"LEPASKAN DIA!" Teriakan Reyvan menggelegar bak petir menghantam malam. Matanya nyalang tajam, deru napasnya memburu. Dadanya bergejolak hebat siap meledak."Rey?" Dia refleks menoleh. Amber terpaku. Jantungnya berdetak cepat melihat sosok Reyvan yang tiba-tiba muncul dengan wajah murka.Tanpa sepatah kata pun, Reyvan melangkah cepat. Tangannya terulur kasar, menarik Dion dari sisi Amber. BUGH! Lalu, satu pukulan telak mendarat di rahang Dion."Dasar bajingan! Beraninya menculik istriku!"Reyvan memberikan hadiah sikuan keras ke perut Dion, membuat lawannya terbungkuk sejenak."Akhh!" Dion memekik jerit. Dia memegang perutnya."Reyvan. Jangan gegabah!" Saat Amber hendak maju, Prama menahan dan menggeleng.Reyvan kembali hendak melayangkan tangannya pada Dion. "Argghh!"Dion tak tinggal diam. Cepat dia menangkis pukulan itu dan melayangkan tendangan ke samping tubuh Reyvan."Berani kamu menyerangku, ha?" Dion menyeringai. "Kamu pikir aku takut?!'Mereka beradu pukulan hampir imbang.R
Reyvan dan Prama berlari cepat menuju rumah reyot seperti yang dia dapatkan dari informasi. Nafasnya memburu berat, tidak beraturan seiring detak jantung yang kian menghantam dadanya."Di mana rumah itu, Pram! Kenapa belum sampai juga?! Jangan-jangan informasi itu nggak benar?!" Sentaknya dengan suara tajam, matanya menatap lurus ke depan."Kita hampir sampai, Pak! Saya jamin informasinya tepat. Mungkin masih di depan sana!" Prama tetap berlari, suaranya tersengal oleh napas yang terengah.Reyvan menggeram, rahangnya mengeras. “Argghh! Sial! Jangan sampai kita terlambat menemukan Amber!”Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka baru sampai di depan rumah reyot yang dimaksud.Begitu masuk, mata Reyvan membeliak tegang. Napasnya tertahan. Kosong!"Mana Amber?!" teriaknya lantang.Dia mengedar pandangan ke setiap sudut ruangan. Matanya liar, begitu takut dan gelisah. Tangan kanannya mengepal kuat.Rumah itu tampak porak-poranda. Kursi terbalik, pecahan kaca berserakan, dan tali yang masih
"Semua sudah dibereskan? Jangan sampai ada jejak.""Sudah beres, seperti yang Bos mau. Sekarang kita bawa dia pergi!"Suara itu terburu-buru. Dua pria bermasker dan bertopi saling memberi kode, lalu menutup rapat pintu mobil hitam. Amber tergeletak tak sadarkan diri di kursi belakang. Ada satu pria yang menjaganya dan selalu melirik ke arah Amber sesekali, waspada kalau saja dia terbangun lebih cepat.Mobil itu melaju kencang, menerobos jalan-jalan sepi menuju sebuah tempat di pinggiran kota.----Sementara itu, Reyvan berdiri di tengah ruang kerjanya menatap tajam. Dua bawahannya baru saja datang dengan wajah tegang."Kami ... kami kehilangan Nyonya Amber, Pak. Dalam hitungan detik dia hilang dari pengawasan kami.""Apa kalian bilang?!" teriak Reyvan menggelegar dengan tatapan nyalang. Napasnya memburu berat dengan tangan meremas kepalan. Amber dikatakan hilang, padahal kondisinya masih lemah. Jelas emosinya langsung naik tanpa kontrol.Cepat Reyvan mencengkram kerah salah satunya
"Bagaimana kabar kalian semua? Apa bisa tidur nyenyak beberapa hari ini?" Suara bariton menambah mereka gemetar. Langkah Reyvan berat, tegas, dan pelan mendekat. Sosok Reyvan muncul di ambang pintu, matanya tajam pada satu per satu wajah yang ada di ruangan. Sorotnya nyalang, seperti binatang buas yang mencium aroma darah.Semua reporter langsung menunduk. Tak ada satu pun yang berani menatap matanya. Pikiran mereka semua kacau seketika.Tanpa basa-basi, Reyvan menyentak tajam. "Katakan, siapa yang menyuruh kalian? Mumpung aku masih perbaiki hati pada kalian!"Tak ada yang bicara. Hening, nyaris seperti tak ada napas di ruangan itu.Lalu, Reyvan melangkah lebih dekat, suaranya kembali meninggi, menghantam dinding."Aku tanya sekali lagi, siapa yang menyuruh kalian?! Hah!"Mereka gemetar dan dilema. Karena tahu siapa yang sedang dihadapi di depan mata, tapi Bagaimana dengan keselamatan keluarganya di sana?Akhirnya satu reporter pria mengangkat kepala sedikit."Ti-tidak ada yang menyu
Di sebuah restoran, suasana tenang tak mampu meredam ketegangan yang mendidih di meja pojok.Grace duduk bersandar dengan tangan terlipat gelisah, bola matanya liar menatap ke jendela seolah ingin meledakkan sesuatu. Di depannya, Tania memutar gelas kosong dengan wajah yang sama kusut dan geram.Grace mendengkus kesal. "Gimana sekarang, Tante? Aku sudah pakai ide Tante, tapi belum bisa dapat hasilnya. Gimana kalau akhirnya Reyvan malah dapat bukti dan menyalahkanku? Dia pasti makin membenciku."Tania berdecak, menyandarkan punggungnya sambil menatap tajam. Dia kira Grace yang berpenampilan elegan dan model internasional itu pintar, ternyata bodoh. Kini dia sendiri sedang gelisah dan cemas kalau Reyvan tahu dia ada di belakang Grace."Tenang dulu, Grace. Tante makin pusing dengar rengekanmu. Tante bilang gimana caranya kamu bisa ada di atas ranjang sama Reyvan, bukan cuma masuk terus keluar dari kamar hotel. Kalau cuma gitu, siapa yang mau tanggung jawab dan langsung menikahi?"Grace m
"Cukup! Atau aku yang akan keluar karena pusing melihat kalian berdebat!" teriak Amber. Suaranya menggema memecah ruangan. Sontak dua pria itu terdiam. Tiba-tiba, Amber memegang perutnya yang terasa nyeri, sambil meringis.Sekian detik, dua pria itu malah saling bereaksi siapa yang lebih cepat mendekat pada Amber.Reyvan dan David serempak mendekat dengan wajah panik. Saling sikut, saling dorong, mereka berebut tempat di sisi ranjang Amber."Jangan dorong aku, Rey!" geram David."Minggir! Jangan halangi aku, dia istriku!" bentak Reyvan balik.Kepala Amber berdenyut keras. Dia memejamkan mata, menahan rasa mual dan pusing yang mulai menusuk."Kamu sakit lagi, Amber? Aku akan panggil dokter sekarang." Reyvan berkata cemas sambil buru-buru mengeluarkan ponselnya.David melotot. "Aku dokter, Reyvan!" teriaknya keras, penuh tekanan.Amber makin pusing. Padahal tadi semuanya hanya akting—pura-pura pusing dan sakit perut demi keluar dari tekanan keluarga dan drama Grace. Tapi sekarang, rasa