LOGINSepertinya Kanaya terlalu banyak berpikir. Mana mungkin anak Presdir perusahaannya adalah Adrian yang pernah tidur dengannya.
“Kayaknya aku sudah mulai terobsesi dengan semua orang bernama Adrian,” gumam Kanaya sambil berjalan menuju ruangannya.
Sampai tampak sebuah kerumunan orang di lobby perusahaan. Kanaya mendekat, benar saja ada Pak Presdir di sana bersama dengan seorang pria dan wanita muda. Kanaya tidak melihat jelas karena dia datang dari arah belakang.
Kanaya mendekat ke meja resepsionis.
“Ramai sekali, ada apa sih?” tanyanya pada petugas resepsionis.
“Pak Presdir lagi ngenalin anaknya. Infonya jadi wakil dirut yang baru,” sahut petugas resepsionis.
Kanaya mengangguk paham, sekilas dia melihat pria di samping Pak Presdir. Postur tubuhnya yang tegas terasa familiar.
Sampai akhirnya pria muda itu berbalik ke arah Kanaya. Dan, tanpa sengaja mata mereka bertemu.
Mata itu.
Wajah itu.
Dia.
Adrian.
Kanaya hampir tak percaya, kakinya lemas seketika. Jadi, pria yang tidur bersamanya akan menjadi bosnya sendiri.
Belum sempat Kanaya memproses semuanya, tiba-tiba seorang wanita dengan elegan melingkarkan tangannya di lengan Adrian.
Deg!
Dada Kanaya seolah berhenti seketika. Wanita itu pasti tunangannya. Itu artinya dia sudah tidur dengan tunangan orang lain.
Pak Presdir tersenyum ramah ke semua karyawan yang ada di lobby. Dia mengumumkan sesuatu. “Ini anak saya, Adria Prakasa. Dia akan bekerja sebagai Wakil Direktur Utama mulai hari ini. Dan ini Reina, calon istrinya.”
Kanaya tersentak. Dunianya seketika meredup. Baru saja dia merasakan jatuh cinta, tapi Tuhan mulai memperlihatkan bahwa dia tak pantas.
Saat wanita itu masih mematung. Adrian yang sebelumnya tampak percaya diri, tiba-tiba terpaku. Tatapannya terkunci pada sosok wanita yang berdiri bersandar di meja resepsionis.
Wajahnya tegang bercampur kaget, bingung, sekaligus panik. Kenapa ada dia di sini? pikirnya.
Mereka berdua saling beradu tatap dalam diam. Seolah hanya ada mereka berdua di ruangan itu.
Ingatan malam itu, sentuhan tangan lembut, napas yang beradu, suara berat yang memanggil nama Kanaya seolah menghantam dada wanita itu.
Rasanya sakit dan perih, kenyataan lain bahwa dia sangat bodoh dan murahan berputar di kepalanya.
Kanaya menelan ludah, memalingkan wajahnya. Hatinya retak tanpa suara.
***
Langkahnya bergema di koridor perusahaan. Kanaya meninggalkan lobby dengan tergesa, dia baru saja mengetahui suatu fakta.
Adrian mematahkan hati Kanaya.
“Semua pria itu sama aja, brengsek!” umpatnya dalam hati.
Kanaya kecewa dengan Adrian, kesan pertamanya tentang pria itu hancur seketika.
Air mata yang tadi ditahannya akhirnya lolos juga. “Kenapa harus nangis sih, Nay?” ucapnya bermonolog dengan dirinya sendiri.
Tangannya mengusap air matanya sendiri di sudut lorong yang sepi itu, Kanaya merenungkan semua kejadian yang dialaminya.
Dia tertawa getir. “Sepertinya Tuhan tidak ingin hidupku tenang-tenang saja,” Kanaya mendesah.
Adik mengacau, jatuh cinta sama orang asing sampai ONS, mantan yang sekantor, dan saat menyadari bahwa partner ONS nya adalah bosnya sendiri yang sudah bertunangan.
“Nay?” panggil seseorang dari belakang Kanaya.
Kanaya membeku seketika, suara itu tidak asing. Dia berbalik perlahan, matanya membelalak melihat sosok yang memanggilnya. “Adrian,” sahutnya pelan hampir tak terdengar.
“Ternyata benar itu kamu,” seru Adrian mendekat padanya.
