Langit sore merayap ke warna keemasan yang memudar, sementara gedung-gedung di luar jendela rumah sakit mulai menyalakan lampu.
Aroma antiseptik yang tajam bercampur samar dengan wangi kopi instan dari mesin di sudut ruang tunggu.
Kanaya terbaring di ranjang pasien, tubuhnya lemah di bawah selimut tipis. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit kering, napasnya kini teratur tapi masih berat.
Di pelipisnya, helaian rambut menempel oleh keringat yang belum sempat dibersihkan.
Pagi tadi, ia masih berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, memegang map administrasi untuk mengurus tagihan ruang rawat orangtuanya.
Semalaman ia begadang di sisi ranjang ibunya yang sempat drop tekanan darahnya.
Pagi itu, ia langsung keluar lagi untuk menandatangani surat pindahan rumah atau kontrak sewa baru di sebuah rumah kecil dekat rumah sakit.
Ia hampir tidak makan sejak kemarin sore, hanya meneguk air putih seadanya. Perutnya kosong, tapi pikirannya terlalu penuh untuk merasa lapar.
Beban pikiran soal biaya, pekerjaan, dan kesehatan orangtuanya seperti menumpuk di dadanya, memeras sisa energinya.
Di siang hari, saat kembali ke rumah sakit dengan dua kantong belanja bahan makanan, pandangan Kanaya mulai berkunang-kunang.
Suara orang di sekelilingnya terdengar sayup. Satu langkah lagi ke lorong menuju ruang rawat orangtuanya, tubuhnya goyah lalu gelap.
Ketika ia membuka mata, semuanya terasa asing. Lampu putih di atas kepala, suara mesin infus berdetak pelan, dan tirai tipis yang memisahkan ranjangnya dari pasien lain.
Ia tak sadar sudah berapa lama terlelap, tapi tubuhnya terasa berat seperti diselimuti batu.
Di kursi dekat jendela, Leon duduk dengan kaki bersilang. Jas hitamnya rapi, rambutnya tertata sempurna, kontras dengan kondisi Kanaya yang lusuh.
Ia menatap layar ponselnya, jemarinya bergerak cepat, seperti tak terganggu oleh kehadiran siapapun di ruangan itu.
Sesekali, tanpa angkat kepala, matanya melirik ke arah Kanaya sekilas, dingin, nyaris tanpa ekspresi. Sulit menebak apakah itu bentuk kepedulian atau hanya kebiasaan mengawasi.
Perawat lantas masuk, memeriksa infus Kanaya dan mencatat sesuatu di papan medis. Leon berbicara tanpa memandangnya.
“Kalau pasien ini bangun, jangan langsung kabari siapa pun,” ucapnya datar, namun mengandung tekanan halus di ujung kalimatnya. “Dan pastikan dia nggak dapat makanan dari luar.”
Perawat menoleh sebentar, bingung. “Baik, Pak. Tapi kalau dia lapar—”
“Saya yang urus,” potong Leon cepat. Tatapannya singkat, namun cukup membuat perawat itu menelan kata-katanya kembali.
Ia berdiri perlahan, merapikan jasnya. Langkahnya mendekat ke ranjang Kanaya, berhenti tepat di sisi ranjang.
Sorot matanya menelusuri wajah pucat itu tapi bukan tatapan lembut. Ada sesuatu yang lebih gelap di sana, entah perhitungan atau rencana yang hanya dia yang tahu.
Kanaya terbangun malam itu. Lampu kamar rumah sakit sudah diredupkan. Hanya bunyi detak jam dan suara langkah perawat di koridor yang menemani.
Tenggorokannya kering, perutnya kosong. Di meja kecil, ada kantong kertas berisi roti dan sebotol air mineral. Tidak ada catatan, hanya aroma kopi hangat yang samar, seolah baru saja dibawa dari luar.
Ia menatap kantong itu dengan alis berkerut. Rasa ingin tahu bercampur waspada.
“Leon?”
Tidak mungkin dia peduli ‘kan?
***
Keesokan harinya, Leon muncul lagi. Kali ini mengenakan kemeja santai, tapi tetap dengan aura dingin yang sama.
“Sudah cukup istirahat. Malam ini ikut aku,” katanya, tanpa basa-basi.
Kanaya mendengus. “Ikut? Ke mana? Aku bahkan belum—”
“Simpan tenagamu buat nanti,” potong Leon, nada bicaranya seakan ia tak terbiasa diberi penolakan.
Kanaya ingin membantah, tapi ada sesuatu di sorot mata Leon yang membuatnya menahan kata-kata. Ada semacam tantangan di sana atau mungkin jebakan.
