Share

Bab 7. Mencurigakan

Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu.

Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik.

“Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah.

Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang.

Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela.

“Lama banget perginya.”

Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di sana,” jawab Kinara.

Kepala Mela mengangguk-angguk. “Ngomong-ngomong, pulang kantor nanti kamu ada acara?”

Gerakan tangan Kinara yang sedang membuka halaman catatan itu terhenti, dia menoleh ke samping dan membalas tatapan Mela yang penuh harap.

“Kamu mau ajak aku ke suatu tempat?”

Kepala Mela mengangguk. “Aku mau beli baju baru, bisa temani aku?”

Kinara menipiskan bibirnya. “Em...maaf, malam ini aku ada acara.”

Bibir Mela mengerucut. “Akhir-akhir ini kamu selalu pulang cepat, sibuk banget ya, Kin?”

Ada perasaan bersalah yang menyusup ke dalam hati Kinara karena dia tak bisa menceritakan apa pun kepada Mela, padahal biasanya Kinara selalu jujur kepada rekan kerja sekaligus sahabatnya ini.

“Iya, maaf ya, Mel.”

***

“Sudah Ibu duga bahwa Dipta pasti tidak mau datang ke sini,” lirih Inggit.

Kinara menggeleng. “Bukan begitu, Bu. Mas Dipta cuma lagi sibuk saja.”

Wanita paruh baya itu tersenyum tipis. “Kamu tidak perlu menghibur Ibu dengan cara seperti itu, Ibu sudah tahu bahwa Dipta enggan datang ke sini.”

Pandangan Kinara turun ke bawah, dia memperhatikan cairan teh chamomile dalam genggaman tangannya. “Tidak ada alasan Mas Dipta tidak mau datang ke sini jika bukan karena pekerjaan, Bu.”

“Sayangnya dia punya alasan lain.”

Wajah Kinara kembali terangkat, dia memperhatikan wajah ibu mertuanya yang kini duduk di sampingnya. “Kinara boleh tahu apa alasannya?”

Mulut Inggit bungkam, dia menyesap tehnya dengan gerakan yang anggun, lalu menaruh cangkir itu ke atas tatakan yang disimpan di meja sofa.

“Bagaimana hubungan kamu dengan Dipta?”

Kinara menghembuskan nafas pelan, rupanya Inggit memilih untuk mengalihkan pembicaraan ketimbang menjawab pertanyaan Kinara, itu artinya Kinara tak boleh mendesaknya untuk bicara. “Kami baik-baik saja,” ucap Kinara, berbohong.

“Dia memperlakukanmu dengan baik?”

“Iya.”

Kedua sudut bibir Inggit terangkat ke atas, membentuk sebuah senyuman. “Syukurlah, Ibu sempat khawatir dengan kalian berdua. Mau bagaimanapun kalian ini menikah karena dijodohkan, pasti tidak mudah untuk bisa hidup berdua meskipun sudah saling mengenal sejak kecil.”

Kinara mengangguk, tapi akan lebih mudah jika saja Dipta memperlakukannya dengan baik, sayangnya pria itu tak bisa diajak bekerja sama.

“Oh iya, berarti kamu sudah tahu kebiasaan buruk Dipta ketika sedang tidur?”

Kinara mengernyit bingung, dia tidak tahu karena tidak pernah tidur dengan Dipta. “Mungkin aku tidur terlalu nyenyak sampai tidak tahu soal itu, Bu.”

Suara tawa ringan Inggit mulai terdengar. “Dia sering mengigau dan bermimpi buruk, hampir setiap malam.”

Ekspresi wajah Kinara berubah, dia terlihat terkejut dengan penuturan Inggit. “Sejak kapan dia seperti itu, Bu?”

Wanita paruh baya itu menghembuskan nafas pelan. “Sepertinya sejak tiga tahun yang lalu, Ibu yakin dia juga diam-diam menemui psikiater.”

Informasi ini terasa membingungkan bagi Kinara, jika sampai Dipta menemui psikiater, itu artinya masalah yang dia alami tidak sesederhana itu, Kinara mulai menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi kepada pria itu.

“Apa ini semua karena seseorang bernama Maura?”

Tampak jelas bahwa Inggit terkejut mendengar pertanyaan menantunya, namun wanita itu berhasil mengendalikan diri dan bersikap santai. “Ibu rasa bukan karena dia.”

“Ibu tahu siapa Maura?”

Mulut Inggit terbuka setengah, namun kembali tertutup kala mendengar suara pintu rumah yang terbuka beserta langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. “Dipta, kamu datang?”

Kinara mengalihkan pandangan dan menemukan tatapan tajam yang dilayangkan ke arahnya, wanita itu tersenyum lembut. “Mas Dipta, bukannya kamu lagi sibuk?”

“Pekerjaanku selesai lebih cepat,” jawab Dipta sambil duduk di depan Kinara dan Inggit. “Di mana, Ayah?”

“Dia sedang di ruang kerjanya,” jawab Inggit. “Dipta, bisa kita bicara sebentar?”

Pria itu mengangguk dan melirik Kinara, lalu beranjak lebih dulu untuk meninggalkan ruang tengah, diikuti oleh Inggit di belakangnya, sedangkan Kinara hanya bergeming di tempat.

“Aneh, apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status