Share

Boneka Bodoh

Kepergian Tuan Wilson tak ubahnya nuklir yang menyasar tepat ke Boby. Wajahnya yang putih seketika memerah mendengar ucapan pria tua yang secara tidak langsung, baru saja meremehkannya.

Beruntung tangan Zea cepat menariknya. Mencegahnya melakukan hal konyol yang mungkin akan membuat suasana pemakaman semakin kacau.

"Lepaskan! Kenapa malah menghentikanku? Akan kuberi pelajaran pria tua bangka yang lancang itu!" Umpat Boby geram. Menatap kesal Zea yang masih berusaha kuat menghentikannya.

"Cukup, lagi pula kau tidak akan bisa mengalahkannya!" ujar Zea meninggikan suara. Menghentikan amukan kekasihnya yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.

Usaha Zea pada akhirnya memang bisa menghentikan tingkah Boby. Hanya saja, karena ukuran otak Boby yang kecil emosinya justru semakin meningkat.

"Apa maksudmu? Kenapa aku tidak bisa mengalahkannya? Ada apa ini, Zea. Atau jangan-jangan kalian memiliki hubungan lebih dibelakangku?" sergah Boby berucap asal. Menatap tajam ke Zea kembali kehilangan kata-kata.

Andai saja Zea masih memiliki tenaga untuk marah. Sudah pasti tamparan keras melayang tepat di pipi kekasihnya itu. Beruntung Zea masih bisa mengendalikan diri. Tidak ingin menambah masalah baru dihidupnya yang mulai berantakan itu.

"Cukup, Boby. Aku mohon hentikan sekarang. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu," ujar Zea lirih. Memegangi pelipis kepalanya yang mulai berdenyut, nyeri.

Alih-alih menuruti permintaan Zea, Boby justru tertawa kecil. Terlihat tidak puas dengan jawaban Zea yang menurutnya tabu.

"Kenapa? Apa karena pria tua itu adalah penyokong hidupmu selama ini? Katakan sudah berapa kali kalian tidur bersama?" tanya Boby mencecar Zea. Membuat semua pasang mata mulai memandang Zea rendah.

Gwen yang sejak tadi berdiri tak jauh dari keduanya akhirnya ikut turun tangan. Merasa kesal dengan tingkah Boby yang terlihat kekanak-kanakan.

"Hentikan Boby! Kau sudah gila!" bentak Gwen kasar. Berdiri tepat dihadapan Zea dengan tatapan tajam. Secara tidak langsung menghentikan Zea yang hendak mengangkat tangan kanannya- ingin menampar mulut jahat Boby.

"Ini pemakaman Ibu Zea, tolong jangan bersikap bodoh. Kasihani Zea!" imbuh Gwen dongkol.

Entah kenapa pembelaan Gwen yang terlihat sangat berempati itu, tidak membuat hati Zea tersentuh. Hatinya terus menerus merasa tidak yakin dengan ketulusan Gwen dan kekasihnya itu. Sekeras apapun pikirannya ingin mempercayai keduanya, tetap saja ada penolakan di hati kecil Zea.

"Maaf karena kami semua datang terlambat, Zea. Aku sangat menyesal karena tidak ada, disaat terakhir Ibumu pergi," ucap Gwen lembut. Memeluk tubuh Zea erat. Berbicara seolah tidak pernah ada masalah apapun antara mereka bertiga.

Zea tidak bicara banyak. Hanya mengangguk menerima ucapan bela sungkawa itu. Bergantian merangkul satu persatu teman-teman sekolahnya yang ikut melayat ibunya.

Untuk sesaat suasana kembali hening. Hanya terdengar suara isak yang sesekali masih membanjiri wajah Zea. Boby tidak lagi banyak bicara. Sedikit merasa bersalah atas tingkahnya yang sudah melewati batas pada Zea. Ingin berucap maaf, tapi terlalu gengsi untuk mengutarakan niatnya.

Satu persatu lelayu pun mulai meminta izin pulang. Hanya menyisakan Zea, Gwen, dan Boby yang masih berada di pemakaman. Sebagai orang terdekat, keduanya ingin tetap mendampingi Zea yang sedang berkabung.

"Kalian tidak pulang?" tanya Zea menatap Gwen dan Boby bergantian.

"Aku ingin menemanimu, Zea. Boleh kan?" tutur Gwen tulus sambil tersenyum tipis. Merentangkan telapak tangan kirinya ke arah Zea.

Zea mengangguk cepat. Membalas uluran tangan Gwen dengan senang hati. "Lalu, kau?" tanya Zea beralih ke Boby yang langsung gelagapan.

"Aku. Aku ikut kemanapun kalian pergi," jawab Boby enteng. Mengusap kepala Zea dengan lembut. "Maafkan sikapku sebelumnya. Tolong maafkan aku," pinta Boby jujur. Menurunkan ego dan gengsinya dihadapan Zea.

Lagi-lagi Zea membalas dengan senyuman. Satu-satunya cara untuk membuat hatinya tidak terlalu terluka untuk saat ini adalah berpura-pura bodoh. Masih berusaha meyakinkan diri bahwa Gwen dan Boby tidak sebusuk yang ada di pikirannya. Toh kalaupun keduanya benar memiliki hubungan spesial selama dia tidak ada di sekolah, pasti keduanya sudah mengakhirinya sekarang.

Gwen dan Boby akhirnya memutuskan untuk menemani Zea pulang kerumah. Berjaga-jaga jika ada serangan baru yang mencam keselamat Zea.

Gwen bahkan berbaik hati untuk menginap di rumah Zea. Menemani Zea tidur dikamarnya untuk mengurangi kesedihan sahabat terbaiknya itu. Boby memilih tidur di ruang depan. Menjadi garda terdepan jika terjadi sesuatu di rumah itu lagi.

"Gwen, menurutmu Boby orang yang seperti apa?" tanya Zea menatap Gwen yang ada di sebelahnya. Memulai obrolan kecil sebelum keduanya memejamkan mata.

Gwen mengerutkan alis. Menatap Zea dengan tatapan bingung. "Kenapa bertanya, kau kan pacarnya," goda Gwen cepat. Berpura-pura tidak menyukai pertanyaan Zea barusan.

"Apa menurutmu dia juga akan tetap berada di sisiku untuk selamanya?" tanya Zea lagi. Menggeser tubuhnya menghadap ke langit-langit kamar.

"Kenapa terus berbicara asal. Tentu saja dia akan selalu berada di sisimu. Kau tidak sedang berpikir untuk mengakhiri hubungan dengannya kan?" tanya Gwen langsung. Ikut memancing reaksi Zea.

"Hari ini aku benar-benar sangat sedih kehilangan ibuku. Semua orang yang kusayangi satu persatu pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku takut kalian juga akan melakukan itu padaku," tutur Zea lembut. Menoleh ke Gwen yang juga menatapnya dalam-dalam.

Untuk sesaat Gwen berusaha mengalihkan pandangan dari Zea. Kata-kata Zea seakan menusuk hatinya secara terang-terangan. Gwen seolah ikut merasakan kesedihan dan ketakutan yang dirasakan Zea sekarang. Gwen juga tidak bisa membohongi hati kecilnya sendiri. Seandainya dia berada di posisi Zea, dia pasti juga merasakan perasaan yang saat ini dirasakan Zea.

"Berjanjilah Gwen, apapun yang terjadi tolong jangan tinggalkan aku," imbuh Zea lagi. Masih menatap Gwen yang mulai berkaca-kaca.

"Ya tentu saja. Aku ini sahabatmu. Mana mungkin aku meninggalkanmu." Memeluk kepala Zea dengan lembut. Merasakan isakan tangis Zea yang kembali pecah di pelukannya.

"Kenapa malah menangis lagi! Kamu pasti sangat lelah hari ini. Lebih baik sekarang kita beristirahat. Kita bisa lanjutkan mengobrol besok pagi," tukas Gwen mengusap air mata Zea. Meminta Zea untuk lekas tidur, alih-alih kembali membuang air mata lagi.

Hati Zea menjadi lebih tenang setelah mengobrol dengan Gwen. Paling tidak Zea berharap Gwen mengetahui jika dirinya tulus menyayangi sahabatnya itu.

Sayangnya ketulusan Zea itu tidak dibalas sebanding oleh Gwen. Saat Zea tiba-tiba terjaga dari tidurnya, Zea tidak mendapati sahabatnya itu berada di sisinya. Zea yang langsung keluar kamar mencoba mencari tahu keberadaan Gwen.

Suara hening malam membuat langkah Zea melangkah perlahan. Siluet dua pasang manusia yang mematul di dinding ruang tengah tak kuasa membuat mata Zea terbelalak keget. Bahkan tanpa melihat secara langsung, Zea bisa melihat dengan jelas pengkhianatan Gwen dan Boby yang sedang menggila. Mengumbar cinta kotor, tanpa peduli : tempat, waktu, dan keberadaannya yang seperti boneka bodoh itu.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status