"Mas? Bangun, mas? Kita solat subuh yuk," bisikku lembut sambil menggoyangkan sedikit tubuh Bara yang masih meringkuk di sampingku. Aku melihat wajahnya yang setengah tertutup selimut.
"Eunghh... apa sih," Bara hanya bergumam lirih, lalu menarik selimut yang hampir tersingkap, menutup hampir seluruh tubuhnya hingga wajahnya pun ikut tersembunyi di balik kain itu. Nafasnya terdengar berat, malas.
"Mas?" Aku meraih sudut selimutnya dengan niat untuk menariknya, tapi urung kulakukan. Aku menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang ia rasakan. "Ya sudah, aku duluan ya?" ucapku akhirnya, beranjak perlahan dari ranjang.
"Hemm," Bara hanya bergumam singkat, suaranya terdengar samar dari balik selimut.
Aku menghela nafas, memutuskan untuk pergi ke kamar mandi seperti rutinitasku setiap pagi. Di kamar mandi, aku merasakan dinginnya air menyapu kulitku. Rambutku masih basah saat aku selesai mengenakan pakaian.
Dari sudut ruangan, aku melihat Vina berjalan sambil menguap besar, langkahnya terseret seolah masih berada di alam mimpi. "Cieee yang habis keramas subuh-subuh," godanya dengan mata setengah terpejam.
Aku tersenyum kecil, mengerti ke mana arah pembicaraan Vina. Namun, apa yang ia harapkan tak pernah terjadi.
Semalam, bahkan tidak ada apa-apa yang terjadi antara aku dan Bara. Kami tidur dalam diam, bahkan saling membelakangi satu sama lain. Tidak ada yang mengalah untuk tidur di lantai. Ada rasa lega, tapi juga ada kesedihan yang menggumpal di dada. Mungkin, memang ini awal yang harus kuterima.
Hari ini, hari kedua aku menjadi istri dari Bara Aditama, putra dari keluarga pengusaha sukses. Hari ini, aku akan diboyong ke rumah Bara, yang sudah siap untuk menjadi tempat tinggal kami. Rumah yang katanya sudah lama dimilikinya.
"Buk, Zahra pamit dulu ya? Zahra janji nanti bakal sering-sering main ke sini. Kalau Ibu ada apa-apa, jangan lupa kabarin Zahra cepat-cepat, ya?" ucapku sambil memeluk Ibu erat-erat.
Mataku mulai berkaca-kaca, begitu juga Ibu. "Iya, Nduk... Kamu jaga diri baik-baik di sana ya? Jadi istri yang berbakti sama suaminya. Nurut sama Bara, Ibu cuma bisa mendoakan kamu bahagia dan semoga segera dikaruniai momongan."
"Iya, Buk..." jawabku, suaraku serak menahan haru. Aku memeluk Ibu lebih erat, menumpahkan semua rasa yang berputar di dadaku.
"Kami pamit, Buk," ucap Bara sebelum ia mencium telapak tangan Ibu dengan sopan.
"Titip anak Ibuk, ya?" kata Salimah sambil menahan air matanya.
"Iya, Bu," jawab Bara singkat, sambil menundukkan kepala sedikit.
Aku lantas menoleh ke arah Vina dan mengulurkan tangan. "Vina, titip Ibu ya? Kalau Mbak kirim pesan, terus lama balesnya, awas aja kamu!"
Vina tersenyum jahil, "Iya beres, Kak. Tenang aja!"
Kami berpelukan sebelum aku dan Bara masuk ke mobil. Bara memilih duduk di depan, di samping sopir, sementara aku duduk di belakang. Aku tidak terlalu mempersoalkan itu. Mungkin memang begini sikap asli Bara yang irit bicara dan cenderung menjaga jarak.
Setelah sekitar empat jam perjalanan, kami akhirnya tiba di sebuah rumah besar bergaya modern minimalis. Hari sudah menjelang sore ketika kami sampai. Rumah itu luas, dengan halaman depan yang rapi dan pagar tinggi mengelilingi.
"Eh, mantu Mama sudah pulang?" suara ceria Widya, ibu Bara, menyambut kami dengan tangan terbuka. Sepertinya, mitos tentang mertua yang menakutkan itu tidak selalu benar. Widya sedari awal selalu ramah dan hangat terhadapku.
Aku segera mencium telapak tangan Widya, lalu Adiwijaya, ayah Bara. "Mama sudah lama di sini?"
"Enggak kok, Mama sama Papa juga baru sampai. Mama bawain makanan buat kalian berdua."
"Ya udah, Ma, kita pulang yuk?" ajak Adiwijaya sambil menatap istrinya.
"Loh, kok buru-buru sih, Pa?" tanyaku sedikit terkejut.
"Nggak apa-apa, besok-besok Papa sama Mama bisa mampir lagi ke sini," ujar Adiwijaya.
Widya mengangguk, senyum hangat tak pernah pudar dari bibirnya. "Kalau gitu, Mama pergi dulu ya. Kamu istirahat, ya," katanya sambil berlalu bersama suaminya.
