“Dasar gadis aneh! Aku sekarang suami kamu. Bisa tidak, bersikap manis sedikit saja?” Deniz menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tendangan maut, Marissa.
Ia melirik ke sebelah, di mana gadis yang baru saja dinikahinya itu duduk dengan wajah cemberut. Benar saja, Marissa menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah yang tidak dapat Deniz deskripsikan.
“Tapi kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan mengirim kamu sebagai jodohku?” ujar Marissa yang membuat pria itu melebarkan kelopak matanya.
“T-Tunggu! Apa maksud dari ucapanmu itu, Nona?” Deniz tersinggung, ia meminta penjelasan dari, Marissa.
“Ya itu lah. Seharusnya Tuhan tidak memilih kamu untuk menggantikan, Kevin.” Jawab Marissa dengan begitu polosnya.
“Hei, Nona! Memangnya apa kekuranganku?” Deniz tidak terima, ia membuka kedua tangannya.
Marissa menoleh, ia memindai sosok pria tersebut dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian Marissa mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi mobil.
“Huft ….” Marissa menghembuskan napasnya dengan kasar. Mana mungkin dia mengatakan, jika sekarang pria itu terlihat berbeda 180 derajat.
“Bukankah aku sudah menolongmu? Jangan lupa dengan janjimu padaku!” Deniz mengingatkan gadis itu. Ia memilih untuk bersikap sama, melihat jalanan beraspal lewat jendela mobil.
Ucapan dari Deniz mendapatkan lirikan sinis. Marissa tidak menjawab, gadis itu seakan tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana jika keluarganya tidak menerima keputusan yang telah ia buat. Bagaimana pula sambutan kedua orang tuanya setelah mendapatkan menantu yang bagi mereka tidak jelas asal usulnya.
“Asal kamu tidak memanfaatkan aku dengan kuasamu,” akhirnya gadis itu bersuara.
“Mana mungkin? kamu belum mengenalku? Aku tidak peduli dengan apa yang kamu miliki saat ini. Asal kamu tahu, aku tidak butuh itu.” Jawab Deniz meyakinkan Marissa yang curiga jika kepadanya.
“Aduh, tuan sok kaya. Kamu dapat pinjaman semua barang ini dari mana, hah?” Marissa merasa sanksi, jika pria itu tidak melibatkan uang dalam rencananya.
Marissa, ia menilai Deniz masih sama seperti beberapa tahun yang lalu kecuali soal usia. Ia mengenal Deniz dengan kacamata tebal dan setelan kemeja vest yang menambah kesan jauh dari kata—tampan.
“Hem, menurutmu begitu?” di sudut bibir Deniz tersungging senyuman. Ia berusaha mengabaikan pertanyaan dari istrinya.
Masih teringat dalam benak, Marissa. Jika pria yang kini menjadi suaminya tak lebih adalah sosok pria menyedihkan. Ia selalu mendapatkan bullying victim saat dulu di sekolah, hanya karena keluarga Deniz bukan dari kalangan seorang bangsawan. Seingat Marissa, Deniz bisa masuk ke salah satu sekolah ternama di kota karena pria itu mendapatkan—beasiswa.
“Antarkan aku pulang!” tiba-tiba saja Marissa merajuk, ia merasa enggan berurusan dengan pria yang duduk di sampingnya itu.
“Baik. Aku antar kamu pulang untuk menyelesaikan masalahmu.” Jawab Deniz tanpa melihat ke arah, Marissa.
“Masalah? Aku tidak punya masalah. Apa yang sedang kamu bicarakan, Deniz?” gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Setelah apa yang terjadi padamu. Apa kamu akan tetap pulang ke rumah itu? Ayolah! Aku sangat tahu siapa dirimu sebenarnya.” Deniz menjawabnya dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan pada gadis berambut ikal tersebut.
Marissa terdiam, bibirnya seolah terkunci rapat. Tiba-tiba saja memori tentang perselingkuhan Kevin dan Joanna melintas di depan matanya. Bayangan itu seakan berputar layaknya adegan di layar lebar.
