Se connecter“Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”
Aku tahu suara itu. Miranda.
Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.
“Jangan bilang kau menyentuhnya.”
Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.
“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”
“Aku cuma—”
“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”
Tangannya menarik tirai.
“Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”
“Sensor jantungnya melonjak tiba-tiba,” katanya, menekan kata demi kata. “Dan cuma ada satu kemungkinan kenapa itu bisa terjadi. Kau menyentuhnya.”
“Ibu—”
“Aku bukan ibu tirimu dan bukan ibu mertuamu,” katanya. “Jangan pernah bermimpi menjadi nyonya besar Adikara.”
“Aku tahu jenis perempuan seperti kamu,” lanjutnya. “Berpura-pura polos, lalu mencari cara untuk bertahan.”
Ujung jarinya menyentuh daguku, ringan seperti abu, tapi ancamannya jelas. “Menikah diam-diam, lalu pura-pura jadi istri sah. Kau kira keluarga ini sebodoh itu?”
Ia tertawa kecil, lalu menoleh ke Tama yang terbaring pucat. “Kalau bukan karena wasiat bodoh itu, hidupnya tak akan bertahan lama.”
Aku menahan napas. “Dia masih hidup karena aku merawatnya,” kataku, berusaha stabil.
Tepukan keras mendarat di pipiku—bukan pukulan, tapi penghinaan yang dibentuk menyerupai kasih sayang. Panasnya menjalar.
“Dia hidup karena aku mengizinkan. Jangan lupa itu.”
Ia berbalik, melangkah ke ambang pintu. “Oh, satu lagi,” ucapnya tanpa menoleh.
“Mulai hari ini aku tinggal di sini.”
“Di sini?” suaraku serak.
“Kenapa? Rumah ini rumah anakku, bukan?” Pandangannya menyapu selang, tiang infus, dan aku—yang baginya lebih kecil dari debu.
“Koperku di mana akan kamu taruh?”
Aku masih diam. Ia melirikku, mengulas senyum miring yang asing.
“Ah, iya. Lupa.” Suaranya pelan. “Kamu kan sudah jadi istrinya sekarang. Jadi sudah sepantasnya aku tinggal di rumah menantuku sendiri, kan?”
Ia pergi. Pintu tertutup. Sunyi menekan seperti selimut basah.
Aku mundur ke kamarku, pintu menutup di belakang. Tangis pecah tanpa aba-aba. Suara tamparan masih berdenyut di telinga. Aku jatuh terduduk, memegangi pipi yang panas, lalu merayap kembali ke kamar Tama. Di ambang ranjang, aku memeluk bantalnya, mencium sisa wangi yang samar.
“Tama…” Namanya lolos seperti doa. “Kenapa kamu tinggalin aku sendirian?”
Aku menangis sampai gemetar reda menjadi lelah. Pandanganku kabur. Aku tidak tahu kapan tepatnya tertidur di tepi ranjangnya—hanya ingat dingin pada jari, dan bunyi mesin yang kembali stabil seperti nada dasar kesepian.
Ada sesuatu. Bukan suara, melainkan gerak halus yang diingat kulit. Jemari—itu rasanya jemari—menyibak rambutku pelan, dari ubun-ubun ke pelipis, berhenti pada pipi yang masih perih. Hangatnya seperti kompres air, lembutnya seperti permintaan maaf yang tidak diucapkan.
Tubuhku kaku, antara mimpi dan sadar. Aku ingin membuka mata, tetapi kelopak terasa berat. Gerakan itu berpindah, menyisir garis rahang, berhenti lagi di dekat telinga lalu terhenti di bibir.
“Tam…” Napasku pecah menjadi patah kecil. Dalam gelap yang samar aku mendengar gesekan kain. Tempat tidur berderit halus. Bukan langkah Miranda. Ini jarak yang hanya bisa ditempuh oleh seseorang yang duduk terlalu dekat.
Akhir-akhir ini, kesibukanku cuma seputar Tama. Aku menghabiskan banyak waktu di kamarnya.Tapi kamar luas ini… entah kenapa terasa terlalu sesak. Jadi, kuputuskan untuk memberikan sedikit kehidupan.“Tama, kamu gak keberatan kan, kalau kamarnya aku ubah dikit?" Tentu saja Tama tak menjawab.Tapi diamnya kuanggap sebagai “ya”.Aku mulai dari hal kecil.Menarik tirai supaya cahaya masuk, mengisi vas bunga yang sudah lama kosong, dan menempelkan dua foto kecil di dinding.Satu foto taman belakang rumah, satu lagi foto yang entah kenapa selalu berhasil membuatku tenang—langit sore dengan warna pink keunguan.Lalu aku menyalakan musik pelan-pelan.Lagu lama, tapi selalu berhasil membuat ruangan terasa hangat.“Begini lebih baik, kan? Harusnya kulakukan dari kemarin.”Tama tetap diam.Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa diamnya tak seberat dulu.Aku duduk di kursi, memandangi Tama yang tetap diam dengan wajah tenangnya.Lebam di tubuhnya sudah menghilang.“Kamu