Ia benci mengakuinya, tapi rasa penasaran itu menempel seperti bayangan.
***
Malamnya, mobil Leon meluncur ke pusat kota. Lampu neon berpendar di sepanjang jalan, dan dentuman musik mulai terdengar begitu mereka mendekat ke sebuah klub eksklusif.
Leon tidak menjelaskan apa pun. Ia hanya berjalan, menyibak kerumunan dengan percaya diri yang nyaris arogan.
Begitu mereka masuk, aroma alkohol dan parfum mahal menyergap. Musik EDM menghentak, lantai dansa penuh, dan lampu sorot bergerak liar.
Kanaya menatap sekeliling, merasa seperti terseret masuk ke dunia yang tidak ia pilih.
Leon membawanya ke sofa VIP di lantai dua. Dari sini, mereka bisa melihat seluruh lantai dansa. Ia memesan minuman, menyerahkannya pada Kanaya tanpa bertanya.
“Minum.”
“Aku nggak—”
“Minum.” Kali ini tatapannya menusuk, membuat Kanaya terpaksa menerima gelas itu.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan bergaun merah mendekat. Wajahnya cantik, senyumnya terlalu ramah.
Ia menyapa Leon dengan cara yang membuat Kanaya mengangkat alis, terlalu akrab, bahkan intim.
“Sudah lama nggak kelihatan,” ujar si perempuan, duduk di samping Leon. Tangannya singgah sebentar di bahu Leon, gerakan yang entah sengaja atau tidak membuat Kanaya menatap datar.
Leon hanya tersenyum tipis, tapi tatapan matanya pada Kanaya seperti sedang mengamati reaksi.
Tidak ada pengakuan bahwa ini bagian dari rencana, hanya diam yang terlalu licik untuk disebut kebetulan.
Perempuan itu mengajak Leon menari. Ia bangkit, lalu entah dengan sengaja atau tidak menyentuh tangan Kanaya di meja sebelum pergi.
Jantung Kanaya berdegup, tapi bukan karena cemburu. Lebih karena ia merasa sedang dijadikan pion di permainan yang belum ia mengerti.
Dan beberapa jam kemudian, Leon kembali ke sofa, pura-pura sedikit limbung. Napasnya berbau alkohol, matanya setengah terpejam.
Ia menjatuhkan tubuh ke sofa, membuat Kanaya secara refleks menahan bahunya agar tidak jatuh.
“Kamu mabuk?”
Leon hanya terkekeh, menatapnya dari jarak yang terlalu dekat. Napas hangatnya menyentuh kulit Kanaya, membuatnya gugup meski ia berusaha menahan ekspresi.
“Kalau aku jatuh, kamu tangkap, kan?” bisik Leon, suaranya serak tapi jelas.
Kanaya menggeram. “Berhenti bicara omong kosong.”
Tapi tubuh Leon condong lebih dekat, nyaris membuat wajah mereka bersentuhan. Mata mereka bertaut, dan waktu seakan melambat.
Bukan hanya musik yang terdengar, tapi Kanaya juga bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
Lalu, tiba-tiba, Leon mundur. Ia berdiri, tersenyum tipis. “Sudah waktunya pulang.” Nada suaranya kembali normal, seolah momen itu tak pernah terjadi.
***
Di parkiran, dingin malam menusuk tulang. Kanaya berjalan setengah langkah di belakang Leon, pikirannya masih berputar apakah pria itu benar-benar mabuk tadi, atau semua hanya permainan yang diatur?
Begitu sampai di apartemen, Leon membuka pintu dan melangkah masuk tanpa menoleh. Kanaya mengikutinya lalu terhenti.
Seorang gadis muda berdiri di ruang tengah menggunakan sweater oversized menutupi tubuh rampingnya, rambut basahnya meneteskan air ke lantai.
Ia menoleh, menatap Leon, lalu tersenyum santai. “Kamu pulang juga,” sapanya ringan.
Dada Kanaya mengencang. Bukan cemburu, tapi karena rasa asing yang merayap. Ia seperti baru saja melangkah masuk ke medan yang sama sekali tidak ia pahami.
Leon berjalan mendekat ke arah gadis itu, tapi pandangannya hanya sekilas.
Senyum yang muncul di bibirnya bukan sinis seperti biasanya, melainkan samar dan terukur.
Tepat sebelum mencapai si gadis, ia berhenti, memiringkan wajah sedikit ke arah Kanaya, sekadar memastikan kata-katanya terdengar.
“Masuklah,” ujarnya pelan. “Ada hal yang harus dibicarakan.”
Suara itu menggantung di udara, membelah hening di antara mereka.
Tatapan gadis itu bergeser pada Kanaya, seakan menyimpan sesuatu yang belum sempat diungkap.
