LOGIN“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?”
Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.
“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”
“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.”
Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”
Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.
“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana ayahku?” ujar Deniz yang kini memasang wajah cukup serius.
Malam mulai menyapa ketika mereka berdua sampai di kediaman, Ghazy. Semburat jingga di langit menandakan jika tugas matahari akan digantikan dengan bulan. Perputaran waktu hari ini terasa cukup lama bagi, Marissa. Terlalu banyak kejadian yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bahkan rencana untuk menikah 2 bulan kemudian, bisa-bisanya Tuhan mempercepat dengan mengabulkan pintanya hari ini juga.
“Ayahmu? Dia sudah menunggu di ruangan kerja.” Jawab nyonya Ghazy, atau lebih tepatnya ibu sambung dari Deniz.
Tanpa menunggu lebih lama, Deniz langsung melangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di sudut rumah super megah ini.
“Tunggu! Kamu tidak aku izinkan untuk masuk ke dalam. Tunggulah di situ! Jangan membuat onar sedikitpun! Mengerti, Nona?” Marissa pun menghentikan langkahnya saat ia hendak ikut mendampingi Deniz untuk bertemu dengan seseorang di dalam sana.
Deniz menoleh pada, Marissa. Ia mengangguk kecil ketika gadis itu menatapnya tanda tidak mengerti. “Tidak apa-apa. Tunggu aku di sini! Aku akan kembali secepatnya,”
“Tapi ….” Marissa yang merasakan ketidaknyamanan terlihat sedikit membantah, ia tidak mau ditinggalkan oleh Deniz sedetikpun.
“Sudah. Tidak apa-apa,” Deniz menepuk pelan punggung tangan, Marissa. Pria itu tidak akan membiarkan ibu sambungnya menyakiti Marissa meski secuil.
Marissa menoleh kembali ke arah, nyonya Ghazy. Wanita berlipstik maroon itu nampak mengedikkan bahunya, lalu membalas tatapan Marissa dengan bibir dimanyunkan.
‘Kenapa aku seperti terjebak dalam Deja Vu? Bukankah dia ….’ (Marissa bertanya-tanya dalam hatinya sendiri).
Ia memilih untuk duduk di sebuah kursi yang berdekatan dengan jendela besar. Sebuah jendela berukuran raksasa dengan kayu mahoni di tiap sisinya itu mengarah pada sebuah taman di samping rumah. Marissa menghela napas dengan cukup dalam, ada perasaan lega saat ia membuang rasa kesalnya. Tapi entah, rasa dongkol di dadanya itu kembali datang tanpa diundang.
“Dia memilihmu? Atau kamu yang menawarkan diri, Nona?” tiba-tiba saja nyonya Ghazy sudah berdiri di dekatnya.
Tangan wanita itu disilangkan di depan dada, sehingga terlihat begitu angkuh. Marissa menoleh ke sumber suara, ia melihat nyonya Ghazy menatapnya tak suka.
“Apa maksud Anda, Nyonya?” Marissa berdiri dari tempat duduknya, bola matanya menatap lekat pada wanita yang mengenakan dress bermotif polkadot tersebut.
“Masih kurang jelaskah apa yang aku katakan padamu? Atau kamu berpura-pura bodoh di hadapanku?” ujar nyonya Ghazy memancing emosi Marissa yang tertahan sedari awal.
“Anda berpikir jika saya adalah seorang pelac*r?” Marissa menebak isi kepala wanita itu.
Nyonya Ghazy terlihat begitu senang saat Marissa mengatakan sesuatu yang sedari tadi ingin didengarnya. Wanita berusia 50 tahun, tapi tetap terlihat cantik itupun tertawa kecil.
“Aku tidak mengatakan hal memalukan itu. Kamu sendiri yang sudah mengakuinya bukan?” nyonya Ghazy memperoloknya secara terang-terangan.
“Siapapun pasti tidak akan menolak pesona, Deniz. Seorang pewaris keluarga Ghazy yang kaya raya meski hartanya dimakan oleh 7 turunan sekalipun.”
Perlahan Marissa menunjukkan perasaan terkejut saat wanita itu menjelaskan posisi Deniz saat ini. Ia tidak menyangka jika Deniz yang dulu disangka miskin karena masuk sekolah ternama lewat jalur beasiswa, ternyata adalah seorang miliarder.
“Kenapa bengong begitu? Memangnya kamu tidak tahu siapa dia? Heh, Nona! Kamu dipungut Deniz dari mana? Dari selokan? Masa kamu tidak tahu dengan siapa kamu pergi sekarang?” nyonya Ghazy terus saja memojokkan Marissa hingga gadis itu hilang kesabarannya.
“Nih orang, kalau nggak dikasih pelajaran makin ngelunjak.” Gumam Marissa dengan mengepalkan tangannya. Emosi yang ditahan sedari tadi tidak bisa dibendung lagi.
“Apa? Kamu tidak terima dengan apa yang aku katakan?” tantang nyonya Ghazy yang terus mendesak sisi lain dari, Marissa.
Napasnya yang tertahan membuat dada Marissa terlihat naik turun tidak beraturan. Habis sudah kesabaran gadis itu, ia tidak memperdulikan pesan Deniz yang menginginkan dirinya menjadi gadis manis untuk sementara waktu.
PLAK ….!
Tamparan itu dilayangkan pada, nyonya Ghazy. Wanita paruh baya itu melebarkan kelopak matanya sambil memegang sebelah pipi yang terasa panas. Marissa berdiri dengan menaikkan posisi dagunya untuk membalas tantangan dari, nyonya Ghazy.
“K-Kau! Beraninya kamu, dasar perempuan murahan!” nyonya Ghazy mengarahkan jari telunjuknya pada Marissa setelah ia berhasil berdiri tegak kembali.
Wajah nyonya Ghazy hampir terpelanting ke samping saat tamparan Marissa mendarat tepat pada pipinya. Tatapan nyalang itu terlihat sangat menakutkan, namun tidak menyurutkan Marissa untuk tetap membela harga dirinya.
“Anda yang memulainya, bukan saya. Saya hanya tidak suka mulut pedas Anda itu berbicara tidak sopan pada saya.” Jawab Marissa tanpa takut sedikitpun.
“Oh, ya? Kalau kamu tidak merasa, kenapa harus tersinggung? Memang benar kan, jika kamu itu perempuan murahan.” Nyonya Ghazy terus saja menyahut, ia tidak mau mengalah sama sekali.
“Sial! Mulutnya benar-benar mau disumpal dengan sepatu,” gerutu Marissa yang sudah mulai geram.
“Hei! Apa-apaan kamu, hah! Dasar gadis gila! Berani-beraninya kamu sama saya.” Wanita itu tidak menyangka, jika Marissa telah melepas salah satu flat shoes yang ia kenakan.
Marissa maju tanpa ragu, ia menjejalkan sepatu miliknya ke dalam mulut nyonya Ghazy. Gadis itu terus saja memasukkan ujung sepatunya tanpa jeda, sehingga nyonya Ghazy terlihat kewalahan dan kehabisan udara yang bersih.
“T-Tolong! T-Tolong ….!” teriak nyonya Ghazy yang terdengar seperti lolongan anjing.
Semakin nyonya Ghazy memberontak, semakin membuat keberanian Marissa tertantang untuk memberi efek jera pada wanita itu. Ia sudah tidak tahan dengan semua ocehan wanita yang nyatanya sekarang menjadi ibu mertuanya tersebut. Bahkan Marissa kini tengah menjambak rambut wanita itu, sehingga merusak sanggul yang sempat disombongkan padanya. Pergulatan itu kini berpindah ke bawah lantai, dengan posisi nyonya Ghazy yang tertindih oleh tubuh Marissa. Tamparan, jambakan serta cakaran tak luput dilayangkan Marissa secara bertubi-tubi.
“Aaa, tolong ….!” kini hanya kalimat permintaan tolong yang bisa keluar dari mulut, nyonya Ghazy.
“Berteriaklah yang kencang! Hanya segini kemampuanmu? Dasar wanita tua bangka!” Marissa tidak melepaskan jambakan pada rambut wanita itu. Ia tidak peduli, meski dari sudut bibir nyonya Ghazy sudah meneteskan cairan kental berwarna merah.
“Tunggu! Hentikan! Apa-apaan ini, Marissa?”
Saat tangan kanan Marissa meraih sepatunya dan hendak memukulkan pada wajah, nyonya Ghazy. Tiba-tiba terdengar suara Deniz dari arah belakang tubuhnya.
‘Mati aku,’ (ujar Marissa dalam hati).
Posisinya yang tidak berubah, ia genggam erat sepatunya di tangan kanan yang masih terangkat. Marissa menengok ke arah belakang, gadis berpenampilan acak-acakan itu melihat ada dua sosok lelaki di sana dengan rentang usia yang berbeda.
“D-Deniz, ….” kata Marissa dengan bibir yang meringis, setelah ia menelan salivanya yang begitu alot.
Apartemen, Pukul 07:00 MalamSetelah badai emosi berlalu, keheningan yang penuh kebahagiaan menyelimuti kamar. Deniz tidak lagi mengenakan jas biru mudanya. Ia hanya memakai kaos putih dan celana piyama, duduk di tepi ranjang sambil memeluk Marissa yang bersandar di bahunya. Kotak mint itu tergeletak di karpet, terlupakan, digantikan oleh kenyataan yang jauh lebih berharga.“Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” tanya Deniz lembut, mengelus rambut Marissa.Marissa mendongak, matanya masih sedikit bengkak karena tangisan bahagia. “Aku menunggu saat yang tepat, Mas. Aku nggak mau membebani pikiranmu dengan ini saat kamu sedang berjuang di kantor.”Deniz mencium keningnya. “Sayang, kamu adalah alasan aku berjuang. Kamu bukan beban. Kamu adalah rumahku yang sesungguhnya.”Ia kemudian bangkit. “Aku harus melakukan sesuatu. Kabar gembira ini butuh perayaan besar.”“Tapi, Mas,””Sttt… aku nggak mau dengar alasan apa pun.”Deniz meraih ponselnya dan mengirim pesan singkat.Li
Kantor, Pukul 11:30 Pagi Ruang rapat direksi terasa seperti arena gladiator modern. Lampu kristal di langit-langit memantul pada permukaan meja mahoni yang mengkilap, menciptakan siluet tajam bagi 12 pasang mata yang menatap Deniz. Mereka adalah para veteran bisnis, pemegang saham yang kuat, dan juga para opportunist yang sigap dan tanggap jika terjadi bahaya sekecil apa pun. Kevin tidak hadir, tetapi kehadirannya terasa melalui ketegangan yang menggantung. “Dasar pecundang,” gumam Deniz. Deniz berdiri di ujung meja, menyandarkan tangan di permukaan meja. Tidak ada proyektor, tidak ada PowerPoint. Hanya dia, dan ketenangannya. Jas biru mudanya terlihat mencolok di antara setelan abu-abu tua dan hitam. Ia membiarkan keheningan itu berlarut selama beberapa detik, membiarkan detak jam dinding seolah menjadi hitungan mundur. “Selamat siang. Saya tahu mengapa kita semua ada di sini,” Deniz memulai, suaranya pelan tapi menusuk, “Kecemasan. Sebuah emosi yang disebarkan dengan sangat
Kantor, Pukul 11:00 PagiDeniz memasuki markas besarnya, lantai eksekutif yang biasanya tenang kini terasa berdenyut tegang. Aroma kopi premium di pantry tidak bisa menutupi bau kecemasan yang samar. Mark, orang kepercayaan Deniz, sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya kaku seperti patung marmer.“Bos, direksi sudah berkumpul. Mereka menuntut penjelasan yang sangat spesifik,” kata Mark tanpa basa-basi.Deniz hanya mengangguk. Ia melepas mantelnya dan memberikannya kepada asistennya, gerakannya lambat dan penuh perhitungan. Jas biru muda yang dipilih Marissa membuatnya tampak tenang di tengah pusaran kegaduhan.“Bagus. Biarkan mereka menunggu sebentar lagi,” jawab Deniz, nadanya datar. “Apa yang sudah kita siapkan untuk menghadapi serangan Kevin?”Mark menyerahkan sebuah tablet. “Dokumen rahasia klien. Kevin membocorkan info tentang proyek akuisisi di Timur Tengah yang tertunda. Mereka memutarbalikkan fakta, mengatakan ini adalah tanda kegagalan finansial besar. Tentu saja, itu
Pintu kamar tertutup. Keheningan apartemen yang mewah itu seketika dipenuhi suara desahan tertahan, derit kepala tempat tidur yang berirama pelan, dan bisikan-bisikan gairah yang hanya dimengerti oleh dua jiwa yang saling merindukan. Aroma teh jahe, tembakau, dan single-origin coffee yang melekat pada Deniz bercampur dengan parfum lavender samar di kulit Marissa, menciptakan campuran yang memabukkan—perpaduan antara dunia pebisnis yang dingin dan dunia seni yang hangat.Bagi Deniz, momen ini bukan sekadar pelampiasan lelah; ini adalah validasi. Di kantor, ia adalah seorang pemimpin yang harus bersikap tanpa cela. Di sini, di dalam pelukan Marissa, ia adalah manusia yang rentan, yang kerinduannya ingin diakui dan dipenuhi. Setiap sentuhan, setiap ciuman yang dalam, adalah pengakuan bahwa ia punya alasan untuk mnjadi pemenang di luar sana. Bukan hanya untuk aset dan kekayaan, tapi untuk kembali ke tempat ini, ke pelukan yang nyata, beraroma cat dan tawa.Marissa merespons intensitas
Keesokan paginya, Deniz tiba di kantor tepat pukul delapan. Udara di lantai eksekutif terasa tipis dan berenergi. Mark sudah menunggu di luar ruangannya, memegang dua cangkir kopi single-origin yang mahal."Rapat darurat, Bos. Tim Legal baru saja mengirim notifikasi gugatan dari 'Pihak Lama'—mereka mencoba memblokir aset operasional kita, mengklaim bahwa restrukturisasi ini melanggar perjanjian penangguhan utang lama," jelas Mark, nada suaranya sedikit tegang.Deniz menerima kopi itu, menyesapnya perlahan. Ia tidak menunjukkan reaksi terkejut sama sekali, seolah sudah mengantisipasi langkah ini. Kevin dan Joanna tidak akan membiarkannya bergerak tanpa perlawanan."Sajikan kopi ini untuk Tim Legal. Minta mereka siapkan berkas. Aku tidak butuh drama, Mark. Aku butuh solusi. Biarkan mereka bermain kotor, kita bermain lebih cerdas," kata Deniz, sorot matanya tajam. "Aku sudah memprediksi ini. Angka kerugian kita sudah kita hitung, dan itu sebanding dengan kemenangan yang akan kita dapatka
Deniz tidak membuang waktu. Kota menyambutnya dengan desakan yang familiar: kemacetan, rapat mendadak, dan aroma kopi mahal. Ruangan pertemuan di gedung pencakar langit yang dulu ia hindari kini ia masuki kembali, bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penakluk. “Pagi Bos,” sapa Mark dan Sam hampir bersamaan. “Siap kembali ke dunia bisnis?” lanjut Mark. “Silahkan masuk, Tuan.” Sam membuka pintu ruangan. Terlihat begitu tenang, dengan aroma lavender saat ia memasukinya. Rapat pertama berjalan tegang. Deniz meletakkan komitmennya di atas meja, bukan sebagai permintaan, tetapi sebagai dekrit. "Aku akan kembali memimpin. Tapi syaratnya mutlak," ucap Deniz, suaranya tenang, namun memiliki resonansi karang yang tak tergoyahkan. "Perusahaan ini, mulai hari ini, akan kembali beroperasi. Kita mulai dari nol, dan membuktikan bahwa Deniz Ansel Ghazy tidak akan menyerah hanya karena sandungan kecil.” Ronan Blaire, yang dikenal pragmatis, mencoba menyela. "Kita bisa buat kembali strukt







