LOGIN"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!."
Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "B-benar, Paman!!" sorak Karra dengan mata mengerjap pasti. Tidak salah lagi, memang pria itulah orangnya. "Rambutnya persis seperti ini!" "Andai benar kamu melihat tato besar di bahunya, tidak salah lagi. Itu pasti dia," ucap Max dengan sorot mata yang sedikit berbeda. Kali ini, pria itu terlihat menyedihkan. "Tapi ke mana dia pergi? Harusnya dia juga terluka parah mengingat ketinggian jembatan yang-" Karra tiba-tiba berhenti berbicara. Sorot mata Max seolah ingin mencekik lehernya. "M-maaf," cicit gadis itu, dan Max hanya menarik napas dalam. Harga dirinya seolah habis tak bersisa di depan si gadis bodoh. Seorang Max Draven, berhasil dikelabui dua orang brengsek yang selama ini bergantung hidup padanya? Ini sungguh memalukan. Harris bekerja di perusahaannya. Max bahkan memberinya jabatan yang bagus. Lalu, ruangan kecil itu berubah hening. Karra hanya memainkan jemarinya sambil menunggu pria gagah itu bersuara. Tapi gadis itu tidak tahan. Max yang garang tampak semakin menyedihkan. "Saya... juga pernah merasakan sakitnya sebuah penghianatan. Bukan pasangan, tapi ayah saya sendiri. Saya mengerti perasaan Paman!" "Diam!" lirih pria itu. Max melirik sejenak, lalu terus saja membuang napas kasar. "Paman masih muda. Paman juga tampan. Pasti bisa dapat pengganti yang lebih baik lagi." Karra terus saja mencari masalah dengan berbicara hingga Max kembali memandangnya tajam. Tapi, ketulusan di mata gadis itu seolah menusuk hati Max. Pria itu pun bangkit dan berlalu seperti biasa. Tanpa berpamitan, tanpa kata perpisahan. * Lalu hari berganti. Karra membaik dan akhirnya diperbolehkan pulang. Tidak ada siapa pun di sisinya. Tapi anehnya, tidak ada pihak kepolisian yang mendampingi padahal berita kecelakaan itu masih memenuhi timeline di sosial media. "Nona Karra?" Seorang pria paruh baya dengan setelan jas rapi, tiba-tiba menyembul di pintu. "Saya?" "Mari ikut saya!" ucap pria itu ramah. Tapi Karra tidak mengenalnya. Gadis itu hanya menatap bimbang. "Saya utusan Pak Max," jelas pria itu. Barulah Karra mengerti dan mengangguk. Dirinya tidak diawasi pihak kepolisian, tapi langsung dibawa oleh keluarga korban. Karra justru berada di depan pintu kubur. Bisa saja Max yang mengerikan itu ingin membalaskan dendam secara langsung, tanpa perlu berurusan dengan hukum. Itulah isi kepala Karra saat ini. "Bagaimana ini? Haruskah aku kabur?" batin gadis itu seraya meraih tas miliknya yang tidak berisi apa pun selain selembar pakaian ganti, dan dompet usang berisi tiga lembar pecahan lima puluh ribuan. "T-tapi saya mau di bawa ke mana, Pak?" tanya Karra setelah mereka sampai di lobi rumah sakit. Karra pun teringat bahwa ia belum mengurus administrasi. Apa mungkin Max yang membayarkan semua tagihan? Pastilah semua itu akan diperhitungkan di kemudian hari. Begitu pikir Karra. "Kita ke mansion keluarga Draven, Nona," jawab pria paruh baya itu. Karra menelan saliva dalam gerakan cepat. Apa ini? Apa ia akan dibantai setibanya di sana? Karra menunduk lesu. Tapi jauh di dalam kepalanya, gadis itu sedang keras berpikir bagaimana cara untuk kabur. Karra berjanji tidak akan mengelak dari hukum tapi tidak dipersekusi sepihak seperti ini. Dan ketika pria paruh baya itu lengah, Karra melambatkan langkah dan berbelok menuju pintu yang terhubung dengan ruangan IGD. Langkahnya cepat dan pasti hingga akhirnya ia berhasil keluar dari pintu lain, dan menyetop taksi. "Tapi aku harus ke mana?" lirihnya setelah taksi itu berhasil membawanya menjauh. "Aku harus mengambil barang-barangku dulu, lalu pergi jauh ke ruman Bibi Yasmin di desa." * Turun dari taksi, Karra menoleh kiri kanan dengan hati-hati. Jangan sampai orang suruhan Max mengikutinya. Syukurlah, keadaan aman. Karra membayar taksi dan melangkah cepat menuju lift. Unit apartemennya ada di lantai lima. Ia pasti bisa melakukan ini dengan cepat. Tapi setelah berada tak jauh dari pintu masuk, Karra meremas ujung bajunya kuat-kuat. "Aneh, kamu masih bisa pulang?" Suara sinis Sonya Harun--ibu tiri Karra terdengar sumbang. Wanita itu sepertinya baru