Kanaya mengatur napasnya, lalu melangkah masuk. Pintu tertutup otomatis di belakangnya dengan bunyi klik yang membuatnya sedikit terlonjak.
Gadis itu melirik Leon sebentar, lalu tanpa sepatah kata menuju kamar di ujung lorong. Hanya suara sandal rumah yang menyeret pelan di lantai kayu yang tersisa.
Begitu gadis itu menghilang, Leon berbalik menatap Kanaya. “Duduk,” ucapnya singkat sambil menunjuk sofa.
Kanaya tetap berdiri. “Langsung saja.”
“Dia hanya teman,” jawabnya tanpa berkedip, lalu menuang air ke dalam dua gelas. “Dan kamu tidak perlu tahu lebih dari itu sekarang.”
Nada datar Leon membuat Kanaya nyaris ingin melemparkan sesuatu pada Leon.
Tapi tatapan dingin Leon seolah menghitung sekaligus menahannya.
Kanaya pun memilih duduk, meski otot-ototnya masih kaku.
Leon menyerahkan segelas air padanya. “Minum. Kamu dehidrasi.”
Kanaya menerima gelas itu, memutarnya di tangan, lalu menyeruput perlahan. Rasa dingin air justru menajamkan kesadarannya.
“Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?” tanya Kanaya akhirnya.
Leon duduk di kursi seberang, bersandar ke depan, siku di lutut.
“Jawaban. Dan kesepakatan.” Matanya menyapu wajah Kanaya seolah mencari tanda-tanda kebohongan. “Besok pagi kita ke KUA.”
Kanaya nyaris tersedak. “KUA? Untuk apa?”
“Menikah,” jawab Leon datar, seakan ia baru saja berkata ‘besok kita belanja ke supermarket’.
Kanaya terkekeh tak percaya. “Kamu gila? Kita bahkan—”
“Aku tidak bercanda,” potong Leon cepat. “Aku butuh pernikahan ini.”
Leon menegakkan tubuhnya, lalu menghela napas seolah memutuskan tidak akan menjelaskan lebih.
Hening menggantung beberapa detik, hanya dipecah suara AC. Leon akhirnya berdiri.
“Tidur. Besok kita harus bangun pagi.”
Malam itu kian terasa panjang. Meski jam dinding sudah menunjukkan lewat tengah malam, Kanaya berbaring di ranjang kontrakannya dengan tubuh letih dan pikiran yang terlalu riuh.Kata-kata Leon saat konfrontasi mereka sebelumnya seakan terus mengiang-ngiang di kepala Kanaya.Kanaya bahkan masih bisa mendengar dengan jelas suara dingin yang dibungkus ego tinggi itu terucap bersamaan dengan tatapan mata yang menyiratkan obsesi sekaligus penyesalan namun tak pernah benar-benar terucap dengan tulus.Ia lantas menarik selimut sampai ke dagu, berusaha menutup telinga dari suara-suara halus yang datang dari masa lalu.Tapi semakin keras ia mencoba melupakan, semakin jelas potongan-potongan adegan itu mengulang di dalam kepalanya.Leon yang berdiri di depan rumah baru yang ia tempati saat ini. Leon yang menuntut, menyalahkan dan memaksa seolah dirinya masih punya kuasa penuh atas hidup Kanaya.“Kenapa harus aku yang terus menanggung semua ini?” bisik Kanaya lirih dengan kelopak mata yang sudah
Udara malam itu terasa dingin, membuat bulu kuduk Kanaya meremang.Setelah kejadian beberapa malam sebelumnya ketika derit pagar terdengar dan bayangan samar hingga kehadiran tamu misterius akhirnya muncul, ia selalu waspada pada setiap suara kecil yang datang dari luar rumah barunya.Bahkan saat waktu sudah menyentuh malam hari, justru langkah berat terdengar jelas di halaman.Bukan seperti suara hewan liar yang biasa melintas. Kali ini suara langkah itu berirama, perlahan tapi pasti mendekati pintu.Kanaya menahan napas. Jemarinya mengepal di sisi sofa ketika tubuhnya terasa menegang.Bi Irma yang baru saja membereskan meja makan tampak diam dengan raut wajah yang berubah gelisah.“Non, mungkin lebih baik Non masuk kamar saja,” bisiknya. Ada nada aneh dalam suara Bi Irma, seakan ia tahu siapa yang datang. Dan tebakan itu benar.Tok. Tok. Tok.Ketukan keras, mantap dan tanpa keraguan mengalihkan perhatian keduanya.Kanaya lantas berdiri meski geraknya terlihat kaku. Pandangannya meng
