"Ke mana Anda selama ini?"
Suara-suara itu bertubi-tubi, menusuk gendang telinga Ayu dari segala arah. Dadanya mulai sesak, napasnya tersendat. Jemarinya yang menggenggam tas mulai bergetar.
Kerumunan terasa semakin mendekat, seperti dinding yang siap meremukkannya kapan saja. Lututnya lemas, instingnya berteriak untuk kabur.
Namun, di antara sorotan kamera yang menyilaukan, matanya menangkap sosok yang familiar.
Baim.
Berdiri tak jauh dari sana, mengenakan setelan jas hitam yang elegan, tangannya diselipkan ke dalam saku.
Ia tidak berkata apa-apa.
Hanya sebuah senyum tipis yang menghiasi wajahnya, tatapan matanya tenang, penuh keyakinan.
Seakan-akan ia sedang berbisik tanpa suara, "Semuanya akan baik-baik saja."
Ayu menelan ludah. Jemarinya yang gemetar perlahan mengendur. I
Maharani mengangkat tangan, gelagapan. "Aduh… Rani lupa mau kasih tahu Mama! Pokoknya bukan itu intinya!"Ia menarik lengan ibunya, suaranya semakin mendesak."Sekarang apa yang harus kita lakukan? Gimana kalau Ayu bicara aneh-aneh ke wartawan?!"Hayati terdiam sesaat, napasnya mulai memburu.Di luar ballroom, kilatan kamera dan suara sorakan masih terdengar.Ayu ada di sini.Dan itu hanya bisa berarti satu hal—badai akan segera datang.Mata Hayati membesar, nyaris keluar dari rongganya. Rahangnya mengatup rapat, garis-garis kemarahan terukir jelas di wajahnya. "Kamu gak diundang," suaranya tajam seperti pisau. "Rakyat jelata dilarang ikut pesta orang kaya."Tawa Ayu meledak, nyaring dan penuh ejekan. Ia melangkah santai, tubuhnya condong ke depan, mendekati Hayati. "Mama… Mama…
Ayu menyeringai sinis, lalu berbalik. Tanpa kata lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan pesta dengan kepuasan yang berpendar di matanya.Setelah usai melakukan misi di pesta itu, Ayu bergegas keluar ballroom. Ia bertemu dengan Baim yang mengawasinya sedari tadi. Ayu mengangguk memberi kode, Baim membalasnya dengan anggukan yang sama. Ayu kemudian berlalu dari pesta itu, kembali masuk ke dalam Limosin yang menjadi sorotan awak media. Kilatan lampu kamera masih berusaha menembus kaca gelapnya, tapi Ayu sudah tak peduli. Ia menyandarkan kepala, menatap langit-langit mobil dengan napas masih memburu.Tangannya menggenggam erat gaunnya yang sedikit kusut. "Ya Allah… akhirnya aku bisa melewati ini. Aku gak percaya bisa seberani itu di depan umum," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Bagus, Ayu."Suara itu datang dari belakang
Sambo meremas ponselnya, rahangnya mengatup rapat. Sorot matanya menajam saat membaca komentar-komentar yang membanjiri berita daring. Ia melangkah cepat mendekati Hayati yang baru saja melempar gelas, jemarinya masih menggenggam remote televisi."Apa yang terjadi, Ma?" suaranya terdengar berat. "Masyarakat justru menyerangku. Kalau begini, reputasiku bisa hancur."Hayati mengangkat wajahnya. Matanya memerah, napasnya tertahan sesaat sebelum ia menghembuskannya perlahan. Bibirnya melengkung tipis, nyaris seperti sebuah senyum."Tenang aja, Pa," katanya, suaranya rendah, terukur. "Kita cuma perlu membalik pendapat mereka."Tiba-tiba, suara langkah cepat menggema dari koridor. Maharani muncul dengan wajah panik, ponsel tergenggam erat di tangannya."Ma… kacau!" suaranya meninggi, hampir histeris. "Akun sosmedku penuh hinaan. Kalau kayak gini, followers-ku bisa turun!"Hayati tak langsung menjawab. Mat
Hayati mengangguk, jemarinya meremas ujung gaunnya dengan kuat. "Aku akan mencoba mencarinya di rumah Jaka. Mungkin saja dia tidak membawanya."Sambo tak berkata lagi. Ia hanya mengangguk singkat, lalu berbalik menuju kamarnya dengan langkah berat.Di sisi lain, Ayu duduk di atas tempat tidurnya, ponsel tergenggam erat di tangannya. Cahaya layar menyorot wajahnya yang penuh kepuasan.Berita yang bertebaran di media sosial benar-benar menguntungkannya. Setiap komentar yang mendukungnya terasa seperti angin segar yang membebaskannya dari cengkeraman keluarga Jaka.Senyumnya mengembang. Matanya berbinar."Alhamdulillah…" bisiknya pelan, penuh rasa syukur. "Akhirnya. Aku akan segera lepas dari keluarga iblis itu."Jarinya kembali menggulir layar, membaca seruan masyarakat yang memintanya untuk menceraikan Jaka. Dukungan itu membanjiri kolom komentar, membuat hatinya semakin mantap."Ini berarti kei
Ayu menggigit bibirnya, menahan senyum yang perlahan merekah di wajahnya. "Mas Baim..." bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah hanya untuk dirinya sendiri."Sebentar lagi, Mas!" serunya, kali ini dengan nada lebih ceria.Tangannya kembali bergerak, merapikan helai terakhir rambutnya sebelum meletakkan catokan. Ia berdiri, menatap bayangannya di cermin. Gaun selutut berwarna merah muda membalut tubuhnya dengan sempurna, mengikuti lekuknya tanpa berlebihan. Ia berputar pelan, ujung gaunnya melayang ringan seiring gerakannya.Dengan cepat, ia meraih tas di atas ranjang, menarik napas panjang, lalu melangkah menuju pintu.Gagang pintu berputar. Saat pintu terbuka, sinar matahari pagi menyelinap masuk, memperjelas rona bahagia yang terpancar di wajahnya."Mas..." ucapnya pelan, lalu tatapannya jatuh pada si kembar yang duduk manis di dalam stroller. Kaki-kaki mungil
Baim membeku. Napasnya tertahan, pikirannya berputar tak percaya. Laura... wanita yang selama ini menghilang dari hidupnya, kini berdiri nyata di hadapannya."Mas Baim!" suara Laura memecah kebisuan. Tanpa ragu, ia melompat ke tubuh Baim, melingkarkan lengannya erat-erat di sekeliling pria itu.Pegangan Baim pada Ayu seketika terlepas.Ayu menatap mereka, sorot matanya dipenuhi tanda tanya. Tapi di dalam dadanya, sesuatu bergemuruh liar. Ia mungkin belum pernah bertemu Laura sebelumnya, tetapi ia mengenali wajah itu—wajah yang pernah ia lihat dalam foto pernikahan yang tersimpan di gudang."Mas... Aku kangen banget," suara Laura terdengar bergetar di antara dekapan yang tak kunjung ia lepaskan.Baim menghela napas panjang sebelum perlahan melepas pelukan itu. Tangannya turun dari bahu Laura, sementara rahangnya mengatup rapat. "Apa yang kamu lakukan di sini, Laura?" suaranya dingin, nyaris tanpa emosi.Laura menatap matanya. Dulu
Ayu tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan, seolah Indri tak lebih dari bayangan yang tak layak dipedulikan. Tanpa sepatah kata pun, ia melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Di dalam kamar, ia dengan hati-hati mengangkat si kembar dari stroller, lalu mendekap mereka erat-erat, seakan ingin menyembunyikan mereka dari dunia."Arjuna... Srikandi..." suaranya lirih, hampir serupa bisikan. "Jangan pernah tinggalin Ibu, ya..."Bibirnya bergetar, dan setetes air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Dada Ayu terasa sesak, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya erat.Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang ingin pecah. Tapi tetap saja, lengannya semakin erat melingkupi bayi-bayinya.Seakan mereka adalah satu-satunya yang masih bisa ia genggam.Sedetik kemudian, langkah tergesa-gesa menggema di ambang pintu. Laura muncul dengan napa
Langkah Baim terhenti. Bahunya menegang, namun ia tetap membelakangi Laura."Laura…" Suaranya rendah, nyaris hanya desiran di udara. "Aku mengerti alasan kepergianmu… tapi itu tidak berarti aku sudah memaafkan. Rumah tangga kita sudah terlanjur retak, dan itu kesalahanmu sendiri."Tanpa menunggu jawaban, Baim melanjutkan langkahnya."Mas! Aku masih istrimu, Mas!" teriak Laura.Namun hanya keheningan yang menjawab. Baim terus berlalu, menuruni tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di lantai dua, matanya langsung menangkap sosok Ayu yang baru saja keluar dari lift.Kepalanya tertunduk, langkahnya lunglai, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk dipikul. Cahaya lampu koridor memantulkan bayangan sendu di wajahnya, membuat dada Baim semakin sesak."Ayu..." panggilnya, suaranya lirih namun penuh penyesalan.Langkah Ayu terhenti. Perlahan, ia menoleh. Matanya yang basah bertemu dengan tatapan Baim—ada luka di sana,
"Papa ngirim pesan..." Suara Narendra terdengar panik.Mata Ayu membulat. "Apa? Mungkinkah itu orang suruhan Papa?"Narendra kembali melirik spion, lalu menggeleng pelan. "Nggak tahu."Beberapa detik kemudian, getaran panggilan masuk dari Sambo membuat ponselnya bergerak."Papa nelpon, Mas!" seru Ayu panik.Narendra spontan menoleh ke arah ponsel. Pegangannya di setir mulai goyah."Apa Papa tahu aku bawa Ayu kabur?" batinnya.Ayu melirik spion dengan napas tak teratur. "Mas, van hitam itu masih ngikutin kita. Gimana dong?""Di depan ada pom bensin. Aku akan masuk ke sana."Narendra membanting setir, lalu menepi ke area pom. Dari kaca spion, ia melihat van itu menyalip dan terus melaju.Ayu menghela napas panjang. Matanya terpejam sebentar."Syukurlah... Van itu udah nggak ngikutin kita."Narendra mengangguk kecil. "Aku angkat telepon dari Papa. Kamu tenang dulu, ya."Ayu mengangguk cepat. "Iya, Mas..."Narendra menekan tombol hijau. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara."Halo,
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda