Tapi Hayati tak menghentikan langkahnya.
"Ayu, sudah..."Sebuah tangan kuat menariknya berdiri. Jaka. Wajahnya penuh penyesalan, tapi juga ketidakberdayaan."Mas, tolong lakukan sesuatu..." suara Ayu pecah. "Tolong bantu aku bawa pulang jenazah Bintang. Aku mohon, Mas..."Dari kejauhan, suara Hayati menggema, penuh perintah. "Jaka! Cepat kembali ke ruang tamu!"Jaka menunduk, ragu. Lalu, dengan gerakan cepat, ia menyelipkan sesuatu ke tangan Ayu—sebuah kartu ATM."Ayu, maaf... Aku nggak becus jadi suami maupun ayah."Ayu menatap kartu itu. Jemarinya bergetar saat menyentuhnya."Ini nggak banyak... Hanya lima juta. Semoga bisa sedikit membantu.""Jaka!" Hayati kembali memanggil, kali ini lebih keras.Jaka menatap Ayu sejenak, lalu melangkah mundur. "Aku ke depan dulu. Maafin aku..."Dan seperti itu saja, ia pergi, meninggalkan Ayu bersama Maharani di ruang keluarga yang terasa semakin dAyu mengangguk. "Baik, Kak. Terima kasih." Ia menggenggam kertas itu erat. Dalam hatinya, ia berharap ini adalah jawaban atas masalahnya. Namun, tanpa ia sadari, senyum Rani semakin melebar, seakan menikmati permainan yang baru saja dimulai. Maharani menyandarkan tubuhnya ke sofa, bibirnya melengkung puas saat melihat punggung Ayu yang menghilang di balik pintu. Ada binar aneh di matanya, seolah menikmati sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu. Keesokan harinya, Ayu berdiri di depan cermin kecil di rumah megah milik suaminya. Meski sebenarnya rumah itu sangat bertolak belakang dengan keadaan Ayu sebenarnya. Wajahnya terlihat lebih segar setelah mandi, meski lingkaran hitam di bawah matanya tak bisa hilang begitu saja. Ia mengenakan rok span hitam yang membalut kakinya hingga selutut, dipadukan dengan hem putih yang membuatnya tampak lebih rapi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan sedikit lipstik ia ol
Pria itu tertawa kecil, nada suaranya terdengar geli. "Hahaha… Kamu tidak sedang pura-pura polos, kan?"Ayu mengerjap, matanya bergerak gelisah ke kanan dan kiri. "Sa-saya, maksud saya…"Pria itu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Ayu. Aroma parfum maskulin bercampur alkohol menusuk hidungnya."Kamu seorang profesional, bukan?" suaranya merendah, nyaris seperti bisikan.Tenggorokan Ayu tercekat. "I-iya, saya profesional, Tuan. Saya bisa mencuci baju, membersihkan rumah, saya juga bisa memasak."Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Apa menurutmu seragam itu bisa dipakai untuk bersih-bersih rumah?"Ayu menunduk, tangannya kembali menjembreng pakaian itu. Cahaya lampu membuat kainnya tampak semakin transparan.Darahnya berdesir. Mulutnya terasa pahit. Ayu yakin ada yang sangat salah di sini. Ia meneliti pakaian di tangannya.Kain itu sangat tipis, dengan corak totol hi
"Ada apa, Mbak?" tanya Baim, alisnya berkerut, tatapannya tajam menelusuri wajah Ayu yang pucat.Tapi sebelum Ayu bisa menjawab, suara langkah kasar mendekat. Sosok pria tua itu muncul di ambang lift, napasnya memburu, wajahnya merah padam seperti bara yang siap meledak."Sini! Ayo kembali bersamaku!" desisnya dengan suara berat, penuh tekanan.Baim melangkah keluar, tubuhnya tegak, berdiri di antara Ayu dan pria itu. Matanya menatap tajam, membaca situasi dengan cepat. "Tunggu. Ini ada apa?"Pria tua itu menyeringai, matanya menyipit. "Wanita itu! Berikan dia padaku!" suaranya tajam, tak sabar.Ayu mundur, tubuhnya meringkuk di belakang Baim. Kepalanya menggeleng kuat-kuat, air mata menggenang di sudut matanya. "Nggak… nggak… Saya nggak mau, Pak. Tolong, jangan berikan saya padanya," suara Ayu bergetar, hampir tak terdengar.Baim mengangkat satu tangan, menghentikan pria tua itu mendekat leb
Ayu masih menunduk, tapi perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tatapannya bertemu dengan mata Baim, dan saat itu juga, sesuatu bergetar di dadanya. Pria ini… bukan orang asing.Seketika, ia menunduk lagi, enggan membiarkan perasaan aneh itu muncul.Baim mengangkat alis. "Benar, bukan? Kita pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit."Ayu menggeleng kecil. "Nggak, Pak. Itu hanya sekali."Senyum kecil tersungging di sudut bibir Baim. "Ya, karena pertemuan kedua, kamu nggak mau melihatku. Kamu fokus berjalan menuju ruang kandungan."Kalimat itu seperti petir yang menyambar udara. Suasana hening sejenak. Baim tampak berpikir, lalu tiba-tiba raut wajahnya berubah."Oh ya," katanya lebih pelan, seolah baru menyadari sesuatu. "Apa yang waktu itu kamu lakukan di ruang kandungan? Bukankah kamu masih di bawah umur?"Ayu tersentak.
