Share

Bertemu Leon

Author: Arrana
last update Last Updated: 2023-08-13 23:05:30

Kanaya duduk di antara ranjang ayah dan ibunya, menatap wajah mereka yang masih tak sadarkan diri. Hening rumah sakit hanya diisi dengungan monitor dan suara langkah sesekali suster.

Tangannya bergetar saat ia mengelap wajah ayahnya, seakan bisa mentransfer kekuatan hidupnya pada pria yang selalu menjadi panutannya itu. Lalu ia menoleh ke ibunya, yang masih terbaring lemah di sisi lain.

“Kanaya nggak tahu harus gimana, Ma… Pa…,” suaranya serak, nyaris berbisik. “Om bilang siang ini aku harus ketemu Leon. Calon jodoh yang Papa persiapkan sejak aku kecil.”

Hanya hening yang menjawab, suara monitor yang monoton terasa menekan dada Kanaya lebih keras dari apapun.

Gadis itu menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi rasa penasaran dan cemas tetap membelit hatinya.

“Kenapa Papa dan Mama nggak pernah bilang?” gumamnya pelan, air matanya menetes.

Ia menunduk, menggenggam tangan ibunya sejenak, mencoba merasakan kehangatan yang sudah hilang.

“Tapi Kanaya percaya kok, Pa… Ma… pilihan Papa dan Mama pasti yang terbaik. Doakan Kanaya, ya. Hari ini Kanaya akan bertemu Leon. Calon menantu Mama dan Papa,” ujarnya, tersenyum getir pada ruang kosong di sekelilingnya.

Hening itu terganggu oleh getaran ponselnya di saku. Kanaya menatap layar, jantungnya berdegup kencang, tapi ia memilih mengabaikannya.

Dua hari terakhir ini ia menghindari panggilan adik-adiknya di Australia. Ia belum siap memberi tahu mereka tentang keadaan orangtuanya.

Setelah menghela napas panjang, Kanaya berdiri, membawa baskom dan handuk yang sebelumnya dipakai, tepat saat ketukan pintu terdengar. Asisten pribadi ayahnya masuk.

“Sudah waktunya, Nona,” ucapnya tenang.

Kanaya mengangguk. Hari ini, ia akan bertemu dengan Leon di restoran hotel mewah yang telah ditentukan.

Asisten pribadi itu mengambil baskom dan handuk, menyuruh Kanaya fokus pada pertemuannya.

“Nona tenang saja. Om akan menjaga Tuan dan Nyonya dengan baik selama Nona pergi.”

Kanaya tersenyum tipis, berterima kasih sebelum ia keluar dari ruang perawatan. Langkahnya berat namun mantap.

Dan selama perjalanan, ia terus memeriksa cermin di dalam clutch, memastikan riasannya terlihat natural, sopan, tidak berlebihan.

Jantungnya tetap tak tenang, dan setiap detik perjalanan terasa seperti jam yang menunda pertemuan yang ia takutkan sekaligus penasaran ingin dijalani.

Tak lama mobil pun berhenti di lobi hotel mewah. Kanaya mengucapkan terima kasih pada supirnya, menyerahkan sedikit uang untuk menutupi waktu tunggu, lalu turun.

Di pintu, ia terkejut melihat pria yang sempat menemani dan memberinya semangat di pesawat beberapa hari lalu.

“Mas? Kok bisa ada di sini? Apa kabar?” tanya Kanaya, sedikit lega melihat wajah familiar itu.

“Baik. Kamu sendiri bagaimana?” Pria itu tersenyum hangat, menatapnya penuh perhatian.

Kanaya menghela napas. “Orangtuaku masih koma. Aku belum bisa bicara banyak.”

Pria lantas menepuk bahunya lembut. “Aku mengerti. Tenang saja. Kita cuma akan ke restoran sebentar. Ini juga pertemuan pertama kamu dengan dia ‘kan?”

Seketika, Kanaya tersentak. “Jadi?”

Pria mengangguk. “Iya, Leon. Dia… calon suami kamu ‘kan? Aku pikir aku bisa jadi jembatan kecil supaya kamu nggak terlalu kaget,” katanya membuat senyum lega Kanaya terbit.

Selama perjalanan ke restoran, pria tersebut menghibur Kanaya dengan percakapan ringan. Namun ia tetap berhati-hati, hanya memberi petunjuk minim tentang Leon, agar kejutan tetap ada.

Dan sesampainya di restoran, pria lantas tersenyum dan mempersilakan Kanaya masuk sendiri ke dalam ruang.

Kanaya mengatur napas, mencoba menenangkan diri sebelum melangkah ke ruangan private yang dipesan Leon.

Pintu dibuka, dan tak lama matanya menatap seorang pria tinggi, rapi, dan… dingin yang sudah duduk di mejanya. Leon.

“Halo, Leon. Aku—” sapanya gugup.

Leon menatapnya tajam, meletakkan buku menu di atas meja. “Sepertinya kamu mudah akrab dengan pria yang baru kamu kenal,” katanya, nada tajam dan sedikit mengejek.

Kanaya membeku, mulutnya kering. “Maksudmu, pria yang—?”

