Kanaya duduk di antara ranjang ayah dan ibunya yang masih terbaring koma. Sambil mengelap tangan papanya yang terbaring di sisi kanan, gadis itu terus bercerita dengan tatapan pada sang mama yang terbaring dengan kondisi serupa di sebelah kiri.
“Kanaya nggak tahu harus gimana, Ma? Om itu bilang kalau nanti siang Kanaya harus ketemu sama Leon. Kanaya penasaran kenapa Papa menjodohkan Kanaya dengan Leon, bahkan sejak masih kecil.”
Kanaya terus bercerita meski tidak ada yang menanggapi. Hanya suara lengkingan monitor pendeteksi kehidupan yang mengisi percakapan satu arah Kanaya dengan kedua orangtunya tersebut.
“Mama juga, Mama kok nggak bilang sama Kanaya kalau Papa sudah mempersiapkan jodoh untuk Kanaya?” rajuknya manja seperti sedang bercerita pada sang mama seperti biasanya.
Helaan napas beratnya pun terdengar kemudian. Ia menggeser kursinya ke arah ranjang sang mama dan bergantian mengelap tangan serta wajah wanita yang masih terlihat cantik di usia lanjutnya itu.
“Tapi Kanaya percaya, pilihan Mama dan Papa pasti yang terbaik. Doakan Kanaya, ya, Ma, Pa. Hari ini Kanaya akan bertemu dengan Leon. Calon menantu Mama dan Papa.” Wajah cantik dan lembut itu terkekeh geli sendiri mendengar ucapannya.
“Kanaya nggak tau Leon kayak apa. Tapi yang Om bilang, Leon itu anak yang baik dan sayang sama keluarga. Makanya Om dan tante pengen Leon juga menikah dengan perempuan yang baik seperti Kanaya katanya. Emang Kanaya anak baik, ya, Ma, Pa?” tanyanya ambigu.
Di tengah kesunyian yang selalu menemaninya akhir-akhir ini, Kanaya kemudian tersadarkan dengan getar ponselnya di dalam saku. Ia menatapnya cukup lama sebelum memutuskan kembali memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana.
Sudah dua hari ini ia menghindari telepon dari adik-adiknya yang sedang bersekolah di Australia. Kanaya belum bisa memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi dengan kedua orangtua mereka. Ia belum siap dan menunggu hasil tes yang akan diberikan besok.
Menghembuskan napas berat dan panjangnya, Kanaya lantas mengakhiri kegiatan rutinnya dan membawa baskom serta handuk yang sudah digunakan bertepatan dengan ketukan di pintu.
“Masuk!”
Asisten pribadi papanya datang dan menghampiri.
“Sudah waktunya Nona.”
Kanaya mengangguk. Sudah waktunya ia pergi untuk bertemu dengan Leon di sebuah restoran yang sudah ditentukan.
Sang asisten bergegas meraih dan membawakan baskom serta handuk yang akan Kanaya bawa ke kamar mandi.
“Nona berangkat saja. Biar saya yang membereskan ini dan menjaga tuan nyonya.”
“Terima kasih, Om. Titip mama dan papa sebentar, ya.” Sang asisten mengangguk. “Oh, ya. Adik-adik ada menelepon Om?”
“Ada. Tapi seperti yang Nona perintahkan, saya mengatakan sesuai dengan arahan yang Nona berikan.”
Kanaya mengangguk sambil tersenyum berterima kasih sebelum keluar dari ruang perawatan orangtuanya.
Selama perjalanan, Kanaya merasa gugup. Ia berulang kali mengambil cermin di dalam cluth untuk memastikan kalau dirinya sudah berdandan cukup baik. Tidak berlebihan bahkan norak apalagi memalukan.
“Sudah sampai, Nona,” ucap supir begitu mobil berhenti di lobi sebuah hotel mewah.
Ya, Kanaya dan Leon akan bertemu di restoran yang berada di dalam hotel tersebut.
“Terima kasih, ya, Pak. Ini buat makan siang Bapak sambil nunggu saya selesai nanti.”
Sang supir mengangguk sambil mengucapkan terima kasih seraya menerima uang pemberian dan majikannya Kanaya pun turun dari mobil.
