Share

Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku
Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku
Penulis: Bowieta

Bab 1

Penulis: Bowieta
Hari aku pulang, turun hujan deras. Kakak tidak datang menjemputku.

"Merry nggak enak badan, kamu pulang sendiri saja." Di telepon, suaranya dingin dan tanpa perasaan.

Aku diam-diam membereskan barang-barang, lalu berjalan pulang. Padahal aku hanya dikurung di sekolah selama setahun, tetapi aku malah lupa jalan pulang.

Hari itu ketika kakak mengantarku pergi, waktu di jalan terasa begitu singkat. Singkat sampai aku tak sempat menjelaskan kepadanya bahwa bukan aku yang mendorong Merry jatuh dari tangga. Singkat sampai aku tak sempat meredakan amarah Kakak, sebelum akhirnya dia mendorongku masuk ke kurungan gelap tanpa siang malam itu.

Meskipun aku sudah berjalan lama di bawah hujan dan pakaianku basah kuyup, aku tetap tidak bisa sampai rumah. Mungkin, aku memang sudah tidak punya rumah lagi.

Ayah dan Ibu meninggal terlalu dini, aku dan kakak saling bergantung untuk hidup. Namun sekarang, demi Merry, Kakak tidak menginginkanku lagi.

Selama lebih dari setahun, dia sama sekali tidak menjengukku. Pernah suatu kali aku sakit parah dan sangat ingin pulang, sangat rindu Kakak. Namun, ketika aku meneleponnya, sebelum aku selesai berbicara, dia sudah menutup telepon.

"Jangan bertingkah sok menyedihkan di depanku." Itu adalah ucapannya saat itu.

Kakak meninggalkanku. Aku benar-benar tidak bisa menemukan jalan pulang.

....

"Kamu buat masalah apa lagi? Sudah setahun di dalam sana, ternyata masih manja begini?" Kakak buru-buru masuk ke kantor polisi. Melihatku yang basah kuyup, alisnya mengerut, lalu dia memarahi tanpa ampun.

"Hari ini Merry sakit, makanya aku nggak menjemputmu. Kamu ini sudah besar, masa masih nggak bisa pulang sendiri? Harus buat drama begini juga? Masih berharap aku akan terus menurutimu?"

"Maaf, Kak. Aku nggak sengaja, aku sungguh lupa jalan pulang." Kakiku gemetar. Begitu mendengar nada marahnya, tubuhku langsung bereaksi dengan rasa takut. Badanku yang sudah menggigil, kini terasa semakin membeku.

Melihat Kakak terdiam dengan wajah tak bersahabat, aku langsung berlutut. "Ini salahku, salahku .... Kak, maafkan aku, jangan ... jangan kirim aku kembali ke sana. Aku pasti akan menurut, Kak."

Para polisi sampai kebingungan. Mereka buru-buru menolongku berdiri sambil menasihati Kakak dengan lembut, "Bawa pulang saja, jangan mempermalukan diri di sini."

Dengan ekspresi tegang, Kakak berbalik, lalu berjalan pergi. Aku terus mengikutinya dari belakang, selangkah pun tak berani jauh.

Sebelum naik mobil, aku dengan hati-hati menaruh pakaianku di kursi untuk alas duduk.

"Kamu ngapain?" Kakak mengerutkan kening menatapku.

Aku menunduk, suaraku lirih. "Pakaianku basah, aku takut mengotori mobil Kakak."

Kerutan di dahinya semakin dalam. Aku tahu dia tidak senang, jadi aku menunduk lebih rendah lagi.

Setelah waktu yang cukup lama, baru terdengar suara tidak sabarnya. "Masuk mobil!"

....

Apa aku sudah terlalu lama tidak pulang? Rumah tempat aku dan Kakak tinggal selama belasan tahun, kini terasa begitu asing.

Foto aku dan Kakak yang dulu tergantung di ruang tamu sudah menghilang, berganti foto Kakak bersama Merry.