Leon mengangkat alis, setengah senyum miring. “Jangan salah paham. Aku dan Bobi memang kenal baik. Tapi apakah harus aku menjelaskannya padamu?”

Kanaya menelan ludah, menggenggam clutchnya lebih erat. Dalam hatinya, ia mencoba menenangkan diri.

‘Tenang, Kanaya. Jangan terpancing. Leon ketus karena jabatan dan tekanan pekerjaannya mungkin, bukan karena aku.’

Kanaya duduk tanpa setelah sedikit menunggu dan melihat tatapan Leon yang semakin mengintimidasinya.

“Tapi, bolehkah aku tetap ingin tahu siapa sebenarnya kamu, Leon?” gumamnya pelan.

Leon lalu bangun dan berjalan mendekat, mencondongkan tubuh lalu menatap Kanaya tajam.

“Kamu tak punya posisi menentukan apa pun, Kanaya. Ingat, kamu butuh uang bukan? Untuk menyelamatkan perusahaan, adik-adikmu yang jauh di luar negeri sana atau untuk tetap membuat kedua orangtuamu hidup,” kata-katanya menusuk, membuat dada Kanaya terasa sesak.

Ia nyaris tidak bisa menanggapi, hanya mengetatkan rahang.

Leon melanjutkan, “Untuk apa sekolah jauh-jauh sampai Inggris kalau hal seperti ini saja tidak bisa kamu atasi? Bodoh!”

Kata-kata itu kembali menusuk seperti belati. Kanaya terpaku, napasnya tercekat, tangannya gemetar. Ia menyadari betul kalau saat ini tidak ada pilihan lain selain menahan sakitnya. Tapi hatinya menolak, menolak menerima cara Leon yang dingin dan keras.

Pelayan lantas datang dan menanyakan pesanannya. Kanaya memesan segelas air dan meneguk perlahan, mencoba menenangkan diri.

Ia menatap Leon, menyadari bahwa pria ini mungkin juga terpaksa menjalani perjodohan ini. Mungkin ada alasan di balik sikap ketusnya.

Sekilas, Kanaya merasa sedikit lega karena pikirannya sendiri tersebut, tapi hati kecilnya tetap bergejolak.

Tanpa berniat makan, Kanaya berdiri, hendak meninggalkan meja. Leon bangkit, melempar serbet ke meja dengan kasar.

“Jangan pergi sebelum pelayan menyuruhmu,” katanya singkat.

Kanaya duduk kembali menelan sakit hati sambil menunduk. Setiap langkahnya kemudian terasa berat, tetapi ia tahu harus menahan diri. Semua ini untuk orangtuanya.

Saat keluar menuju lift, sesuatu membuatnya tersentak. Leon berdiri di depan lift, tangan pria itu memeluk seorang wanita berpakaian seksi.

Mereka tampak sedang berciuman, dan tubuh Kanaya seketika membeku. Mata wanita itu menyipit saat melihat Kanaya, dan Leon tampak menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis.

Kanaya merasa dunia runtuh sekejap. Tubuhnya hampir ambruk, tapi ia berhasil memegang gagang besi di lift. Nafasnya berat, dada sesak. Pikiran tentang Leon, tentang perjodohan, tentang orangtuanya yang koma, semua bercampur menjadi satu.

Lift berhenti, wanita itu tersenyum cemburu dan pergi, meninggalkan Kanaya terpaku di depan pintu.

Leon menekan tombol lift dan menghilang di depan matanya. Hati Kanaya remuk, air mata menetes di pipi, dan ia hampir jatuh jika tidak menahan diri.

Kanaya pergi ke sebuah lokasi, menatap gedung kosong yang dahulu dirancang Papa sebagai hotel mewah, hadiah ulang tahun pernikahan ke-25 untuk sang mama.

Kini, gedung itu setengah jadi, menunggu biaya yang tak ada, persis seperti hidupnya saat ini.

Di lantai tinggi gedung itu, Kanaya menangis sejadi-jadinya. Tangisnya bukan sekadar kesedihan, tapi akumulasi semua rasa sakit, kehilangan, dan ketidakpastian.

Ia melepaskan segala sesak yang menumpuk sejak pertemuan pertama dengan Leon di restoran.

Namun di tengah tangisnya, sebuah kesadaran muncul. Leon mungkin memiliki alasan. Perjodohan ini mungkin juga bukan sepenuhnya pilihannya. Dan rasa penasaran yang menumpuk di hatinya tentang siapa Leon sebenarnya membuat tangisnya perlahan berubah menjadi tekad.

“Kanaya… kamu harus kuat. Untuk Mama, Papa… dan adik-adik. Kamu harus tahu siapa pria itu,” gumamnya sambil menghapus air mata, menatap pemandangan kota dari ketinggian.

Malam itu, Kanaya pulang dengan hati yang campur aduk. Sakit, penasaran, dan sekaligus ingin tahu tentang Leon—calon suami yang dingin dan misterius—menjadi bayangan yang akan terus menghantui setiap langkahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Endah Setyawati
langsung ketemu Leon yang brengsek
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Pindah Rumah

    "Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Usaha Leon

    "Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Iblis Plastik

    Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Pertemuan Dengan Didi

    Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Mencari Tahu

    Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?

  • Menikahi Pria Culun Konglomerat   Dipermalukan

    Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status