“A-Aku,” Marissa menelan salivanya dengan paksa, ia merasa kerongkongannya begitu kering hingga tidak bisa menelan saliva dengan baik.
“Walau bagaimanapun, aku adalah suamimu. Apa yang terjadi padamu adalah tanggung jawabku sekarang,” ujar Deniz yang membuat marissa menatap tidak percaya.
Gadis itu menunduk, ia meremas tas selempang yang ada di pangkuannya. Ia menyayangkan nasib sial yang dialaminya dalam satu hari. Apalagi saat Tuhan mengabulkan permintaannya menikah dengan pria selain, Kevin. Marissa merasa jika kesialannya semakin bertambah ketika ia berjumpa dengan Deniz, teman masa lalunya.
“Bisa kita turun kembali?” suara Deniz membuyarkan lamunan, Marissa.
Ia mengangkat wajahnya dan mendapati pemandangan halaman rumah sudah ada di depan mata. Pagar berjeruji besi itu menjulang tinggi bak sebuah istana, tapi kenyataannya Marissa tidak menemukan kebahagiaannya di dalam sana.
“Oh, i-iya.” Marissa yang merasa gugup mencoba untuk bisa mengendalikan emosinya.
“T-Tapi ….” gadis itu tidak meneruskan kalimatnya.
“Tidak apa-apa. Jangan takut! Ada aku,” kalimat yang diucapkan oleh Deniz membuat hati Marissa sedikit tenang.
Tanpa banyak kata, Marissa turun dari dalam mobil sesuai apa yang diperintahkan oleh Deniz. Gadis itu berdiri terpaku beberapa saat hingga Deniz menyentuh tangannya yang terasa dingin. Pria itu menggenggam dengan erat, tanpa Marissa sadari suhu tubuhnya kini sedikit menghangat.
“Bagaimana jika mereka menolak kedatangan kita?” bisik Marissa saat keduanya berjalan menuju teras kediaman keluarga, Sawyer.
“Tidak akan,” berulang kali Deniz meyakinkan agar Marissa tidak perlu mengkhawatirkan soal apapun.
Hingga mereka sampai di depan ruang tamu yang berukuran tidak seberapa besar. Keduanya telah disambut dengan wajah yang tidak menyenangkan. Entah bagaimana ceritanya, Kevin pun sudah hadir di tengah-tengah mereka. Tentu saja pria itu menatap tajam pada, Marissa. Seakan-akan Kevin hendak menelan gadis itu hidup-hidup.
“Jadi, kamu masih berani menampakkan diri di rumah ini?” tanya tuan Sawyer yang tak lain adalah ayah kandung, Marissa.
“Bukankah Anda adalah ayahnya? Kenapa berkata seperti itu pada putri Anda, Tuan?” dengan sikapnya yang tenang, Deniz balik bertanya pada tuan Sawyer.
“Kau! Beraninya Kau memotong kata-kataku. Memangnya kamu siapa, hah? Kenapa kamu mencampuri urusanku?” bentak ayah Marissa dengan penuh emosi.
Deniz tetap santai, ia tidak terpancing dengan jari telunjuk tuan Sawyer yang mengarah kepadanya. Berbeda dengan Marissa yang merasakan gemetar di seluruh tubuhnya. Andai saja Deniz tidak memberikan lengannya, bisa saja Marissa terjatuh karena kakinya tidak bisa menopang karena lemas.
“Perkenalkan, saya Deniz Ansel Ghazy. Saya suami putri Anda, Marissa.” Deniz berusaha mengulurkan tangannya, tapi sampai beberapa detik tidak ada sambutan baik dari tuan Sawyer.
Dengan terpaksa Deniz menarik kembali tangannya. Ia melihat perubahan gestur dari keluarga Sawyer yang kini tengah mengintimidasi mereka berdua.
“Lancang kamu menikah tanpa restu dariku,” ujar tuan Sawyer dengan bola mata yang melotot.