Sofa krem yang dulu kupesan khusus bersama Kakak sudah tidak ada, berubah menjadi sofa warna merah muda yang tidak kusukai. Kamarku pun berubah total, semua barang milikku lenyap, setiap sudut dipenuhi aroma orang lain.

"Nadia sudah pulang?" Merry keluar dari kamar Kakak, senyuman manis terukir di wajahnya.

"Kamu nggak di rumah, jadi aku ajak Merry tinggal di sini. Kakinya sakit gara-gara dulu kamu dorong dia sampai jatuh, jadi kamu harus lebih pengertian. Aku sudah suruh orang beresin kamar kecil di loteng, mulai sekarang kamu tinggal di atas."

Kakak berjalan mendekat, merangkul tangan Merry. Aku menatap ke arah kamar gelap di lantai atas. Dulu tempat itu hanya untuk menyimpan barang-barang. Tidak apa-apa ... setidaknya masih ada tempat untuk tidur.

Di sekolah dulu, delapan orang harus berdesakan dalam asrama kecil tanpa ventilasi. Saat cuaca panas, aku sering terbangun di tengah malam. Tubuhku pun basah seakan-akan baru saja diangkat dari air. Rasa sesak itu seperti ada batu besar yang menekan dadaku.

Namun, itu masih belum seberapa. Yang paling menakutkan adalah suatu malam tak lama setelah aku baru masuk sekolah.

Dalam keadaan setengah tidur, aku merasakan ada tangan yang merabaku. Aku sontak membuka mata, lalu mendapati sepasang mata penuh nafsu.

Aku berteriak kencang, tetapi mulutku dibekap erat. Aku tak bisa bersuara dan hanya bisa berjuang mati-matian. Aku jelas melihat teman sekamarku membuka mata. Mereka menyaksikan semuanya, tetapi tidak seorang pun yang maju menghentikannya.

Sejak saat itu, aku tidak pernah tidur nyenyak lagi di sana. Dibandingkan itu, tempat ini bersih dan rapi. Meskipun kecil, bagiku sudah cukup baik bisa punya tempat untuk bernaung.

"Nadia, aku mengambil kamarmu. Kamu nggak keberatan, 'kan?" Merry tersenyum munafik. Aku tahu itu adalah provokasinya padaku.

Dulu dengan sifat asliku, menghadapi perempuan munafik semacam ini, aku selalu lebih suka menggunakan tangan daripada kata-kata.

Aku dan Merry memang tidak akur sejak pertama bertemu. Aku benci wanita yang penuh kepura-puraan seperti Merry, tetapi dia selalu saja menggangguku.

Di pesta perpisahan sekolah, dia sengaja jatuh dari tangga di depan mataku. Saat orang-orang berlari menghampiri, menyaksikan adegan itu, mendengar tangisan dan tuduhan memilukan dari Merry, semuanya langsung percaya aku adalah gadis jahat yang menindas teman.

Aku nggak akan pernah lupa tatapan kakak waktu itu. Dia menggendong Merry dalam pelukannya, lalu memandangku dengan tatapan penuh kekecewaan, kemarahan, dan rasa jijik. "Kamu benar-benar membuatku kecewa. Aku nggak punya adik sepertimu."

Namun, aku sungguh tidak mendorongnya.

Hari itu, aku menunggu Kakak pulang di rumah sangat lama. Dia tidak pulang, bahkan tidak mengangkat teleponku. Yang datang hanyalah sekretarisnya, membawa tamu tak diundang, menyeretku masuk ke mobil.

Tanpa memberiku kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan, Kakak langsung mengurungku di sekolah perempuan.

"Aku gagal mendidikmu, jadi kamu tinggal di sana saja. Introspeksi diri baik-baik, tebuslah kesalahanmu kepada Merry."

Sejak saat itu, aku sadar aku tidak mungkin menjadi tandingan Merry. Bukan karena aku lebih lemah darinya, melainkan karena hati kakak sudah lebih dulu berpihak kepadanya.