“Selamat datang Nona Yaya.”
Sapaan itu jelas membuat Kanaya terkejut. Ia tak menyangka jika hari ini ia akan bertemu dengan Bobi. Pria baik hati yang perhatian dan menghiburnya selama perjalanan di pesawat beberapa hari lalu.
“Mas Bobi? Kok bisa ada di sini? Apa kabar, Mas?”
“Baik, Ya. Kamu apa kabar?”
“Baik, Mas.”
“Gimana kondisi orangtua kamu?” Kanaya berubah sendu. Bobi pun tak memaksa Kanaya untuk menjawab pertanyaannya. “Sepertinya kita memang berjodoh,” gurau Bobi mengubah suasan hening di antara mereka.
“Gimana, Mas?”
Kanaya tampak bingung mendengar gurauan pria tampan yang kini sedang menertawai wajah polosnya yang menggemaskan itu.
“Maksud saya sepertinya Tuhan memang menjodohkan kamu dengan atasan saya.”
“Apa? Jadi–“
Bobi mengangguk lebih dulu. “Silakan. Tuan Leon sudah menunggu. Dia suka kesal kalau orang yang janji bertemu dengannya telat sedikit saja,” bisik Bobi membuat kegugupan Kanaya sedikit berkurang.
Takdir memang menggelikan. Rupanya pria yang akan dijodohkan dengan Kanaya adalah atasan langsung Bobi.
Ya, Bobi adalah asisten pribadi Leon yang sudah bekerja dengan pria itu sejak dua tahun lalu, membuat Kanaya merasa lega karena dengan begitu ia bisa lebih mudah bertanya tentang Leon pada Bobi.
Mereka pun mengobrol hingga tiba di ruangan private yang sudah dipesan oleh Leon melalui asisten pribadinya tersebut.
“Mas Bobi nggak ikut makan?”
“Ini pertemuan kalian pertama kalinya bukan? Jadi seharusnya saya tidak jadi pria tampan yang nantinya iri karena ingin dijodohkan juga dengan pasangan secantik dan sebaik kamu, Ya.”
Kanaya terkekeh lucu. “Mas Bobi bisa saja. Tapi Mas Bobi makan siang juga ‘kan?”
Bobi mengangguk, tersenyum karena perhatian gadis yang kini ia anggap seperti adikya sendiri.
“Saya masih ada pekerjaan. Makan siangnya dekat kantor.”
“Kalau begitu aku masuk dulu, ya.”
“Silakan. Semoga makan siangnya berkesan, ya, Yaya.”
“Mas Bobi juga. Semangat, ya, kerjanya.”
“Siap laksanakan calon Nyonya.”
“Apa, sih?” Mereka tertawa sejenak. Tawa yang terdengar oleh Leon karena Bobi membuka pintu ruangan khusus itu sejak mereka tiba sebelum mempersilakan Kanaya masuk.
Kanaya berdeham pelan sebelu berjalan dengan tenang, melewati sebuah lorong kecil yang membawanya sampai ke hadapan Leon yang sedang duduk sambil membaca buku menu di tangannya.
“Hai, Leon. Aku–“
“Sepertinya kamu mudah sekali akrab dengan laki-laki yang baru kamu kenal.” Leon mengangkat wajah dan meletakkan buku menu di meja dengan cara sedikit melemparnya. Kanaya tertegun mendengar ucapan dan sikap Leon yang membuatnya seketika merasa tidak nyaman.
“Maksud kamu Mas Bobi?” Leon mendengus dan tersenyum miring seolah mengejek apa yang baru saja didengarnya. “Jangan salah paham. Aku sama Mas Bobi sebelumnyanya memang sudah–“
“Ada yang minta kamu menjelaskannya pada saya?”
Kanaya meremas rok kirinya sementara tangan kananya mengeratkan pegangan pada cluth yang dipegangnya.
‘Tenang Kanaya. Tenang! Jangan terpancing. Tadi Mas Bobi bilang apa? Leon memang ketus dan dingin karena jabatannya yang berat sebagai CEO baru.’
“Baiklah. Sepertinya kamu bisa tanyakan langsung nanti pada Mas Bobi.”