saja tiba, bersama seorang tukang kunci yang sedang mengutak atik pintu masuk. Karra sangat marah. Ia tidak pernah mengusik hidup si pelakor dengan sang ayah tapi lihatlah, wanita itu mencoba menerobos masuk ke dalam apartemennya seperti maling. Tapi gadis itu sedang terburu-buru. "Minggir!" hardiknya pada si tukang kunci. Ia mengabaikan pelakor hina tersebut dan masuk. Tujuan Karra hanya satu, mengambil berkas-berkas penting dan beberapa pakaian ganti. Ia harus segera pergi agar orang suruhan Max tidak bisa menemukannya. "HEI!" Sonya menyusul sampai ke depan kamar gadis itu. "Kenapa kamu keras kepala? Papamu hanya memintamu menikah!!" geram wanita itu. "Lihat saja, kalau sampai masalah kecelakaanmu mengganggu kami semua, Papamu tidak akan tinggal diam, Karra!" "Anda sendiri, bisa diam?" tegas Karra. Kepalanya semakin sakit mendengar kata-kata Sonya. "Dan lagi, siapa Anda? Anda tidak punya hak mengatur hidup saya!" Karra sempat saling tatap dengan wanita itu. Hatinya sangat sakit jika mengingat, wanita inilah yang sudah menghancurkan ibu kandungnya. "Kamu akan menyesal, Karra! Tak lama lagi, kamu pasti membusuk di penjara. Korban yang kamu celakakan bukan orang sembarangan! Biarkan Papamu membantumu kali ini dan kamu cukup menikah dengan Roger Duan!" Karra menyeret kopernya dan bersiap pergi. Ia sengaja menyenggol wanita itu. "Aww!!" Sonya menjerit dan tersungkur, padahal Karra hanya menyenggolnya sedikit. Gadis itu mulai mengira dirinya punya kekuatan super. Jika seminggu lalu ia berhasil menjatuhkan satu mobil dari jembatan, kini ia menjatuhkan Sonya yang gempal itu hanya sekali sentuh. "KARRA!!" Anggoro berteriak dari arah belakang. Rupanya pria itu juga sudah hadir di sana, sedang duduk di sofa usang ruang tamu. Entah sejak kapan dia ada di situ, mungkin saat Karra sibuk mengumpulkan barang-barangnya. "Mau ke mana kamu?" tanya Anggoro tegas. "Papa sudah menemukan aku jadi aku harus pergi dan menghilang!" Sonya yang masih terbujur di lantai akhirnya bangkit sendiri. Dramanya sia-sia. "Padahal sebentar lagi akan mendekam di penjara. Untuk apa kamu bawa semua barang-barang itu?" Sonya kembali memanas-manasi. Hening. Lalu Karra memandangi wajah ayahnya. "Aku tidak ada urusan dengan kalian jadi ... aku pergi dulu. Sejak mamaku meninggal, toh kalian juga seolah menggap aku sudah mati," ucapnya dengan suara bergetar. Anggoro mengepalkan tangan. Ia benar-benar membutuhkan Karra kali ini demi kelangsungan bisnisnya. Investor tua itu benar-benar menyukai Karra. "Karra tolonglah-" Pria 44 tahun itu melunak. "Hanya kamu satu-satunya darah daging Papa. Kita bisa saling bantu. Papa bebaskan kamu dari masalah kecelakaan itu, dan kamu bantu Papa dengan menikah. Itu sangat mudah!" "Kalau mudah, kenapa bukan istri Papa saja yang menikah lagi? Toh dia mandul, setelah laki-laki tua itu bosan, Papa bisa memungutnya lagi!" "K-Karraaa!!" Anggoro menggeram dan gadis itu lekas melarikan diri. Koper itu tidak berat. Walau tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tapi Karra masih cukup lincah. Sialnya, tak lama kemudian seseorang membekap mulut Karra tiba-tiba dan menariknya menuju tangga darurat. "Hmmmppp!!" Gadis itu meronta ketakutan. Siapakah ini? Roger Duan si tua bangka yang memang ingin menikahinya atau... "Siapa yang memberimu izin untuk kabur dari pengawasan saya, gadis jalang?" Suara tajam Max seketika menusuk gendang telinga. Dan Karra rasa, hidupnya akan semakin pelik setelah ini. -----++-----Seminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh. "Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Be
"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi. Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa
"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!." Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "
“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah."Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?”“Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini.“Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!”Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil. Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan







