Kanaya menatap kedua orangtuanya yang masih terbaring koma. Hatinya terasa sesak, tapi ia berusaha menahan air mata.
Sore itu, setelah menangis sejadi-jadinya di gedung kosong yang dulu dirancang ayahnya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, Kanaya memilih berjalan-jalan di kota. Ia ingin menyingkirkan bayangan kesedihan yang masih menempel di wajahnya sebelum kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di apartemen keluarga, Kanaya mengambil beberapa benda kenangan seperti pigura foto, gantungan kecil yang diberikan adiknya, dan beberapa cendera mata yang mengingatkannya pada kebersamaan mereka.
Ia menata semuanya di ruang perawatan, berharap suasana yang akrab bisa sedikit menenangkan hatinya dan kedua orangtuanya.
“Malam sekali, Nona,” suara sang asisten terdengar ketika pintu terbuka.
“Iya, Om. Maaf, tadi aku pulang sebentar untuk ambil beberapa barang,” jawab Kanaya sambil tersenyum lelah.
“Tidak apa-apa. Saya bisa sambil menunggu dan menyelesaikan beberapa urusan perusahaan,” ucap sang asisten.
Kanaya tersenyum tipis. “Terima kasih, Om. Tapi Om tidak keberatan ya kalau nanti aku pergi bertemu Leon lagi?”
“Tidak masalah. Bagaimana pertemuan tadi?”
“Lancar… meski… agak… tegang,” jawab Kanaya. Ia menghela napas panjang, membayangkan ekspresi Leon yang dingin saat pertama kali mereka bertemu di restoran.
Sang asisten menatapnya lebih dalam. “Dia memang begitu. Tapi jangan khawatir, Nona. Saya yakin kamu bisa menghadapi Leon.”
Kanaya mengangguk, tapi hatinya masih bergemuruh. Ia tahu pertemuan berikutnya, kali ini dengan calon mertuanya, akan menjadi tantangan yang berbeda.
Setelah sang asisten pergi, Kanaya duduk di sofa sambil membuka laptop, menatap foto-foto lama keluarganya.
Sesekali senyum tipis muncul, tapi tak lama kemudian air matanya kembali menetes. Lelah dan kesedihan akhirnya membuatnya tertidur lelap.
***
Pagi harinya, Kanaya bangun lebih awal. Rutinitasnya sama seperti biasa, berolahraga ringan, sarapan sederhana, dan kembali ke ruang perawatan.
Setiap langkahnya kini terasa berat, tapi ia tahu ia harus tegar demi kedua orangtua dan adik-adiknya yang sedang bersekolah di luar negeri.
Ia harus memikirkan cara mengatur keuangan, mencari rumah baru yang dekat rumah sakit, dan kemungkinan membuka usaha sampingan agar tetap bisa menjaga keluarga.
Saat sedang berbincang melalui telepon dengan teman dekatnya, Luna, Kanaya mendapat dorongan semangat.
Luna berjanji membantu mencari solusi untuk rumah keluarganya yang akan disita bank, memberi Kanaya sedikit rasa lega.
Sesampainya di ruang perawatan, Kanaya terkejut melihat seorang wanita cantik dengan dandanan mewah duduk anggun di sofa.
“Halo, Sayang,” sapa wanita itu ramah.
Kanaya menatapnya bingung. “Maaf, Tante siapa?”
“Ya, Sayang. Tante ibunya Leon. Tante baru kembali dari Eropa. Maaf baru bisa menjenguk orangtuamu.”
Kanaya menunduk sopan. “Terima kasih, Tante. Sudah menyempatkan diri menjenguk Mama dan Papa.”
Ibu Leon tersenyum hangat. “Tante senang bisa bertemu dengan kamu, Kanaya. Tante juga sudah dengar banyak hal tentangmu. Kamu lebih cantik, lembut, dan sopan aslinya, ya.”