Jadi, meskipun dia merebut kamarku, bagaimana aku berani menunjukkan rasa tidak puas?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 7

    Saat pulang, jejak Merry di rumah sudah dibersihkan. Tempat itu kembali seperti yang kuingat dulu.Aku berjalan ke loteng, tetapi Kakak menahanku. "Ini baru kamarmu, Nadia. Kakak nggak akan membiarkanmu tersakiti lagi."Aku memegang tas kecilku dan menggeleng. "Tidur di mana pun sama saja. Nanti setelah aku sembuh, aku akan kerja dan pindah."Ekspresi Kakak berubah. "Kenapa mau pindah? Ini rumahmu, Nadia."Aku menggeleng. "Bukan. Ini rumah Kakak. Aku ingin punya tempat yang aman, yang nggak bisa diusir sewaktu-waktu. Aku nggak mau dikirim lagi ke tempat itu."Kakak meneteskan air mata, lalu berlutut di hadapanku. "Nadia, hal seperti itu nggak akan terjadi lagi. Kakak janji."Agar aku tenang, Kakak membawaku ke notaris, memindahkan kepemilikan rumah atas namaku, bahkan memberikan semua asetnya.Dia mengamati lukaku, lalu menyalin semua luka itu ke tubuhnya sendiri. Meskipun darah bercucuran dan wajahnya pucat, dia tetap tersenyum."Aku sudah menebus semuanya, Nadia. Aku menanggung semua

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 6

    Sebelum Merry selesai berbicara, tiba-tiba lehernya dicekik oleh Kakak dan tubuhnya dihantamkan ke dinding. Tatapan Kakak dipenuhi niat membunuh yang dingin, seakan-akan ingin melahapnya hidup-hidup."Nggak boleh lagi ada sepatah kata pun yang menjelekkan Nadia! Dasar wanita jahat! Kamu yang mengambil kalung itu! Kamu yang memprovokasi Nadia dengan kalung itu! Kamu yang memfitnah dia mendorongmu!""Aku nggak melakukan itu.""Kamu masih berani menyangkal! Aku sudah melihat rekaman CCTV, juga rekaman malam perpisahan dulu! Nadia sama sekali nggak mendorongmu! Semua itu hanya sandiwara yang kamu buat sendiri! Kamu yang membunuh adikku! Pembunuh!"Kakak menggunakan seluruh tenaganya. Awalnya Merry masih bisa meronta, tetapi segera dia dicekik sampai meneteskan air mata."Lepaskan aku ... uhuk, uhuk ... aku dijebak ....""Aku sudah melihat buktinya! Kamu masih berani membantah! Kembalikan adikku!""Tolong! Tolong!"Melihat Kakak sudah kehilangan kendali, Merry panik ketakutan dan berteriak

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 5

    "CCTV di luar vilamu juga sudah kutemukan. Dari sana terlihat kalung itu dilempar keluar lewat jendela. Aku sudah menyuruh orang mencarinya di sekitar, hanya saja sudah berlalu beberapa hari, entah masih bisa ditemukan atau nggak."Ekspresi Kakak hancur. Dia berusaha keras tetap terlihat tenang. "Baiklah. Ada satu hal lagi, meski sudah lama berlalu, tolong bantu selidiki dengan jelas."Seluruh dirinya tampak runtuh. Dia terduduk lama di lantai, tak sanggup mencerna kabar itu. Entah saat ini apakah dia teringat kalau di detik terakhir aku melompat, aku hanya menunggu satu kalimat darinya, yaitu aku percaya padamu.Namun, dia tidak mengatakannya. Itulah hal terakhir yang menghancurkanku.Kakak berulang kali melihat barang-barang yang kutinggalkan. Saat dia menemukan kertas-kertas kecil yang kuselipkan di dalam boneka beruang, dia akhirnya benar-benar hancur.[ Kak, aku ingin pulang! Aku sakit sekali! Kak! Tubuhku penuh luka, jelek sekali, sakit sekali. ][ Kak, apa aku akan mati? Aku ing

