Masuk“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.
Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah. "Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?” “Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini. “Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!” Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara ini. Sekaligus kawan lamanya. Meski sempat berkawan, seingat Karra, keduanya ada masalah, tepat sebelum perselingkuhan ayahnya terbongkar. Tapi untunglah jika ayahnya tidak tahu. Saat ini Karra tidak butuh drama tambahan. “Nggak perlu,” ucap Karra akhirnya. “Kamu ini!” geram Pak Anggoro. “Toh, bukannya sejak dulu Papa tidak pernah mau ikut campur tiap kali aku membutuhkan sosok Papa sebagai seorang ayah? Untuk apa sekarang tiba-tiba menawarkan bantuan?” sinis Karra. “Biar aku bisa kasih Papa banyak uang? Papa keterlaluan!" "Papa katakan sekali lagi, kamu sudah terlibat masalah besar sampai membuat korbanmu koma. Ini bukan perkara kecil!! Kalau memang kamu tidak mau menurut, jangan salahkan Papa! Jangan bawa-bawa Papa dalam masalah ini. Kamu uruslah sendiri!!" "Tidak masalah," gumam Karra. "Aku mungkin lebih suka dikurung di penjara daripada menikah dengan laki-laki brengsek pilihan Papa!" * Sementara itu, di depan ruang ICU, Max tengah mendapatkan laporan dari sang asisten. "Kamera dasbornya tidak menyala sejak sebulan lalu, Pak!" Sang asisten melapor pada si tuan. Max masih memandangi istrinya yang terbaring di balik dinding kaca. "Lalu, dari keterangan perawat IGD. Saat dievakuasi … Nyoya ... sedang tidak memakai apa pun." Wajah Max mengeras seketika. Ghania, istrinya, di atas jembatan yang sepi, dan mobilnya terjatuh dari ketinggian, itu saja sudah terdengar gila. Lantas apa lagi ini? Perempuan itu, sedang telanjang saat terjatuh? "P-Pak?" Suara Kevin kembali terdengar. "Apa lagi yang janggal?" tanya Max setengah menggeram. "Itu... mereka juga bilang kalau... ada lelehan sperma di tubuh Nyonya, Pak! Tapi Bapak tenang saja, saya sudah membungkam mereka semua agar fakta ini tidak sampai ke awak media." Tangan Max kembali terkepal kuat. "Ghania ... K-kau!!" * "Kamu bersih dari obat terlarang dan alkohol. Kamu tidak pernah terlibat kasus apa pun, dan kamu adalah mahasiwi terbaik di fakultas kedokteran ternama. Sangat disayangkan!" desah seorang petugas polisi yang baru saja selesai menginterogasi Karra. Setidaknya ada tiga petugas yang datang ke kamar rawatnya. Dan kini, mereka memandang gadis itu iba. "Lalu, apa saya akan dipenjarakan?" Lirih Karra bertanya. Ia berusaha tegar, meski dalam hati tidak tahu bagaimana nasib pendidikannya setelah ini. "Biar sidang yang memutuskan. Kami harap kamu terus bekerjasama dengan baik, sampai kasus ini selesai," tutup pria itu seraya memberi kode pada rekannya. Mereka harus segera pergi dari sini. "Tapi apa saya boleh memberi satu pernyataan lagi?" Suara lemah Karra menahan langkah mereka. "Apa itu, Nona?" "Korbannya ... pasti dua orang! Yang saya lihat–" "Ekhm." Kalimat Karra tidak selesai. Max berdiri di pintu dengan tatapannya setajam belati. Karra pun segera menunduk ketakutan. Sayangnya, pria ini terlalu berkuasa. Tiga petugas polisi itu bahkan enggan untuk mengingatkan Max agar jangan menekan Karra. Walau gadis itu bersalah, tapi dia sudah mengakui segalanya dan mau beritikad baik. "Boleh dilanjutkan, Nona Karra!" pinta salah satu dari petugas itu dengan nada lembut. "Tidak ada lagi yang perlu dia katakan," ucap Max dengan nada memerintah. Para petugas itu pun saling pandang sejenak. "Baiklah, kalau begitu, kami permisi dulu!" Mereka pun berlalu, menyisakan Karra dan Max, hanya berdua. Suara ketukan sepatu pria itu, seolah mengiris daun telinga Karra. Gadis itu mengepalkan tangannya ketakutan. "Kamu mau mempermalukan saya dengan mengatakan pada semua orang bahwa... istri saya sedang berselingkuh saat kecelakaan itu terjadi?" Karra menggeleng. "B-bukan begitu, Paman!" lirihnya