Malam kian larut dan sepi. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Kanaya masih terjaga di ranjangnya.Sejak kedatangan seorang pria asing yang dengan jelas mengaku sebagai utusan Leon, rumah yang Kanaya tempati kini seakan berubah wujud.Rasanya tak lagi teduh, apalagi memberi kenyamanan dan keamanan yang ia harapkan sebelumnya.Udara dingin yang masuk lewat celah jendela terasa kotor, seolah membawa aroma asing yang menempel pada dinding.Kanaya berulang kali menggeliat, mencoba mencari posisi tidur yang nyaman tapi tubuhnya menolak untuk tenang.Bayangan wajah utusan Leon terus melintas di pelupuk mata. Tatapan matanya yang tajam, meski gestur dan cara bicaranya terlihat sopan.Kata-kata orang itu memang halus, meski Kanaya merasa ada hal-hal terselubung yang menekannya.Kehadirannya membuat Kanaya sadar bahwa Leon mungkin tak muncul langsung tapi tangannya tetap tak pernah benar-benar melepaskan dirinya."Kenapa dia tidak menyerah saja? Kenapa dia harus terus menyentuh hidup
Rumah yang Kanaya tempoati masih berbau baru. Dindingnya yang bercaty warna putih seakan memantulkan cahaya matahari pagi, membuat ruang tamu tampak lebih luas daripada kenyataannya.Kanaya berdiri di depan jendela seraya menatap keluar tapi tatapannya terlihat kosong.Sudah hampir dua minggu ia menempati rumah kecil ini, sebuah “tempat aman” yang dipilihkan Didi.Mungkin bagi orang lain rumah ini hanya bangunan sederhana di sudut kompleks, tapi bagi Kanaya rumah ini menjadi penanda awal yang baru, awal kebebasannya dari bayang-bayang masa lalu.Sayangnya… semakin hari Kanaya justru esmakin merasa ada sesuatu yang tidak lepas darinya.Perasaan seperti diawasi masih membuatnya gelisah setiap waktu. Rasa yang sama sejak malam ia mendengar pagar bergemerincing dan siluet asap rokok yang mengepul di kegelapan.Malam itu memang sudah lewat, tapi jejaknnya di hati dan pikirannya. Dan kini, ada satu lagi yang membuatnya resah yaitu keberadaan Bi Irma.Bi Irma adalah perempuan paruh baya yang
Malam itu terasa begitu senyap hingga detik jam dinding terdengar jelas di telinga Kanaya.Ia masih duduk di tepi ranjang kala debar jantungnya masih terasa tak karuan sejak suara derit kecil dari pagar.Saat berlari ke jendela ia tak menemukan apa pun, hanya kegelapan yang menelan halaman. Namun rasa diawasi itu tetap tinggal, melekat seperti bayangan yang tak bisa diusir.Perlahan Kanaya berusaha kembali mengistirahatkan tubuhnya meski dengan posisi punggung yang bersandar pada headboard tempat tidur.Tatapan nampak kosong menatap ke depan. Matanya terlihat berat, tapi rasa kantuk itu tak kunjung datang.Ketakutan yang menyelinap di sela tidurnya begitu saja seperti membuka pintu lain di dalam dirinya, pintu yang selama ini ia coba kunci rapat-rapat. Pintu yang membuka tabir kenanangan saat hari kelam di mana tubuhnya begitu lemah dan darah hangat menggenang. Kehidpan kecil yang seharusnya ia genggam justru pergi meninggalkannya.Kelopak matanya perlahan bergetar. Gambaran itu muncu
Pagi itu, suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Kanaya yang sedang menyiapkan daftar belanja untuk kafe kecil bersama Didi.Nama Dira–adiknya–tertera di layar. Hati Kanaya berdesir, sudah cukup lama mereka tidak berkomunikasi. Dengan sedikit gugup Kanaya lntas menekan tombol terima di layar ponselnya.Wajah ceria Dira muncul di layar video call, disertai senyum lebar yang terasa hangat sekaligus menusuk dada Kanaya.“Kak, ada kabar! Kami rencana pulang sementara ke Indonesia. Mungkin satu atau dua bulan. Ada urusan pekuliahan dan beberapa hal yang harus diurus.”Sekian jenak dada Kanaya bergetar oleh rasa bahagia. Rindu yang ia pendam bertahun-tahun seperti mendapat jawabannya.Namun bersamaan dengan itu, rasa cemas ikut menjalari hatinya.Pulang? Bagaimana jika mereka melihat dirinya sekarang? Seorang perempuan yang nyaris porak-poranda setelah rumah tangganya hancur.Kanaya pun berusaha mempertahankan senyumnya di depan sang adik meski tangan yang menggenggam ponsel sedkit gem