Apa yang dilakukan oleh wanita itu membuat orang-orang di sana terkejut!
Sandy sendiri langsung mencegah sang ibu. "Mama jangan seperti ini, kasihan Eliza!" ucapnya. "Kasihan kamu bilang? Wanita ini tidak becus. Dia benar-benar wanita kampung yang tidak berpendidikan. Sudah mama bilang sama kamu jangan menikahinya, kamu tetap saja menikahinya. Lihatlah mengurus satu anak pun dia tidak bisa. Lihat cucuku mati karena wanita ini. " Wati menangis dan semakin menarik kuat rambut Eliza. Namun, Eliza seperti sebongkah batu yang tidak merespon apapun. Matanya terus saja menatap tubuh mungil anaknya. "Seharusnya aku hanya memiliki menantu Mirna saja. Mirna wanita hebat, pintar, cerdas, berpendidikan dan memiliki pekerjaan yang baik tidak seperti kau benalu. Bahkan mengurus anak pun tidak bisa." Wati terus saja mengamuk dan menarik rambut Eliza sekuat tenaganya. Lagi-lagi, Eliza tetap tidak merespon perkataan Wati. Bahkan jika wanita itu ingin membunuhnya saat ini juga, dia akan mati dengan tersenyum. "Ibu tolonglah pakai perasaan sedikit. apa ibu tidak merasa kasihan dengan Eliza dia baru kehilangan anaknya."Salah satu tetangga Eliza bahkan menghentikan jambakan itu dan menasehati Mama Sandy.
Tapi, dia justru ikut diomeli!
"Kasihan kau bilang? Gak kau lihat cucu aku mati gara-gara dia? Lihat saja aku akan melaporkan kematian cucuku ke polisi. Aku pastikan kau akan dipenjara. "Ancaman wanita itu membuat tetangga Eliza mundur.
"Mama, harus tenang."
Kini, Mirna yang dielu-elukan datang dan menenangkan wanita itu.
Sedangkan kakak serta Abang ipar Sandy, hanya diam melihat perlakuan Wati terhadap adik ipar mereka.Hanya saja, tak berapa lama, kegelapan kembali menyelimuti Eliza--membuat semua orang terkejut.
Cukup lama, Eliza tertidur.
Dia baru bangun kala mendengar suara berisik dari ruang tamu.
Wanita itu melompat dari tempat tidur dan berlari keluar dari kamarnya.
"Jangan pegang anakku." Eliza mengambil bayi yang saat ini sudah digendong oleh Sandy.
"Mas mau memandikan anak kita, dek," jawab sendiri dengan air mata yang menetes melihat putranya.
"Aku akan memandikannya sendiri." Eliza memeluk erat anaknya.
Sandy hanya diam mendengar perkataan istrinya. Jika ditanya perasaannya, sungguh sangat sakti. Dia merasa bersalah dan menyesal.
Seandainya, dia tak abai akan panggilan Eliza....
Hanya saja, sang mertua tampak murka dan tak peduli akan duka yang memenuhi jiwa Eliza. "Hai, wanita kampung! Kau tidak punya hak melarang ayahnya untuk memandikan anaknya."
Wati bahkan menarik bayi yang sedang digendong Eliza.
Namun Eliza memeluk anaknya dengan kuat. Dia juga mendorong mama mertuanya tersebut.
Wati sampai mundur beberapa langkah ke belakang.
Bersyukur Sandy dengan cepat menahan tubuhnya. Hingga tubuh Wati yang gendut tidak terjatuh.
Plak!
Tiga tamparan keras langsung mendarat di pipi putih Eliza.
Wati menamparnya begitu keras, tetapi Eliza tidak merespon sedikitpun meski bibirnya berdarah.
"Kurang ajar kau, berani kau melawan aku ya. Asal kau tahu, aku tidak pernah menerima kau jadi menantu. Kau tidak selevel dengan keluarga kami." Wati mengeraskan suaranya agar didengar semua orang.
"Ini anak ku, aku yang melahirkannya. Aku yang selalu bersama dengannya, mulai dari pagi hingga pagi lagi." Eliza memandang Wati dengan mata memerah.
"Kau melahirkannya, apa kau lupa uang siapa yang membayar tagihan rumah sakit?"Emosi wanita itu semakin memuncak karena Eliza berani melawannya. "Sandy hanya punya uang 5 juta, sisanya 25 juta, aku yang membayar. Sampai sekarang Sandy masih berhutang dengan ku. Apa kau ada uang untuk membayar uang persalinan mu?"
Entah di mana hati serta rasa kasihan wanita itu?
Apakah Wati, manusia yang diciptakan tanpa hati?
