatu bagian bawahnya menegang sebentar.

Aku refleks mundur sedikit. Kulihat kamera yang masih merekam diatas meja.

Aku menarik napas, sedikit gugup tapi juga… bingung. “Aku gak bisa gini. Nanti kalau aku suka kamu—bahaya."

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB VI

    Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.Aku mulai dari hal kecil.Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”Tama tetap diam.Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.Lebam di tubuhnya sudah menghilang.“Kamu

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB V

    Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri. Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisi

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB IV

    “Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”Aku tahu suara itu. Miranda.Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.“Jangan bilang kau menyentuhnya.”Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”“Aku cuma—”“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”Tangannya menarik tirai. “Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”“Sensor jantungnya melon

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB III

    “Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,” Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami ja

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB II

    Tanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.Tak banyak yang datang. Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.“Ayah, apakah kematian menakutkan?”Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”“Selamat beristirahat, Ayah.”Aku me

  • Menikahi Kakakku yang Koma   BAB I

    Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca. Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap. Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.Bahkan s

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status