Seusai kepergian mereka, aku melangkah ragu ke dalam rumah megah itu. Setiap sudut ruangan seakan berbisik tentang kehidupan yang berbeda, kehidupan yang belum pernah kucintai. Langkahku terhenti ketika sosok Bara muncul dari balik pintu kamar, Bara sudah mengenakan pakaian yang rapi, dengan rambut yang masih basah.
"Mas, udah mandi?" tanyaku mencoba mencairkan suasana.
"Hem," Bara hanya menggumamkan jawaban, sambil terus menggosok rambutnya dengan handuk.
"Ini, Mama bawain makanan. Kita makan bareng yuk?"
"Kamu makan aja sendiri. Aku mau pergi."
"Loh, mau ke mana?" tanyaku terkejut.
"Bukan urusan kamu."
Aku terdiam, mencoba meredam emosi. "Tapi Mas, aku ini is..."
"Aku tahu kamu istri aku," potong Bara tajam. "Tapi aku nggak suka kamu tanya-tanya kayak gitu."
"Loh, maksudnya?" aku tertegun, tak menyangka reaksinya akan sekeras itu.
"Urus aja urusan kamu sendiri!"
"Tapi Mas, kita kan sudah menikah. Suami istri itu harus saling terbuka, Mas. Kata Pak Ustadz, kunci utama dalam pernikahan adalah komunikasi," jelasku pelan, mencoba memberi pengertian tanpa terkesan menggurui.
"Kamu berisik," ucap Bara dingin, sembari membuka laci. Pria itu tampaknya sedang mencari sesuatu.
Aku hanya bisa menatap nanar ke arah Bara. Sikap dinginnya menyakitkan, namun aku tak tahu harus berbuat apa. "Asal kamu tahu, Mas, bukan cuma kamu yang merasa terpaksa dengan pernikahan ini," batinku. Bara lalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata, meninggalkanku dengan perasaan hampa.
"Sabar, Zahra... sabar..." gumamku pelan, mengelus dadaku yang terasa semakin sesak.
Mataku lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, mencoba menenangkan diri. Pandanganku tiba-tiba terhenti pada sebuah bingkai foto di dinding.
Deg!
Jantungku serasa berhenti sesaat. Di dalam bingkai itu, tampak foto Bara dengan seorang wanita cantik. Seperti foto prewedding.
"Apa ini mantan kekasih Bara? Tapi kenapa, foto ini... kenapa masih dipajang di sini?"
Keesokan harinya, di pagi hari, seperti biasanya, aku duduk di meja makan sambil mengaduk kopi, memperhatikan Hana yang turun ke dapur. Tumben, pikirku. Setelah kejadian kemarin, Hana tiba-tiba bersikap manis di depan Bara. Wajahnya seakan dipoles ulang menjadi istri yang penuh perhatian. Dia duduk di sebelah Bara, bahkan dengan penuh manja menyuapi suaminya.Aku hanya melirik tingkah mereka dengan pandangan datar, menahan rasa muak melihatnya. Seolah-olah Hana tidak pernah melakukan kesalahan apa pun."Mas, aku besok mau kerja lagi."Bara menatapku sebentar, lalu mendengus, "Emangnya kamu bisa kerja?""Paling jadi pelayan kafe, Mas?" celetuk Hana sambil melirik ke arahku dengan senyum sinis.Aku tersenyum tipis. Kayaknya mereka nggak tahu aku ini siapa, batinku."Emang kenapa kalau jadi pelayan kafe? Yang penting halal, kan?" jawabku tenang.Hana mendadak terdiam, tak mampu melanjutkan ejekannya. Bara hanya berdehem. "Terserah kamu."Setelah sarapan, Bara bergegas pergi ke kantor sep
Jari-jariku berhenti menari di atas keyboard. Layar laptop memudar menjadi hitam, memantulkan bayangan wajahku. Pekerjaan terakhir terkait kepindahanku akhirnya rampung.Aku melirik ke arah Hana yang baru saja pulang. Sejak pagi tadi dia sudah pergi, dan baru sekarang, ketika langit sudah gelap. Aku tidak peduli ke mana dia pergi, dengan siapa, atau bagaimana dia berdandan. Pakaian minim yang dia kenakan, dengan make-up tebal dan mencolok, sangat bertolak belakang dengan penampilanku.Barangkali mungkin tipe wanita seperti Hana ini yang disukai Bara. Pantas saja Bara pernah bilang kalau dia tidak selera denganku. Tapi terserahlah... Aku sudah tidak peduli lagi. Menjadi istri di atas kertas ternyata tidak terlalu buruk, aku tidak perlu repot-repot melayani Bara yang semaunya sendiri. Batinku sambil melirik Hana yang masuk ke kamarnya.Tak lama kemudian, Hana keluar dari kamarnya dengan pakaian yang lebih sederhana, namun tetap mempertahankan kesan seksi."Mbak Zahra sudah makan malam?"
Aku baru pulang dari pasar dengan tangan penuh belanjaan. Begitu melangkah ke dalam rumah, pemandangan yang menyambutku adalah Bara yang sedang merapikan dasinya di meja makan, sementara Hana sibuk memainkan ponselnya sambil menopang dagu. Aku berlalu begitu saja melewati mereka tanpa ada niatan untuk menyapa."Ke mana saja kamu? Masih pagi sudah kelayapan," tegur Bara."Habis dari pasar," jawabku singkat sambil berjalan menuju dapur, mulai sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam kulkas."Apa kamu nggak bisa pamitan dulu kalau mau pergi?"Aku mendesah dalam hati, enggan memperpanjang masalah kecil ini. "Aku perginya pagi banget, lagian kenapa aku mesti pamit sama mas?" tanyaku sambil melanjutkan memasukkan sayuran dan daging ke dalam kulkas, tak berhenti mengatur barang-barang yang kubawa dari pasar."Kamu nggak ngerti sopan santun ya?" Bara mulai meninggikan suaranya, seolah tidak puas dengan jawabanku."Mas, sudah, jangan gitu sama Mbak Zahra. Barangkali Mbak Zahra itu orangnya e
"Aku mau Hana tidak tinggal di satu atap yang sama dengan kita."Bara terdiam, wajahnya tampak sangat kaget.Aku tahu, apa yang kuminta bukanlah hal kecil. Tapi jika dia tidak bisa memenuhi permintaanku, aku tak akan pernah kembali lagi ke rumah."Saya akan pikirkan, sekarang yang terpenting adalah? Kamu pulang dulu ke rumah," jawab Bara singkat.Aku mengangguk setuju, meskipun sejujurnya tanpa rayuannya pun aku memang harus kembali pusat kota. Ada pekerjaan yang harus aku urus, dan aku memanfaatkan kesempatan ini. Aku tidak ingin Bara tahu rencanaku yang sebenarnya.*****Setibanya kami di rumah Jakarta, Hana yang membukakan pintu gerbang untuk kami. Wajahnya nampak ramah saat melihatku keluar dari mobil."Mbak Zahra, aku turut berduka ya atas meninggalnya ibuk," ucapnya lirih, suaranya serak diiringi batuk kecil yang terdengar menyakitkan."Ya," jawabku singkat, terlalu lelah untuk berbasa-basi.Begitu memasuki halaman rumah, hatiku mencelos. Rumah yang biasanya rapi dan terawat itu
Nasib segera menunjukkan kepadaku, betapa sulitnya menjaga seseorang. Karena aku telah kehilangan yang paling berharga di dalam hidupku.Aku menatap buku Yasin di pangkuanku, sampulnya dihiasi foto almarhum Bapak. Belum genap seratus hari sejak Bapak meninggal, kini Ibuk sudah menyusul. Aku memejamkan mataku perlahan, air mataku enggan luruh, bulir bening itu mungkin telah surut karena sudah acap kali tertumpah saat masa-masa aku berkabung.Orang-orang yang menghiburku sejak tadi malam satu per satu, beranjak pergi. Hanya Bulek Ratmi dan Vina yang masih di sini, duduk di sebelahku."Zahra... yang sabar ya," suara lembut bulek terdengar.Aku mengabaikannya, seperti aku mengabaikan semua kata-kata penghibur sejak tadi, terasa hampa, tanpa makna.Aku sepenuhnya menyadari bahwa, kematian adalah kepastian, sebuah takdir yang tak bisa dihindari. Aku sadar, manusia datang dan pergi, hanyut dalam arus waktu seperti kepingan puzzle yang terserak, sesaat menyatu, lalu terpisah tanpa pernah bena
"Biar Gunawan yang jelasin ke kamu. Kalian mengobrol di luar saja, Ibuk mengantuk, mau istirahat." tutur Ibuk.Aku dan Pak Gunawan meninggalkan ruangan, mencari tempat yang lebih tenang di koridor rumah sakit."Maksud Ibuk tadi apa ya, Pak?" tanyaku penasaran."Maksud Ibuk Salimah itu... mendiang Bapak Usman, sebenarnya punya saham di perusahaan Adiwijaya. Perusahaan itu sebenarnya adalah usaha yang dirintis bersama antara Pak Usman dan Pak Adiwijaya.""Ini serius? Kenapa Bapak sama Ibuk nggak pernah cerita soal ini?"Pak Gunawan tersenyum tipis. "Mendiang Pak Usman lebih suka kehidupan sederhana di kampung. Selama ini, saya yang mewakili beliau mengurus banyak hal. Sesuai wasiat beliau, semua saham tersebut akan dialihkan ke Mbak Zahra sebagai ahli waris satu-satunya."Aku tertegun. "Tapi... saya kurang tahu soal saham, Pak?""Saya bisa bantu Mbak Zahra.""Pak Gunawan, bisa tarik semua saham dari perusahaan Adiwijaya?""Tentu bisa. Tapi kenapa? Apa Mbak Zahra punya niatan untuk..."A