로그인
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil.
Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan mata keranjang. Kecewa, gadis berusia 21 tahun itu melajukan mobilnya dan tidak sengaja menabrak mobil lain yang terparkir di tepi jembatan. Anehnya, mobil itu dengan mudah terpental hingga menjebol pembatas jalan. Setelahnya– “Akhirnya kamu sadar.” Mendengar suara asing itu, Karra susah payah menoleh ke pria tinggi tegap yang kini berdiri di sisi tempat tidurnya. “Siapa….?” batin gadis itu. Kenapa wajahnya cukup familier–ah. “Paman Max?” Sosok itu mengernyit saat namanya keluar dari bibir Karra. Tapi, ya. Karra mengenal pria itu. Maxime Draven, seorang pengusaha kaya raya yang merupakan teman lama kedua orang tuanya. Seseorang yang sudah lama tidak Karra temui karena keluarganya sudah hancur sejak lama, jauh sebelum ibunya sudah meninggal 8 tahun yang lalu. “Kenapa Paman di sini?” tanya Karra. Suaranya serak. Apakah pria ini hadir sebagai walinya? Karena ia sudah tidak punya siapa-siapa? “Paman, maaf merepotkan. Semalam … saya bertengkar dengan Papa. Lalu menyetir dalam kondisi emosi,” terang Karra sebisa mungkin. “Bagaimana keadaan pengemudi yang saya tabrak, Paman?” Sosok itu tidak menyahut. Ekspresi wajahnya dingin saat menatap Karra, membuat gadis itu langsung berpikir ulang. Apakah benar pria ini datang sebagai walinya? Namun, sikapnya sangat janggal. Otaknya belum bisa berpikir dengan benar dan baru ini Karra mempertanyakan kenapa pihak rumah sakit menghubungi pria ini untuknya? Toh mereka bukan keluarga dan tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Tiba-tiba saja sebuah pemikiran masuk ke otak Karra. “A-apakah … Paman Max keluarga korban?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Max masih tidak menyahut. Sorot matanya semakin tajam, membuat jantung Karra sedikit berdebar. "A-apa orang itu baik-baik saja, Paman? S-sumpah, saya tidak sengaja.” Karra buru-buru menambahkan. "Berhenti mencari pembenaran dan berhenti memanggilku ‘paman’. Aku bukan pamanmu," ucap pria itu dengan suara rendah, sarat akan kemarahan. Pria itu mencengkeram lengan Karra dan menariknya duduk, membuat gadis itu mengaduh. “Ah! Paman, saya minta maaf. Saya benar-benar–” “Dia koma.” Max berkata dingin. “Dia nyaris saja mati karena keteledoran gadis bodoh seperti kamu!” Lalu tanpa banyak kata, pria itu menarik Karra hingga berdiri. Gadis itu nyaris terjatuh dari tempat tidur, tapi tanpa ampun, Max menyeretnya sepanjang koridor rumah sakit. "Ah ... sakit!" Dengan lemah, Karra mengiba. Tubuhnya pun penuh luka, langkahnya tertatih mengikuti langkah Max yang tegas dan panjang. Mereka baru berhenti setelah sampai di depan ruangan ICU berdinding kaca. “Lihat baik-baik hasil perbuatanmu.” Max berkata. Di dalam ruangan ICU tersebut, seorang wanita tengah terbaring tak berdaya di tempat tidur. Ada banyak selang dan peralatan tersambung ke tubuhnya. Namun, Karra tidak mengenali wanita itu. “P-Paman, ini siapa…?” tanya gadis muda itu takut-takut. Tubuhnya terasa dingin saat telapak tangannya menyentuh dinding kaca itu. “Apakah korbannya dua orang?” Max mengernyit. “Omong kosong apa yang kamu katakan?” "Yang saya lihat malam tadi bukan wanita ini, Paman,” jelas Karra dengan suara pelan. Perlahan, gadis itu mendongak menatap wajah Max. Selisih tinggi badan mereka cukup jauh. Karra hanya setinggi dadanya. “Saya hanya lihat satu orang. Laki-laki, tidak pakai baju. Berarti, bukankah harusnya korban ada dua orang?” Wajah Max perlahan berubah. Pria itu beringsut maju dan satu tangannya segera menyambar leher gadis malang itu. "A-aaakh!! S-saya tahu saya bersalah, Paman. Tapi t-tolong, jangan begini!!" Karra mencengkeram pergelangan tangan Max, berusaha melepaskan cekalan pria itu. "Jangan mengada-ada. Istri saya ditemukan sendirian di mobil itu!" "I-istri?" Karra mengerjap tidak mengerti. Tapi ia jelas-jelas melihat seorang pria tanpa busana sesaat sebelum kesadarannya menghilang. Ia tidak mungkin berbohong soal ini, apalagi– “Uhuk! Lepas, Paman,” sengal Karra saat ia merasakan cengkeraman Max makin keras. “S-saya tidak bohong!” “Lalu, kamu mengatakan kalau istriku selingkuh. Begitu?” * "Oh, jadi, akhirnya kamu membutuhkan bantuan Papa?" Pak Anggoro menatap Karra yang sepertinya tidak sudi membalas pandangannya. "Kalau kemarin kamu tidak kabur dan terima-terima saja, kamu tidak akan berakhir seperti ini, Kar. Tapi tenang saja. Kalau sekarang kamu mau menurut, Papa mungkin bisa bantu. Dalam semalam, Karra langsung menyandang status sebagai terduga pelaku atas kasus kecelakaan yang mengakibatkan seorang wanita mengalami koma. Rupanya polisi mampu menghubungi ayahnya--sosok yang selama ini menghilang selama bertahun-tahun, hanya dalam waktu satu jam. Namun, meski terasa pahit, ada hal lain yang Karra pikirkan saat ini. Bagaimana bisa korbannya berubah menjadi seorang wanita? Andai dugaannya benar, mereka adalah pasangan selingkuh yang sedang lupa diri, lalu ... ke mana perginya si pria? -----++-----Seminggu yang melelahkan sudah dilalui Karra bersama dua orang coach, tapi gadis itu tidak jua pandai bersikap seperti jalang. Ia memang sudah dibekali pakaian minim yang membuatnya terlihat lebih cantik. Namun sekali pandang, sebagai lelaki sejati Max tahu pasti bahwa Karra hanyalah seorang gadis bodoh. "Hanya seperti itu?" sinis Max, dan bahu Karra luruh seketika. "Keluar kalian!" Max mengibaskan tangan, mengusir dua orang wanita yang ia bayar mahal untuk mendidik calon istri simpanannya ini, sedangkan Karra hanya menunduk sambil menarik roknya yang minim. Helaan napas Max membuat tengkuk gadis itu merinding. Terlebih pria itu berada tepat di belakangnya. "Waktu kita tidak banya! Kenapa kamu sebodoh ini?!" geram Max. "M-maaf, Paman," lirih si gadis masih sambil menunduk. "Pernah pacaran?" tanya Max dengan suaranya yang berat. "P-pernah!!" "Pernah having sex dengan gaya apa saja??" "Ha?" Karra menoleh dan termangu. Pertanyaan macam apa itu? Dirinya baru 21 tahun. Be
"Paman, ini tidak benar! Saya sudah mengakui semua kesalahan saya!!" ucap Karra ketika mobil itu akhirnya berhenti di sebuah mansion besar, dengan warna putih tulang mendominasi. Max hanya membuang napas kasar lalu turun lebih dulu. Pria itu melangkah tanpa peduli pada gadis yang masih terlihat ketakutan di belakangnya. "Ayo turun, Nona!" Kevin--asisten Max membukakan pintu. Karra melompat turun dan bersiap untuk kabur. Hanya saja, Kevin terlalu tangkas untuk dikelabui. "Jangan buat Pak Max marah, Nona!" desah pria itu. Karra akhirnya tidak punya pilihan. Ia terpaksa melangkah mengikuti jejak Max, masuk ke dalam badan mansion. Di sepanjang langkah, gadis itu hanya menemukan kemewahan. Semua tertata sempurna. Sedikit kekaguman membuat ketegangan itu mengendur, hingga akhirnya Karra melihat Max duduk di sebuah sofa panjang. "Duduk!" perintah pria itu. Dengan takut-takut, Karra pun duduk di hadapan Max. "Berdiri!!" "Ha?" Karra tidak mengerti, tapi ia tetap melakukan apa
