Embun menghela napasnya pelan. Dia tidak akan banyak bertanya pada Kaisar tentang pekerjaan pria tersebut. Pria itu bukan hanya sudah berbaik hati menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, tapi Kaisar juga mengizinkan Embun untuk tinggal di kediamannya. Demikian, rasanya kurang sopan bagi Embun jika menyelidiki Kaisar lebih jauh lagi.
Setelah menyelesaikan transaksinya, Embun bergegas memesan taksi online yang akan mengantarkannya ke rumah sang kakak. Hari ini juga dia akan berpamitan dengan Rindang.
Rumah Rindang terlihat sepi saat Embun tiba. Ibu mertua sang kakak sepertinya sedang tidak ada di rumah.
Embun menarik tangan kakaknya ke dalam kamar. Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang.
"Kak, aku hanya mau bilang bahwa hari ini aku mau pindah. Aku sudah menikah tadi pagi dan suamiku memintaku untuk tinggal bersamanya."
Kalimat Embun itu sukses membuat mulut kakaknya terbuka.
“Bisa-bisanya kamu menikah tanpa memberitahu kakak terlebih dahulu!?”
Kalau bukan karena akta nikah yang Embun tunjukkan sebagai bukti, mungkin sang kakak akan mengira Embun sedang bercanda!
Rindang betul-betul terkejut dengan semua yang terjadi. Kenapa adiknya itu menikah secara tiba-tiba dan tanpa memberitahunya terlebih dahulu? Bukan hanya itu, Embun sampai memutuskan pindah dari rumahnya hari itu juga? Apakah ini semua karena omongan ibu mertua Rindang?
Namun, menepiskan hal tersebut, Rindang lebih khawatir mengenai siapa pria yang adiknya itu nikahi secara mendadak!
“Siapa suamimu?! Kamu tidak mengenalkan suamimu pada kakak?!” Mata Rindang berkaca-kaca. Dia marah sekaligus kecewa pada adik semata wayangnya itu. “Kapan juga kamu dapat pacar!?”
Rindang takut jika Embun menikah dengan pria jahat dan brengsek yang hanya akan merusak hidup adiknya. Apalagi selama ini Rindang juga tidak pernah mengetahui siapa saja pria yang dekat dengan adiknya itu lantaran terlalu sibuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Embun tersenyum tak berdaya. “Kak, tenang saja. Suamiku, Kaisar, sangat baik,” tegas Embun.
Dengan mahir, Embun mengarang cerita dan mengatakan bahwa dia telah menjalin hubungan cukup lama dengan Kaisar. Dan karena keduanya memang sudah di usia yang cocok, akhirnya mereka pun memutuskan untuk menikah.
Embun tahu harusnya dia tak boleh berbohong pada kakak semata wayangnya itu. Tetapi, ini adalah satu-satunya cara agar membuat kakaknya tenang dan tidak mengkhawatirkannya lagi.
“Maaf ya Kak kalau pernikahanku terkesan mendadak,” lanjut Embun. Dipandanginya wajah sang kakak di hadapan.
Rindang adalah satu-satunya saudara kandung yang dimiliki Embun. Kedua orang tua mereka telah meninggal saat mereka masih sekolah.
Meskipun Embun dan Rindang mendapatkan uang santunan dari kecelakaan orang tua mereka, tetapi keluarga dari pihak ibu mengambil bagian sebagai ganti atas perawatan yang mereka berikan pada keduanya.
Di sisi lain, Rindang dan Embun tidak tahu banyak tentang keluarga ayahnya.
Dengan uang santunan kecelakaan yang tersisa setelah diambil keluarga sang ibu, Rindang dan Embun pun susah payah bertahan hidup. Mereka harus menghemat agar bisa membiayai sekolah hingga lulus. Sampai akhirnya, Rindang pun menikah dan mereka tinggal di rumah suami Rindang.
Beruntung, Embun adalah gadis pandai berkemampuan tinggi yang bisa menyisihkan dan mengelola uangnya. Sehingga di usianya yang tergolong muda, dia bisa mendirikan kafe sendiri dengan uang pribadinya.
“Lihat, Kak. Bagus tidak?” pamer Embun menunjukkan cincin kawinnya pada sang Kakak. Wajahnya dibuat seceria dan sebahagia mungkin.
Rindang mengamati cincin dengan berlian mungil yang melingkar di jari manis adiknya itu. Terlihat sederhana, namun cantik dan sangat elegan.
“Iya. Bagus,” balas Rindang dengan senyuman tipis.
Melihat cincin mahal yang tersemat di jari adiknya, Rindang mulai percaya jika Embun telah menikah dengan pria yang tepat. Dia berharap adiknya itu akan hidup bahagia dengan keluarga barunya.
Tetapi, perasaan bersalah pada Embun masih menggelayuti hati Rindang. Jelas bukan kebetulan Embun pergi dengan tiba-tiba setelah ibu mertuanya mempermasalahkan gadis itu.
