Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu.
Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik.
“Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah.
Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang.
Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela.
“Lama banget perginya.”
Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di sana,” jawab Kinara.
Kepala Mela mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, pulang kantor nanti kamu ada acara?”
Gerakan tangan Kinara yang sedang membuka halaman catatan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan membalas tatapan Mela yang penuh harap.
“Kamu mau ajak aku ke suatu tempat?”
Kepala Mela mengangguk. “Aku mau beli baju baru, bisa temani aku?”
Kinara menipiskan bibirnya. “Em...maaf, malam ini aku ada acara.”
Bibir Mela mengerucut. “Akhir-akhir ini kamu selalu pulang cepat, sibuk banget ya, Kin?”
Ada perasaan bersalah yang menyusup ke dalam hati Kinara karena dia tak bisa menceritakan apa pun kepada Mela, padahal biasanya Kinara selalu jujur kepada rekan kerja sekaligus sahabatnya ini.
“Iya, maaf ya, Mel.”
***
“Sudah Ibu duga bahwa Dipta pasti tidak mau datang ke sini,” lirih Inggit.
Kinara menggeleng. “Bukan begitu, Bu. Mas Dipta cuma lagi sibuk saja.”
Wanita paruh baya itu tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu menghibur Ibu dengan cara seperti itu, Ibu sudah tahu bahwa Dipta enggan datang ke sini.”
Pandangan Kinara turun ke bawah, dia memperhatikan cairan teh chamomile dalam genggaman tangannya. “Tidak ada alasan Mas Dipta tidak mau datang ke sini jika bukan karena pekerjaan, Bu.”
“Sayangnya dia punya alasan lain.”
Wajah Kinara kembali terangkat, dia memperhatikan wajah ibu mertuanya yang kini duduk di sampingnya. “Kinara boleh tahu apa alasannya?”
Mulut Inggit bungkam, dia menyesap tehnya dengan gerakan yang anggun, lalu menaruh cangkir itu ke atas tatakan yang disimpan di meja sofa.
“Bagaimana hubungan kamu dengan Dipta?”
Kinara menghembuskan nafas pelan, rupanya Inggit memilih untuk mengalihkan pembicaraan ketimbang menjawab pertanyaan Kinara, itu artinya Kinara tak boleh mendesaknya untuk bicara. “Kami baik-baik saja,” ucap Kinara, berbohong.
“Dia memperlakukanmu dengan baik?”
“Iya.”
Kedua sudut bibir Inggit terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman. “Syukurlah, Ibu sempat khawatir dengan kalian berdua. Mau bagaimanapun kalian ini menikah karena dijodohkan, pasti tidak mudah untuk bisa hidup berdua meskipun sudah saling mengenal sejak kecil.”
Kinara mengangguk, tapi akan lebih mudah jika saja Dipta memperlakukannya dengan baik, sayangnya pria itu tak bisa diajak bekerja sama.
“Oh iya, berarti kamu sudah tahu kebiasaan buruk Dipta ketika sedang tidur?”
Kinara mengernyit bingung, dia tidak tahu karena tidak pernah tidur dengan Dipta. “Mungkin aku tidur terlalu nyenyak sampai tidak tahu soal itu, Bu.”
Suara tawa ringan Inggit mulai terdengar. “Dia sering mengigau dan bermimpi buruk, hampir setiap malam.”
Ekspresi wajah Kinara berubah, dia terlihat terkejut dengan penuturan Inggit. “Sejak kapan dia seperti itu, Bu?”
Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas pelan. “Sepertinya sejak tiga tahun yang lalu, Ibu yakin dia juga diam-diam menemui psikiater.”
Informasi ini terasa membingungkan bagi Kinara, jika sampai Dipta menemui psikiater, itu artinya masalah yang dia alami tidak sesederhana itu, Kinara mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi kepada pria itu.
“Apa ini semua karena seseorang bernama Maura?”
Tampak jelas bahwa Inggit terkejut mendengar pertanyaan menantunya, namun wanita itu berhasil mengendalikan diri dan bersikap santai. “Ibu rasa bukan karena dia.”
