Share

3. Dosa Yang Tak Terampuni

Megan tak ingin diingatkan. Ia tak perlu diingatkan akan ingatan menyedihkan tersebut disaat penyesalan berjumbal-jumbal di kepalanya. Yang tidak ada artinya. Ditambah cara Mikail mengingatkannnya yang bertekad memastikan kepedihan itu harus menjadi berkali-kali lipat lebih besar.

"Bukankah tujuh tahun lalu kau sudah menyerahkan anak itu untukku?"

Mata Megan terpejam dan setetes air matanya jatuh.

"Bahkan tak sekali dua kali aku berusaha meyakinkanmu, suatu hari kau akan menyesali keputusanmu. Dan berkali-kali pula kau menolak mendengarkan. Sekarang penyesalanmu sama sekali bukan urusanku, Megan," desis Mikail dengan emosi yang bergejolak di dalam hatinya.

"Aku memintanya dengan cara baik-baik," ucap Megan dengan suaranya yang rapuh.

"Untuk apa? Untuk membuatnya tahu bahwa dirinya begitu tak berarti hingga ibu kandungnya membuangnya?"

"Kumohon, Mikail."

Mikail diam sejenak. "Lalu apa yang membuatmu tiba-tiba begitu ingin bertemu dengan anakku, Megan?"

"Apakah aku tidak berhak menemui anak kandungku sendiri?"

"Kau sudah melepaskan hakmu tujuh tahun lalu, ingat?"

Air mata Megan mengalir. Kehilangan kata-kata untuk membalas.

Hening sesaat.

"Aku mohon, Mikail. Ijinkan aku bertemu dengannya. Satu kali saja."

"Satu kali saja?" Salah satu alis Mikail terangkat.

Megan mengangguk tanpa daya. Permohonan tersirat jelas dalam kedua pandangan wanita itu yang rapuh.

"Bukankah aku sudah melakukannya?"

Air mata Megan jatuh. Suaranya tertelan oleh harapan yang dipupus habis tanpa sisa. Sampai kemudian suara dari interkom membuat Megan terpaku.

“Tuan, tuan Kiano sudah datang,” beritahu sekretaris dari seberang.

“Katakan untuk menunggu satu menit,” jawab Mikail. Lalu kembali menatap Megan yang membeku di tempat.

"Hapus air matamu, Megan. Jika kau benar-benar peduli dengannya, akan jauh lebih baik jika kau tak memperkenalkan dirimu sebagai ibunya. Aku takut kau akan menghancurkan perasaannya mengetahui bahwa kau telah membuangnya, demi impian yang kini sudah berada dalam genggamanmu."

Kata-kata Mikail menohok tepat di jantung Megan. Kedua tangannya terangkat, menghapus air matanya dengan segera. Bagaimana pun ia ingin membantah ucapan Mikail, ia tetap tak bisa menyangkal kalimat pria itu. Mikail benar, ia tak bisa tiba-tiba merangsek masuk di kehidupan putranya begitu saja dan membuat kebingungan. Menghancurkan perasaan putranya.

"Papa!" Suara riang yang Megan kenali dan tak akan ia lupakan seumur hidupnya itu membuat seluruh tubuh Megan membeku. Langkah kaki yang semakin mendekat. Megan tak bisa menahan dorongan kepalanya untuk berputar. Tak hanya kedatangan Kiano yang membuat Megan terkejut. Tetapi keberadaan seorang wanita cantik yang datang bersama Kianolah yang kini menjadi pusat perhatian Megan. Terutama ketika pandangan Megan jatuh ke perut si wanita yang tengah buncit.

"Pelan-pelan, Kiano," ucap wanita cantik itu dengan lembut. "Maafkan aku, Mikail. Dia tak bisa menunggu."

Megan menahan gelombang kepedihan yang menerjang dadanya. Di antara kehampaan dan kekosongan hidupnya selama tujuh tahun terakhir, ternyata Mikail hidup dengan sangat baik. Bahkan pria itu tengah menyambut anak kedua dengan wanita lain. Rasanya tak ada lagi remahan-remahan yang tersisa dari hatinya yang sudah hancur lebur. Dan ia benci perasaan itu masih begitu memengaruhi dirinya bahkan setelah sekian lama keduanya berpisah.

Mikail hanya mengangguk pada wanita itu, sambil membungkuk dan menangkap tubuh mungil Kiano yang mencoba memanjat ke pangkuannya. "Hai, jagoan papa."

"Sudah makan siang?"

Kiano menggeleng. "Kiano ingin es krim."

"Es krim?" Salah satu alis Mikail terangkat, tampak mempertimbangkan keinginan sang putra. "Papa akan memberikannya sebagai pencuci mulut, bagaimana?"

Bibir Kiano mengerucut, tangannya terangkat ke sisi wajah. Dengan ekspresinya yang menggemaskan, anak itu mengerutkan kening. Sama seperti Mikail, mempertimbangkan tawaran sang papa. Akan tetapi, ketika sudut mata Kiano menangkap sosok yang tengah berdiri membeku di depan meja, perhatiannya segera teralih. Kerutan di kening dan kerucut di bibir anak itu lenyap seketika. Berubah menjadi kedua mata yang melebar penuh rasa penasaran. Tatapan kedua mata mungilnya tampak mengamati dengan saksama, ketika mengenali wajah di pemilik.