“Maafkan saya jika sudah tidak sopan melanggar batas di keluarga ini. Tapi saya tulus menikah dengan putri Anda.”
“Alah! Alasan saja kamu. Mana ada lelaki normal yang mau menikah tanpa tahu asal usul calon pengantinnya.” Sahut Kevin yang tidak mau kalah dalam perdebatan ini.
“Oh, hai! Kita bertemu kembali ya, Bro!” Deniz menawarkan senyuman pada, Kevin. Meski ia tahu, jika pria itu tidak membalasnya.
“Tahukah kamu? Perempuan yang kamu nikahi itu adalah calon istriku. Dia telah kabur dengan membawa hutang yang cukup banyak.” Kevin memojokkan Marissa kali ini.
“Tidak! Bukan begitu ceritanya. Jangan bohong kamu, Kevin!” Marissa maju satu langkah, ia menunjuk wajah Kevin dengan murka.
“Kenyataannya begitu,” ujar Kevin dengan santai.
Deniz melihat jika ada keanehan di dalam keluarga, Sawyer. Entah kenapa mereka menyerang putri kandungnya sendiri tanpa memberi ruang pada Marissa untuk membela diri.
“Berapa hutang yang dia tanggung untuk menyelamatkan keluarganya?”
“Apa ….?!” Marissa menoleh ke samping, di mana Deniz tengah memasukkan tangan kanannya di balik jas yang dikenakan. Ia tidak menyangka jika Deniz bisa menebak skenario ya kini tengah dijalankan oleh keluarganya.
“Tulislah di sini! Berapa angka yang kamu inginkan untuk menebus hutang yang dibebankan pada istriku?”
Rupanya Deniz mengeluarkan secarik kertas cek. Ia meletakkannya di atas meja, tak lupa Deniz meninggalkan sebuah pulpen diatas kertas tersebut. Marissa menatapnya dengan rasa tidak percaya. Ekspresi yang sama pun ditunjukkan oleh mereka—keluarga Sawyer.
“Dengan satu syarat. Jangan pernah mengganggu, Marissa! Atau kalian berurusan denganku,” kali ini wajah Deniz terlihat begitu serius.
“Ayo kita pulang!” Deniz langsung menarik tangan Marissa yang sedari tadi bengong tanpa banyak tingkah.
Gadis itu hampir saja terjungkal ketika belum siap mengimbangi aksi dari suaminya. Mereka pun pergi dari kediaman Sawyer tanpa pamit.
“Jangan menatapku seperti itu! Belum tahu kalau suami kamu ini sangat keren?” ujar Deniz sambil menggandeng tangan Marissa menuju mobil yang terparkir rapi di halaman rumah mewah itu.
“Hah, apa? Ish ….” buru-buru Marissa mengalihkan pandangannya. tanpa ia sadari, pesona Deniz membuat hatinya meleleh bagaikan sebatang coklat.
“Marissa,” panggil Deniz saat mereka sudah berkendara di jalanan.
“A-Apa?” Marissa akui ia sangat gugup saat ini, sehingga ia meremas kedua tangannya.
“Bukankah malam ini adalah malam pertama bagi kita?” bisik Deniz dengan lembut. Kalimat yang diucapkan oleh Deniz disambut Marissa dengan kelopak mata yang melebar.