dalam nada ketakutan. Pria itu mendekat, dan kini berada tepat di hadapan Karra. Gadis itu segera menjauhkan kepalanya saat Max merunduk. Pria itu mematikan pergerakannya dengan menopangkan kedua tangannya di tepian tempat tidur. "Siapa namamu?" "K-Karra. Karra Widita." "Widita?" Max memicingkan mata. "R-Ranti Huang adalah ibu kandung saya," tambah gadis itu. Barulah wajah Max sedikit berubah. Pria itu akhirnya mengangguk sekilas. Ranti Huang, wanita malang yang meninggal tak lama setelah suaminya menikah lagi. Wanita yang meninggalkan seorang putri berusia 12 tahun, dan ternyata... putri kecil itu adalah Karra. "Jangan pikir saya akan memaafkan kamu dengan mudah, hanya karena saya dan ibumu bersahabat sebelumnya." "Saya mengerti!" ucap Karra. "Dan saya ... sudah siap dengan hukuman yang harus saya hadapi. Saya memang bersalah, tapi ... bolehkah Paman memeriksa keadaan mobil istri Paman lebih dulu? Saya harap itu bisa... sedikit meringankan hukuman saya!" Sorot mata Max kembali menajam. "I-itu... mobilnya seharga miliaran, kan? Pembatas jalan saja bisa roboh jadi ... seharusnya punya sistem keamanan yang lebih maksimal, kan?" tambah Karra takut-takut. "Diam." Karra segera membungkam mulutnya rapat-rapat. "Saya datang hanya untuk memastikan kamu tidak banyak bicara dan merusak reputasi saya. Kamu tidak berhak mengajukan permohonan apa pun!” Karra menelan saliva, terasa getir sekali sebab sorot mata itu bagai sedang mengulitinya hidup-hidup. "B-baik, Paman!" cicitnya. Usai mendengar itu, Max berbalik dan pergi begitu saja. Setelah melangkah cukup jauh dari pintu kamar rawat Karra, Max menelepon asistennya. "Kevin, cari tau keadaan rem tangan mobil Ghania di hari kejadian." "Baik, Pak!" sambut Kevin di seberang sana. Max mematikan sambungan, lalu kembali naik menuju ruang ICU. Ia memandangi istrinya yang belum juga sadarkan diri. "Pak Max?" panggil seorang dokter. Max menoleh dan tersenyum hambar. "Eum, saya tidak tahu apakan ini kabar baik atau buruk. Hasil tes darah istri Anda pagi ini..." "Ada apa?" potong Max yang memang bukanlah seorang penyabar. "Nyonya hamil, empat minggu." Dokter itu mengeluarkan ponselnya, dan memperlihatkan foto hasil lab milik Ghania yang sudah tercatat di rekam medis. Rahang Max mengeras seketika. Tidak. Tidak mungkin janin itu adalah anaknya. “Bukankah ini adalah kabar baik, Pak?” Dokter kembali bicara. “Mengingat pernikahan kalian yang sudah berlangsung selama tiga tahun dan belum dikaruniai momongan ... Anda pasti senang sekali. Anda akan jadi seorang ayah.” Max tidak menyahut. “Sayangnya, di tengah kondisi Nyonya Ghania yang seperti ini, sepertinya akan sulit mempertahankani janin itu. Apa lagi Nyonya harus bergantung pada beberapa jenis obat yang mungkin akan membahayakan si janin," lanjut sang dokter dengan wajah menyesal. “Untuk lebih lanjut, saya jelaskan di ruangan saya, Pak. Mari.” “Saya ada urusan.” Max tiba-tiba berucap sebelum kemudian berbalik pergi. Tujuanya adalah kamar rawat Karra, si tersangka. Gadis itu jelas terkejut saat Max kembali ke ruangannya. Padahal tadi ia sudah lebih rileks, sedikit. Namun, ucapan pria itu lebih mengejutkan dari kehadirannya. "Tolong katakan, seperti apa laki-laki yang kamu lihat malam itu?"Seminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh. "Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Be
"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi. Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa
"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!." Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "
“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah."Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?”“Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini.“Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!”Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil. Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan







