Share

Harapan Yang Menghianati

Kanaya berusaha tegar di hadapan orangtuanya meski mereka sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Hari menjelang malam ketika Kanaya kembali ke rumah sakit. Ia berkeliling kota lebih dulu guna melenyapkan jejak kesedihan yang tertinggal di wajahnya setelah puas menangis di gedung kosong siang tadi.

Kanaya juga sengaja pulang ke rumah untuk membawa beberapa barang yang akan ia tata di dalam ruang perawatan orangtuanya. Seperti pigura foto dan beberapa benda yang mengingatkan kenangan indah bersama orangtua dan adik-adiknya.

“Malam sekali, Nona.” Sang asisten menyapa begitu melihat pintu terbuka dan Kanaya masuk menghampirinya di sofa.

“Iya, Om. Maaf, ya. Tadi aku pulang dulu ke rumah buat ambil pakaian dan barang-barang lain,” ujar Kanaya sambil mengangkat tas jinjing di tangannya. “Om pasti capek ya nunggu lama di sini.”

“Tidak. Saya bisa sambil bekerja tadi. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan sebelum perusahaan diambil sepenuhnya nanti.”

Kanaya teringat sesuatu. “Terus Om gimana nanti? Apa Om masih bisa kerja di perusahaan?”

“Saya akan pensiun Nona. Nona tidak keberatan bukan? Tapi saya janji saya akan tetap menjaga tuan dan nyonya jika Nona membutuhkan bantuan saya kapanpun.”

“Ah, begitu. Om dapat pesangon ‘kan?”

Sang asisten mengangguk meyakinkan. “Bagiamana pertemuan dengan Tuan Leon?”

“Lancar, Om.”

“Tuan Leon memperlakukan Nona dengan baik ‘kan?”

Gerakan Kanaya yang sedang mencuci tangan di wastafel sempat terhenti, membuat sang asisten menyadari gelagat aneh dari anak gadis atasannya tersebut.

“Baik kok, Om. Om pulang saja kalau begitu. Pak supir masih di depan. Tadi saya suruh tunggu biar bisa antar Om. Ini sudah malam. Tante pasti nunggu Om di rumah. Sampaikan salam Kanaya buat tante dan yang lainnya, ya, Om.”

Sang asisten mengangguk patuh lalu berpamitan. Kanaya pun bisa bernapas dan bergerak bebas setelah kepergian pria yang sudah ia anggap seperti pamannya sendiri itu.

Ya, keluarga Kanaya memang memiliki kerabat yang lain. Namun semuanya sibuk dengan urusan mereka masing meski mengetahui kondisi orangtuanya saat ini.

Ayahnya adalah anak tunggal. Begitupun dengan ibunya. Karena itu Kanaya hanya memilik om dan tante yang berstatus sepupu dengan kedua orangtuanya.

Mereka tidak terlalu peduli dengan kehidupan Kanaya dan adik-adiknya mengingat ayahnya juga orang yang sibuk dengan pekerjaannya dan jarang berkumpul dengan kerabat sejak lama.

Karena itu, Kanaya hanya bisa bersandar pada dirinya sendiri. Kini ia dipaksa menjadi bijak dan dewasa dalam setiap keputusan yang akan berkaitan dengan keberlangsungan hidup orangtua dan adik-adiknya ke depan.

Kanaya lantas membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur yang lebih nyaman.

Sambil duduk di sofa yang kini menjadi tempat tidurnya setiap malan, Kanaya membuka laptop dan mengulas kenangan-kenangannya dalam foto-foto yang ia simpan di sana.

Sesekali Kanaya tersenyum, namun pada akhirnya ia kembali menangis ketika menyadari kenyataan yang sedang menimpanya saat ini. Kanaya menangis tertahan hingga kelelahan dan tertidur lelap.

***

Paginya Kanaya bangun lebih awal dan melakukan aktifitas rutinnya. Ia juga menyempatkan diri berolah raga lari sebelum kembali ke ruang perawatan dan mengurus kedua orangtuanya.

Barulah setelah itu ia pergi keluar untuk mencari sarapan di luar rumah sakit. Kanaya harus menghemat uang yang ia punya.

Untung saja Kanaya juga bekerja saat masih berkuliah di Inggris sehingga ia bisa menabung dan menghemat uang yang diberikan orangtuanya setiap bulan selama bertahun-tahun.

Kanaya bukan perempuan yang boros dan senang berfoya-foya meski sesekali ia juga sedikit menghabiskan lebih uang yang dimilikinya untuk mentraktir teman-teman atau traveling ke tempat yang ia inginkan.

Kanaya tidak ingin kedua adiknya menjadi susah sebab mereka harus melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang perguruan tinggi tahun depan.

Kanaya juga kini memikirkan untuk membuka usaha baru yang bisa ia kerjakan sambil menjaga kedua orangtuanya nanti meski statusnya sudah menikah.

Namun sebelum itu, ia harus mencari rumah yang lain sebab rumah yang ditempati orantuanya kini akan disita oleh pihak bank.

Setelah menghabiskan sarapannya, Kanaya berusaha mencari informasi pada beberapa kenalan yang ia miliki.

“Loh, memang rumah kamu yang sekarang kenapa, Kanaya?”

“Disita bank, Rin. Jadi aku mau cari rumah yang lebih kecil dan dekat dengan rumah sakit. Biar bisa bolak balik rawat papa dan mama.”

“Ya ampun, Kanaya. Kenapa nggak bilang, sih. Pantes lo balik ngedadak kemarin.”

“Iya. Maaf, ya, Rin. Aku nggak sempat ngabarin. Soalnya panik pas dikabarin sama asisten Papa.”

“Ya udah nggak papa. Nanti aku coba hubungi sepupuku di sana. Mungkin dia bisa bantu.”

Kanaya merasa lega setelah menghubungi salah satu teman dekatnya sejak berkuliah S1 hingga S2 di Inggris.

Tak lama ia pun kembali ke ruang perawatan dan terkejut ketika mendapati seorang wanita cantik dengan dandanan mewah dan tampak duduk anggun di sofa.

“Halo, Sayang.”

“Maaf, Tante cari siapa?”

“Kamu pasti Kanaya, ya?”

“Iya, saya Kanaya. Tante siapa, ya?”

“Sini, Sayang. Duduk sebelah tante,” pintanya menepuk sofa di sebalahnya. “Biar ngobrolnya lebih enak.”

Kanaya mengangguk patuh. “Sini deketan donk.”

“Maaf Kanaya baru pulang olah raga Tante.”

“Nggak papa. Kamu tetep cantik dan wangi kok. Tante nggak terganggu,” pujinya terdengar tulus.

“Ngomong-ngomong Tante siapa? Kok tahu nama saya.”

“Saya bundanya Leon. Maaf baru bisa berkunjung dan menjenguk orangtua kamu. Tante baru kembali dari Eropa. Orangtua Tante tinggal di sana sejak pensiun.”

Kanaya mengangguk sopan mendengarkan penjelasan wanita yang ternyata adalah calon mertuanya.

“Nggak papa, Tante. Terima kasih sudah menyempatkan untuk menjenguk Mama dan Papa.”

“Kamu cantik, lembut dan sopan sekali. Tante bener-bener suka sama kamu, Kanaya. Tolong dampingi anak Tante, ya. Kamu mau ‘kan?”

Kanaya yang ditanya mendadak seperti itu langsung bingung. Meski ia memang sudah memutuskan untuk menerima lamaran keluarga Leon, namun apa yang baru saja dikatakan calon mertuanya itu membuat Kanaya serba salah.

Di satu sisi ia tak bisa menolak dan senang karena ternyata sang calon mertua memperlakukannya dengan baik. Di sisi lain Kanaya tidak tahu apa ia mampu bertahan dengan Leon nantinya mengingat sikap Leon yang membuat Kanaya sakit hati bahkan di pertemuan pertama mereka kemarin.

Kanaya tidak ingin mempermainkan sebuah hubungan pernikahan yang sangat sakral. Namun ia juga berada dalam posisi yang sangat sulit.

“Kanaya?”

“Hah, iya Tante.”

“Kamu kok ngelamun. Leon ngomong apa aja kemarin? Dia nggak jahatin atau bikin kamu nggak nyaman ‘kan?”

Kanaya menggeleng. “Nggak. Kanaya cuma kagum saja sama Tante. Makasih Om dan Tante sudah mau membantu keluarga Kanaya.”

“Tante yang terima kasih karena kamu mau menerima perjodohan ini. Maaf kalau kami terkesan memaksa dalam situasi kamu yang sulit seperti ini. Tapi tante harap kamu bisa menyayangi Leon dan membahagiakan Leon. Tante janji, Tante nggak akan menganggap kamu menantu tante.”

“Maksud tante?”

Wanita paruh baya itu tersenyum hangat sambil menggenggam jemari Kanaya yang halus.

“Saat kamu menikah dengan Leon otomatis kamu juga anak tante. Jadi kalau Leon jahat sama kamu dan menyebalkan, bilang saja sama Tante. Nanti biar Tante yang hukum dia. Okay?” ujarnya dengan ekspresi gemas, membuat Kanaya terkekeh manis dan lucu.

“Iya, Tante. Sekali lagi terima kasih sudah mau menerima dan menyayangi Kanaya.”

“Sama-sama, Sayang. Kalau begitu kapan kamu bisa pergi sama Tante ke butik? Kita harus segera cari gaun pengantin untuk acara pernikahan kalian akhir bulan nanti.”

“Hah? Akhir bulan nanti?”

“Loh, Leon nggak bilang sama kamu kemarin?”

Kanaya menggeleng spontan dan cepat.

“Ck! Anak itu, ya. Disuruh bilang malah lupa. Kamu maklum, ya, Kanaya. Leon itu baru jadi CEO. Dia masih menyesuaikan ritme pekerjaan dan urusan pribadinya. Mungkin itu yang menyebabkan dia jadi lupa memberitahu kamu soal pernikahan kalian. Tapi harusnya ‘kan kamu jadi prioritas.”

Sang calon ibu mertua terus mengomel sambil sibuk menelpon. Kanaya hanya meringis setiap mendengar omelan lucu calon mertuanya tersebut. Namun yang dituju sepertinya tidak mengangkat panggilannya, membuat ekspresi sang calon mertua semakin menggemaskan menurut Kanaya.

“Ini anak, ya. Harus diancam dulu baru mau ngomong,” gumamnya membuat Kanaya ikut melirik ponsel. Penasaran dengan nama apa yang disematkan sang calon mertua untuk calon suaminya itu.

‘Anak bandel tapi kesayangan Bunda’

Kanaya mengulum bibir menahan tawa setelah mengetahui apa yang ingin diketahuinya. Namun sebuah kenyataan membuyarkan senyumnya seketika.

Apa yang akan terjadi di pertemuan berikut mereka yang akan dibersamai oleh sang calon mertua?

Kanaya benar-benar cemas sekaligus berdegub resah. Namun di luar dugaan, Leon yang sebelumnya bersikap ketus dan kasar bahkan membuat Kanaya sempat kecewa dengan adegan yang dilakukannya di depan lift kini tampak lebih lembut meski dengan gesturenya yang tetap gagah nan angkuh.

“Wow! Anak Bunda cantik sekali. Iya ‘kan, Leon?”

Leon yang ditanya malah diam karena terpaku melihat penampilan Kanaya yang baru saja selesai mengenakan gaun pengantin pilihan bundanya.

Sang bunda diam-diam tersenyum melihat ekspresi anak laki-laki bungsunya tersebut. Sepertinya jodoh pilihan suaminya memang sangat cocok. Batinnya.

Baru kali ini ia melihat anaknya tampak mengagumi seorang wanita yang baru diperkenalkan oleh orangtuanya.

“Leon, ngedip donk! Nggak sakit mata kamu itu terus liatin Kanaya begitu?”

Leon berdeham sambil memutar bola mata malas.

“Leon nggak suka. Cari kebaya saja. Leon mau menikah minggu depan. Tidak perlu ada pesta. Orangtua Kanaya juga masih koma. Memang Bunda tega Kanaya harus mengadakan pesta besar sementara orangtuanya terbaring koma di rumah sakit?”

Kanaya sungguh dibuat terkejut dengan ucapan Leon. Apalagi ketika Leon menghampiri dan menatap lurus ke arah bola matanya.

“Leon juga nggak mau calon istri Leon yang cantik ini jadi tontonan laki-laki lain. Leon mau baju yang tertutup dan pernikahan sederhana saja. Nanti kalau orangtua Kanaya sudah siuman, baru kita adakan pesta. Kamu setuju 'kan, Kanaya?” ucap Leon membuat Kanaya mengangguk haru.

"Okay. Bunda setuju kalau begitu."

Namun seutas senyum tipis jahat yang Leon tunjukkan setelahnya membuat Kanaya tersadar akan sesuatu apalagi ketika Leon berbisik mendekat di telinganya.

“Jangan besar kepala, kamu memang tidak pantas mengenakan gaun semewah ini dan bersanding dengan saya di hadapan banyak orang.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
huueee!!! Leon..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status