Home / Rumah Tangga / Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua / BAB 1 - Luka Yang Tak Terlihat

Share

Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua
Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua
Author: Dhalika Noire

BAB 1 - Luka Yang Tak Terlihat

Author: Dhalika Noire
last update Last Updated: 2025-05-11 13:20:02

“Kenapa kamu masih tiduran saja, Rania? Anakmu menangis. Jangan seperti nyonya besar di rumah orang!” suara Bu Yulia menggema dari ruang tamu, menusuk telinga yang belum pulih dari begadang.

 

 Keringat dingin menetes dari pelipis. Ia belum tidur cukup sejak persalinan. Dia memaksa tubuhnya bangkit dari kasur.

 

  Rania baru saja melahirkan 2 hari yang lalu. Tubuhnya masih lemah, tetapi sejak hari pertama ia pulang dari rumah sakit, tak ada yang namanya masa istirahat. Mertuanya, Bu Yulia, berdiri seperti bayangan di setiap sudut rumah, mengamati, menilai, dan mencela.

 Bahkan Luka jahitan di area jalan lahirnya masih terasa perih dan nyeri sekali setiap kali duduk atau berjalan cepat. Tapi semua itu dianggap remeh.

 

  “Aku tadi baru saja menyusui, Bu... Bayi mungkin masih rewel karena kolik ” Ucap Rania

 

  “Alasan! Semua ibu juga begitu. Tapi tidak semua ibu semanja kamu!” Bantah Mertuanya Bu Yulia

 

  Di balik pintu dapur, seorang perempuan berdiri dengan wajah datar. Nadine, istri dari kakak suaminya. Selalu tampak manis di depan Raka, suami Rania. Tapi Rania merasakan sesuatu yang salah dalam caranya menatap lelaki itu terlalu lama, terlalu lembut, terlalu milik.

 

 Lalu dari arah dapur, Nadine muncul membawa nampan berisi air dan buah. Istri dari kakak suaminya itu selalu tampak rapi dan tenang.

 

  “Mbak Rania belum makan, ya?” katanya lembut.

 

  Rania tersenyum lelah. “Belum sempat, Mbak…”

 

  Nadine duduk di sebelahnya, terlalu dekat.

  “Kasihan kamu… Kalau aku jadi Raka, aku pasti lebih sayang dan perhatian.”

 

  Rania menoleh. Ucapan itu meluncur ringan, tapi ada nada tersembunyi di baliknya.

 

  “Mas Raka sudah sangat membantu…”

 

  Tapi saat tangan mereka bersentuhan, Nadine berbisik pelan, “Kalau kamu tidak kuat... kamu bisa pergi, tahu? Biarkan Raka mencari kebahagiaannya.”

 

  Rania menatap Nadine, terkejut. Tapi Nadine hanya tersenyum lembut seolah tak pernah mengucapkan apa pun.

 

  Malam harinya, Raka pulang dari kerja. Wajahnya lelah, dasi masih tergantung longgar di leher. Rania menyambutnya dengan air putih dan senyum kecil.

 

  “Mau makan malam dulu, Mas?”

 

  “Belum lapar,” jawab Raka. “Ibu mana?”

 

  “Di kamar. Sepertinya marah lagi karena aku tidur sebentar tadi siang.”

 

  Raka menghela napas. “Kamu harus lebih kuat, Ran. Ibu memang... keras.”

 

  Rania ingin berteriak. Keras? Tidak. Dia kejam, Mas. Dia menyiksa batin dan ragaku, mematahkan semangatku seperti ranting kering.

 

  Tapi ia hanya menunduk. “Aku akan coba.”

 

  Dari arah dapur, Nadine muncul. Mengenakan daster tipis, rambutnya dibiarkan terurai. Ia pura-pura terkejut melihat Raka.

 

  “Oh, kamu sudah pulang? Tadi Rania cerita kamu sangat sibuk di kantor.”

 

  Raka tersenyum sopan. “Ya, begitulah, Mbak.”

 

  “Kalau kamu lapar, aku bisa buatkan sup. Rania kan masih belum kuat ke dapur, kasihan…”

 

  Rania menatap Nadine yang berjalan mendekat ke Raka. Terlalu dekat. Suaminya mundur setengah langkah, tapi Nadine menyentuh lengannya ringan.

 

  “Kamu harus jaga kesehatan, Raka. Kalau sakit nanti siapa yang jaga Rania?”

 

  Ucapan itu terdengar manis di permukaan, tapi di telinga Rania, itu seperti tawa iblis.

 

***

 

  Pukul dua pagi. Bayi menangis lagi. Rania bangun, menahan perih di bagian bawah tubuhnya. Tapi saat berjalan ke kamar bayi, ia tersandung ember kecil yang entah kenapa diletakkan di sana.

 

  Air tumpah. Lantai licin.

 

  “Astaga!” Kaget Rania

 

  Rania terjatuh, hampir menimpa bayinya. Untung ia sempat menopang tubuh dengan tangan.

 

  Bu Yulia datang tergopoh-gopoh, bukan dengan empati, tapi tuduhan.

 

  “Apa kamu mau bunuh anakmu?! Baru juga melahirkan, sudah ceroboh begini!”

 

  Nadine muncul dari balik pintu, berdiri di belakang Bu Yulia. Matanya lurus ke arah Raka yang keluar dari kamar.

 

 

  “Raka... Kamu harus pertimbangkan. Rania belum siap jadi ibu. Lihat sendiri.”

 

  Rania tak bisa berkata apa-apa. Di rumah ini, luka bukan hanya di tubuh, tapi dalam diam yang terus dipelintir jadi kesalahan

 

 

  Dia menahan air mata. Ini bukan sekadar kebencian. Ini penghancuran jiwa.

 

  Rumah itu besar, tetapi tak pernah terasa luas. Udara yang mengendap di setiap ruangnya membawa aroma busuk dari rahasia yang terlalu lama dikubur.

 

  Sementara Nadine dengan senyum liciknya sedang Merencanakan sesuatu yang besar untuk menghancurkan rumah tangga Rania dan Raka.

 

 “Aku akan membunuhmu secara perlahan Rania”  Ucap Nadine

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 29 - Pengungkapan yang Lebih Dalam

    Setelah pertempuran yang sengit, markas Darmawan kini terasa sepi. Hujan yang semula deras mulai mereda, meninggalkan sisa-sisa air yang menggenang di sekitar bangunan. Para pasukan Darmawan yang baru datang terlihat sedang mengamankan area, memastikan tidak ada ancaman yang tersisa. Namun, di dalam markas, Rania dan keluarganya tidak merasa sepenuhnya aman. Rania berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke luar. Pikirannya jauh, merenung. Darmawan, yang sebelumnya dianggap sebagai korban dalam permainan jahat keluarga Wicaksono, kini terlihat sangat berbeda. Pencapaian dan pengorbanannya ternyata lebih besar dan lebih berbahaya dari yang pernah dibayangkan Rania. “Rania,” suara Sinta memecah lamunannya. “Kita perlu bicara.” Rania menoleh dan melihat Sinta berdiri di dekat meja, menggenggam berkas-berkas lama yang baru saja ditemukan. Di sana, terdapat beberapa dokumen yang menunjukkan hubungan antara Darmawan dan jaringan kekuasaan yang lebih besar daripada yang pernah

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 28 - Pertarungan untuk Takdir

    Darmawan, yang selama ini dianggap sebagai korban dari rencana jahat keluarga Wicaksono, mengangkat tangan dan melangkah maju dengan tenang. “Aku tahu apa yang kalian pikirkan, Ran. Tapi aku bertindak untuk sesuatu yang lebih besar dari kalian bayangkan.” Rania terdiam, hampir tidak percaya. Ia telah mengira ayahnya tewas karena serangan itu, dan kini dia muncul di hadapannya, lebih hidup dan lebih kuat dari sebelumnya. “Aku bersembunyi selama ini karena mereka tidak tahu jika aku masih hidup. Yulia akan mengira aku mati, dan itu memberiku kesempatan untuk mengatur semua ini dari belakang,” lanjut Darmawan. “Namun, aku tidak bisa membiarkan Felix menguasai segalanya.” Sinta, yang sudah tahu tentang banyak hal, menatap Darmawan dengan penuh kecurigaan. “Apa maksudmu dengan mengatakan ‘lebih besar’?” tanya Sinta. “Apa yang kamu rencanakan sebenarnya?” Darmawan menatap mereka semua dengan tatapan tegas. “Aku menyusun rencana untuk menghancurkan semua yang pernah dibangun Yulia