Kanaya tersenyum ramah menanggapi pujian dari calon mertuanya tersebut.
“Titip Leon, ya. Kanaya mau ‘kan?”
Kanaya terdiam. Kalimat itu membuatnya tersentuh sekaligus cemas. Ia sudah memutuskan menerima perjodohan demi kehormatan keluarga, tapi hatinya masih ragu menghadapi Leon yang baru dikenalnya dan bersikap dingin.
“Kanaya?” tanya ibu Leon lembut.
“Hah… iya, Tante,” jawabnya.
“Kamu terlihat melamun. Apakah Leon membuat bikin kamu nggak nyaman kemarin?”
Kanaya menggeleng. “Nggak, Tante. Kanaya hanya terpesona dengan perhatian Tante.”
Ibu Leon tertawa kecil. “Bagus. Jangan khawatir, Sayang. Jika nanti Leon bersikap menyebalkan, bilang saja ke Tante. Tante pasti tegur anak itu.”
Kanaya terkekeh, merasa lega. Kehadiran ibu Leon memberi ketenangan dan sedikit humor di tengah tekanan yang ia rasakan.
Namun ketika ibu Leon berbicara tentang pernikahan, Kanaya tersentak. “Akhir bulan ini?”
“Iya. Leon pasti lupa ngasih tahu kamu kemarin karena sibuk dengan pekerjaan dan urusan pribadinya. Tapi kita harus mempersiapkan segalanya dengan baik walaupun cepat kan?” ujar ibu Leon sambil tersenyum.
Kanaya mencoba menelan kekagetan. Semua terjadi begitu cepat. Sangat cepat.
Orangtuanya koma, ia harus menjaga keluarga, dan sekarang bersiap menikah dengan pria yang ia baru ia temui.
“Ayo, sekarang ikut Tante.”
“Ke mana?”
Ibu Leon menarik Kanaya ke butik mereka, sambil bercanda.
“Kita harus mencari gaun pengantin. Kamu nanti pasti akan terlihat menakjubkan. Percaya sama Tante.”
Kanaya menahan tawa. Tapi senyuman itu hilang seketika saat Leon muncul. Sosoknya tetap angkuh, dengan mata yang tajam menatap Kanaya.
“Wow… anak Bunda cantik sekali,” ucap ibu Leon, memancing ekspresi Leon.
Leon hanya menatap, diam. Senyum tipis muncul di wajahnya, tapi matanya tetap dingin.
“Leon, kenapa reaksinya begitu? Kamu nggak suka dengan gaun yang Bunda pilihkan untuk Kanaya?” tanya ibunya, mencoba mengkonfirmasi.
Leon menunduk sedikit. “Aku tidak ingin calon istriku jadi tontonan banyak orang, Bund. Aku mau pernikahan sederhana. Dan setelah orangtua Kanya nanti sadar, baru kita adakan pesta. Setuju?”
Kanaya menelan ludah, hatinya berdebar. Ia mengangguk pelan.
Namun kemudian Leon berbisik di telinganya dengan nada dingin namun dengan gestur intim.
“Jangan besar kepala, kamu memang tidak pantas mengenakan gaun semewah ini dan bersanding denganku di hadapan banyak orang.”
Kata-kata itu menghancurkan harga diri Kanaya, tapi juga meninggalkan rasa penasaran.
Perasaan Kanaya seolah diaduk antara takut, kagum, dan penasaran, semua emosi itu bercampur, menandai awal hubungan yang kompleks dengan Leon.
Kanaya menatap gaun di hadapannya. Ia tahu, perjalanan ini akan lebih berat daripada yang dibayangkan, tapi ia harus siap. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk keluarga yang bergantung padanya.
Dan di saat itulah, Kanaya menyadari satu hal.
Pernikahan ini bukan sekadar perjodohan biasa. Ada rahasia dan tantangan yang menunggu di balik senyum dan sikap Leon yang misterius.
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did