“Ibu tahu siapa Maura?”
Mulut Inggit terbuka setengah, namun kembali tertutup kala mendengar suara pintu rumah yang terbuka beserta langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. “Dipta, kamu datang?”
Kinara mengalihkan pandangan dan menemukan tatapan tajam yang dilayangkan ke arahnya, wanita itu tersenyum lembut. “Mas Dipta, bukannya kamu lagi sibuk?”
“Pekerjaanku selesai lebih cepat,” jawab Dipta sambil duduk di depan Kinara dan Inggit. “Di mana, Ayah?”
“Dia sedang di ruang kerjanya,” jawab Inggit. “Dipta, bisa kita bicara sebentar?”
Pria itu mengangguk dan melirik Kinara, lalu beranjak lebih dulu untuk meninggalkan ruang tengah, diikuti oleh Inggit di belakangnya, sedangkan Kinara hanya bergeming di tempat.
“Aneh, apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?”
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan
“Wajar kalau aku payah, aku gak pernah berciuman!” Dipta mendelik, tanpa Kinara memberitahunya, dia juga sudah bisa menebak sejauh mana kemampuan wanita itu soal sentuhan fisik, terlihat dari gerakan bibirnya yang kaku dan kepayahan membalas pagutan Dipta beberapa detik lalu. “Tidur, besok kita harus ke kantor.” Kinara harus kembali menelan pil pahit setelah mendengar ucapan suaminya, terlebih ketika Dipta berjalan maju dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memunggungi Kinara yang masih bergeming di tempat. Bodohnya dia mengharapkan akan melewati malam yang panjang dengan Dipta kala pria itu tidak sudi menyentuhnya, meskipun Kinara tak tahu apa alasannya selain karena pria itu tidak menginginkan dia sebagai istrinya. “Aku kurang cantik ya, Mas?” Dipta menghembuskan nafas lelah dan memilih untuk menulikan kedua telinganya, kedua matanya terpejam, pura-pura tertidur agar punya alasan untuk menghindari pertanyaan Kinara. “Atau aku kurang menggoda?” tanya Kinara lagi. Dia
Kinara sudah bosan mendengar kalimat yang sama dari mulut suaminya, dia sangat mengerti bahwa dirinya tak cukup menarik untuk bisa menggoda pria itu. Kepercayaan diri Kinara juga perlahan mulai menghilang hingga hampir tak bersisa, semua itu berkat kalimat pedas yang selalu Dipta ucapkan kepadanya. “Kamu dan tubuhmu tak akan mampu membuatku bergairah.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kinara, seolah-olah mengingatkan Kinara agar terus sadar diri dan tidak menaruh harapan lebih kepada Dipta. Beberapa kali dia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan pria yang dia cintai saja rasanya bisa semenyedihkan ini, padahal dulu Kinara pikir dia akan sangat bahagia ketika hidup dengan pria yang dia cintai. Namun sepertinya Kinara lupa, bahwa akan jauh lebih bahagia jika dia hidup dengan pria yang mencintainya. “Hembusan nafasmu itu berisik, aku gak bisa tidur.” Suara berat Dipta tiba-tiba terdengar. Kinara menoleh ke
“Minta dipeluk terus?” Kinara terkekeh sinis sambil meremas kertas yang berada dalam genggamannya, merasa konyol dengan ucapan Dipta semalam untuk menghindari kecurigaan Inggit. Tiba-tiba Mela yang berjalan di sisinya menyenggol pelan bahu Kinara. “Mikirin apa sih, Kin?” Perhatian Kinara beralih, dia menoleh dalam gerakan cepat lalu menggeleng. “Enggak, lagi bad mood aja.” “Hati-hati, ini kita mau meeting, jangan sampai Pak Dipta tahu kalau kamu lagi banyak pikiran, apalagi sampai gak fokus, bisa kena amuk nanti,” ujar Mela, memperingati sahabatnya itu. Kinara melengos dan mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak berminat untuk bertemu dengan suaminya hari ini, tapi mau bagaimana lagi, beberapa staf administrasi diminta untuk menghadiri meeting oleh Kepala Staf mereka, mana mungkin Kinara berani menolak. Sebuah tepukan ringan tiba-tiba mendarat di bahu Kinara. “Fokus, Pak Dipta udah ada di depan sana.” Kinara mengalihkan pandangan ke depan dan menemukan pria yang tampil menawan dal