Baim menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi."Sudahlah. Semoga nanti dia memilih jalan yang lebih baik. Anak zaman sekarang benar-benar mengkhawatirkan," gumamnya pelan.Namun, meski ia berusaha menepisnya, ada perasaan aneh yang mengendap di dadanya. Entah kenapa, ia merasa ini bukanlah pertemuan terakhirnya dengan gadis itu.Setelah mendapat jamuan mewah di hotel Baim, Ayu melangkah keluar dengan langkah berat. Aroma parfum mahal masih samar di bajunya, tetapi tak ada lagi yang bisa ia nikmati. Yoga membukakan pintu taksi untuknya."Pak, turunkan saya di area pertokoan," katanya lirih.Supir taksi mengangguk. Ayu menatap kosong ke luar jendela sepanjang perjalanan. Gedung-gedung tinggi berkelebat, jendelanya menyilaukan di bawah terik matahari. Di kaca, ia melihat bayangannya sendiri—mata lelah, wajah kusut, bibir terkatup rapat.Taksi berhenti di kawasan pertokoan Kebayoran Baru. Ayu menarik napas dalam, menggen
Petugas itu mengecek data di komputernya. "Jika menuju alamat yang tertera di sini, satu juta lima ratus, Bu."Jantung Ayu mencelos.Tiga ratus ribu rupiah. Itu semua yang ia punya sekarang.Tangannya yang menggenggam uang mengepal lebih erat, seolah mencoba menciptakan keajaiban agar jumlahnya bertambah. Tapi tetap sama.Ia menundukkan kepala, kelopak matanya terasa panas. Dadanya naik-turun tak beraturan, lalu—air matanya jatuh.Tanpa suara, tanpa isakan. Hanya tetesan yang mengalir begitu saja, membasahi pipinya.Tangan kirinya naik ke dahi, memijit pelan bagian yang terasa berdenyut. Lelah. Kosong.Ia menghapus air matanya cepat, lalu mengangkat wajah dengan sisa keberanian yang ia punya. "Saya bawa sendiri saja, Pak," suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Petugas menatapnya sejenak, seperti ing
"Apa yang Anda rasakan ketika mengetahui anak Anda meninggal karena sesuatu yang sebenarnya bisa dihindari?""Ada yang mengatakan Anda sengaja membiarkan keadaan ini terjadi. Bagaimana Anda membuktikan bahwa Anda bukan ibu yang lalai?""Jika bisa mengulang waktu, apa yang akan Anda lakukan berbeda? Atau Anda memang sejak awal tidak siap menjadi seorang ibu?"Pertanyaan dari wartawan itu menekan Ayu secara emosional. Namun ia memilih untuk mengabaikannya.Ayu mengeratkan pelukannya pada jenazah Bintang. Tubuh mungil itu terasa semakin ringan di dekapannya, seolah angin bisa saja menerbangkannya kapan saja. Kakinya gemetar, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena amarah yang mulai berdesir di dadanya.Dari mana mereka tahu? Dari mana datangnya semua orang ini? Keluarga Jaka bahkan tak peduli. Tidak ada seorang pun di rumah sakit, tidak ada yang menanyakan keadaannya. Tapi sekarang, di sini, mereka berkumpul seolah mereka peduli.Langkahnya
"Tapi jangan harap, aku akan melupakan apa yang Kak Rani lakukan padaku."Maharani membelalakkan mata, napasnya tersengal. Tangannya terangkat, jemarinya menegang, nyaris menghantam Ayu. Namun, sebelum pukulan itu melayang, Narendra mencengkeram pergelangan tangannya."Jaga sikapmu, sayang." Suaranya rendah, tapi tegas. "Di sini banyak orang."Maharani membeku. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah, tetapi hanya sekejap. Bibirnya sedikit bergetar sebelum akhirnya ia menarik napas dalam, menurunkan tangannya dengan gerakan terkendali. Seketika, wajahnya kembali seperti semula—tenang, nyaris tanpa cela, seolah ledakan amarah tadi tak pernah ada.Di sudut lain, Sambo menghela napas panjang, lalu berkata cukup lantang, seolah ingin semua orang mendengar, "Jangan terlalu keras pada mereka, Ayu. Kita semua sangat kehilangan hari ini."Ayu berbalik, menatap ayah mertuanya itu."Kita?" tanyanya, dengan nada suara yang nyaris terdengar sep
"Papa ngirim pesan..." Suara Narendra terdengar panik.Mata Ayu membulat. "Apa? Mungkinkah itu orang suruhan Papa?"Narendra kembali melirik spion, lalu menggeleng pelan. "Nggak tahu."Beberapa detik kemudian, getaran panggilan masuk dari Sambo membuat ponselnya bergerak."Papa nelpon, Mas!" seru Ayu panik.Narendra spontan menoleh ke arah ponsel. Pegangannya di setir mulai goyah."Apa Papa tahu aku bawa Ayu kabur?" batinnya.Ayu melirik spion dengan napas tak teratur. "Mas, van hitam itu masih ngikutin kita. Gimana dong?""Di depan ada pom bensin. Aku akan masuk ke sana."Narendra membanting setir, lalu menepi ke area pom. Dari kaca spion, ia melihat van itu menyalip dan terus melaju.Ayu menghela napas panjang. Matanya terpejam sebentar."Syukurlah... Van itu udah nggak ngikutin kita."Narendra mengangguk kecil. "Aku angkat telepon dari Papa. Kamu tenang dulu, ya."Ayu mengangguk cepat. "Iya, Mas..."Narendra menekan tombol hijau. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara."Halo,
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda