Share

03. Darah Perawan

Tok tok…

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Husein.

“Hm. Masuk!” gumam Husein.

Sosok wanita berusia tiga puluh tahun masuk. Tak lain pembantu yang sudah dua tahun bekerja di sana.

Selain Fatona, Fara membantu memasak di rumah itu. sedangkan Fatona bertugas membereskan rumah, menyapu, mengepel, mengurus kebutuhan Inez dan Husein.

Semenjak Fatona sakit, Fara lah yang menggantikan pekerjaan Fatona saat pagi hari. Sebab Habiba hanya bisa menggantikan pekerjaan ibunya setelah pulang dari jam kuliah.

“Permisi, Tuan Husein. Apakah saya sudah bisa membersihkan kamar? Nona Inez tadi menyuruh saya membereskan kamar Tuan,” ucap Fara dengan sungkan.

Husein adalah sosok yang selalu jaga jarak dengan asisten rumah tangga, dia disegani.

Dahi Husein mengernyit menatap kedatangan Fara, ibu satu anak itu.

“Bu Fatona mana? Bukankah biasanya dia yang urus kamarku?” tanya Husein.

“Maaf Tuan. Bu Fatona sudah beberapa hari terakhir ini tidak masuk kerja karena sakit. Sudah ijin sama nyonya besar. Sementara saya yang menggantikan saat pagi hari. Mulai siang sampai malam, tugas Bu fatona digantikan oleh putrinya. Tuan bisa minta tolong kepada putrinya Bu Fatona jika ada keperluan,” jelas Fara dengan kepala tertunduk.

“Ya sudah. Bereskan saja sekarang!” Husein masih duduk di pinggir kasur. Raganya terasa lelah dan ia masih ingin duduk santai sebentar meluruskan punggung.

Fara mulai mengutipi barang yang berserakan, menyusun ke tempat semula. Buku- buku yang berjatuhan di lantai dikembalikan ke susunannya. Gelas dan botol dikumpulkan. Baju kotor dikumpulkan.

Lalu merapikan kasur. Matanya membelalak saat menarik selimut, niatnya ingin melipat selimut dan menaruh lipatan di ujung kasur, tapi malah pemandangan aneh yang dia saksikan saat ini.

Bercak darah yang tidak sedikit mengotori sprei, juga bercak warna lain yang membuatnya mendadak teringat pada mantan suaminya dulu. Kepalanya berkelana.

Husein tak kalah kaget saat mengikuti arah pandang Fara. Noda apa itu?

“Tt tuan, kenapa ada darah?” Fara terlihat sanksi, juga gugup saat menanyakannya. Ia sadar bahwa itu bukan darah dari tubuh Husein yang terluka.

Husein berusaha mengingat-ingat. Samar-samar bayangan gadis berwajah ayu itu menari di kepalanya, juga permainan yang membuatnya merasa puas.

Apakah itu bukan mimpi? Separuh ingatannya masih bisa menangkap kejadian itu. namun separuh ingatannya entah hilang kemana.

Kembali pandangan Husein tertuju pada noda yang mengotori sprei. Merah putih.

Ah, jelas ini ada yang tidak beres.

“Cepat kemas sprei ini dan ganti dengan yang baru! Jangan bengong!” titah Husein tegas.

“Ba baik, tuan!” Fara buru- buru melepas sprei dengan gemetaran. Pikirannya melayang-layang mempertanyakan kasus sprei yang dinodai.

Husein mulai panik. Berjalan hilir mudik. Berakhir menabrak tembok. Yang akhirnya tembok ditepuk dengan kesal. Tembok jadi korban, tapi malah disalahkan.

Apakah benar Husein berhubungan dengan seorang gadis? Tapi siapa gadis yang dimaksud?

“Fara!” panggil Husein membuat Fara yang tengah mengganti sprei itu menghentikan kegiatannya.

“Ya, Tuan?”

“Jangan sampai ada yang tahu masalah ini. Cukup kau saja yang mengetahuinya. Kalau sampai masalah ini bocor, kau lah yang pertama aku cari! Paham?”

Fara mengangguk, takut atas ketegasan majikannya. Apa lagi tatapannya seperti elang, penuh dengan tekanan.

“Cepat selesaikan pekerjaanmu!” titah Husein.

“Ya, Tuan.” Perintah Husein yang mendominasi membuat Fara terbesa-gesa mengerjakan pekerjaannya.

Husein masuk ke kamar mandi sesaat setelah menyambar handuk.

***

Langkah Husein tegas menginjak lantai kantor. Beberapa karyawan menunduk dan menganggukkan kepala ketika berpapasan dengannya.

Husein Brata Raksa, sosok yang disegani karena kewibawaannya, yang kerap menerapkan kedisiplinan dan peraturan keras di perusahaan.

Meski demikian, peraturan tidak menyimpang dari undang-undang dan kesepakatan yang telah ditentukan. Sudah bertahun- tahun ia memimpin perusahaan milik papanya.

Selain perusahaan farmasi yang kini ia kelola, ia juga sedang fokus membangun sebuah rumah sakit besar miliknya, yang kemungkinan akan beroperasi dalam waktu dekat.

Husein tidak langsung memasuki ruang kerjanya. Dia langsung menekan handle pintu ruangan Amir, asisten pribadinya.

“Hei, kau mengejutkanku saja. Tumben, pagi-pagi sekali sudah berkunjung ke ruanganku?” Amir yang tengah berdiri menikmati kopi panas itu meletakkan gelas ke meja. Ia mengawasi ekspresi wajah sahabatnya yang kelihatan tegang. “Sepertinya serius sekali?”

Husein mengusap wajahnya. Menunduk sebentar dengan mata terpejam untuk menenangkan diri. Kemudian kembali mengangkat wajah. “Amir, katakan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi kemarin?”

“Hei, ada apa dengan kemarin?” Amir tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.

“Common, berpikirlah dangan cepat. Kemarin kau bersamaku.”

“Oh, maksudmu kejadian di kamarmu saat kita minum waktu itu?” tanya Amir.

“Aku mabuk. Kesadaranku hilang. Aku mabuk. Dan… aku tidak ingat apa-apa. tapi aku yakin telah terjadi sesuatu.”

Amir memutar mata. Ia kini paham kemana arah pembicaraan.

“Kau bersamaku waktu itu. apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau mengajak wanita ke kamarku dan memberikan wanita itu kepadaku?” tebak Husein.

Amir enggan bicara.

“Amir, bicaralah! Jangan diam! Oh… atau jangan-jangan kau mengajak wanita ke kamarku untuk kau tiduri bersama-sama denganku. Kau memanfaatkan aku dan ingin bersenang-senang dengan model aneh.” Husein mulai menerka-nerka. Dia benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Tidak, Husein. Kau jangan menduga yang tidak- tidak.”

“Lalu apa? Apa yang telah terjadi?” Husein kesal sejak tadi tidak mendapatkan jawaban.

“Seorang gadis asing datang ke kamarmu membawakan susu. Setelah itu, aku mendengar teriakannya.”

“Lalu?”

“Aku pergi.”

“Kau mendengar teriakan gadis itu tapi kau malah pergi meninggalkan rumah, begitu?” Wajah Husein makin menegang.

Amir terdiam. Dia pasti salah lagi.

“Kenapa kau tidak berbuat sesuatu?” hardik Husein panik.

“Kau memintaku mencegahmu, begitu?”

“Tentu saja.”

“Aku tidak berani berbuat apa-apa. Aku takut salah. Kau pasti marah jika aku mencegahmu saat itu.”

Husein mengusap rambut kasar. “Ini fatal, Amir. Semua salahmu.”

Nah kan, Amir juga yang salah. Jelas-jelas Husein yang meniduri seorang gadis, tapi tetap saja Amir yang salah.

Amir hanya diam, menerima kemarahan sahabatnya. Husein sedang frustasi, maka wajar dia bersikap begitu.

“Tapi siapa gadis asing itu? apakah asisten rumah tangga baru di rumahku? Kenapa dia mengantarkan susu untukku? Bukankah itu tugasnya Bu Fatona? Oh ya, aku baru ingat, Fara bilang kalau Bu fatona sedang sakit dan putrinya menggantikannya untuk sementara waktu. Itu artinya gadis itu adalah anaknya Bu fatona. Ya ampun!” Husein kembali mengusap wajah frustasi.

Amir berpikir, ingin mencari solusi.

“Apakah menurutmu gadis itu hanya memanfaatkan situasi?” tanya Husein menerka-nerka.

“Maksudmu?” alis Amir terangkat.

“Dia sengaja pasrah saat aku dekati karena dia ingin uang dariku. Dia bisa saja memerasku, atau bahkan ingin menjadi bagian dari keluargaku dengan dalih sudah aku sentuh. Bisa jadi dia mengancamku setelah ini.”

Comments (6)
goodnovel comment avatar
berta surbakti
ok bagus sekali
goodnovel comment avatar
Renita gunawan
Husein,kok kamu berpikiran begitu kepada Habiba.apa yang terjadi pada dirimu dan Habiba itu bukanlah rencana Habiba
goodnovel comment avatar
Renita gunawan
Amir..Amir..wajar saja Husein menyalahkan dirimu.karena pada saat kejadian dirimu mengetahuinya, tapi malah kabur membiarkan keadaan itu terjadi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status