MasukSebuah sensasi mulai menjalari syaraf Faya. Dalam keadaan masih terpejam, dia merasai darahnya terus berdesir.
Dia berpasrah saat tangannya dituntun lepas dari mulut. Sementara tangan yang merambati punggungnya bergeser ke arah leher depan.
“Faya ….”
Suara yang asing bagi telinga Faya.
Perempuan itu sontak membuka mata. Terbengong sesaat, sebelum akhirnya mendorong tubuh Revan dengan kedua tangan. Kemudian dia berdiri, berjalan ke sofa sambil memegangi pelipisnya.
“Astaga. Ini gila,” gumamnya, sembari menghempaskan pantat dengan kasar. “Gila!”
Faya menoleh. Melihat pada Revan yang tampak terduduk dengan tubuh kaku. Namun pandangan lelaki itu lurus kepada dirinya.
“Apa Alex akan menghukummu kalau kamu tidak melakukannya?” Faya menyugar rambut. Tangannya bergetar di sela helaian rambut hitamnya.
Revan mengukir senyum samar. “Seharusnya itu pertanyaan saya. Apakah Pak Alex akan menghukum kamu jika kita tidak berhasil melakukannya?”
Faya membuang muka. Mendadak merasa bodoh dengan pertanyaan itu. Entahlah, tadi hanya terlintas begitu saja dalam pikirannya.
“Saya mungkin hanya akan kehilangan pekerjaan,” ujar Revan. “Tapi Pak Alex tetap akan mencari lelaki yang bisa melakukannya kan?”
Perempuan tiga puluh dua tahun itu menggigit bibir.
“M-maaf, saya menyimpulkan sendiri soal itu. Karena yang saya dengar Pak Alex adalah pewaris tunggal yang belum dikaruniai keturunan, jadi….” Revan menghela napas di ujung kalimat. Seakan tidak berani untuk meneruskannya.
Faya menggigit bibirnya semakin dalam. Paham apa yang Revan maksud, dan itu kenyataan yang menyakitkan.
Hening.
“Saya tidak akan memaksa. Kalau sekiranya kamu jijik dengan saya.” Revan terlihat menatap langit-langit kamar. Mengeluarkan lenguhan tipis, tetapi terdengar panjang. Seperti menahan sesuatu. “D-dan saya jamin, kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Faya tercenung. Mencerna kembali kalimat Revan. Lalu berandai-andai, jika dia menolak Revan … mungkin Alex benar-benar akan menghukumnya. Kemudian suaminya itu akan mencari pria lain, sebab Alex bersikeras mempunyai keturunan dengan cara begini.
Jangan-jangan, setelah dia menolak Revan, Alex akan mencarikan lelaki yang berani memaksanya.
Ah, Faya melenguh lirih. Lalu berdiri perlahan, dan berjalan ke arah nakas di samping tempat tidur. Dia meraih tasnya, yang jaraknya kurang dari satu meter dengan Revan. Membuka dengan tangan sedikit bergetar.
“Aku akan minum ini.” Faya menunjukkan sebuah botol kecil. “K-kamu boleh melakukannya setelah aku tertidur.”
Revan tampak terkesiap. “Jangan, nanti—”
“Aku tidak melakukannya untuk bersenang-senang, aku hanya ingin menunjukkan bakti pada suamiku,” ujar Faya sembari menelan satu butir obat tidur dosis rendah. Dia sudah memikirkan soal ini sewaktu Alex mulai membahas ide gilanya.
Suaminya itu tetap bersikeras untuk mendapatkan anak dari rahim Faya, tanpa meninggalkan catatan apa pun. Dia takut rahasianya terbongkar di kemudian hari, sehingga Alex menemukan rencana di luar nalar ini.
Bagi suaminya, membayar orang lemah yang tidak mempunyai kekuatan untuk melawan, akan lebih aman daripada meminta bantuan medis. Alex begitu takut jika dokter yang menolongnya justru suatu saat akan bersaksi untuk mengambil bayinya.
Faya menghela napas dalam-dalam. Menatap Revan yang masih terdiam, kelihatan bingung.
“Kamu masih tampak muda. Apa kamu sudah menikah?” Faya berusaha tersenyum.
Revan terlihat menelan ludah. Menggerakkan lehernya samar. Entah itu menggeleng atau mengangguk.
“Lakukan saja tugasmu, Revan. Mari kita berdoa apa yang kamu tanam hari ini, akan menghasilkan bayi di rahimku. Jadi urusan kita tidak berkepanjangan.” Faya naik ke tempat tidur. Merebahkan badannya, memejamkan mata. Berharap obat itu segera bekerja.