Rindang mendekati adiknya. Dipeluknya sayang adik semata wayangnya itu. Senyum haru tersemat di bibirnya. Matanya berkaca-kaca mengingat perjuangan mereka berdua untuk bertahan hidup selama ini.
“Kakak bisa apa lagi sekarang selain melepasmu dan merelakanmu pindah ke rumah suamimu,” isak Rindang di sela pelukannya pada Embun.
Embun membalas erat pelukan sang kakak. Air mata pun turun dari kedua matanya.
Seakan teringat sesuatu, Rindang melepas pelukannya dan menatap Embun. "Embun, kamu juga harus meminta jaminan pada suamimu untuk jaga-jaga kalau dia jahat sama kamu.”
Embun mengernyitkan dahinya. “Jaminan? Maksud Kakak jaminan apa?” tanya Embun bingung.
“Jika suamimu sudah punya rumah, mintalah sertifikat rumah atas namamu. Jika sewaktu-waktu dia menyakitimu, kamu masih punya rumah setidaknya bisa untuk bekalmu nanti. Itu yang namanya jaminan, Dek!” terang Rindang.
“Bukan berharap terjadi hal-hal yang tidak baik. Hanya untuk berjaga-jaga saja,” lanjut Rindang sambil menyunggingkan senyumnya.
Mata Embun sontak terbelalak. Sertifikat rumah?! Yang benar saja!?
“Kak, menurutku itu tidak perlu.” “Hanya untuk jaga-jaga. Kita tidak pernah tahu pernikahanmu ke depannya akan seperti apa. Ini juga untuk kebaikanmu.” Rindang mencoba menjelaskan. Sebagai wanita yang sudah menikah, Rindang lebih paham tentang hal itu. Apalagi jika menjadi istri yang tidak memiliki penghasilan, sertifikat rumah seperti itu akan menguntungkan. Walaupun Embun memiliki penghasilan sendiri, tetapi setidaknya kehidupannya bisa terjamin dengan baik jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Kurasa aku tidak akan meminta hal itu pada suamiku, Kak.” Embun berusaha menolak permintaan Rindang. “Baiklah kalau kamu tidak mau, tapi kalau begitu kakak juga tidak jadi memberikan restu untuk pernikahanmu.” Embun menatap Rindang tidak percaya, lalu detik berikutnya menghela napas. “Baiklah Kak, aku akan coba bicarakan dengan Kaisar.” Embun bisa melihat Rindang tersenyum senang atas ucapannya. Ada perasaan bersalah di hati Embun melihat Rindang tersenyum seperti itu, karena se
“Lihat itu, Pak Kaisar tersenyum.” “Aku tidak pernah melihat Pak Kaisar tersenyum seperti itu. Apa jangan-jangan Pak Kaisar punya kekasih, ya?” Para peserta rapat saling berbisik sejak melihat Kaisar menggunakan ponselnya dan tersenyum. Kaisar berdeham untuk meredakan bisik-bisik di ruang rapat. Dia menyadari rapat siang ini menjadi tidak kondusif karena dirinya. “Lanjutkan rapatnya,” kata Kaisar acuh tak acuh. Nicholas, anak dari kakak pertama Kaisar yang duduk paling dekat dengannya mencondongkan kepala ke arah sang paman. “Paman, apa betul Paman baru saja menikah dengan gadis pilihan Kakek?” bisik Nicholas pelan. Kaisar hanya menjawab pertanyaan keponakannya itu dengan helaan napas tanpa melirik sedikit pun ke arah Nicholas. “Jadi, sungguh Paman sudah menikah?” bisik Nicholas lagi. Kali ini Kaisar menatap tajam keponakannya itu. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapan matanya jelas mengisyaratkan keponakannya itu untuk segera menutup mulutnya. Nicholas tersenyum cang
Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska. “Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.” Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.” Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….” “Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya. Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang. Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini. Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga. Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, t
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut
Perlahan Embun menghampiri Kaisar yang tengah duduk di sofa dengan tenang dengan kaki bersilang. Punggung pria itu tampak sedang menyandar nyaman di sandaran sofa. Lelaki itu memandangi kedatangan Embun dengan tajam, membuat gadis itu menelan ludah ketika melihat wajah suaminya itu terlihat sangat masam. Tak ada senyum tersungging di bibir Kaisar. Wajah kaku dan dingin seperti yang dilihat Embun tadi pagi saat pertama kali bertemu. Apakah suaminya itu marah padanya karena dia baru saja pulang? Ada rasa tak enak menjalar di hati Embun. Dia bersalah karena sudah pulang lebih lambat dari suaminya itu. “Maaf, saya pulang terlambat,” cicit Embun mencoba memecah kebekuan di antara mereka. Tak ada respon apa pun dari Kaisar. Langkah kaki Embun mengitari sofa dan duduk di seberang Kaisar, sambil menaruh bungkusan makanan yang dia bawa dari luar ke atas meja kaca di hadapan mereka. “Waktu pulang tadi saya melewati kedai martabak yang terkenal. Jadi saya beli satu untuk kita makan berd