“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?” Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.” Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana
“Apa dia gadis yang kamu ceritakan?” tuan Ghazy menginterogasi mereka di sebuah meja berbentuk bundar.Marissa dan Deniz duduk berdampingan di hadapan pria berperawakan tambun tersebut. Gadis itu menunduk karena merasa telah melakukan satu kesalahan. “Maafkan kami sudah membuat keributan,” jawab Deniz dengan membuka kedua telapak tangan yang bertumpu di atas meja beralaskan kaca tebal.Pria paruh baya itu memicingkan kelopak matanya. “Semua ada tata caranya, Nona. Termasuk apa yang ada di dalam rumah ini,”Marissa semakin menenggelamkan wajahnya ke bawah. Rasanya ia ingin menghilang dari hadapan tuan Ghazy seketika itu juga. Ia pun memilih untuk sedikit merapatkan tempat duduknya pada, Deniz. Marissa mengintip ayah mertuanya dengan sebelah mata, saat tubuhnya tertutup oleh bahu Deniz sebagian.“Aku sudah meminta maaf untuknya, Ayah.” Ujar Deniz agar ayahnya bisa memaklumi sikap, Marissa.Deniz yakin jika gadis itu punya alasan sendiri kenapa Marissa melakukan hal tersebut, tapi tidak
“Kamu begitu ambisius menginginkan semuanya? Bukankah saat ini kamu sudah sukses mendirikan beberapa perusahaan anak cabang? Aset sebanyak itu, apa masih kurang untukmu?” tanya tuan Ghazy yang berjalan sedikit menjauh dari putranya berdiri. Ia mengambil botol minuman dan menuangkan sedikit ke dalam gelas kristal. Tuan Ghazy menyesap pelan vodka yang sebelumnya dicampur dengan bongkahan es balok berbentuk dadu. “Bolehkah aku menjawab? Aku takut Ayah akan lebih sakit hati padaku, setelah mendengarnya.” Jawab Deniz yang kini sedikit lebih tenang dari sebelumnya. “Kenapa tidak? Biarkan istrimu itu mendengarnya. Bukankah dia sudah menjadi bagian dari keluarga ini? Aku harap dia bisa memposisikan dirinya dalam keluarga, Ghazy.” “Aku menuntut hak mama di dalam prusahaan itu,” jawab Deniz tanpa berbeli-belit. “Dia sudah MATI, Deniz!” Benar dugaan, Deniz. Ayahnya pasti marah jika dia menyinggung soal ibunya. Entah apa yang sudah meracuni otak, tuan Ghazy. Sehingga pria paruh baya itu ti
“Jadi, ternyata kamu orang kaya hah ….?” sindir Marissa saat kendaraan mereka membelah jalan Ankara. “Aku tidak tahu jika ibu kandungmu sudah meninggal, maaf ….” ujar Marissa yang merasa bersalah sudah berpikiran buruk pada Deniz selama ini.“Kita mau ke mana lagi, Deniz? Tubuhku sudah lelah sekali. Aku sangat merindukan kasurku,” gadis itu bergumam di akhir kalimat. Tapi pria itu tidak kunjung menjawab, meski Deniz bertingkah manja di hadapannya. Marissa melihat Deniz sedang memijat pangkal keningnya yang terasa sakit sejak ia menjejakkan kaki di kediaman—Ghazy.Marissa mencium ke arah ketiaknya sendiri, ada bau tidak sedap berasal dari sana. “Ohhh, tubuhku sudah sangat lengket. Aku mau mandi, tapi aku tidak membawa baju ganti satu pun. Dan aku sangat lapar ….”Marissa terus saja bermonolog dengan dirinya sendiri. Meski ia tahu, jika tidak mendapat tanggapan dari suaminya. Pria itu mendadak jadi pendiam sejak meninggalkan rumah orang tuanya. Bahkan ia tidak melirik Marissa sedikit p