"Kulitnya ... tidak begitu terang. Rambutnya diikat rapi dan ... saya yakin ada tato besar di bahunya! Sayangnya saya tidak bisa melihat detail tato itu, hanya siluet kehijauan di bagian bahu!." Karra menjawab pertanyaan Max sambil memejamkan mata. Ingatan dan penglihatan gadis itu memang bagus, karena itulah ia bisa diterima di fakultas kedokteran dan menerima beasiswa. Karra cukup yakin dengan warna kulit dan gaya rambut pria tersebut, sebab sesaat sebelum jatuh, lampu depan mobil Karra tepat menyorot ke dalam mobil naas yang kacanya sebagian dibiarkan terbuka. Karra benar-benar melihatnya. Max membeku, mencari di dalam ingatannya, siapa kira-kira sosok yang mirip dengan pria yang disebutkan oleh gadis itu. Wajahnya tegang, dan di detik berikutnya, pria itu segera merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. "Ini??" tanya Max seraya memperlihatkan foto seorang pria yang memang berambut panjang. Harris Marza, pria yang dikenalkan Ghania tahun lalu, sebagai sepupunya. "
“Telingamu masih berfungsi atau sudah tuli?!” Tiba-tiba sang ayah membentak.Karra akhirnya menatap Pak Anggoro. “Kenapa Papa masih di sini?” Karra malah balik bertanya. Wajah sang ayah kini benar-benar terlihat marah. Nyaris sama seperti wajah pria yang menyeretnya pagi tadi. Entah ke mana perginya pria itu, dan entah bagaimana nasib Karra setelah ini. Gadis itu hanya bisa menahan tangisnya agar tidak tumpah."Anak kurang ajar! Masih saja meninggikan egomu yang tidak berguna itu! Memangnya kamu bisa membereskan masalah ini?? Sendirian!?”“Memang … apa hubungannya dengan Papa?” balas Karra dengan nada datar. Ia berusaha tidak menggunakan hatinya. Enggan menjadi emosional lagi karena ayahnya ini.“Kalau kamu menurut, Papa akan bantu kamu! Calon suamimu itu kaya, punya kuasa,” ucap Pak Anggoro. “Asal kamu menikahinya, nasibmu akan aman!”Sepertinya sang ayah tidak tahu bahwa korban yang ditabrak Karra adalah istri Maxime Draven, salah satu penguasa bisnis paling diperhitungkan di negara
Hal terakhir yang ia lihat adalah seorang pria tanpa busana di dalam mobil. Lalu– Brak! Mobil yang ia tabrak meluncur begitu saja hingga jatuh dari atas jembatan. Setelahnya Karra kehilangan kesadarannya. Saat akhirnya ia kembali membuka mata, Karra merasakan sakit di kepala dan sekujur tubuh. Cahaya memenuhi kamar bercat putih tempatnya berada saat ini. Gadis itu berusaha mengumpulkan ingatan dan kesadarannya perlahan. Malam itu, Karra tanpa sengaja bertemu kembali dengan sang ayah yang dulu meninggalkan ia dan ibunya demi seorang pelakor. Kini, ayahnya sudah punya keluarga baru, sementara Karra sudah tidak punya siapa-siapa karena sang ibu pun sudah meninggal karena sakit menahun akibat diselingkuhi. Lama tidak bertemu, bukannya meminta maaf, sang ayah justru memberikan penawaran bahwa ia bisa saja menerima Karra kembali asalkan Karra bersedia menikah dengan pria tua yang menjadi investor bisnis ayahnya–yang kalau dilihat dari berita yang beredar, sangat berengsek dan







