Jelita hanya mendesah keras melihat Megan yang selama beberapa hari ini menghabiskan waktu lebih banyak berbarimg di tempat tidur. Menangis diam-diam, melamun, dan tak berselera makan. Mereka bahkan sudah membatalkan beberapa jadwal pemotretan karena keadaan wnaita itu yang tak memungkinkan.
Sekali lagi Jelita menunduk. Menatap sedih foto pernikahan yang masih tersimpan di dompet Megan dan tergeletak di nakas. Semalaman wanita itu pasti tak bisa tidur memandangi foto tersebut dan menangis melihat bengkak di kedua mata Megan yang semakin parah.‘Aku jatuh cinta, semua terasa begitu indah, tapi aku tak menyangka bahwa pernikahan bisa terasa begitu menekan diriku.’‘Saat itu aku masih begitu muda dan aku tak pernah tahu bagaimana cara menjadi seorang ibu.’Jelita teringat ucapan Megan, untuk pertama kalinya wanita itu sedikit membuka tabir kehidupan yang selama ini terpendam dalam-dalam. Tujuh tahun lalu, jadi ini alasan Megan tak menyelesaikan kuliah dan meninggalkan keluarga untuk pergi ke luar negeri. Melepaskan suami dan seorang putra karena impian masa muda.“Megan.” Jelita menyentuh pundak Megan yang berbaring miring memunggunginya. Menggoyang pelan membangunkan wanita itu.Perlahan kelopak mata Megan terbuka, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya matahari yang begitu terang. Sebelum kemudian menemukan wajah Jelita yang duduk si pinggir ranjang dan aroma bubur ayam berasal dari nampan di nakas.Enggan bangun, Megan menarik selimut kembali menutupi pundak. “Aku tidak ingin ke mana pun,” katanya kembali memunggungi Jelita.Jelita mendesah pelan, membuka selimut Megan hingga kaki. “Bangunlah, Megan. Kau tidak bisa seperti ini terus menerus.”Megan bangun, hanya untuk mengambil selimut di ujung tempat tidur.“Sampai kapan kau akan berbaring seperti ini, huh?” Suara Jelita lebih keras.Megan bergeming.“Hanya karena kesalahan di masa lalumu, sekarang kau ingin kembali menghancurkan hidupmu, huh?”Megan tetap bergeming. Menutup selimut hingga ke kepala dan meringkuk seperti bola.Jelita tak kehilangan akal. Sekali lagi ia menarik selimut, saling tarik dan akhirnya ia berhasil mengalahkan kekuatan Megan yang sudah beberapa hari kekurangan gizi. Melempar selimut itu jauh dari tempat tidur.Megan bangkit, tetapi melihat selimut yang berada jauh dari jangkauan tangannya membuatnya menatap Jelita dengan kesal. “Aku tidak butuh semua ini!” teriaknya.“Lalu apa kau akan membuang semua pencapaianmu seperti kau membuang suami dan anakmu, huh?”Megan membeku, kata-kata yang dihujamkan Jelita tepat mengenai dadanya. Tubuh Megan meluruh, membekap wajah dengan kedua telapak tangan dan terisak.Mata Jelita terpejam, menyesali kata-katanya tetapi tak ada cara lain untuk menghentikan Megan menghancurkan dirinya sendiri. Ia kembali duduk di pinggiran ranjang dan memeluk Megan. Membiarkan wanita itu melanjutkan tangisan hingga puas.“Aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sini,” isak Megan menurunkan kedua tangan dari wajah dan menepuk-nepuk dadanya yang terasa dicenngkeram. “Dia begitu nyata. Aku ingin menyentuhnya, tapi … bahkan keingian sekecil itu membuatku merasa malu pada diriku sendiri.”Jelita mengangguk pelan, merangkum wajah Megan dan menyeka air mata wanita itu dengan kedua ujung ibu jarinya. “Aku mengerti rasa bersalahmu.”“Apakah keinginan itu terlihat sangat tidak tahu malu?” Isakan Megan semakin tersedu. “Apakah aku tidak berhak menyentuhnya?”Jelita menggeleng. “Shh … dia darah dagingmu. Kau adalah ibunya dan kau berhak merindukan dia.”“Itu membuktikan bahwa aku menjilat ludahku sendiri.”“Tidak, Megan.” Jelita menggeleng. “Itu menandakan bahwa kau masih mempunyai hati. Bukankah itu baik? Itu membuktikan bahwa kau memanglah ibunya. Darah memang selalu lebih kental dari air.”Isakan Megan terhenti. Menyelami kata-kata Jelita dalam-dalam. Tangannya terangkat dan menyentuh dadanya.“Temuai Mikail. Kalian bisa bicara baik-baik dan meminta dia mempertemukanmu dengan putramu. Aku yakin dia pun tak ingin memisahkan kalian.”“Dia tidak mengenaliku. Bukankah itu berarti selama ini Mikail tidak pernah memberitahu tentangku padanya?”Jelita terdiam. Tampak berpikir sejenak. “Dia pasti punya alasannya.”Megan teringat kata-katanya tujuh tahun yang lalu pada pria itu.‘Aku tidak ingin melihat wajahnya.’Ya, Megan tak ingin melihat wajah bayi yang baru ia lahirkan beberapa jam yang lalu. Sekali lagi tumpahan air mata membasahi wajah Megan ketika ingatan itu kembali terputar di benaknya.***Megan menatap gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Bersamaan pertanyaan muncul di benakanya. ‘Bagaimana jika Mikail belum memaafkannya?’Megan menggenggam kedua tangannya yang mulai gemetar. Menghela napas panjang. Setidaknya ia patut mencobanya. Ia pun menurunkan kaca mata hitamnya sebelum menaiki tangga menuju teras gedung, melintasi lobi yang luas dan menanyakan pada resespsionis ruangan CEO. Yang langsung mengarahkannya menuju lantai teratas. Beruntung nama besarnya cukup membantu kelancarannya untuk menemui sosok Mikail Matteo. Perjalanan selama lima menit itu berlangsung begitu lama, dengan kegugupan yang tak henti-hentinya menghentak jantungnya.Tangannya yang berkeringat kembali turun dari gagang pintu di depannya. Hembusan kasar terhempas dari kedua bibirnya sambil menggosokkan basah di telapak tangannya di samping tubuhnya.“Apakah Anda butuh bantuan, Nona Ailee?” tawar sekretaris Mikail yang beranjak bangkit melihat Megan hanya berdiri membeku di depan pintu.Megan tersentak pelan dan menoleh, lalu menggeleng dengan cepat. Sekali lagi menghela napas panjang, menguatkan hati dan mendorong pintu di depannya. Satu langkah pertama, tatapannya langsung bertemu dengan ketajaman manik Mikail yang menyambut kedatangannya. Namun pandangan pria itu terlihat begitu ramah dengan seulas senyum di kedua ujung bibir. Bahkan pria itu menyempatkan diri untuk berdiri sejenak. Terlihat setenang air danau.Berbanding terbalik dengan air muka Megan yang dipenuhi kegugupan, karena tak tahu harus menampilkan ekspresi seperti apa. Ia terus melangkah hingga berdiri di depan meja Mikail. Menolak tawaran Mikail untuk duduk di kursi. Rasanya berdiri lebih memudahkannya jika sewaktu-waktu ia ingin melarikan diri seperti terakhir kali.Mikail kembali duduk. “Manager Anda tidak menghubungi saya untuk pertemuan mendadak ini, Nona Ailee,” ucapnya penuh keformalan.Megan menelan ludahnya. Merasakan Mikail yang memperjelas jarak yang sengaja pria itu bentangkan di antara mereka. Seolah tak pernah ada masa kelam yang pernah keduanya lalui. Ya, ia tahu Mikail pasti hidup dengan baik dan melupakan semuanya dengan begitu mudah. Dan fakta itu membuat tangan tak kasat mata mencubit hatinya.“Aku ingin bicara.” Megan berjuang keras mengeluarkan suaranya yang kering tak terdengar seperti cicitan.Raut muka Mikail berubar datar. Mencermati setiap inci wajah cantik Megan. Wanita itu masih terlihat begitu cantik dan menawan. Ia mengerti kenapa kamera begitu menyukai wanita satu ini. Sebagai pria dewasa pun, ia tak akan bersikap munafik untuk menyangkal semua fakta itu.“Well, apakah masih ada urusan pribadi yang perlu kita bicarakan, Megan?” Mikail menyandarkan punggung dan menautkan kedua tangan di depan dada.Mata Megan mengerjap. Semudah itu Mikail memutus dan melupakan apa pun yang pernah terjadi di antara mereka. “Aku ingin bertemu dengannya.”Tentu saja Mikail tahu dengan siapa yang dimaksud oleh Megan. Setelah begitu mudahnya Megan mencampakkan dirinya dan Kiano, kini dengan sikap arogannya wanita itu kembali muncul. Tanpa sedikit pun kata maaf terucap.“Aku ingin bertemu dengan anakku?” ulang Megan dengan suara yang lebih keras karena Mikail hanya terdiam.“Bolehkah aku mendengar kata terakhir yang kauucapkan, Megan?” Mikail menyentuhkan telunjuk di daun telinganya.“Hanya untuk memastikan aku tidak salah dengar?” Mata Mikail mengamati Megan dari atas ke bawah dengan pandangan mencemooh. Megan menangkap cemooh yang tersungging arogan di ujung bibir Mikail. Menelan rasa tidak tahu malunya. “Dia memang anakku, Mikail. Kau tak bisa menyangkal fakta itu.”“Anakmu?” decih Mikail. “Bagaimana tidak tahu malunya dirimu mengatakan pengakuan semacam itu, Megan. Tidakkah kau ingat apa yang sudah kau lakukan pada kami tujuh tahun lalu?”Mikail dan Kiano masih menunggu baby Kylie di ruang bayi setelah mengantarkan Megan ke ruang perawatan. Memastikan sang istri untuk istirahat sebelum pergi, tetapi Megan tak bisa tidur. Pun dengan rasa lelah dan letih yang masih membuatnya lemah dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa lapar setelah semua tenaga yang ia kerahkan saat persalinan. Suara pintu diketuk, Megan menoleh. Sepertinya perawat yang disuruh Mikail untuk membawakannya makanan untuknya. Tetapi wajahnya berubah masam ketika bukan perawat yang muncul, melainkan Marcel. Satu tangan membawa nampan berisi makanan dan satu tangannya disembunyikan di belakang. Membuat Megan berkerut kening akan sikap aneh pria itu. “Kenapa kau di sini, Marcel?” tanya Megan dengan nada tak bersahabat seperti biasa. Marcel tak menjawab, pria itu meletakkan nampan di nakas. “Aku tahu kau tak akan suka jika aku menyuapimu, kan?” Megan hanya mendengus tipis. Tentu saja ia akan menunggu Mikail. Dan ia langsung mengambil ponsel untuk
Delapan bulan kemudian … Megan memuntahkan seluruh isi perutnya di lubang toilet dengan hentakan yang kuat dari dalam perutnya. Membungkuk dengan kedua tangan bersandar di dinding karena perutnya yang besar membuatnya kesulitan berjongkok. “Kau muntah lagi?” Marcel muncul dari balik pintu yang tak sempat Megan tutup ketika bergegas masuk ke kamar mandi. Berdiri di belakang Megan sembari menggosok pelan punggung wanita itu. Megan yang sudah lemas, tak punya kekuatan untuk menolak perhatian Marcel, apalagi untuk memanggil Mikail yang masih belum turun ke lantai satu. Kedua kakinya melemah dan jatuh bersandar ke tubuh Marcel, sesi muntahan itu akhirnya berhenti dan Marcel mendudukkan Megan di lubang toilet. “Lepaskan dia, Marcel.” Mikail muncul di ambang pintu. Menghampiri Megan dan menarik lengan sang adik untuk menjauh dari istrinya. Marcel hanya mengedikkan bahu dan menuruti keinginan sang kakak meski tidak meninggalkan kamar mandi. Ia mengamati Mikail yang mengambil beberapa lem
Jelita menurunkan ponselnya dari telinga dengan helaan napas yang lolos dari kedua lubang hidung dan bibirnya. Matanya terpejam dengan telapak tangan yang menyentuh perutnya yang masih rata. Pernikahan? Ia tak bisa menolak Nicholas yang ingin menikahinya. Terutama setelah pria itu tahu saat ini dirinya tengah hamil. Ya, seminggu yang lalu. Tiba-tiba ia pingsan di tempat pemotretan Nicholas, pria itu membawanya ke rumah sakit. Dan saat ia terbangun dari pingsannya, pria itu sudah menyelipkan cincin di jari manisnya dengan omong kosong tentang pernikahan. “Apa-apaan ini, Nicholas?” Jelita berusaha melepaskan cincin tersebut dari jari manisnya tetapi ditahan oleh Nicholas. “Menikah? Apa kau kehilangan kewarasanmu? Apa kepalamu baru saja dilempar kamera? Atau kejatuhan lampu?” rentetnya dengan kesal. Bukankah ia yang jatuh pingsan, kenapa malah Nicholas yang kehilangan otaknya. Nicholas hanya menarik seulas senyum sebagai jawaban. “Kita harus menikah. Kita membutuhkan pernikahan ini.”
Sepanjang perjalanan, Megan sengaja membisu. Matanya terpejam, menahan tangisan kekecewaan dan perasaannya yang campur aduk. Semua ingatan buruknya naik ke permukaan. Keberengsekan Marcel, kehamilannya, pertengkarannya dan Mikail, lalu perceraian mereka. Semua memenuhi benaknya, menekan dadanya. Setelah semua ini, kenapa kenyataan ini harus naik ke permukaan. Menamparnya dengan keras.Setelah setengah jam kemudian, Mikail menghentikan mobil tepat di teras rumah. Belum sempat mematikan mesin mobilnya, Megan sudah membuka pintu mobil. “Tunggu, Megan.” Tangan Mikail tak sempat menangkap tangan Megan yang sudah melompat turun. “Kau harus hati-hati. Kakimu …” Mikail pun menyusul melompat turun dari dalam mobil.Mikail semakin dibuat kebingungan oleh perubahan sikap Megan. Ia setengah berlari mengejar dan berhasil menangkap pergelangan tangan wanita itu di tengah ruang tamu. “Apa yang terjadi, Megan? Kenapa denganmu?”Megan menatap wajah Mikail dengan penuh kekecewaan, tetapi bibirnya tetap
Satu bulan kemudian … Setelah satu bulan. Dengan diantar Mikail, akhirnya hari ini Megan kembali ke rumah sakit untuk melepaskan gips di kaki kanannya. Retakan di tulang kaki Megan sudah sembuh, meski harus tetap hati-hati dan menggunakan peyangga demi melatih kaki yang sudah lama tidak digunakan untuk jalan. Sekarang keduanya berada di lift, hendak turun ke lantai basement dan kembali pulang. Megan duduk di kursi roda, meski sudah bersikeras akan berjalan kaki dengan peyangga saja, Mikail malah mendudukkan pantatnya di sana. Mendorong kursi roda dan membungkam protes Megan dengan tegas. “Jam berapa sekarang?” “Dua.” “Kiano sudah pulang?” “Ya, Marcel sudah menjemputnya, dia baru saja sampai di sekolahnya Kiano.” Megan mendesah kesal. Selama satu bulan penuh dan karena kakinya yang butuh perawatan khusus, Mikail menyerahkan semua tentang Kiano pada Marcel. Ya, Megan masih belum sepenuhnya menerima sikap baik Marcel meski pria itu selalu memperlakukannya dengan baik. Seperti yang
Mikail membeku dalam ketercengangannya, kehilangan kata-kata ketika menemukan perut Alicia yang membesar hanyalah sebuah perut palsu yang dililit di pinggang. Sekilas tampak seperti nyata, tapi … itu terbuat dari bantalan kain yang menyerupai perut asli. Bahkan memiliki pusar di tengahnya. Cukup lama bagi Mikail untuk mencerna apa yang disaksikannya saat ini, dalam kebingungannya ia berusaha menemukan pijakannya. Alicia membelalak, terkesiap dengan keras dan wajahnya tertunduk menatap perut palsunya yang sekarang terekspos di hadapan Mikail. Kebohongannya terbongkar, dilucuti habis-habisan tak hanya oleh Mikail, tetapi juga oleh Marcel. Tidak, kebohongannya yang sudah ia bangun mati-matian, tidak bisa terbongkar semudah ini. “M-mi …” bibirnya bergetar hebat, bahkan hanya untuk memanggil nama Mikail. Ia bahkan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi, tetapi kembali dipatahkan oleh kalimat Marcel. “Dia benar-benar menipumu mentah-mentah, Mikail. Aku sudah mengatakan padamu, kan.