Sedangkan Sandy, hanya diam seperti orang bodoh.
"Mas, sabar jangan sedih, mas harus kuat." Wanita cantik yang bernama Mirna itu menggenggam tangan Sandy. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seakan Sandy yang teraniaya.
Meskipun semua orang memandang ke arah mereka, namun Mirna tidak perduli.
Para tetangga yang tinggal di sana juga tidak tahu apa hubungan Sandy dan Mirna.
Hanya saja mereka terkejut ketika melihat perbuatan Wati.
Salah satu dari mereka bahkan menarik wanita bertubuh gendut itu ketika hendak kembali menyerang Eliza. "Apa ibu tidak kasihan melihat Eliza, bahkan di depan jenazah bayi, ibu tega memukul ibunya?" kata warga yang sudah geram melihat kelakuan Wati.
"Perempuan seperti itu wajar dipukuli, gak ada yang bisa diharapkan dari perempuan bodoh seperti dia. Merawat anak saya tidak bisa, hingga anaknya mati seperti ini. Padahal dia bisa cari di internet, solusi mengatasi anak yang sedang panas tinggi," kata kakak dari Sandy.
Eliza hanya diam dan kemudian pergi kamar mandi sambil mengendong anaknya. Meskipun kepalanya sangat sakit dan pusing, Eliza tidak menghiraukannya.
Ini adalah kesempatan terakhir untuk memandikan anak kesayangannya. Eliza mengusap dengan sangat lembut setiap kulit bayi berwajah tampan tersebut. Dia juga memperlihatkan setiap garis wajah bayinya, mata, bibir, hidung dan pipi. Eliza akan menyimpan baik-baik wajah anaknya didalam memori otaknya.
Sandy hanya diam di depan pintu melihat Eliza memandikan anaknya.
Setelah selesai memandikan, Eliza mencium putranya berulang-ulang kali. Setelah ini, dia hanya bisa memeluk bayangan sang putra. "Terima kasih sudah hadir dalam hidup ibu, maafkan ibu yang sudah tidak bisa lagi memeluk Ibnu seperti ini. Ibu mohon nak, bawalah ibu pergi. Ibu sungguh tidak sanggup." Eliza berkata dengan terisak.
Dadanya sangat sakti dan sesak melihat tubuh yang sudah tidak bernyawa. Ingin mengatakan ini mimpi, namun nyatanya ini benar-benar terjadi. Eliza menolak rasa sakit ketika Wati menarik rambutnya. Menolak rasa sakit ketika Wati menampar pipinya. Namun tetap saja dia merasakan sakit yang artinya ini mamang nyata.
Setelah berbicara dengan anaknya, Eliza membungus tubuh mungil putranya dengan handuk mandi yang biasa dipakai Ibnu. Dia kemudian mengkafani bayi Ibnu dengan tangannya sendiri.
Hanya saja, asinya kembali merembes.
Wanita itu lantas mengambil alat pompa asi dan memompa asinya. Setelah itu menyimpannya di kantong ASI dan memasukkan ke dalam kulkas.
Asi Eliza memang sangat banyak, bahkan dia bisa mendapatkan 750 mil, satu kali pompa. Badannya memang kurus namun dadanya besar karena ASI yang banyak.
"Nak, asi ibu banyak, ibu donorkan ke rumah sakit ya. Agar Ibnu punya banyak adek." Eliza menangis memandang kantong ASI yang dia simpan di dalam kulkas.
Kesedihan Eliza itu membuat banyak orang iba.
Tapi, mereka lupa bahwa sang pencipta... pastilah sudah menyiapkan sesuatu yang besar dan mungkin tak mereka duga.
Di rumah sakit, seorang pria tampan tengah berdiri menatap bayinya yang berada di dalam box inkubator.
Bayi itu lahir 2 bulan lebih awal dari tanggal yang ditentukan dokter dan beratnya hanya 1,2 ons.
"Nathan, apa kabar?" sapa dokter Rizki yang merupakan dokter spesialis anak yang menangani menangani putra dari sahabatnya Nathan Hermawan.
Pengusaha sukses yang terkenal itu hanya mengangguk. Dia hanya memerhatikan anaknya sudah berusia 1 Minggu, namun masih harus berada di dalam inkubator.
"Bayimu harus mendapatkan ASI, Nathan supaya berat badannya cepat naik. Kami sudah mencoba berbagai macam merek susu formula, hasilnya tetap sama. Bayi alergi dengan susu sapi. Saat bayi meminum susu formula, bayi mengalami muntah dan bibirnya membiru. Sedangkan susu kedelai, tidak direkomendasikan untuk bayi prematur."
"Karena bayi prematur memiliki sistem pencernaan yang belum sempurna, sehingga membutuhkan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhannya agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena itu saya meminta agar kamu mencari ASI untuk si adek," kata dokter Rizki.
Nathan mendengar apa yang dikatakan dokter sekaligus sahabatnya itu. Apa dia harus mengumpulkan ibu menyusui dan meminta mereka agar mau menyusui anaknya?
"Kamu harus mencari pendonor Asi," saran dokter Rizky, sesuai pikirannya.
"Aku harus cari ke mana?" Pria tampan itu kebingungan mendengar perkataan dokter spesialis anak yang menangani bayinya.
Demi putranya, Nathan akan melakukan apapun. Dia bahkan tidak keberatan jika membayar dengan harga yang tinggi. Namun kemana harus mencari wanita yang sedang menyusui dan mau memberikan asi untuk anaknya.
"Siapa tahu tetangga, atau kenalan kamu ada yang mau menjadi pendonor Asi. Untuk pendonor ASI, sebaiknya wanita yang sehat tanpa ada penyakit menular. ASI nya juga subur dan banyak. Jika ASI sedikit itu artinya wanita itu tidak bisa menjadi pendonor karena harus menyusui anaknya."
"Bagaimana dengan ibu si bayi, apakah ASI nya sudah keluar?" Rizki memandang Nathan. Sejak bayi itu lahir, ibunya tidak pernah datang untuk melihatnya. Padahal kondisi ibunya sangat baik dan melahirkan juga secara normal.
Nathan diam mendengar pertanyaan dari si temannya itu. "Belum," jawabnya kemudian.
"Baiklah jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan, kamu bisa langsung menemui aku di ruang praktek, aku permisi dulu." Rizki berpamitan dan pergi.
Nathan sendiri hanya diam--memandang putranya yang begitu sangat kecil dengan kulit keriput dan terkelupas.
Pendonor ASI sesuai kriteria yang disampaikan oleh si dokter, bagaimana cara menemukan pendonor ASI yang seperti itu?
***
"Kau masih menyimpan semua bukti-bukti itu? "Hermawan memandang Albert dengan tatapan kagum. Albert menganggukkan kepalanya. "Bukti-bukti ini sangat penting bagiku. Dengan adanya bukti-bukti ini maka orang tidak bisa sembarangan menuduhku. Dan aku pun sudah melewati proses dari kepolisian. Di sini aku tidak terlibat dalam kasus kejahatan kriminal karena itu aku bisa lepas dan bebas.""Apa anda tidak melakukan tuntunan balik atas pencemaran nama baik?" Tanya Nathan. Albert menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ingin berurusan dengan siapapun. Yang pasti aku tidak terlibat dalam kejahatan apapun. Dan pada saat itu kondisi istriku sedang sakit. Aku saja hampir gila, mana mungkin aku bisa menuntut orang yang ingin mencemarkan nama baikku. "“lagipula mereka menuduh ku hanya karena mereka menghilang dari Paris. Banyak dari mereka kini menjalani hidup yang jauh lebih baik. Anak-anak mereka sering menghubungiku. Mereka mengirimkan foto-foto, ucapan terima kasih. Rata-rata ayah mereka adalah
Sejenak suasana hening. Eliza menggenggam tangan Nathan. Aruna menatap Albert dengan mata yang merunduk hormat.Hermawan melangkah maju dan menepuk pundak sahabatnya itu. “Aku mengerti perasaanmu. Anna pasti bahagia sekarang. Dan dia pasti bahagia melihatmu di sini, dikelilingi anak-anak dan tawa yang tak pernah ia benci.”Albert menatap ke arah Aruna, yang berdiri diam di samping Aishwa. Wajahnya lembut, anggun, dan terlihat sangat muda. Bahkan lebih muda dari Eliza.“Bukankah kau tak punya anak perempuan?” tanya Albert pelan.Hermawan tersenyum samar. “Tidak.”“Lalu, siapa dia?”“Teman Eliza,” jawab Hermawan cepat. Tidak mungkin ia menjelaskan kisah rumit yang menyelimuti hidup Aruna. Albert mengangguk perlahan, tapi tatapannya belum lepas dari Aruna. Gadis itu menunduk, lalu membelai kepala Aishwa yang masih menggenggam tangannya erat.Dalam diamnya, Aruna tahu di rumah ini, di tengah keluarga yang bahagia dan hangat, dirinya tetap seperti kepingan cerita yang tak utuh. Hadir, tap
Aruna berdiri terpaku di lantai empat mansion megah milik keluarga Hermawan, matanya memandang kagum pada hamparan dunia kecil penuh warna yang terbentang di hadapannya. Cahaya matahari sore menyusup lembut melalui jendela kaca besar di sisi timur, memantulkan kilau keemasan pada lantai dan peralatan bermain, menciptakan suasana hangat dan menenangkan.Lantai ini bagaikan negeri dongeng yang dirancang khusus untuk kebahagiaan anak-anak. Di tengah ruangan, terdapat kolam mandi bola raksasa yang warnanya seperti permen kapas—biru langit, merah muda, dan putih susu. Di sampingnya, perosotan pelangi menjuntai dengan lengkungan lembut, seolah mengajak anak-anak untuk meluncur ke dunia fantasi mereka.Berbagai wahana digital dan mekanik juga tersusun rapi: mesin game cakar boneka berjejer seperti tantangan ajaib, game mobil balap dengan efek suara realistis, dan kereta mini yang berkeliling mengitari ruangan melewati terowongan kecil dan miniatur stasiun. Terdapat pula landasan mobil-mobila
Pagi ini, kediaman megah keluarga Hermawan diselimuti kesibukan yang tak biasa. Para pelayan mondar-mandir, mengganti gorden dengan yang baru, mengganti alas meja dengan yang lebih anggun, dan menata bunga segar di setiap sudut ruangan. Aroma mawar dan lili bercampur dengan wangi sabun pel, menciptakan suasana rumah yang lebih hidup dari biasanya.Di dapur, para chef sibuk menyiapkan hidangan-hidangan istimewa. Bunyi pisau menghantam talenan, wajan mendesis, dan aroma rempah menyeruak ke segala penjuru. Ada suasana mendebarkan yang menggantung di udara, seolah ada sesuatu yang besar akan segera tiba.Aruna memperhatikan semua itu dengan rasa ingin tahu yang sulit dibendung. Ketika seorang pelayan lewat di depannya, ia pun bertanya pelan, “Mbak, ada acara apa ya? Kok rumahnya rame banget.”“Oh, Tuan Hermawan akan kedatangan tamu penting,” jawab sang pelayan, lalu kembali terburu-buru melanjutkan pekerjaannya.Aruna hanya mengangguk paham. Ia tak bertanya lebih jauh. Sebenarnya ia ingin
Namun Kiara justru memulai ceritanya sendiri, seolah membaca isi hati Aruna. Suaranya pelan, nyaris berbisik."Aku dulu dijodohkan Mama dengan Rudi. Awalnya aku memilih pasrah. Dan beranggapan laki-laki kaya yang suka kawin cerai. Tapi ternyata, dia lebih dari itu." Kiara menunduk, menggenggam tangannya sendiri. "Dia punya enam istri sebelumnya. Lima di antaranya meninggal."Aruna menahan napas. Ia merasakan tubuhnya menegang."Ada seorang tetangga,ibu itu sangat baik sama kakak. Dia datang diam-diam, untuk menemui aku. Dia bilang Rudi bukan manusia biasa. Dia main ilmu hitam. Ibu itu juga yang hubungi Abang Rizky. Minta tolong agar aku dibawa kabur sebelum hari pernikahan."Sejenak, taman menjadi hening. Hanya suara angin yang melintas di antara mereka."Jika waktu itu bang Rizky nggak datang, mungkin aku nggak ada di sini. Mungkin yang ada hanya nama di batu nisan."Kiara juga menceritakan bagaimana ibunya memperlakukannya. Aruna memejamkan mata. Ia merasakan benjolan emosi di ten
“By, garukin punggung Liza dong…” kata Eliza dengan suara manja, sambil mengangkat bajunya tinggi-tinggi, hingga punggung putihnya seperti bulan purnama tersaji di depan mata Nathan.Nathan yang sedang serius menonton video tentang cara menenangkan bayi langsung menoleh. Dalam hitungan detik, ia meletakkan ponsel, menutup selimutnya, dan duduk tegak seperti prajurit yang siap menerima komando.“Yang gatal sebelah mana, Jenderal?” tanyanya dengan nada bercanda, sambil mengelus punggung sang istri.“Dekat sini, By…” Eliza menunjuk dengan tangan lemah gemulai, ekspresi wajahnya seperti ratu yang meminta dilayani. “Tapi… susah dijelasin deh. Pokoknya di sekitar tulang belikat kiri, dua jari ke bawah, satu jari ke kanan.”Nathan menahan tawa. “Waduh, ini punggung apa peta harta karun?”Dia mulai menggaruk. Perlahan. Lalu agak keras.“Pas banget, By! Enak… enak banget. Tapi kiri dikit lagi, ya… Aaaahhh,” desah Eliza.Nathan mulai keringatan. Suara itu. Nada itu. Sangat tidak bersahabat bagi