"Kita belum membicarakan hal itu. Aku belum siap jika kamu menyentuh tubuhku." Marissa sudah membungkus tubuhnya dengan kimono berbahan satin.Nampak rahang Deniz mengeras, ia duduk tepat di sebelah ranjang. Ia menatap tajam pada Marissa yang sekalipun tidak mau meliriknya. Kedua sikunya ditopangkan pada pegangan sofa yang empuk, Deniz duduk dengan sebelah kaki disilangkan.“A-Aku tidak tahu. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Apakah yang kita lakukan ini adalah—benar?” lanjut Marissa dengan tatapan yang kosong. Kedua tangan gadis itu bersedekap di depan dada, ia merasa—entah.Sementara itu, Deniz membiarkan gadis tersebut mengungkapkan keluh kesahnya setelah melewati hari yang berat. Bahkan Deniz melihat jika Marissa telah mengesampingkan rasa laparnya. “Aku, aku harus bagaimana ….?” Marissa mengusap titik embun yang mulai membasah di sudut kelopak matanya. Ia menoleh ke samping, di mana pria yang baru mengucapkan ikrar janji dengannya duduk tanpa ekspresi yang ramah.“Aku sud
“Deniz, ah! Hentikan ….” napasnya terengah-engah. Marissa tidak diberi kesempatan untuk bergerak sedikitpun. Kimono yang semula menutup rapat tubuhnya, kini telah terlepas entah ke mana. “Oh, shit ….!” umpat Marissa saat melihat sebagian tubuhnya sudah terpampang nyata di hadapan suaminya.“Yakin mau menghentikan kenikmatan ini, Nona?” bisik Deniz setelah berhasil mengaduk-aduk perasaan Marissa.Entah sejak kapan kedua anak manusia itu sudah berada di atas kasur yang empuk. Kepala pria itu kembali merangsek pada dua aset berharga milik, Marissa. Sementara tangannya yang nakal meremas dengan gemas.“D-Deniz, Ahhh ….” desahan itu kembali menghiasi ruangan. Berganti dengan adu napas yang berderu layaknya pelari marathon.Deniz memberinya jeda sejenak, ia melihat Marissa kelabakan dengan aksinya. Pria itu menyunggingkan senyuman di sudut bibir, lalu menarik diri dari hadapan Marissa. “T-Tapi kenapa ….?” Marissa berusaha menstabilkan diri. Ia melihat Deniz perlahan menjauh darinya setela
“Selamat pagi, Nona. Oh, maaf! Sepertinya hari sudah beranjak siang, Maafkan saya sudah mengganggu waktu istirahat Anda.” Seorang pelayan membuka kain gorden yang menutupi jendela tepat berada di sampingnya. Gadis berambut coklat keemasan itu membuka kelopak matanya yang terasa masih berat. Ia melihat bayangan seseorang tengah mondar-mandir di dalam ruangan yang tidak seberapa luas tersebut.“Jam berapa sekarang?” tanya Marissa dengan memicingkan kelopak matanya. Rupanya ia tertidur di kursi sofa semalam suntuk. Kejadian kemarin serta perdebatannya dengan Deniz, membuat tubuh dan otaknya benar-benar lelah. Marissa menggeliat, ia merenggangkan ototnya yang terasa kaku.Pelayan tersebut menghentikan langkahnya, ia pun berdiri di hadapan Marissa dengan tegap. Perempuan berusia kisaran 45 tahun tersebut melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanan, lalu mengangkat wajahnya kembali.“Tepat jam 11 siang, Nona!” jawab pelayan tersebut tanpa basa-basi.Marissa langsung berdi
"Makan dulu!" Deniz mengangsurkan satu sendok berisi sup hangat pada, Marissa."Aku bukan anak kecil, Deniz. Aku bisa makan sendiri." Marissa sedikit menjauhkan wajahnya untuk menghindari suapan dari pria itu. Ah, ralat! Pria yang sudah menjadi suaminya dalam waktu semalam.“Bagaimana mau makan, jika tanganmu terlalu sibuk dengan layar ponsel?” sindir Deniz yang meletakkan sendok tersebut ke dalam mangkuk.Tidak ada sahutan dari arah, Marissa. Gadis itu tetap menunduk sambil membalas pesan pada seseorang.“Aku menyempatkan pulang dan kamu lebih sibuk dengan ponselmu? Lagi chat sama siapa sih?” Deniz memperhatikan dengan wajah tak suka. Apalagi Marissa terkesan acuh dengan kehadirannya saat ini.“Aku harus ke kantor,” tiba-tiba Marissa beranjak dari tempat duduknya.“Apa?! Jangan gila!” cegah Deniz yang kini ikut berdiri sebelum istrinya benar-benar nekat pergi.Marissa berjalan menuju meja rias. Ia merapikan rambutnya, kemudian mengikat dengan sebuah karet. Gadis itu memagut dirinya d