Pria itu terlihat bahagia bisa bertemu dengan Kanaya lagi.
Sayangnya, Kanaya sudah kecewa. Saat Adrian mendekat, wanita itu melangkah mundur. Alhasil, Adrian melambatkan langkahnya. “Ada apa? Kenapa dia menghindar?” gumamnya dalam hati.
“Maaf, saya harus kembali bekerja,” ucap Kanaya gugup lalu pergi meninggalkan Adrian setelah menunduk sopan.
“Tunggu!” tangan Adrian sampai terangkat ke udara mencoba menahan Kanaya agar tidak pergi. Namun, wanita itu tetap berjalan menjauh sampai menghilang di sudut lorong.
Tangan Adrian terjatuh lemas di samping badannya. Dia menghela napas berat. “Padahal aku sudah mencarinya kemana-mana. Tapi kenapa dia malah menghindar saat melihatku.”
Tapi, seketika Adrian tersenyum karena menyadari fakta bahwa Kanaya bekerja di perusahaan miliknya.
Bibirnya melengkung ke atas. "Akhirnya aku menemukanmu, Kanaya. Sepertinya kehidupanku di kantor ini tidak akan membosankan seperti yang kubayangkan."
***
Hening. Tidak ada yang bersuara antara Kanaya ataupun Adrian. Kanaya lebih banyak diam dan menunduk di kursinya. Sedangkan, Adrian fokus menyetir. Mereka sedang perjalanan pulang, Adrian mengantar Kanaya ke kosan. Lebih tepatnya memaksa untuk mengantarkan wanita itu.Jalanan macet menambah canggung suasana di dalam mobil bersama Adrian. Kanaya menahan napasnya setiap kali Adrian mengerem mobilnya. “Ehem!” Adrian berdehem. Kanaya menoleh ke arah pria di sebelahnya. Mata mereka bertemu. “Apa kamu suka mendengarkan musik?” tanya Adrian tiba-tiba.Kanaya mengangguk. “Genre musik apa yang kamu sukai?” “Oh, saya suka mendengarkan musik pop,” Kanaya tersenyum saat menjawabnya. Setelah itu Adrian memutar lagu pop dari salah satu musisi dalam negeri. Kanaya tersenyum lebih lebar karena lagu kesukaannya yang diputar. Adrian melirik singkat ke arah Kanaya yang mulai bersenandung lirih. Sudut bibir pria itu terangkat. “Syukurlah, dia menyukainya,” batin Adrian. Setengah jam berlalu, dan
Langit sudah menggelap saat Kanaya berdiri di depan gedung kantornya. Kepalanya menunduk melihat kakinya sendiri. Keadaan kantor sudah hampir sepi, hanya menyisakan beberapa karyawan yang lembur di beberapa divisi. Lobi sore itu tidak banyak orang lalu lalang. Kanaya menoleh ke kanan dan kiri mencari seseorang yang ia tunggu tak kunjung datang.“Kenapa belum datang juga?” gumamnya. Dia janji bertemu dengan Adrian jam lima tepat. Tapi ini sudah lewat setengah jam dan pria itu tidak muncul juga. Apa mungkin perkataannya tadi tentang membahas pernikahan itu bohong. Mana mungkin seorang Adrian Prakasa mau menikah dengan gadis biasa seperti Kanaya. “Apa aku terlalu jauh berharap padanya?”Sesal menjalar di hati Kanaya, dia sudah terlanjur mengatakan bahwa janin yang ada di perutnya adalah milik Adrian. Bagaimana kalau pria itu berubah pikiran? Kanaya mulai menerka-nerka kemungkinan tidak datangnya Adrian.“Aku pulang saja,” katanya menyerah menunggu pria itu. Lalu melangkahkan kakinya
Adrian terkesiap melihat ruangan miliknya dipenuhi orang-orang, padahal dia hanya memanggil Kanaya saja ke ruangannya. Tapi, kenapa ada Pak Damar, Kepala Divisi Marketing dengan seorang pria lainnya. “Kamu siapa?” tanya Adrian menatap lurus ke arah Nathan. “Saya Nathan, Pak. Ketua Tim Marketing 1, atasan langsung Kanaya. Ada apa Pak Adrian memanggil bawahan saya? Kalau dia melakukan kesalahan dalam bekerja, saya yang akan bertanggung jawab.” jelas Nathan. Nathan berpikir kalau Adrian memanggil Kanaya karena terkait pekerjaan di kantor. Kanaya sendiri masih diam di belakang, menggigit bibir bawahnya cemas. “Ada apa ya dia memanggilku? Apa ini karena dia melihatku di rumah sakit waktu itu?” gumamnya dalam hati. Wanita itu diam di belakang Nathan dan Pak Damar. Sedangkan, Adrian memiringkan kepalanya berusaha melihat Kanaya dari tempat duduknya sekarang. “Saya hanya ada urusan dengan Nona Kanaya. Tidak ada hubungannya dengan kalian. Jadi, kalian bisa keluar dari ruangan saya,” suru
Kenyataan paling menyebalkan kalau kamu masih menjadi karyawan marketing biasa adalah kamu tidak boleh mengambil cuti lebih dari dua hari. Karena itu akan membuatmu kehilangan waktu untuk mencapai target penjualan. “Eungh!!!” Kanaya menguap lebar sambil merentangkan tangannya di atas ranjang. Dengan mata yang masih mengantuk dia berusaha mengangkat tubuhnya. Baru selangkah, Kanaya merasa aneh. Ada sesuatu yang mendesak keluar dari tubuhnya. “Ugh!” desisnya pelan.Reflek Kanaya menutup mulutnya. Lalu berlari ke kamar mandi dengan setengah terhuyung.Wanita itu langsung memuntahkan seluruh isi di dalam perutnya ke dalam kloset. Dia memencet tombol flush, menutup kloset dan duduk di atasnya.Napasnya memburu, hampir seisi perutnya ia keluarkan pagi itu juga. Kepalanya juga terasa pusing seketika. Dia memijat pelipisnya sesaat untuk menghilangkannya. Setelah sedikit membaik, Kanaya berdiri di depan wastafel. Memutar kran air lalu membasuh wajahnya yang terlihat pucat. Wanita itu mem
Kanaya membeku sempurna melihat Adrian yang berdiri di depannya dengan wajah yang serius. “K-kenapa Anda ada di sini?” tanyanya dengan suara terbata. Meski tadi Kanaya sudah melihat Adrian dengan tunangannya, dia berpura-pura tidak melihat apapun. “Kamu sendiri kenapa ada di sini?” sahutnya cepat. “Apa?” Kanaya kaget sekali diberi serangan pertanyaan seperti itu. “S-saya… Di sini… karena…” dia tidak tahu harus menjawab apa. Sampai seseorang memanggil Adrian. “Kak Adrian!” Pria itu pun menoleh ke sumber suara, begitu juga Kanaya. Reina memiringkan kepalanya melihat ke arah Kanaya, wajahnya mengerut keheranan sambil berjalan mendekat. “Dia siapa?” tanyanya saat sudah di samping Adrian. “Dia, karyawan di perusahaan,” jawab Adrian. Reina mengangguk, lalu mengaitkan lengan pada Adrian. Namun, Kanaya entah kenapa merasa sedih mendengar jawaban Adrian. “Aku baginya hanya karyawan perusahaan,” gumam Kanaya dalam hatinya. Sedih rasanya. Kenangan tentang kedekatan mereka mel
Suara tangisan bayi terdengar saat Adrian dan Reina membuka pintu sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu ada sepasang suami istri dan satu wanita paruh baya di sana. Si suami sedang menggendong seorang bayi, dan istrinya masih setengah duduk di ranjang perawatan selesai melahirkan. “Adrian, kamu sudah datang, Nak?” sapa wanita paruh baya itu. Adrian tersenyum tipis. “Hai Mam, gimana keadaanmu Kak?” sahutnya sambil menyapa kakak perempuannya. “Seperti kelihatannya, aku selamat melahirkan keponakanmu.” Wanita yang berbaring tadi adalah kakak perempuan Adrian. Sheila Purnama, kakak perempuan satu-satunya Adrian. “Hai Rein, makasih ya sudah datang.” Sheila melihat ke arah wanita di sebelah adiknya. “Selamat atas kelahiran anak pertamanya Kak Sheila dan Kak Bara.” Reina memberikan sebuah kado pada Sheila. Dia melirik ke arah Bara sekilas sambil tersenyum. “Nak Reina ini, kenapa repot-repot sekali,” ujar Mama Adrian, Delina. “Nggak repot kok, Ma,” sahut Reina lalu memeluk Delina denga