Tanpa terasa air matanya mengalir.
***
Faya terbangun. Agak terkejut ketika menemukan dirinya bukan berada di kamar tidurnya sendiri. Namun dia cepat ingat bahwa ini adalah salah satu kamar di vila milik keluarga Chandra, orang tua Alex.
“Astaga!” Faya reflek terduduk. Dia ingat jika sebelumnya ….
“Revan? Kamu masih di sini?” Faya terpekik menemukan Revan yang tadi terlihat sedang menekuri ponselnya.
“S-sudah bangun?” Revan berdiri. Bahasa tubuhnya terlihat salah tingkah. “S-saya tidak bisa meninggalkan kamu. Takut kalau Pak Alex ….”
Lelaki itu terlihat melirik pintu.
“Berapa lama aku tidur?” tanya Faya.
“Hampir tiga jam.” Revan menjawab dengan canggung.
Faya menggigit bibirnya. Bukan merespon jawaban Revan, tetapi dia baru sadar ada cairan lengket di pangkal pahanya. Dan tiba-tiba organ pribadinya berdenyut nyeri. Perempuan itu menunduk, perasaan terhina mendadak menyergapnya.
“M-maafkan saya.” Suara Revan terdengar tercekat.
“Pergilah.” Faya kembali merebahkan dirinya. Membenamkan wajah ke bantal dalam-dalam. Menumpahkan sakit yang tidak bisa dia teriakkan.
Pintu terdengar dibuka.
“Sudah?” Suara Alex jelas mengudara. “Kamu benar-benar meniduri istriku kan? Aku akan mengeceknya, dan jangan harap kamu bisa selamat kalau berani berbohong!”
Faya remuk redam. Dia merasa tak lagi mempunyai harga diri. Terlebih saat Alex mendekatinya, hanya untuk menyentuh celana dalamnya. Seakan memastikan ada jejak milik Revan di sana.
Sepertinya Revan sadar jika sedang diperhatikan, lelaki itu pun menoleh. Lalu terlihat mengusap kedua pipinya bergantian dengan buru-buru. Setelah itu tampak cepat membuang muka.Faya pun menunduk. Perempuan itu menghabiskan minumnya. Lalu bergerak dan duduk di sofa. Entah kenapa, dia salah tingkah sendiri.Tidak berapa lama, pintu belakang terbuka. Revan muncul di sana. Wajah putihnya menampakkan senyum, masih seperti senyum Alex, tetapi matanya kentara memerah.“Faya… sudah bangun?” tanyanya. Revan ikut duduk. Namun memilih di kursi dekat dapur. Jarak mereka sekitar empat meter.
“Eh, m-maaf.” Revan menelan ludah.Faya menutup wajah menggunakan kedua tangannya sendiri. Mencoba menghentikan suara isak yang tak kuasa dia tahan lagi. Bahu perempuan berkulit putih bersih itu berguncang, dan dadanya mendadak terasa sesak.Beberapa saat terus begitu, sampai Faya mendengar bunyi benda digeser di atas meja. Menimpa suara isak tangisnya.Spontan Faya melonggarkan jari jemari, sehingga dia bisa melihat tangan Revan yang berbulu halus sedang memindahkan mangkuk mie milik Faya. Revan menempatkan mangkuk itu berjejer dengan mangkuk miliknya. Kemudian lelaki tersebut terlihat mengelap meja di bagian yang paling dekat dengan Faya.Perlahan tangan Faya luruh. Wajahnya yang basah menatap Revan. Sedikit mengernyit.Revan yang tampak menyadari sedang dipandang, balas menatap Faya. Menyeringai seraya menunjuk meja, persis di posisi mangkuk tadi. “Mm… ini… barangkali kamu butuh meja untuk menangis.”“Hah?” Faya mengernyit. Mulutnya bahkan sampai terbuka melongo.“Gini maksudnya….”
“Kenapa kamu nggak kunci pintu?” bentak Faya. Dia kebingungan. Antara mau berbalik, tetapi merasa kencingnya sudah tidak bisa ditahan lagi. Namun jika tetap di situ, dia merasa malu dengan ketelanjangan Revan.“L-loh s-sudah tadi kok. Apa rusak—”“Pakai handuk, dan cepat kamu keluar!” pekik Faya. “Aduh… aku ngompol!”Air mengalir dari pangkal paha Faya. Turun cepat membasahi lantai.Revan yang semula panik, harus menahan tawa sembari menyambar handuk. “I-ini a-aku masih perlu keluar atau… ppfff….”“Kenapa ketawa? Ini semua salahmu!” geram Faya. Dia mundur, tetapi sial, lantai menjadi licin karena air seninya sendiri.Faya merasakan tubuhnya oleng. Matanya menangkap sosok Revan yang datang bergegas ke arahnya, mengulurkan tangan. Hap, akhirnya tangan mereka bertautan.Sayangnya, lagi-lagi sial, handuk yang melilit pinggang Revan melorot, menyebabkan kaki lelaki itu terserimpet. Mereka pun jatuh. Posisi Revan di atas, tetapi dia sigap menangkupkan tangan untuk melindungi kepala Faya.K
“Alex bilang akan membawamu ke tempat terapi sekali lagi, dan dia minta waktu enam bulan dari sekarang. Dia yakin sekali kamu bisa hamil,” kata Papa Agusto.Faya menutup wajah dengan kedua tangannya. Mata perempuan berhidung mancung itu mulai terasa panas.“Alex sangat mencintaimu, Faya.” Papa Agusto menghela napas, lebih panjang dari yang pertama. “Alex menolak untuk menikah lagi, demi kamu. Tapi keluarga ini perlu penerus… jadi Papa harap kamu ikut membujuk Alex untuk menikah lagi, jika ternyata kamu gagal hamil.”Diam. Mulut Faya terasa dikunci. Kepalanya masih penuh. Terlalu penuh.Bahkan sampai Alex datang dan membawa Faya pergi. Meninggalkan rumah mewah mereka dengan dalih pergi ke tempat terapi.“Kamu sekarang tau kenapa kamu harus cepat-cepat hamil?” Alex, yang menyupir sendiri mobilnya, berkata tanpa menoleh pada Faya.“Kenapa Pap bilang sama Papa kalau aku yang man—”“Kalau kamu nggak bisa menjalankan misi ini, mungkin Sofia bisa,” tukas Alex. Derainya menguar beberapa deti
Faya menelan ludah. Dia melihat badan tegap Alex tengah membelakanginya, sementara Sofia berdiri tepat di depan lelaki itu.“Kamu pasti suka tubuh muda dan kencang ini kan, Al? Spesial bagian sini. Atau di….” Sofia terkikik-kikik seraya menyentuh dadanya sendiri, lalu tanpa malu, tangannya turun ke bawah perutnya.Mendadak derai tawa Sofia musnah. Matanya telah bersitatap tanpa sengaja dengan Faya, yang berada tiga meter di belakang Alex. Namun satu detik kemudian, cekikikannya justru terdengar mengudara lebih riang. “Mas, aku siap melahirkan Alex junior. Empat atau lima, pokoknya sebanyak kamu mau. Rahimku ini subur, tidak kering seperti milik perempuan tua tidak berguna itu.” Sofia mengambil tangan Alex. Terlihat jelas dia ingin mengarahkan tangan Alex ke dadanya.Faya cepat berdehem.Alex spontan terperanjat. Membalikkan badan. “Faya… ternyata kamu di sini.”“Suamiku….” Faya mendekat. Meraih lengan Alex. Dengan sengaja dia menirukan nada genit Sofia. “Kamu mencari aku kan, Sayang?
“Agh ….” Faya menjerit tertahan ketika milik Alex mulai masuk ke tubuhnya. Perih, berdenyut-denyut sakit.Gerakannya kasar, dan terburu-buru seperti biasa. Alex langsung mengguncang tubuh langsing itu, mempercepat ritme-nya sembari mencengkeram kedua tangan Faya yang terasa meremukkan.“P-pap …. “ Faya meringis. Memejamkan mata, sebab perih yang tiada terkira di bawah tubuhnya. Terasa bagai sebilah tombak tajam yang digesekkan ke daging yang belum basah sempurna.“A-ah… P-pa… P-pap….” Perempuan seratus lima puluh delapan senti meter itu terus menjerit tertahan.Alex yang sedari tadi mengguncang sembari mendongak, kini menggerakkan leher untuk melihat wajah Faya yang tengah berjuang menahan sakit. Dia menyeringai lebar. “Katakan, Sayang. Katakan saja….”Bibir Faya bergetaran. Air mata turun perlahan.Melihat wajah Faya yang tampak lemah dan kewalahan, Alex justru tertawa, seolah-olah dia telah mencapai kemenangan atas permainan panasnya.Dengan kasar lelaki itu membalik tubuh istrin