Malam turun cepat. Hujan baru saja berhenti, menyisakan bau tanah yang lembap menembus jendela kamar Tama. Semua lampu di rumah sudah padam kecuali satu di langit-langit, kuning redup. Aku menyiapkan baskom air hangat di meja, menggulung lengan baju, lalu menatap tubuhnya yang diam di ranjang.“Sudah berapa hari kamu belum benar-benar tidur nyenyak, tahu?” bisikku, meski sadar ia tak akan menjawab.Aku mulai membersihkan tangannya dengan kain hangat. Kulitnya dingin tapi lembut, dan setiap kali aku memeras kain, air menetes ke punggung tanganku sendiri. Suara mesin oksigen di pojok ruangan menandai waktu lebih baik daripada jam.Sesekali, bayangan cahaya dari lampu di langit-langit menari lembut di wajahnya, menciptakan siluet yang seolah bercerita tanpa suara. Ruangan itu sunyi, tapi terasa penuh harap, seperti waktu berhenti sejenak menunggu sesuatu yang belum pasti.Aku memeriksa infus, memastikan alirannya stabil, lalu berpindah ke wajahnya. Rambutnya sedikit panjang—aku menyisi
“Lonjakannya terjadi jam tiga,” suaranya datar, sedingin kaca jendela di belakangnya. “Dan kebetulan kamu di sana waktu itu.”Aku tahu suara itu. Miranda.Ia berdiri menepi dari lampu, membiarkan bayangannya lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Tangan terlipat di dada, dagu sedikit terangkat, bibir menyisakan senyum yang tidak ramah. Napasku tersendat, dada terasa sesak sejenak.“Jangan bilang kau menyentuhnya.”Aku berusaha memproses kalimatnya satu per satu, seperti menelan pil tanpa air. Kesadaranku belum pulih seutuhnya setelah semalaman begadang di sisi ranjang Tama, menghitung napasnya yang naik turun.“Jawab.” Pandangannya tak berkedip. “Kau apakan anak saya?”“Aku cuma—”“Cuma apa?” Nada suaranya naik, bukan berteriak, tetapi cukup tajam untuk menembus kulit. “Asal kau tahu, kau ini cuma istri pura-pura.”Tangannya menarik tirai. “Semua orang tahu posisimu, Anya,” ujarnya pelan namun menusuk. “Jangan bertingkah seolah Tuhan memilihmu jadi penyelamat.”“Sensor jantungnya melon
“Apapun yang terjadi, Nona hanya perlu duduk dan dengarkan. Biarkan saya yang bicara,” Hari ini adalah hari rapat saham. Ucapan Pak Damian membuatku tak gentar walau mampu membuatku gemetar.Aku mengangguk, menahan napas saat pintu ruang rapat dibuka. Begitu pintu terbuka, percakapan yang semula ramai langsung mereda. Puluhan mata serempak beralih padaku.Miranda duduk di kursi utama. Duduk tegak dengan senyum sinis. “Ah, Pak Damian,” sapanya datar. “Kami hampir mulai tanpamu.”Pak Damian menangguk singkat. Ia menarik kursi di sebelahnya, memberi isyarat halus agar aku duduk.Miranda menyandarkan punggung, menatapku dari ujung kepala hingga kaki. “Kalau begitu,” katanya sambil menautkan jemari, “mari kita mulai rapatnya. Topik utama rapat ini yaitu penunjukan pimpinan sementara Adikara Group.”Ia berhenti sejenak, memastikan semua perhatian tertuju padanya.“Seperti yang kita tahu, perusahaan tidak bisa dibiarkan tanpa arah. Maka, sampai Tama sadar, tanggung jawab ini secara alami ja
Tanah masih basah. Udara lembab menahan sisa hujan siang tadi.Aku berdiri agak jauh dari prosesi pemakaman, tersembunyi di balik deretan payung hitam.Tak banyak yang datang. Hanya beberapa teman dekat Ayah, dan perwakilan perusahaan—orang-orang yang tampak hadir karena kewajiban.Tak ada duka di pemakaman. Di antara gumam rendah, tak terdengar satupun doa dipanjatkan. Yang terdengar hanya percakapan tentang aset, saham, dan proyek yang belum selesai.Kini, Ayah sudah dimakamkan. Orang-orang mulai pergi. Hujan mulai turun lagi, tipis, menyisakan aroma tanah yang berat.Aku melangkah mendekat ke gundukan tanah. “Ayah, bilang kalau semua ini cuma mimpi.”Rasanya aneh berbicara pada nisan. Lebih aneh lagi karena nama Ayah yang tertera di sana.“Ayah, apakah kematian menakutkan?”Aku tersenyum tipis. “Karena rasanya… hidup justru lebih menakutkan.”Langit mulai gelap. “Ayah, kunjungi aku dalam mimpi. Kalau bisa… bangunkan Tama dari tidur panjangnya.”“Selamat beristirahat, Ayah.”Aku me
Tanganku gemetar, dingin dan tak menentu. Mataku membengkak, pedih dari menahan air mata. Semua tampak seperti bayangan yang memudar di sekelilingku. Di depanku, peti mati hitam pekat berdiri tegak, seolah menegaskan kehampaan yang kurasakan.Bunga krisan putih dan kuning memenuhi ruangan. Aromanya tajam, bercampur dengan parfum mahal para tamu. Meninggalkan udara berat yang membuat dada sesak.Aku menatap foto yang terbingkai rapi di samping peti mati. Matanya tajam, seolah mengawasi dari balik kaca. Cahaya kristal lampu gantung memantul di wajahnya, membuatnya tampak lebih hidup daripada yang seharusnya. Terlalu hidup... untuk seseorang yang telah pergi.Nama itu terpampang jelas di depan peti mati. Ayah angkatku yang pernah menarikku keluar dari hidup yang gelap. Yang terlintas hanya kejadian semalam—mobil yang ditumpangi Ayah dan Kakak angkatku, Tama hilang kendali, kemudian menabrak pembatas jalan.Ayah meninggal di tempat. Dan Tama... belum membuka matanya sejak itu.Bahkan s