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 4

    Aku tidak merasakan sakit. Semua itu datang begitu cepat. Aku justru merasakan kelegaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena mulai sekarang, aku tidak akan pernah merasa sakit lagi.Dalam kesadaran yang samar, aku teringat tak lama setelah Ibu meninggal, aku sakit parah. Saat itu, Kakak sangat panik sampai terus menjagaku di sisi tempat tidur. Aku sering mendengar suaranya dalam tidurku. Dia memanggil namaku berulang kali, mengusap keningku dengan lembut.Ketika demamku reda dan aku terbangun, aku melihat mata Kakak memerah. Dia menangis. "Nadia, aku mohon, kamu harus sembuh, jangan tinggalkan Kakak. Kakak hanya punya kamu. Kalau kamu kenapa-napa, Kakak nggak tahu gimana harus hidup."Namun, mata yang memerah itu perlahan berubah menjadi tatapan dingin penuh benci. "Kenapa kamu nggak mati saja?"Kakak, aku akan mati sekarang. Apa sekarang kamu bahagia? Namun ... kenapa sepertinya Kakak sedang menangis?Aku merasa seperti sedang bermimpi, seakan-akan jiwaku terlepas dari tubuh

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 3

    "Rumah sakit menagih biaya, tapi Kakak nggak bisa dihubungi ....""Apa?" Kakak mengernyit. Belum sempat berkata lebih jauh, Merry sudah berjalan mendekat."Nadia, cepat masuk. Sudah agak baikan? Harus bayar, 'kan? Biar aku yang transfer untukmu.""Biar aku saja," ujar Kakak, lalu langsung mentransfer 200 juta ke rekeningku. "Cukup, 'kan?"Aku mengangguk, lalu bersiap keluar untuk menebus kalungku."Kamu mau ke mana lagi?""Ambil kalungku, aku jadikan jaminan di rumah sakit."Baru melangkah beberapa langkah, Merry menahanku. "Di luar sebentar lagi hujan, kamu baru keluar dari rumah sakit, jangan sembarangan. Biar sopir yang ambilkan."Aku tidak ingin menyetujuinya, tetapi tatapan Kakak membuatku terdiam. Aku tahu, begitu aku menolak Merry, Kakak pasti marah.Namun, sopir pergi lama dan kembali tanpa membawa kalungku. Perawat mengatakan kalung itu hilang."Gimana bisa hilang? Kok bisa? Baru dua jam, kenapa bisa hilang? Aku jelas sudah bilang akan menebusnya dengan uang!""Orang di rumah

  • Menjadi Korban Manipulasi Kekasih Kakakku   Bab 2

    "Ini rumah Kakak, bagaimanapun pengaturannya tentu terserah Kakak. Di sini juga bagus, nggak masalah aku tinggal di sini." Aku menunduk, berbicara pelan.Ekspresi Kakak sulit kupahami, seolah-olah dia tidak senang. Aku semakin gelisah. Padahal aku sudah menurutinya, mengalah pada orang yang paling dia sayangi, tetapi kenapa dia tetap tidak puas?Yang paling menyiksa adalah saat makan bersama mereka. Meja penuh dengan hidangan lezat. Kakak menyendokkan makanan untuk Merry sambil tertawa bahagia. Sementara itu, aku hanya menunduk dan diam, memakan nasi putih di piring."Kenapa kamu nggak makan lauk, Nadia?" tanya Merry yang meletakkan sepotong daging kambing ke piringku.Aku tidak memakannya, hanya diam-diam memindahkannya ke samping."Nadia pasti punya masalah denganku. Aku kasih lauk, dia malah nggak mau makan." Wajah Merry tampak sedih, Kakak pun langsung memasang ekspresi dingin."Nadia! Makan lauknya! Wajah masammu itu mau ditunjukkan kasih siapa?"Aku mengangkat kepala, hatiku tera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status