“Terima kasih, tapi aku lagi diet,” balas Kinara, dia tersenyum miring setelah berhasil mengirim pesan penolakan atas pemberian Dipta itu. Padahal kalimat itu merupakan sebuah kebohongan besar, Kinara bukan wanita yang terobsesi pada berat badan ideal, dia sudah kurus begini, tak perlu lagi melakukan diet. “Buat kamu aja, Mel,” ucap Kinara sambil menggeser cheese cake serta lemon tea kiriman Dipta ke arah Mela. Tentu saja senyuman Mela langsung terbit setelah itu, sedangkan Kinara kembali beranjak untuk menghirup udara segar. Sepertinya dia ingin pergi ke tempat sunyi selama beberapa saat saja. Tungkai Kinara mulai bergerak menuju tangga darurat, satu-satunya tempat paling sunyi dan aman untuk berpikir tentang berbagai hal. Kinara lantas duduk di salah satu anak tangga sambil menyandarkan kepalanya pada tembok, kedua matanya terpejam. Baru Kinara sadari bahwa dia merasa begitu lelah setelah resmi menjadi istri Dipta, banyak beban pikiran yang mendadak muncul dan membuatnya kesulit
“Pak Freddy minta datanya direkap sekarang, Kin.” Kedua mata Kinara melebar, baru juga dia mematikan laptop dan meraih sling bagnya, Mela sudah kembali duduk di sisinya dengan ekspresi lesu. Kinara jadi ikutan memasang wajah mendung. “Serius, Mel? Jam kerja kita tinggal satu jam lagi loh, nanggung,” rengeknya. Mela mengangguk lesu. “Mana ada kata nanggung di kamus hidup Pak Freddy, kita selesaikan aja, lagian beliau udah janji mau kasih bonus buat kita, kita juga dapat tambahan uang dari hasil lembur, lumayan buat beli sneakers yang kemarin aku mau.” Suara decakkan Kinara mulai terdengar, wanita itu kembali duduk dan menendang-nendang udara dengan kesal, lalu menatap tajam ke arah ruang kerja kepala staf administrasi yang tidak lain adalah Pak Freddy. “Gak bisa, aku harus pulang cepat karena ada urusan mendesak,” putus Kinara, dia kembali berdiri, namun Mela segera meraih lengannya. “Kamu mau dipecat, Kin?” Wanita yang sudah mengikat rambutnya secara asal itu mendesah frustasi,
“Aku kira kamu gak akan pulang hari ini,” sindir Kinara sambil menaruh tasnya ke atas sofa, lalu dia juga ikut duduk di sana dan membiarkan Dipta meninggalkannya sendirian untuk pergi ke kamar. Merasa diabaikan, Kinara mulai memanggil, “Mas Dipta?” Terdengar suara berdecak, Dipta menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Kinara. “Aku sudah memenuhi keinginanmu, aku gak pergi ke mana pun malam ini. Sudah puas?” Kepala Kinara menggeleng dalam waktu cepat, dia segera berdiri dan menghampiri Dipta, namun pria itu justru mundur, seakan menganggap Kinara virus yang harus dia jauhi. Hati Kinara tertohok, dia menghentikan langkahnya dan melayangkan tatapan kecewa. “Aku gak akan merasa puas sebelum kamu mengizinkan aku untuk tidur di kamar utama.” Tidak ada tanggapan, Dipta justru membuang muka. “Mas, seharusnya ini gak jadi masalah karena kita juga bisa tidur bersama di rumah orangtuamu.” “Itu karena kita sedang berada dalam situasi yang terdesak,” ucap Dipta, masih tetap menola