"Tante cantik?" Kiano baru menyadari keberadaan Megan.

Seluruh tubuh Megan membeku. Pertanyaan singkat yang diucapkan oleh Kiano mampu menciptakan gejolak di dadanya. Dengan perlahan, wajah Megan terangkat. Kedua matanya melebar, dan hatinya langsung trenyuh Kiano masih mengingat dirinya bahkan di pertemuan pertama mereka. Anaknya mengingatnya. Hanya satu kali pertemuan, Kiano mengenalinya.

Begitu pun dengan Mikail. Pria itu terkejut. Kepalanya yang kaku berputar dengan perlahan, dan langsung bersirobok dengan tatapan Megan. Keduanya saling pandang. Mikail menangkap pandangan emosional Megan dan Megan menangkap penolakan yang teramat jelas di mata mantan suaminya tersebut.

"Pa, bukankah dia tante cantik yang kemarin malam?" Kiano memutar kepala ke arah sang papa. Meminta persetujuan akan pertanyaannya.

Mikail memutus pandangannya dari Megan dan kembali menunduk ke arah sang putra. Raut wajahnya yang dingin seketika berubah lunak dan hangat ketika berpindah pada sang putra. "Ya, tante ini adalah rekan kerja papa."

Kiano manggut-manggut. Kemudian beralih ke arah Megan kembali dan bertanya, "Bolehkah Kiano bertanya, kenapa tante cantik meninggalkan kami?"

Seketika tubuh Megan menegang, air mata menggenang di kedua kelopak matanya. Pertanyaan anak mungil itu tepat mengena di dadanya. Selayaknya tombak yang dihujamkan tepat di jantungnya.

Ada ribuan pertanyaan yang sama yang memenuhi benaknya dan menjadi beban di pundaknya selama bertahun-tahun yang ia lalui ketika meninggalkan Mikail dan buah hatinya. Penyesalan yang tiada habis dan tak pernah berhenti hingga detik ini. Dan Megan yakin tak akan berhenti sampai kapan pun.

Menggantung mengerikan di atas kepalanya. Menghantui di setiap malamnya yang tak pernah menjadi lelap.

Kenapa ia meninggalkan Mikail?

Kenapa ia meninggalkan buah hatinya tanpa memandang wajah mungil itu, pun hanya untuk sedetik saja?

Sekarang, dari jarak sejauh ini. Megan bisa melihat kemiripan yang begitu intens antara dirinya dan anak itu. Bentuk hidung, garis wajah, alis, bibir, dan warna rambutnya yang kemerahan dan bergelombang. Semua adalah miliknya. Satu-satunya hal yang diturunkan oleh Mikail pada Kiano adalah tatapan tajam dan bola mata berwarna biru itu.

Semua bukti ini menampar Megan dengan keras, bahwa anak yang kini yang berada di pangkuan mantan suaminya tersebut adalah darah dagingnya. Yang sudah ia campakkan di hari ia melahirkan bayi itu. Yang sudah berusaha mati-matian ia hapus jejaknya dari kehidupannya yang sempurna, yang ternyata hanyalah sebuah cangkang kosong. Karena, akhirnya Megn menyadari dengan sepenuh penyesalan yang mengerak di dadanya. Bahwa isi kehidupannya adalah Mikail dan anak mereka. Kiano Matteo.

"Kiano?" Suara memanggil yang lembut dan terselip peringatan dari bibir Mikail membangunkan Megan dari lamunannya. Pria itu memutar tubuh mungil Kiano menghadapnya, kemudian berkata, "Tante cantik pasti memiliki alasannya. Dan tidak sopan bertanya tentang urusan orang dewasa."

Kiano memanyunkan bibirnya tak suka. Untuk pertama kalinya, tak setuju dengan petuah sang papa.

"Apa yang papa katakan tentang urusan orang dewasa?"

"Kiano anak yang baik dan sopan."

Mikail mengangguk mantap, kemudian menyentuh hidung sang putra dengan sebuah senyuman sebagai hadiah. "Pintar."

Kiano pun tersenyum lebih lebar.

Megan hanya membeku, menyaksikan interaksi ayah dan anak yang terpampang jelas di hadapannya. Seolah Mikail sengaja mendorongnya mundur, jauh-jauh dari kehidupan pria itu bahkan sebelum ia mendapatkan satu langkah pun untuk mendekat.

Tak bisa menahan air matanya yang akan meluap tak terkendali, tanpa sepatah kata pun Megan memutar tubuhnya dan berlari keluar ruangan. Sebelum Mikail menegaskan bagaimana menyedihkannya dirinya lebih banyak lagi.

Mikail benar, bahwa dirinya akan menyesali keputusannya yang telah meninggalkan pria itu dan putra mereka tujuh tahun lalu.

Dan sekarang, Megan rela menukar apa pun miliknya untuk kembali ke tujuh yang lalu demi mengubah keputusannya. Namun apa daya, penyesalannya tak memiliki ujung dan seberapa banyak dan besar penyesalan tersebut tak akan mengembalikan apa pun yang sudah raib dari genggaman tangannya.

Tangisannya tak berhenti, sepanjang perjalanannya kembali ke apartemen mewahnya. Dan kembali meringkuk dan berkubang dalam dosa terbesarnya yang tak akan terampuni.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status