Share

Menikahi Pria Culun Konglomerat
Menikahi Pria Culun Konglomerat
Author: Arrana

Perjodohan

Kanaya tiba di apartemennya menjelang sore hari. Meletakkan tas serta barang bawaannya lebih dulu, Kanaya lantas berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air bening yang bisa diminum dari keran secara langsung.

Namun, baru saja gelas itu menempel di bibirnya, bunyi ponsel dengan nada khusus yang selalu membuatnya riang membuat Kanaya urung dan memilih untuk berlari menggapai gawainya.

“Halo, Pa,” sapanya riang.

“Maaf Nona Kanaya. Ini saya, Pesonal aisten Tuan.”

“Oh, Iya. Ada apa, Om? Kok tumben Om telepon pakai hp khususnya Papa? Papa ke mana?”

“Tuan…”

Hening sejenak membuat Kanaya mengerutkan keningnya. Baru beberapa jam yang lalu ia berkomunikasi dengan kedua orangtua yang memberi semangat sebelum melakukan presentasi. Namun kini perasaannya mendadak gelisah karena panggilan yang tak biasa tersebut.

“Ada apa sama Papa, Om?”

“Tuan dan Nyonya sekarang berada di rumah sakit, Nona. Mereka mengalami kecelakaan pesawat.”

“Apa!?”

Kaki Kanaya mendadak terasa seperti jelly. Gadis itu terduduk di lantai dengan tubuh gemetar. Kabar buruk itu hadir di tengah kabar bahagia yang hendak ia sampaikan pada kedua orangtuanya.

Kanaya merasa bingung. Hingga suara panggilan di seberang telepon sana yang terus memanggil namanya menyadarkan Kanaya pada kenyataan.

“Lalu bagaimana kondisi Mama dan Papa sekarang ini, Om?”

“Mereka sedang ditangani tim dokter ahli, Nona. Saya belum bisa menjelaskan detailnya. Karena saya juga baru tiba di sini.”

“Bagaimana bisa kecelekaan itu terjadi? Papa dan Mama mau ke mana malam-malam begini?”

Perbedaan waktu yang cukup rentang membuat Kanaya jelas paham dan penasaran kenapa kedua orangtuanya melakukan perjalanan mendadak menggunakan pesawat dan di malam hari tanpa mengabari ia dan adik-adiknya seperti biasa.

“Kami masih menyeledikinya, Nona. Yang saya tahu mereka memang ingin membuat kejutan untuk Nona dengan berkunjung ke sana. Tapi seharusnya mereka pergi besok pagi.”

Kanaya mendadak merasa bersalah.

“Bagaimana dengan adik-adik?”

“Saya belum memberitahu mereka. Apa perlu saya yang beritahu atau Nona sendiri yang akan menelepon mereka?”

Kanaya terdiam. Kedua adiknya juga bersekolah dan tinggal di luar negeri. Tapi Kanaya tahu saat ini mereka sedang tidur.

“Tidak perlu. Jangan beritahu dulu mereka sampai saya tiba di sana.”

“Baik Nona. Saya sudah memesankan tiket. Akan ada yang menjemput Nona di apartemen satu jam lagi.”

“Baik. Terima kasih, Om."

“Baik, Nona. Selamat siang.”

“Selamat siang.”

Kanaya menangis sambil menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, Tangisannya terdengar sangat memilukan.

Namun hal itu hanya sesaat ia lakukan sebab tak ada waktu bagi Kanaya untuk bersedih sekarang. Ia harus segera kembali ke negaranya dan memastikan kondisi orangtuanya.

Menyapu wajahnya yang basah Kanaya lantas menyugar rambutnya yang panjang sebelum mengikatnya. Ia berkemas dengan cepat dan memasukkan barang-barang yang perlu dibawa. Sisanya biar nanti diurus orang-orang papanya yang ada di sini untuk dikirim menyusul.

Kanaya lantas bergegas turun dari apartemennya dan pergi ke Bandara bersama orang suruhan yang sudah ditugaskan. Sesampainya di Bandara Kanaya langsung memasuki pesawat yang akan berangkat sekitar setengah jam lagi.

“Mari saya tunjukkan tempat duduk, Nona Kanaya.” Seorang pramugari lantas berucap dan mengarahkannya secara khusus.

“Terima kasih.”

“Sama-sama, Nona. Jika perlu sesuatu panggil saja. Kami akan dengan senang hati membantu.”

Kanaya menganguk lalu duduk dan memejamkan matanya, memikirkan banyak hal tentang kedua orangtuanya hingga tak menyadari buliran bening mengalir dari kedua ekor matanya.

“Perlu sapu tangan?”

Kanaya langsung membuka mata, tak menyadari kehadiran seorang pria yang kini tersenyum sambil mengulurkan sapu tangan padanya.

“Ambil saja. Tidak apa.”

Kanaya menatap pria dan sapu tangan yang diulurkan itu bergantian.

“Indonesia?” Kanaya mengangguk.

“Terima kasih,” jawab Kanaya menyerah dan menerima sapu tangan yang terus diulurkan padanya.

“Something bad happened?”

Kanaya mengangguk. “Saya baru dikabari kalau orangtua saya mengalami kecelakaan.”

“Oh, soo sory to hear that. Bagaimana keadaan mereka sekarang?”

Kanaya hanya bisa menggeleng, air matanya meleleh lebih banyak kemudian. Pria yang duduk di samping Kanaya memberinya semangat.

“Maaf saya jadi curhat. Padahal kita belum kenal.”

“It’s okay. Memang kenapa kalau kamu bercerita tentang kesedihan kamu pada orang yang baru kamu kenal?”

Kanaya memaksakan senyumnya. Pria lantas memanggil pramugari dan memintanya mengambilkan minuman serta makanan ringan untuk Kanaya.

“Terima kasih.”

Kanaya menyimpan makanan yang diberikan pria dan kembali menatap ke jendela. Pesawat pun mengudara dengan kecepatan terbaik, membawa penumpang kembali ke negara mereka yang sama.

“Rumah kamu di mana?” tanya pria begitu mereka selesai mengurus imigrasi.

“Jakarta pusat."

"Saya antar mau?”

Kanaya menggeleng. “Terima kasih. Saya sudah dijemput.”

“Okay kalau begitu. Semangat, ya.”

Kanaya mengangguk, berharap bisa bertemu pria itu kembali dan membalas kebaikannya yang mungkin tak seberapa selama di pesawat tadi.

Tiba di rumah sakit, Kanaya bergegas mencari ruangan tempat di mana kedua orangtuanya dirawat. Sang asisten pribadi papanya yang menunggu di depan ruangan langsung bangun dan menghampiri ketika melihat Kanaya tiba.

“Selamat datang, Nona.”

“Bagaimana kondisi Mama dan Papa?”

“Silakan masuk,” jawabnya membukakan pintu.

Kanaya melihat kedua orangtuanya terbaring bersisian di atas ranjang rumah sakit dengan kondisi tak sadarkan diri. Hatinya perih.

“Mereka koma, Nona.”

Dunia Kanaya seolah runtuh. Tubuh yang mendadak lemas dan hampir ambruk langsung ditahan oleh asisten pribadi papanya. Kanaya pun dipapah menuju sofa agar.

“Pesawat mengalami masalah dan harus melakukan pendaratan darurat. Tapi karena tidak stabil, belum sempat mendarat sempurna pesawat setengah jatuh dan tergelincir,” terang asisten pribadi papanya tersebut.

“Apa mereka akan segera sadar?”

“Dokter masih harus melakukan beberapa tes lagi. Dan mereka menunggu Nona datang untuk memberi persetujuan sebagai keluarga terdekat.”

Kanaya mengerti. Ia lantas berdiri seraya menghampiri kedua orangtuanya yang ingin sekali dipeluk. Namun ketukan di pintu kamar perawatan itu membuat langkah Kanaya terhenti.

“Siapa?” tanya Kanaya pada asisten papanya.

Sang asisten segera membuka pintu dan seketika munculnya seorang pria paruh baya yang ia taksir seusia papanya.

“Anda mau mencari siapa, Tuan?”

“Kamu Kanaya, bukan?”

Kanaya tertegun. Ia jelas tidak mengenal pria perlente yang berdiri di hadapannya tersebut.

“Silakan masuk, Tuan.”

Kanaya semakin bertanya-tanya karena rupanya sang asisten mengenal pria tersebut.

“Om kenal sama tuan ini?”

Sang asisten mengangguk lantas menjelaskan singkat siapa orang yang akhirnya diperkenalkan sebagai sahabat karib papanya sejak muda itu.

Kanaya tidak tahu. Namun samar-samar ia seperti pernah mendengar papanya menceritakan tentang sahabatnya yang tinggal lama di luar negeri tersebut.

“Duduk Kanaya. Saya ingin membicarakan sesuatu dengan kamu.”

Kanaya patuh dan bersisian dengan pria tersebut.

“Saya tahu ini waktu yang tidak tepat. Tapi perusahaan papamu harus segera Om ambil alih.”

“Maksud, Om?”

“Perusahaan Papamu sebetulnya mengalami masalah keuangan sudah cukup lama. Dan ia sempat meminta bantuan pada Om beberapa hari lalu.”

“Papa nggak pernah cerita.”

“Tentu saja. Ia pasti tak ingin membebanimu,” terangnya lalu menatap ke arah ranjang dengan tatapan sendu. Begitupun dengan Kanaya.

“Jadi, apa maksud kedatangan Om ke sini untuk menjelaskan hal itu?” Pria itu mengangguk. “Lalu apa yang harus Kanaya lakukan untuk membantu?”

“Tidak ada.”

Kanaya terheran. Pria itu lantas mengulurkan sebuah berkas yang diminta untuk dibaca dengan seksama.

“Om tidak tahu kenapa Papamu tiba-tiba meminta Om untuk membuat perjanjian seperti itu. Sepertinya hal ini sudah ia perkirakan sebelumnya. Karena itu, tugas Om sekarang ini adalah membantu perusahaan papamu yang akan bangkrut. Om membutuhkan tanda tangan dan persetujuanmu.”

Bergegas Kanaya memberikan kuasanya dan memubuhkan tanda tangan di atas materai dalam berkas tersebut. Ia kemudian menatap melas pada pria tersebut.

“Lakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan Papa. Tolong, Om. Kanaya akan melakukan apapun untuk membantu, Om.”

“Om akan melakukan sebisa mungkin untuk menyelamatkan kalian. Dan ada satu lagi yang harus kamu lakukan.”

“Apa? Katakan saja, Om. Kanaya akan melakukannya.”

“Kamu harus melaksanakan perjodohan yang sudah diatur Papamu dan Om sejak lama."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Etih Istikomah
disini baca disebelah baca... dimana² aku ktemu kak Endah ......
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
baru mampiirrr !!
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
disini baca ......, di sana baca ...... dimana mana ada teh etih ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status