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 27 - Pemburuan Malam

    Malam itu, langit gelap seolah menutupi segala rahasia yang hendak terungkap. Rania berdiri di luar markas sementara mereka, menatap cakrawala yang hanya diterangi kilatan petir yang sesekali mengarah ke tanah. Hujan semakin deras, mengaburkan pandangan, namun di balik kabut itu ada ancaman yang semakin nyata. Raka, yang sedang beristirahat di dalam ruangan, merasa ada yang tak beres. Instingnya, yang selama ini tajam, terasa menggigit. Sesuatu mengintai. “Kita tidak punya banyak waktu,” kata Raka, matanya tajam menatap layar monitor. “Felix pasti datang, dan jika dia membawa pasukan... kita tidak akan cukup kuat.” Reyhan mengangguk dan berdiri. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan, tapi yang lebih penting sekarang adalah memastikan semua bukti tetap aman. Tanpa itu, kita bisa kehilangan semuanya.” Sinta yang berada di sisi meja kerja menekan layar ponselnya. “Aku sudah menghubungi teman-teman di lembaga hak asasi. Mereka akan siap untuk mendengar kebenaran jika kita bisa m

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 26 - Kembali dari Bayangan

    Hujan turun deras malam itu. Rania tengah memandangi berkas-berkas peninggalan Dimas di ruang kerja ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia nyaris tak mengangkat, tapi suara di seberang membuat napasnya tercekat. “Rania…” Suara itu… lemah, serak, tapi sangat familiar. “Raka?” “Aku... butuh bantuanmu. Aku masih hidup.” Ponsel nyaris jatuh dari tangan Rania. “Di mana kamu?!” “Jangan bilang siapa-siapa… mereka masih mengincar aku. Aku di rumah tua Ayah, di lereng Brava…” *** Rania langsung berangkat bersama Reyhan dan Sinta secara diam-diam. Mereka tiba di sebuah rumah terbengkalai, dikelilingi kabut dan hujan. Di dalamnya, Raka terbaring lemah di sofa usang, tubuhnya penuh luka lama, beberapa masih membekas jelas. Matanya sayu, tapi masih menyala. Tangis Rania pecah seketika. Ia meraih tangan Raka dan menggenggamnya erat. “Kau… kau hidup… Tuhan, aku kira kau sudah…” Raka menggeleng pelan. “Dimas… merancang semuanya. Membuat seolah aku tewas di tempat ke

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 25 - Perburuan Terakhir

    Dua minggu sejak pelarian Dimas. Selama itu pula Rania hidup dalam pengawasan ketat. Rumahnya dijaga aparat, Reya dipindahkan ke tempat rahasia. Tapi Rania menolak bersembunyi. Ia tahu, selama Dimas belum tertangkap, tak ada tempat yang benar-benar aman. “Dia akan datang padaku. Bukan Sinta, bukan Felix. Aku. Karena aku yang menjatuhkannya,” ujar Rania tegas saat Sinta menyarankan pelindung tambahan. Reyhan mengatur strategi, tapi Dimas seolah lenyap. Semua jejak menghilang. Sampai akhirnya, surat tanpa pengirim tiba di kantor kejaksaan. Isinya: “Main terakhir kita. Tanpa polisi. Tanpa kamera. Datanglah ke tempat semuanya bermula. Sendirian. Jika kau ingin ini berakhir.” Tertulis di bawahnya: “Villa Gunung Senja.” Itu adalah rumah lama keluarga Wicaksono. Tempat pertama Rania dibawa setelah menikah. Tempat Yulia pertama kali menyiksanya. *** Malam itu. Rania memutuskan untuk datang. Meski ditentang semua pihak, ia tahu—ini bukan lagi sekadar perburuan hukum. Ini te

  • Menjadi Istri di Rumah Maut Mertua   BAB 24 - Balas Dendam dari Balik Jeruji

    BAB 36 — Balas Dendam dari Balik Jeruji Malam sunyi. Di dalam penjara kelas satu, Dimas duduk di ranjangnya, ditemani sebatang rokok yang menyala setengah. Meski dinding jeruji mengelilinginya, wajahnya tetap tenang. Di depannya, seorang pengacara bayangan membisikkan kabar. "Kami sudah temukan orangnya. Infiltrasi ke dalam LPSK, akses ke lokasi rumah aman Felix. Kita hanya butuh waktu." Dimas mengangguk pelan. “Aku tak butuh waktu. Aku butuh hasil. Buat mereka menderita, satu per satu. Mulai dari Rania.” *** Keesokan harinya, Rania menerima paket misterius. Sebuah kotak kayu kecil dengan inisial “R”. Di dalamnya, bukan barang, melainkan segel rambut bayi, yang ia kenali sebagai milik anaknya, Reya. Tangannya gemetar. Pesan pendek tertulis di balik tutup kotak: "Kau mencuri milikku. Sekarang, kutarik kembali yang jadi milikmu." Rania langsung menggendong Reya dan menghubungi Sinta. Laporan diajukan ke kepolisian, dan Reyhan mempercepat proses pemindahan saksi dan kelu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status