“Saya tidak peduli.”
Dan jawaban ketus Leon itu berhasil membuat Kanaya kembali menghela napas beratnya dengan perlahan.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” lanjut Leon membuat Kanaya bergegas duduk.
Namun baru saja Kanaya medudukkan diri, Leon kembali berujar dengan kalimat yang membuat Kanaya hampir kehilangan kesabaran.
“Pesan saja yang kamu suka. Dan jangan pergi sebelum pelayan memerintahkan kamu keluar dari sini.”
Leon lantas bangun usai menghabiskan minumnya, melempar serbet yang ia kenakan untuk mengusap sudut bibirnya dengan kasar ke atas meja, membuat Kanaya menjenggit kaget karena serbet itu dilemparkan tepat di depan mejanya.
“Kamu mau ke mana?” sergah Kanaya menghentikan kepergian Leon.
“Kamu tuli?” Kanaya kembali dibuat tercengang. “Tadi saya bilang apa sama kamu?”
“Tapi–“
“Kamu tidak dalam posisi berhak menentukan apapun Kanaya. Ingat, kamu perlu uang bukan untuk membiayai orangtuamu yang terbaring koma dan kedua adikmu yang masih harus bersekolah di Australia?” Leon mendengus angkuh.
Bagai dihantam petir, Kanaya membisu dan terdiam cukup lama sebelum kembali bertanya.
“Tapi nanti bagaimana kalau orangtua kamu bertanya?”
“Untuk apa kamu bersekolah jauh-jauh sampai ke Inggris kalau hal seperti ini saja kamu tidak dapat mengatasinya? Bodoh!” hardik Leon tanpa perasaan, membuat Kanaya membeku di tempatnya hingga pelayan datang dan menanyakan apa pesanannya.
Kanaya tak menjawab, ia masih syok dengan perlakuan dan sikap Leon yang jauh dari bayangan dan ucapan orangtuanya yang malam itu datang mengatakan padanya kalau ia harus menikahi pria yang kini meninggalkannya sendirian di sana.
Tapi seperti yang dikatakan Leon, Kanaya memang tak punya pilihan. Maka seperti janjinya pada sang mama dan papa, Kanaya memendam dalam-dalam sakit hati yang dirasakannya saat ini.
Leon pasti terpaksa sepertinya juga. Mungkin Leon juga berada pada posisi yang sama sepertinya. Karena itu sikap dan kata-katanya sangat tajam serta menyakitkan.
Kanaya berusaha memahami meski dalam hatinya menolak untuk melanjutkan perjodohan ini. Ia pun memilih pergi setelah pelayan mempersilakannya sesuai perintah Leon.
Kanaya tak makan sama sekali makanan yang sudah dipesankan Leon sebelumnya. Ia hanya menghabiskan segelas air putih untuk meredakan tenggorokannya yang serat dan gemuruh di hatinya bergejolak.
Kanaya lantas memasuki lift. Namun ketika lift berhenti di sebuah lantai, Kanaya kembali dibuat syok dengan hal yang membuatnya semakin sakit hati.
Leon yang sedang menunggu lift bersama seorang wanita tampak sedang berciuman panas lalu terhenti ketika pintu lift terbuka.
Mereka bertiga saling bertatapan cukup lama sebelum sang wanita merajuk karena cemburu melihat Leon yang terus menatap Kanaya di dalam lift.
“Sayang, kita jadi ngedate nggak, sih?”
Leon tersenyum miring sambil menatap Kanaya yang terpaku di depannya. Tangannya memencet tombol lift yang berada di luar.
“Kita kembali ke kamar saja bagaimana?”
Wanita berpakaian seksi itu tersenyum menang dan memeluk Leon dengan erat, menyusuri leher Leon dengan hidungnya seiring pintu lift yang kembali tertutup.
Tubuh Kanaya hampir ambruk. Namun ia berhasil berpegangan pada gagang besi yang berada di sampingnya.
Dengan langkah gontai Kanaya memasuki mobil dan meminta supir membawanya pergi ke sebuah lokasi.
Di sana, Kanaya menaiki sebuah gedung kosong yang akan dibangun menjadi sebuah hotel mewah namun terhenti karena biaya yang tidak ada.
Hotel itu adalah salah satu rancangan papanya sendiri yang sengaja dibuat sebagai hadiah ulang tahun pernikahan ke tiga puluhnya nanti bersama sang istri.
Tapi takdir berkata lain, kini Kanaya menyaksikan sendiri bahwa mimpi itu terhenti beriringan dengan kondisi mama dan papanya yang juga dinyatakan koma.
Di sana… di lantai yang tinggi itu, Kanaya kemudian menangis sejadi-jadinya. Melepaskan sesak yang menghimpit dadanya sejak pertemuan pertamanya dengan Leon di restoran hotel tadi.
"Bunda tahu kesalahan Leon sulit dimaafkan. Tapi Bunda harap kalian bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang baik. Bagaimanapun, Bunda dan Ayah bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada kamu, Kanaya."Setelah pulang dari rumah sakit dan beristirahat beberapa hari, Kanaya akhirnya memutuskan pindah rumah.Bunda Leon mengusap ujung matanya yang basah. Ia terpaksa melepas kepergian Kanaya yang ingin memulai hidup sendiri di rumah barunya selama menunggu perceraiannya dengan Leon."Iya, Bunda. Kanaya juga minta maaf kalau selama ini Kanaya belum menjadi anak yang baik untuk Bunda dan Ayah.""Kalau perlu sesutu, jangan sungkan hubungi Ayah dan Bunda," pesan ayah Leon diangguki Kanaya.Kanaya lantas masuk ke dalam mobil. Ia diantar ke rumah kontrakan sederhana yang akan ditempatinya sementara.Meski kedua mertuanya sudah menawarkan apartemen mewah untuk Kanaya tinggali, namun Kanaya merasa lebih nyaman dengan pilihannya sendiri.Selain karena Kanaya ingin lepas dari keluarga Leo
"Kanaya?"Kanaya yang baru selesai makan siang kaget begitu melihat kehadiran sabahabat lama di ruang perawatannya.""Di? Bener itu kamu, Di?"Didi mengangguk lalu menghampiri Kanaya dan memeluknya."Kangen ih! Kamu ke mana aja, sih?""Kamu yang ke mana aja? Btw kamu kok tau aku di sini?" tanya Kanaya membuat Didi mengulum bibir resah sambil menatap Kanaya."Leon?" tebak Kanaya diangguki Didi pelan. Namun diluar dugaan Kanaya tersenyum pada sahabatnya tersebut. "Ada untungnya punya suami kaya raya.""Kanaya." Yang diucapkan Kanaya terdengar menyedihkan bagi Didi."Kamu apa kabar?" alih-alih Kanaya."Aku baik.""Datang sama siapa? Kata Clarisa kamu di Singapur. Udah nikah.""Sama Bani. Tapi dia nunggu di mobil. Soalnya anak kami masih kecil. Nggak boleh masuk rumah sakit 'kan."Kanaya melebarkan bola matanya lucu. "Bani yang dulu..."Mereka lalu tertawa hingga obrolan-obrolan masa lalu meluncur begitu saja. Membuat Kanaya terlihat lebih ceria."Nggak nyangka banget. Kalian nikah sampe
Tiba di hotel Leon segera membersihkan dirinya. Ia memilih berendam di dalam bathup guna menenangkan keresahan yang kini mulai mengganggunya setelah pertemuan dengan Didi dan Bani.Leon mulai menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Kanaya. Namun, meski masalalunya terbuka kembali, Leon masih memerlukan bukti yang kuat.Ia harus balas dendam pada orang-orang yang sudah membuat ia salah sangka pada Kanaya. Batinnya bergejolak.Memikirkan Kanaya yang sedang berada di rumah sakit membuat Leon berbegas menyelesaikan mandinya dan menelepon sang Bunda."Ada apa?" suara ketus Bunda Leon membuat sang anak menghela napas pelan."Kanaya gimana kondisinya, Bund?""Perlu kamu tahu? Bukannya kamu benci sama dia?""Bund, tolong. Leon tahu Leon salah. Tapi Bunda juga nggak bisa menyalahkan Leon sepenuhnya. Semua ini salah paham.""Tapi Bunda dan Ayah tidak pernah mendidik kamu untuk menjadi laki-laki jahat sejahat apapun perlakukan orang terhadap kita. Apalagi Kanaya itu istri kamu. Dia pere
Leon tiba di Bandara Changi Air Port Singapura. Lima jam setelah pertemuannya dengan Clarisa di supermarket, sepupu dari Didi, sahabat Kanaya saat masih bersekolah. Ya, setelah berbicara di telepon melalui Clarisa, Leon bergegas menyambangi Didi yang kini tinggal di Singapura. Leon benar-benar tak sabar ingin menanyakan semua hal yang kini bergumul di dalam kepalanya. Dan demi hal itu, Leon rela meninggalkan apapun yang seharusnya ia kerjakan saat ini. Termasuk meeting pentingnya dengan seorang klien dari Jerman. “Bisa kita bertemu sekarang?” “Hah? Kamu di mana memangnya?” “Aku sudah tiba di Singapura,” terang Leon sambil berjalan menuju mobil yang menunggunya. “Arya, kamu gila?” seru Didi di seberang sambungan telepon sana. “Kita harus bertemu. Ini tentang Kanaya,” ujarnya kali ini. “Hah? Kanaya? Maksud kamu?” Sebelumnya Leon memang tidak membahas soal Kanaya saat berbicara dengan Didi. Karena itu kali ini ia menggunakan nama Kanaya agar Didi bisa segera bertemu dengannya. “
Leon baru saja menceritakan masalalu yang membuatnya sangat membenci Kanaya di hadapan kedua orangtuanya.Kanaya hanya bisa menitikkan air mata. Selama ini ia bertanya-tanya kenapa dulu Leon yang semula ia kenal sebagai Arya tega memperkosanya di gudang sekolah. Dan kini Kanaya tahu kenapa Leon sangat membencinya.Leon mengira Kanaya lah yang menjadi penyebab dari semua kesalahpahaman yang sudah berlangsung hingga belasan tahun lamanya.“Apa benar begitu Kanaya?”Kanaya menggeleng. “Apa Bunda dan Ayah ingat waktu kakek dan nenek Kanaya meninggal?”Tuan Barata, Ayah Leon lantas menatap sang istri. Mencari-cari jawaban yang tampak kesulitan untuk diingat.“Waktu Tuan Wardana meninggal, bukankah kita sedang berada di Monako, sayang?”“Ayah benar. Waktu itu bukannya Mbak Sarah sedang ulang tahu, ya? Kita mengadakan pesta di resort,” terang Bunda Leon diangguki sang suami. Lanjutnya, “Kalau tidak salah tanggal lahir Mbak Sarah…”“7 Oktober?” Kanaya lebih dulu menyela.“Bagaimana kamu tahu?
Flash back.... "Ngegambar terus, sekali-kali gambar masa depan kamu donk, Ya."Kanaya terkekeh dengan celoteh sahabatnya tersebut. "Kamu ngomong apa, sih, Di? Sana jajan ke kantin aja. Daripada ganggu aku." Didi berdecak. Namun tak bicara lagi setelahnya. Ia hanya mengamati kegiatan Kanaya yang sedang menyelesaikan desaian pakaian yang akan ia gunakan untuk mengikuti lomba. "Akhirnya!" seru Kanaya lega lalu meregangkan tangan dan badannya. "Ikut aku, yuk!" Tanpa aba-aba Didi langsung meraih tangan Kanaya dan mengajaknya keluar kelas."Eh, mau ke mana?"Didi tak menjawab. Ia bergegas membawa Kanaya dengan cepat. "Di, pelan-pelan dong!" "Duh, nanti keburu bel masuk, Kanaya.""Memang kita mau ke mana?" ulang Kanaya semakin penasaran."Nanti juga kamu tahu."Didi rupanya membawa Kanaya menuju gudang belakang sekolah. Dan di sana sudah menunggu seorang anak laki-laki yang terlihat mondar mandir resah dengan segenggam bunga daisy yang ia sembunyikan di balik punggungnya."Arya!" Did